Jump to ratings and reviews
Rate this book

Non-Spesifik

Rate this book
Saya tergoda dan “terluka” oleh judul buku puisi ini. Judul yang non-puitik ini sepadan dengan perangai sajak-sajak Anya yang merongrong ketenangan dan ketenteraman jiwa.
—Joko Pinurbo, penyair

Memilukan tapi tidak cengeng. Membacanya kita seperti mengais wajah kita sendiri.
—Oka Rusmini, penyair

… keberanian yang mereka tawarkan menghuni pikiran saya untuk waktu yang lama.
—Maesy Ang, POST Bookshop

Fragmen-fragmen diri yang tercecer indah di Kota Ini Kembang Api menolak manis dan meledak di Non-Spesifik .
—Cyntha Hariadi, penulis

Salah satu buku puisi terbaik yang pernah saya baca.
—Norman Erikson Pasaribu, cerpenis dan penyair

150 pages, Paperback

First published May 22, 2017

5 people are currently reading
63 people want to read

About the author

Gratiagusti Chananya Rompas

4 books43 followers
Gratiagusti Chananya Rompas was born in Jakarta, 19 August 1979. She studied English Literature in Universitas Indonesia, Depok (2003) and received her masters in The Gothic Imagination from University of Stirling, Scotland (2005).

She is one of the founders of Komunitas BungaMatahari, a mailing list-based Indonesian poetry community that have embraced many poetry enthusiasts with its catchphrase “semua bisa berpuisi” or, roughly translated, “poetry for all”. She is also involved in Selatan, an online literary journal in Bahasa Indonesia, and PaviliunPuisi, a monthly open mic event that is open to poets, poetry communities and artists to showcase their works to an open-minded audience in a casual setting.

Her poetry collections are "Kota Ini Kembang Api" and "Non-Spesifik", both published by Gramedia Pustaka Utama. She also has a column, "From Our Breakfast Table", on The Murmur House. She plans to write some more, particularly on the subjects of memory and place. She is also interested in exploring themes of day-to-day life, motherhood and mental illness through writing in collaboration with other art forms, such as film, music, drawing, painting and dancing.

She currently resides in Jakarta, with her husband and daughter.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
23 (19%)
4 stars
52 (44%)
3 stars
36 (31%)
2 stars
5 (4%)
1 star
0 (0%)
Displaying 1 - 26 of 26 reviews
Profile Image for Andika Pratama.
43 reviews5 followers
April 20, 2021
Seperti upaya membaca buku puisi pada umumnya, kerap kali saya bisa merasa 'klik' dengan satu puisi, di lain kesempatan mengernyitkan dahi. Begitu pula ketika saya membaca Non-Spesifik.

Jujur perlu dikatakan, alasan saya memiliki buku puisi kedua dari Anya Rompas ini adalah suaminya—Mikael Johani. Dengan harapan menemukan hidden gems serupa pasangan Plath versi Indonesia, saya mengagumi kemampuan dan kecairan gaya puisi Mikael Johani. Sayangnya, hal serupa tidak berhasil saya dapatkan dari Anya Rompas.

Membaca testimonial dari Eka Kurniawan, Joko Pinurbo, Cyntha Hariadi memang membuat saya berekspektasi tinggi, bagi saya setidaknya saya menemukan estetika yang cair dan kemampuan pengolahan bahasa yang menarik--atau setara dengan Mikael Johani sendiri. Namun hal yang terjadi justru sebaliknya: saya justru mendapati puisi dengan diksi sederhana, dan terkadang (bagi saya) terkesan curcol.

Gaya kepenulisan Anya dalam mengolah peristiwa kecil di sekitarnya nampak naif dan klise, tapi masih mempertahankan konsep kesederhanaan dalam pengolahan diksi-diksinya. Kerap upaya Anya untuk mempertahankan puisinya sebagai puisi justru gagal, karena puisinya yang naratif justru tampak seperti upaya ngobrol Anya dengan pembaca—yang bagi sebagian orang mungkin baik, karena makna puisi sampai di kepala pembaca. Buat saya, ini justru mengganggu, puisi-puisi Anya yang "telanjang" ini justru membuat saya mengantuk, seakan-akan saya mendengarkan banyolan Anya (terutama di EPISODE II).

