Jump to ratings and reviews
Rate this book

Ikan-ikan Mati

Rate this book
Indonesia sedang gaduh-gaduhnya. Ego-ego yang tak ingin mengalah sedang tumbuh subur. Diserang, lawan balik. Dihina, maki balik. Dilaporkan, tuntut balik. Orang-orang semakin berkutub. Ekstrim dengan pilihan dan pandangannya masing-masing.

Media sosial jadi medan tempur. Mulai dari kritik, sindiran, hingga makian jadi makanan sehari-hari para netizen. Status Facebook penuh kebencian, foto liburan menghilang dari Instagram, dan Twitter tak lagi menyenangkan.

Sebuah terobosan dibuat untuk menyelamatkan Indonesia. Sebuah ide baru yang bisa mengendalikan keadaan, yang mampu menahan netizen agar tidak berteriak terlalu lantang.

Yang saat itu Indonesia tidak tahu, jawaban tersebut datang beberapa tahun kemudian dalam bentuk yang tidak pernah terbayang sebelumnya.

---

"Buku ini adalah sebuah atraksi lincah Roy Saputra di ruang yang ia kenal betul: media sosial. A story that is not only witty, but also sophisticated, and unexpectedly thrilling!" – Ernest Prakasa, komedian.

317 pages, Paperback

First published August 26, 2017

11 people are currently reading
86 people want to read

About the author

Roy Saputra

11 books19 followers
Sudah menulis sejak tahun 2008. Sampai saat ini telah menulis 12 buku, 7 di antaranya buku antologi bersama penulis muda berbakat lainnya.

Lebih suka menulis komedi karena ia suka baca komedi dan beranggapan dunia sudah terlalu berat sehingga diperlukan bacaan yang ringan dan menghibur.

Ia berkeyakinan bahwa menulis bukan hanya soal pencapaian tapi juga tanggung jawab kepada pembaca. Untuk itu ia selalu menulis untuk berbagi nilai atau semangat yang positif.

Lebih lanjut tentang dirinya bisa dilihat pada akun Twitter @saputraroy atau blog pribadinya saputraroy.com.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
18 (18%)
4 stars
46 (48%)
3 stars
24 (25%)
2 stars
4 (4%)
1 star
3 (3%)
Displaying 1 - 29 of 29 reviews
Profile Image for raafi.
926 reviews448 followers
October 14, 2017
Selengkapnya, bertajuk "Hanyutnya Ikan-Ikan Mati" .

Mantap! Suka dengan ide ceritanya!

Bayangkan apa yang terjadi di dunia ini berpuluh-puluh tahun ke depan. Ketika hoaks sudah merajalela namun adiksi terhadap gadget adalah kebiasaan. Apa yang akan terjadi? Salah satu opsi jawaban bisa saja terdapat pada buku ini.

Dibaca selama perjalanan menggunakan commuter line Palmerah - Bogor - Jakarta Kota - Palmerah. Nggak jelas anjir, tapi kelar juga.
Profile Image for Rido Arbain.
Author 6 books98 followers
October 3, 2017
Ada yang pernah menonton Black Mirror? Serial TV berupa film antologi yang menceritakan kisah fiktif dengan tema gelap dan satire mengenai masyarakat modern, terutama dampak buruk teknologi canggih.

Di Indonesia rasanya belum ada film atau cerita fiksi lain yang mengangkat tema serupa. Makanya, aku senang sekali waktu diberi titah oleh Roy Saputra untuk jadi pembaca draf novel terbarunya. Black Mirror-nya novel lokal, yang kemudian terbit dengan judul Ikan-Ikan Mati.

🐟🐟🐟

Ikan-Ikan Mati menceritakan kisah pria kantoran bernama Gilang, dengan segala polemik hidupnya di tengah arus teknologi yang semakin canggih. Walaupun mengambil latar kota Jakarta di masa depan, sebetulnya tokoh Gilang di novel ini secara definitif mewakili potret kaum millennial di era teknologi seperti sekarang. Yang serba up-to-date, mengunjungi kafe yang sedang hits, menonton film di hari pertama penayangan, atau yang ada di baris terdepan tiap ada info diskonan.

"Kita mau minum kopi yang enak, kan, bukan yang diskon?"

Menilik dari tema yang diangkat, mungkin Ikan-Ikan Mati dapat dikelompokkan ke dalam novel bergenre punk sibernetika (cyberpunk). Cyberpunk masih bagian dari subgenre fiksi sains (sci-fi), yaitu cerita berlatar masa depan yang fokus pada kehidupan masyarakat kelas rendah dengan segala kerusakan sistem dan tatanan sosial yang dihadapkan pada teknologi kelas tinggi.

