Tidak banyak buku Indonesia yang melukiskan zaman pancaroba akhir penjajahan Belanda dan awal penjajahan Jepang. Inilah satu di antaranya, khusus menurut penglihatan seorang anak berumur 7-8 tahun. Anak adalah filsuf yang pertama. Dengan pancainderanya yang masih jernih, terang dan tajam ia mengamati sekitar, mempertanyakannya dan menyimpulkan masalah-masalahnya , walau tidak dalam bentuk rumusan-rumusan seperti pada dewasa. Maka pengamatan, pemertanyaan dan perumusan anak itu tidak kurang relevan dibanding dengan pengamatan, pemertanyaan dan perumusan dewasa. Membaca buku ini sama saja dengan mengamati salah satu pojok masyarakat dan sejarah Indonesia. Pengarang buku ini, Koesalah Soebagyo Toer, memasuki dunia sastra sebagai penulis cerita pendek. Walau kegiatannya sebagai penerjemah (Inggris, Rusia, Belanda, dan Jawa) kemudian lebih menyibukkannya, jiwanya tetap pada kesusasteraan Ibuku di Surga merupakan salah satu cerita yang ditulisnya ketika mendekam dalam penjara Orde Baru Salemba Jakarta (1968-1978), di samping cerita Adik Tentara/Adhine Tentara (1996) yang terbit dalam bahasa Indonesia dan Jawa.
Koesalah Soebagyo Toer, lahir di Blora, Jawa Tengah, 27 Januari 1935. Setamat SMP di Blora beliau meneruskan pendidikan di Taman Dewasa dan Taman Madya, Kemayoran, Jakarta, dan Jurusan Bahasa Inggris Fakultas Sastra UI (tidak tamat). Pada 1960-1965 beliau belajar di Fakultas Sejarah dan Filologi Univ Persahabatan Banga-bangsa, Moskwa.
Pada 1965-1967 dia menjadi dosen bahasa Rusia di Akademi Bahasa Asing (ABA) Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PPK). Pada 1968-1978 menjadi tahanan politik Pemerintah Orde Baru.
Sekarang berprofesi sebagai penerjemah bahasa Inggris, Belanda, Rusia, dan Jawa. Buku-buku yang diterjemahlan antara lain: Jiwa Jiwa Mati (Nikolai Gogol), Anna Karenina (Leo Tolstoi), Musashi (Eiji Yoshikawa), Perdagangan Awal Indonesia (O.W. Wolters), Menjinakkan Sang Kuli (Jan Breman), serta sekumpulan serpen Anton Chekov, Pengakuan (KPG, 2004). Beliau menulis buku Kampus Kabelnaya: Menjadi Mahasiswa di Uni Soviet (KPG, 2003). dan bersama Pramoedya Ananta Toer serta Ediati Kamil menyusun buku Kronik Revolusi Indonesia, yang juga diterbitkan oleh KPG . Buku yang disuntingnya antara lain, Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel karya Mas Marco Kartodikromo (KPG 2002).
Selain menerjemahkan buku, sekarang aktif menulis artikel tentang masalah-masalah bahasa, Sejarah, foklor, dan sedang menyusun kronik-kronik lain serta ensiklopedi sejarah Indonesia dan ensiklopedi foklor Jawa.
Tertarik sama buku ini cuma gara-gara penasaran sama gaya bercerita sesama Toer, antara Koesalah Soebagyo Toer sama Pramoedya Ananta Toer.
Cerita di buku ini ditulis lewat sudut pandang anak umur 7-8 tahun. Mungkin bukan perbandingan yang pas, mengingat buku Pram yang sudah pernah dibaca itu pakai sudut pandang orang yang sudah dewasa, jadi bahasa dan bahasannya lebih serius.
Buku ini bahasa juga bahasannya lebih sederhana, khas anak kecil. At least, anak kecil mana bisa mikir kelewat serius, kan? Dunianya main-main, pancaindra masih jernih, lakuin sesuatu yang baik sedikit udah disebut anak pintar, doyan hal-hal baru yang akhirnya banyak tanya lewat bahasanya yang nggak serumit orang dewasa, berminat ke banyak hal, dll.
Keliatan banget kalau bahagianya anak kecil itu sederhana. Pola pikirnya nggak ribet kayak orang dewasa. Misal nggak suka, ya udah, ditinggal pergi dan nggak perlu sungkan sama orang lain. Rasanya kayak disindir, ehehe.
Btw, Oemi Saidah di cover buku, ibu dari sesama Toer, tatapan matanya teduh banget.
Buku ini unik karena memberikan kebaruan bagi khazanah bacaan saya.
Pertama, karena lewat buku ini saya berkenalan dengan Koesalah Soebagyo Toer, adik Pram (sang kakak yang tentu lebih populer lewat tulisannya dan sudah banyak bukunya pula saya baca). Koesalah lebih kalem dan teratur, agak berbeda dengan kakaknya yang flamboyan itu. Koesalah juga lebih banyak terlibat dalam penerjemahan buku ketimbang menerbitkan karya sastra seperti ini. Keteraturan dan kemampuannya dalam berbahasa itu cukup bisa saya rasakan dalam buku ini.