Lalu apa kekuatan puisi-puisi Anya (jika memang bisa dikatakan puisi)? Kekuatannya justru pada pendobrakan estetika. Kematangan Anya untuk melakukan perombakan tipografi yang tidak lazim, penggunaan penggalan kata pertama sebagai judul puisi yang justru tidak dipisah memberi kekuatan sendiri dalam antologi puisi keduanya ini. Selain itu, ketika saya lebih jeli dalam memerhatikan testimonial pengarang lain di antologi ini, tampak satu hal: buku ini bicara mengenai banyak hal, tidak spesifik apa, namun ini berkaitan dengan keadaan kesehatan mental seorang perempuan urban di dunia yang serba cepat. Hal ini justru makin menguatkan ikatan emosional pembaca ketika membaca EPISODE II yang bisa dimaafkan ketika kita berandai apakah Anya berbicara mengenai dirinya sendiri atau representasi wanita secara umum.

Tidak ada banyak hal baru sebenarnya dalam upaya Anya melakukan inovasi estetika kebahasaan, selain memperlihatkan kevulgaran bahasa tanpa tanda baca formal —yang lagi-lagi sudah digunakan banyak pengarang di luar sana. Pendobrakan demikian tampak usang ketika banyak pengarang (atau katakanlah penyair) sudah sejak lama melakukannya.

Puisi-puisi yang baik, meski saya hanya 'klik' dengan beberapa puisi saja di sana.
Profile Image for raafi.
926 reviews448 followers
June 6, 2017
Ulasan lengkap: bit.ly/BibliNonSpesifik

Menghabiskan malam dengan membaca buku puisi yang beberapa di antaranya juga bercerita tentang malam yang sunyi, temaram, bahkan gelap memang memberikan sensasi tersendiri.

Aku kembali dibuat hanyut dengan diksi non-puitis Anya dalam buku terbarunya kali ini. Buku yang dibagi menjadi tiga bagian yang dinamai "Episode" ini memberikan suguhan berbeda dari setiap episodenya, yang bisa dibilang tidak memiliki keterkaitan di antaranya, sangat random. Yang paling epik adalah pada Episode 2 yang semua baitnya bagai buku harian yang begitu personal namun dibuat magis dan tetap layak dibaca oleh para penikmat kata.

Seperti yang diwakilkan oleh judulnya, buku ini benar-benar tidak menjurus, cenderung berceceran ke mana-mana, namun tetap sebagai sebuah kesatuan; kenonspesifikan itu sendiri. Buku yang indah!

Entahlah. Mungkin aku memang cocok dengan karya-karyanya Anya.
Profile Image for Teguh.
Author 10 books335 followers
January 21, 2018
Semenjak buku ini pertama kali mejeng di toko buku, saya bolak-balik mempertimbangkan untuk membawanya ke kasir. Karena buku pertama Anya, Kota ini Kembang Api sangat saya sukai. Namun, saya baru berkesempatan memilikinya secara penuh, setelah mendapatkan kiriman paket dari gramedia yang salah satunya adalah buku ini.

Jelas, puisi dalam buku ini berisikan kesepian, kosong, dan hal-hal yang membuat malam saya semakin kelam. Saya suka bahasa Anya yang tidak aneh-aneh, bentuk puisi juga tidak merumitkan pembaca. Namun, pesan dan keindahan bahasanya dapat.