Sama seperti tulisan-tulisan Roy Saputra sebelumnya yang sarat komedi, Ikan-Ikan Mati pun dibumbui selipan humor yang menghibur. Karakterisasi, dialog, dan atmosfer ceritanya mengingatkan pada Gege Mengejar Cinta-nya Adhitya Mulya; kisah percintaan pegawai kantoran dengan ending yang epik. Kalau boleh mengkritisi, kurangnya novel ini yaitu masih ada beberapa narasi yang kurang halus, ditambah editorialnya yang banyak cacat aksara. Dear Mediakita, please fix this di cetakan kedua!

Pertanyaan "Why do we have to be the same?" kurang lebih mewakili pesan yang ingin disampaikan lewat novel ini. Hadirnya Ikan-Ikan Mati di toko buku pun kurasa begitu. Novel ini boleh jadi semacam oasis di antara gempuran novel cecintaan picisan ala Wattpad-lit.
Profile Image for Haris Firmansyah.
Author 12 books35 followers
October 6, 2017
Kalau saja saya belum pernah membaca seri Doraemon Petualangan di Labirin Kaleng, pastilah saya sangat kagum dengan ide tentang dampak buruk kemajuan teknologi di novel ini. Jadi semacam cerita distopia, eh? Tapi untuk ukuran novel lokal, Mas Roy Saputra sudah membuat hal baru dan beda. Setidaknya Ikan-Ikan Mati tidak jadi 'ikan-ikan mati' di toko buku yang dibanjiri Wattpadlit.
Profile Image for inas.
387 reviews37 followers
October 4, 2018
Perasaanku campur aduk banget setelah baca ini. Antara seneng sama nggak pengin cepet selesai. Antara lega sama penyelesaiannya, tapi juga nanggung karena cepet banget. Antara... suka sama ceritanya, sama ada beberapa keluhan tentang (lagi-lagi), tata bahasa. :p

Oke. Jadi, pas awal-awal baca buku ini, hal pertama yang terlintas di kepala adalah: “Wah, kalo IKA ada, Goodreads bisa diblokir nyusul Tumblr dong. Orang-orang di sini kan sering dianggep blakblakan kritis dan cerdas.”

FYI, IKA adalah singkatan dari Indonesia Kindness App, aplikasi fiktif yang jadi pusat cerita di Ikan-Ikan Mati. Aplikasi ini semacam membudayakan para penggunanya untuk ngomong/nge-post yang baik-baik atau yang positif doang. Semakin positif, semakin banyak poin yang bisa didapat pengguna—dan poin itu nanti bisa ditukar sama diskon-diskon yang bertebaran.

Gilang, tokoh utama di cerita ini, juga termasuk pengguna yang kecanduan IKA. Hidupnya dipenuhi posting di Facebook secara rutin, nggak pernah ngomong jelek, sampe suatu hari, dia diundang jadi salah peserta task force buat mengembangkan IKA.

Dari sana, dilema Gilang mulai kelihatan. Setelah dikasih rangkaian kisah di awal yang ngalir dan ringan banget, Gilang pun mulai dihadapkan pilihan-pilihan. Mulai pilihan hidup, sampai pilihan asmara. Dan, di sinilah aku mulai nge-ship dia sama

Latar belakang Gilang sebagai banker juga berguna. Dia bisa sadar sama akar permasalahan yang terjadi, dan ini bikin pekerjaannya nggak cuma sekadar tempelan. Mungkin pekerjaan macam ini udah umum banget di fiksi-fiksi lokal; dan ada kemungkinan meski bukan banker pun, Gilang masih bisa nebak-nebak berhadiah. Cuman kan kalo di fiksi nggak bisa gitu ya. Jadi, selain berfungsi sebagai latar belakang, pekerjaan ini juga jadi semacam foreshadowing atau pondasi yang nggak bikin Gilang ujug-ujug tau dan kritis gitu. (Mengingat dia udah kebawa arus IKA yang bikin orang terdikte dan nggak bisa mikir buat diri sendiri. Latar belakang pekerjaan sedikit-banyak bisa ngebantu dia buat “sadar”.)

Tokoh lain—Citra—juga lumayan bikin suka. Secara pikiran, cewek ini udah progresif banget. Dan, itu ada penjelasannya; yang nggak terasa mendadak maupun “kok tiba-tiba gini”. Logis dan bisa dipercaya.

