What do you think?
Rate this book


272 pages, Paperback
First published June 12, 2017
"Sini, sini." Lengan Timur melingkari pundak Sigi dan merangkul perempuan itu mendekat. "Kamu nggak butuh nasihatku. Kalau menurutku sih, perempuan seperti kamu pasti tahu apa yang harus dilakukan. Jangan indecisive begitu, Gi. Kemampuanmu untuk mengambil keputusan dan memiliki prinsip itu salah satu yang bikin aku suka. Beneran, kamu nggak butuh diyakinin sama aku ataupun orang lain." (hal 203)
"Kejadian ini seolah menjadi bukti bahwa apa yang gue percayai selama ini memang benar: politik itu kotor! Gue nggak mau jadi bagian itu."Salah satu alasan utama aku membeli buku ini adalah karena penulisnya Alanda Kariza, yang selama ini cukup aku sukai cara penulisannya. Alasan keduanya adalah karena buku ini mengangkat tema yang cukup unik, yaitu romance yang dilatarbelakangi oleh kisah politik. Sebelumnya, harus kuakui aku bukanlah penggemar politik dan tidak begitu mengikuti perkembangannya. Sehingga saat aku mulai memasuki buku ini, ada beberapa istilah yang terasa asing bagiku. Untungnya penulis memberikan cukup banyak informasi sehingga buku ini masih tetap bisa dinikmati bahkan oleh orang yang buta soal masalah politik. Meskipun bisa kukatakan aku cukup menikmati ceritanya, sayangnya banyak hal yang membuatku kurang begitu puas sewaktu aku menyelesaikan buku ini.
"Kalau boleh jujur, aku nggak terlalu percaya passion. Buatku, bikin kue itu semacam rekreasi. Aku takut kalau itu aku jadikan pekerjaan, nanti malah jadi nggak fun. Lagi pula, perkara do what you love itu terlalu utopis. Semua kerjaan, semenyenangkan apa pun, pasti ada satu titik akan melelahkan. Mending cari kerjaan yang aku sedikit suka, tapi sekaligus menantang. Biar aku juga bisa berkembang, ya kan?"Untuk ukuran sebuah cerita yang mengusung tema politik, aku sedikit terkejut dengan alur ceritanya yang bisa dikatakan cukup sederhana dan bahkan mudah ditebak. Entah apakah ini karena sebelum membaca buku ini aku baru saja menyelesaikan buku yang luar biasa kompleks ( A Little Life by Hanya Yanagihara) atau karena memang aku mengharapkan konflik politik yang lebih rumit (dark and twisted, maybe?). Selain dari sisi politiknya, entah bagaimana aku juga kurang begitu puas dengan bagian romance-nya. Di beberapa bagian, aku merasa kisah cinta mereka agak dipaksakan dan tidak ada chemistry antara keduanya. Atau terlalu banyak unsur politik yang dilibatkan dalam hubungan mereka sehingga malah jadi tidak terasa keromantisannya. Secara keseluruhan aku merasa kedua hal yang diangkat dalam buku ini jadi terkesan tanggung atau setengah-setengah.
"Kamu bisa sebergairah ini waktu membicarakan bekerja dalam politik, sementara aku nggak bisa. Setelah apa yang terjadi belakangan ini, bukannya simpatik, aku justru semakin muak sama dunia politik ini. Melihat bagaimana orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka mau—bukan cuma politisinya, tapi juga orang-orang di sekitarnya. Bahkan aku merasa lambat laun aku sendiri jadi seperti itu. Aku seperti kehilangan diriku dalam dunia politik."Di samping hal-hal yang kurang memuaskan bagiku, di saat yang sama aku bisa belajar sedikit tentang dunia politik juga melalui buku ini. Aku menyadari memang keberadaan wanita masih belum dianggap seratus persen setara dengan laki-laki (di berbagai bidang, tetapi terutama dalam dunia politik). Dan aku menyukai karakter Sigi yang dibuat kuat dan berprinsip dalam meraih impian yang ingin ia capai. Terlepas dari pendidikannya yang tidak mencapai S2, ia berusaha dan belajar sendiri untuk bisa memiliki kapabilitas yang sama sebanding dengan rekan-rekan kerjanya. Dan itu adalah sesuatu yang membuatku salut dengan karakternya.