Buku yang dalam.
Profile Image for MAILA.
481 reviews121 followers
May 27, 2017
sebenarnya bacaan saya yang belum selesai masih banyak. tapi malam itu saya tiba2 dikasih rekumen ini, trus baru sempat baca tadi selama perjalanan dari bekasi-jakarta dalam keadaan mood agak berantakan dan super ngantuk tapi pas udah mulai baca langsung segerrrr.

puisi di buku2 ini menarik. seperti membaca diary atau bahkan seperti mendengar langsung obrolan dari penulisnya. ada beberapa puisi yang malah saya baca sambil di nyanyikan. soalnya kayak keren aja gitu kalau jadi lagu2 band pop-punk xD

yang mungkin bisa dinyanyikan yang judulnya Kapal Selam. ntah kenapa rasanya indah banget. saya sampai rekumen ke teman saya yang suka ngulik lagu dan musik. eh boleh gak sih nyanyiin puisi orang gini(??)

paling suka episode 2. banyak ketawa. banyak merenung dan ''yha juga ya''. dan banyak juga puisi yang pernah saya alami dan sempat terlintas di kepala juga.

trus baru sadar kalau mbak penulisnya ini yang nulis kota ini kembang api. pantas saya kayak gak asing dengan bahasa tulisannya.

suka!

tapi sampulnya kurang suka. kurang ''hidup''

tapi tetap, terima kasih karena telah menuliskan buku ini!
Profile Image for Alvina.
732 reviews122 followers
July 30, 2017
Lama betul saya menamatkan buku ini. Padahal kota ini kembang api dulu bisa saya tamatkan tak lebih dari seminggu. Mungkin karena puisi puisi di non spesifik ini lebih panjang, lebih bercerita, lebih berparagraf. Sedangkan saya pribadi lebih menyukai sajak sajak yang singkat, pendek, sederhana.
Ini hanya masalah selera, tentu saja.
Profile Image for Wahyu Novian.
333 reviews45 followers
March 18, 2019
Sebetulnya tidak mengerti betul tentang puisi. Tapi membaca buku ini, pulang kantor dan di kereta komuter, bikin ingin cepat-cepat sampai rumah. Untuk memeluk Tania. Mungkin itu cukup bikin saya bilang buku ini bagus sekali.
Profile Image for Ari Teguh Nugraha.
211 reviews52 followers
September 18, 2022
Puisi-puisi yang sangat random. Bercerita tentang segala hal dalam kehidupan. Kadang dirangkai secara singkat, kadang sangat padat. Benar-benar tidak baku dan acak. Kreatif dan unik.
Profile Image for Devina Heriyanto.
372 reviews255 followers
February 6, 2019
Saya bukan anak sastra garis keras yang paham setiap metafora dalam diksi setiap puisi. Biasanya, saya malah bodoh saat membaca puisi. Tapi kata-kata dan cerita dalam Non-Spesifik ini terasa sangat akrab: seperti potongan-potongan pikiran yang ditemui di pinggir jalan di Jakarta.

Jangan sampai tertipu oleh judulnya: perasaan-perasaan yang ada dalam puisi-puisi ini seringkali sangat spesifik, mulai dari pengalaman menjadi ibu, perempuan, anak, maupun manusia-manusia baja di ibukota yang sudah lupa bagaimana caranya melihat keluar jendela. Anya menulis dengan presisi yang tak disangka-sangka membuat air mata menitik.

Saya tidak tahu puisi yang bagus itu seperti apa, yang saya tahu hanya: saya suka tulisan-tulisan Anya karena bisa membuat saya menangis dan merasa apa-apa yang bisa dirasakan.
Profile Image for sekar banjaran aji.
165 reviews15 followers
March 23, 2023
Non-Spesifik. Aku membacanya agak telat memang sebab buku ini sudah lama jadi perbincangan orang-orang. Mulai masa kecil yang terlihat kecil tapi selalu teringat. Remaja perempuan dan kebingungan bicara soal keperawanan. Kenangan-kenangan bangsat yang selalu teringat soal kota. Non-spesifik, tidak ada satu pun yang bisa dijelaskan khusus. Hal-hal yang ada karena memang sudah semestinya ada.
Walaupun pada awalnya kita berusaha menerka dan gagal atas ekspektasi yang kita ciptakan sendiri. Buku ini hadir dengan rentang kisah dan panjang, masing masing punya pilihan spesifiknya. Tidak semua tapi pasti ada.
Non-Spesifik sebenernya gambaran utuh seorang Anya Rompas berubah menjadi Momster. Kata-kata begitu anarkis bahkan dari komposisi hingga tanda baca. Anya sedang melahirkan dirinya sendiri.