Kedua, karena buku ini memberikan sudut pandang yang cukup berbeda: keseharian di masa peralihan penjajahan dari Belanda dan Jepang di suatu kota yang miskin, dari sudut pandang seorang anak di usianya yang masih berkisar di 7-8 tahun.
Buku ini terdiri dari 3 cerita dengan tokoh-tokoh sama, dengan tokoh utama si kecil Gus Liliek. Sungguh unik membaca sudut pandang seorang anak kecil yang masih polos, "egois", dan mencari kesenangan-kesenangannya sendiri, namun juga sudah memiliki daya kritis dan mempertanyakan dunia sekitarnya dengan keluguan yang khas. Mungkin benar bahwa anak adalah filsuf yang pertama. Mereka kebingungan melihat bagaimana dunia bekerja lalu berupaya memahaminya dengan mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan dan celetukan-celetukan yang terdengar lucu bagi kita orang dewasa yang pelan-pelan kehilangan daya imajinasi karena tergerus realita peliknya urusan-urusan dunia. Kadang keunikan anak-anak ini sudah kita lupakan, padahal kita sendiri dulunya adalah anak-anak.
Cukup kagum bagaimana Koesalah mengemas kisah di buku ini dengan bersahaja namun mendalam. Benar bahwa terasa ada kemiripan dengan Bukan Pasar Malam-nya Pram. Cukup simpel dalam pembacaan pertama, namun bila didalami akan terasa hangatnya nilai-nilai yang ingin sang penulis bawa.
Dari buku ini saya jadi makin penasaran dengan karya-karya dua adik Pram, Koesalah dan Soesilo. Semoga saya masih terus diberi kesempatan untuk membaca tulisan-tulisan mereka yang belum saya kenali saat ini. :)
Buku ini mengingatkanku pada Cerita dari Blora milik Pram. Berisi tiga buah cerita pendek yang ditulis dengan perspektif anak-anak di kota miskin. Tentu memperlihatkan adanya kesenjangan kelas dan pentingnya peran keistimewaan. Yang pintar dan punya unggah-ungguh adalah mereka yang berpunya; sementara yang mau tidak mau harus bekerja keras sejak dini, entah menjual getuk atau sekadar menjaga adik karena kedua orang tua harus banting tulang untuk mendapatkan penghidupan, adalah si fakir. Aku juga melihat bagaimana figur ibu ditampilkan dengan cara yang berbeda-beda di sini: ada yang akhirnya menceburkan diri ke sumur, ada yang mampu membayar seorang pembantu untuk merawat anak-anaknya, ada yang mati kesakitan ketika suaminya entah main apa di luar rumah.
Namun ada satu hal pasti dan serupa yang dimiliki para ibu ini. Mereka punya kekuatan, keinginan, dan kasih sayang yang tak terkira untuk menghidupi anak-anaknya. Walaupun, salah satunya akhirnya menyerah setelah berjuang tanpa membuahkan hasil, sehingga kemalangan kini jadi kepemilikan tunggal anak-anaknya. Ya, tiap manusia memang punya pilihan yang berbeda dalam menghadapi kenyataan. Dan seoarang ibu pun berhak memilih untuk tidak memilih hidup yang hanya berisi derita; ia punya pilihan laiknya manusia lain.
Buku yang berisi tiga buah cerita pendek yang saling berkaitan dan di tulis dengan sudut pandang seorang anak kecil yang sama. Ketiga cerita mengisahkan tiga fase kehidupan yang berbeda. Pada cerita pertama justru mengisahkan fase kehidupan anak kecil tersebut setelah ditinggal kedua orang tuanya. Di cerita pertama ini menggambarkan tentang ketimpangan sosial. Keluarga pak Wirya yang menjadi objek pertama adalah keluarga yang sangat miskin, saking miskinnya suami istri tersebut harus dihadapkan pada pilihan untuk mengakhiri hidup. Cerita ini sebenarnya sungguh menyayat hati, dan mungkin masih relevan di masa kini. Pada cerita kedua mengisahkan tentang sosok ibu dari si anak yang memiliki perilaku sangat lembut namun selalu mengajarkan anak-anaknya tentang kebaikan, dan berbagai ilmu sederhana. Sementara pada cerita ke tiga, inilah fase dimana si ibu mengalami sakit dan akhirnya meninggal serta bertepatan dengan penjajahan Jepang. Intinya buku ini memiliki alur cerita sederhana dan mudah dicerna. Tetapi juga sarat akan makna yang dalam, tertutama bagaimana kita seharusnya menghadapi berbagai masalah dalam hidup.
Suka dengan narasi Koesalah yang renyah dan kanak-kanak tentang waktu yang penting di masa pendudukan Jepang. Sesuatu yang jarang sekali ditulis untuk mendapatkan perspektif anak-anak dalam catatan sejarah.