#WhatSekarReads2023 #WhatSekarReads #NonSpesifik #AnyaRompas
Profile Image for Willy Akhdes.
Author 1 book17 followers
October 12, 2017
TURIS ADALAH HANTU

gentayangan dari satu tempat ke tempat yang lain
habiskan kopi sambil membaca koran berisi berita-berita asing
tinggalkan tip sebelum menghilang di balik pintu
tertawa ceria
terpesona bangunan-bangunan tua
ambil gambar sana-sini
lalu janji kembali
walau tahu tak akan datang lagi

aku juga ingin berlibur
lalu jadi hantu
Profile Image for Antonius Wendy.
5 reviews
September 2, 2017
Buku antologi ini adalah sebuah contoh nyata kuantitas di atas kualitas. Kau mungkin akan menemukan beberapa puisi berkualitas, tapi sayangnya tidak banyak yang bernilai dari buku ini.

(review ini akan saya update dengan ulasan yang lebih panjang).
Profile Image for Alien.
254 reviews31 followers
March 28, 2019
Some poems spoke to me, some others did not. Normal. But as a concept (the font, the layout, the illustration, the different parts, the covers) this poetry book speaks loudly for itself and it is beautiful.
Profile Image for Mikael Kadga.
2 reviews
September 28, 2025
seperti ditulis perlahan2 di tempat yang selalu buru2, membacanya membuatku mengikuti aja ke mana kisah2 apa pun itu akan dibawa, loncat2 dari satu tempat ke tempat yg lain sambil membawa tas ransel tempat semua perlengkapan disimpan, kupu-kupu, kran wastafel, klereng, mimpi-mimpi dan kesunyian
Profile Image for Ryan.
Author 2 books17 followers
March 22, 2024
“MALAM INI KAU TAK INGIN JADI TUA.
kau ingin menikmati bulan di dalam cangkirmu
sambil menghisap tembakau.”
Profile Image for Rahman.
162 reviews21 followers
March 7, 2025
I love anya's poem. Satu-satunya penyair lokal yang kubaca semua bukunya (dan kusukai).
Profile Image for Jeremy Randolph.
33 reviews1 follower
August 31, 2019
Ini buku puisi pertama yang saya beli dengan kesadaran penuh (saya beli setelah bertemu langsung dengan Mbak Anya).
Dan buku ini akan selalu mempunyai nilai sentimental karena buku ini ada ketika saya terjebak di krl selama 6 jam, saat listrik jabodetabek tiba-tiba mati total.

Beberapa review dari penulis hebat seperti Eka Kurniawan dan Joko Pinurbo sudah sangat merangkum isi buku ini. Puisi-puisi Anya sangat anarkis, namun romantis. Kita dapat lihat dari gaya penulisan dan isinya. Perpaduannya memberi suasana membaca yang depresif namun melegakan, begitu melankolis namun ia tulis dengan penuh perlawanan.

Kebanyakan puisinya berisi sudut pandang Anya pada kejadian-kejadian yang mungkin tidak ada artinya di mata kita, dan baru bisa kita lamunkan tiap menemukan kalimat baru. Banyak sekali pengalaman-pengalaman penting di kehidupan personal Anya yang sama sekali tidak ada artinya untuk kita, tapi... membacanya dapat menjadi cermin yang hebat.

Bila ingin kenal lebih dekat sosok Anya dan sudut pandangnya yang anarkis melankolis, bacalah buku ini. Pada lembar terakhir, saya menyadari bahwa menulis dan membaca, adalah sebuah terapi.
Profile Image for Ammar Jayyid.
71 reviews2 followers
December 22, 2020
stiker di kaki tempat tidur,
coretan di lantai dan dinding
kupu-kupu menyala dalam gelap

mereka tak tahu
dunia tak hanya
taman bermain

(Jari-jari kecilmu, hlm 56)


Itu adalah satu dari sekian banyak puisi yang saya sukai pada kumpulan ini. Terbagi ke dalam 3 episode, yang saya sendiri masih bingung pembagianya atas apa. Seperti judulnya, puisi-puisi di sini memang non-spesifik.

Penulis banyak mengambil tema keseharian, pekerjaan, rumah tangga, kota, restoran cepat saji, transportasi umum, dan orang-orang acak di sekitar. Serta perasaan atau kesan terkait hal-hal itu. Tidak hanya non-spesifik secara tema, tapi puisi-puisi yg ditawarkan sering hadir dengan bahasa yang "non-puitik". Tapi justru dengan pemilihan kata-kata itu, memberikan suatu kesan tersendiri. Terkadang terasa sangat dekat dan nyata. Atau terkadang terasa lebih dalam. Karena dengan menggunakan kata-kata yang non-puitik seperti indomietelorkornet, bemo, isi ulang, dll membuat kita langsung menangkap keadaan atau gambaran yg sangat spesifik dari sebuah cerita dalam puisi yang utuh. Banyak hal yang bisa dinikmati dari sini.

Penulis dengan tidak ragu2 memasukkan hal-hal yg seperti sengaja mengacaukan sebuah bentuk puisi yg 'baku'. Saya mencoba menemukan pola dari satu puisi ke puisi lain, dan hubungannya kadang seacak itu. Tidak sedikit kita menemukan puisi yang entah ditujukan kepada siapa, diungkapkan oleh siapa, dan untuk maksud apa. Dalam suatu puisi, subyek seolah-olah orang yg kita pahami keadaannya, seorang ibu, seorang istri, seorang pekerja yg jenuh, seorang pecinta yg lugu, atau seorang anak yg terkenang oleh ayahnya. Tapi di lain waktu, kita seolah-olah membaca puisi untuk diri kita sendiri. Penulis seperti membiarkan kita berimajinasi, bahwa kitalah yg sedang menjadi orang dalam puisi itu.

Jujur saya menandai banyak sekali puisi dalam kumpulan ini. Mungkin sekitar setengah dari semuanya. Saya merasa beruntung bisa memaknainya, dan mungkin kedepan akan lebih berani untuk mencoba kumpulan puisi lain dari penulis yang belum saya kenal.
Profile Image for Dina Layinah Putri.
108 reviews5 followers
September 16, 2017
buku buku yang tak selesai dibaca berdebu dipojok kamar
bukan salah siapa-siapa selain diri sendiri (33)
.
ia perlu juga keluar dari kotak
merangkak keluar dari kotak (61)
.
mari duduk di sampingku dan bicara soal mimpi yang tak pernah tercapai. ada suram yang menakjubkan disana. seperti sesaat setelah matahari tenggelam. kau tahu terang sudah berlalu tetapi nyatanya kau belum benar-benar mengerti. luar biasa. ternyata apa yang kau tahu tak selamanya bisa kau sadari. (84)
.
.
.
Sejujurnya, saya belum bisa menjelaskan dan bahkan belum mengerti esensial puisi apalagi yang tersirat. Puisi bisa sangat sederhana sekaligus rumit. Kamu tahu puisinya Triyanto Triwikromo? Itu salah satu dari sekian puisi yang njelimet sekali. Puisi yang didalamnya sarat akan sejarah kitab tua Mahabharata sampai sejarah Sorgum Merah. Puisi juga bisa sangat sederhana. Seperti puisinya Wiji Thukul. Sampai-sampai para pemudanya maupun aktivisnya menyerukannya lebih kerap, terlebih jika dikaitkan dengan lengsernya orba 98.
.
Sederhananya, mau serumit dan sesederhana apa bahasa yang digunakan dalam sebuah puisi, selagi puisi itu menghentak pikiran dan suasana hati saya, saya tentu menyukainya.
Displaying 1 - 26 of 26 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.