Tapiiiii, Citra ini tipikal MC (main character) cewek pada umumnya. T3T Dia digambarkan sebagai cewek yang “beda dari cewek lain”, gaya berpakaiannya udah jarang dipopulerkan cewek lain, dan kayak cuma dia yang bisa mikir ke depan. Bukan cewek centil macem Monita.

Entahlah, aku udah bosen aja sama trope semacam ini. Kenapa sih, MC cewek harus yang paling kritis, paling stand out di antara cewek lain, seolah gaya pada umumnya itu salah banget, dan seolah kecentilan (macam Monita) cuma menghasilkan pikiran yang nggak jauh dari cecintaan? Kenapa tokoh cewek nggak bisa centil sekaligus cerdas kayak di cerita-cerita Choices? #HidupChoicesdanPixelberryStudios (Gilang sempat nyebut Monita pinter, tapi yha, kepinteran itu ilang supaya centilnya lebih menonjol.) Udah berapa kali, coba, tokoh cewek centil/judes/suka dandan/hedon digambarin kritis dikit aja? Pasti mereka jadi “korban” perbandingan, digambarin tukang gencet/murahan/jahat/pikirannya cecintaan melulu, dan akhirnya ditolak MC cowok. =3=

Menurutku sih, udah waktunya beragam tipe (tokoh) cewek disetarakan; dipandang sama-sama cerdas; sama-sama bisa jadi love interest potensial; terlepas dari gaya berpakaian dan keseharian mereka. Mungkin sedikit lebih utopis dari aplikasi IKA sendiri, tapi nggak ada salahnya juga kan diterapin? =3=

Tokoh lain kayak Jay, Latheef, dan Boby juga berguna. Nggak cuma sekadar tempelan terus ilang di bagian akhir; cuma sebagai sahabat yang dicurhatin terus udah gitu aja. Seolah fungsi mereka cuma tempat curhat. Nope.

Ketiga tokoh itu justru muncul terus sampe akhir dan jadi teman setia Galang. Somehow, eksekusi kayak gini lebih seru dan masuk akal untuk diikuti. Tiap tokoh punya peran. Tiap tokoh nggak ada yang sia-sia. Kurang uwu apa, coba? >w<

Selain tokoh dan bangunan cerita yang udah detail banget, ada juga beberapa pemikiran yang aku interpretasikan selama baca. Pendapat ini berpusat pada kebebasan dan hak bicara para pengguna IKA (dan teknologi in general) yang entah gimana terdikte banget sama sistem. Berikut penjabarannya:

1) IKA membudayakan hal-hal positif di antara penggunanya, which is a good thing sampe hal positif ini mulai bikin overdosis. Pertama, hak bicara orang jadi terenggut—kayak pas Galang sama Jay ngomentarin musik, terus nggak sengaja ngomong “katro”, trus dianggap kasar. Padahal itu kan bentuk kejujuran terhadap selera masing-masing. Apa yang salah dengan diskusi kayak gitu? Cuma karena nggak boleh ngomong jelek, mereka cuma bisa ngomong yang baik-baik doang. Yang jelas-jelas berujung toxic dan nggak masuk akal.

Kedua, karena IKA pada dasarnya mesin, kata-kata yang sebenernya nggak dimaksudkan kasar jadi terkesan kasar. Misal, pas Jay sama Gilang bercanda sambil bilang “anjing”, lah langsung dideteksi kasar aja. Padahal konteks dan suasananya cuma bercanda. Di sini, IKA berpotensi ngatur apa yang boleh dan nggak boleh diucapkan orang-orang tanpa lihat-lihat makna ganda dan situasi—yang jelas sangat membatasi ruang gerak. (Harusnya IKA disuruh belajar linguistik nih. :( )

Ketiga, Gilang jadi nggak pede buat nyuarain pendapat. Padahal, dia cuma pengin ngomong lagu tertentu nggak enak, atau makanan tertentu rasanya aneh—cuma karena dia manusia yang like-nya dikit dan nggak punya posisi tinggi kayak pemilik JS Corp. Lagi-lagi aku mikir, di sini demokrasi udah nggak jalan banget. Masa hal sekecil itu aja sampe nggak disuarain saking takutnya dianggep macem-macem. =w=

2) Teknologi, kadang, bisa sangat mendikte manusia. Pertama, manusia jadi jarang bisa mikir buat diri sendiri. Ini bisa dilihat dari contoh di atas, juga cara Gilang milih tempat nongkrong, bahkan buat memutuskan nasib cintanya. Dia selalu ragu dan nggak bisa bikin keputusan sendiri, karena tiap hari dia disuapi pilihan demi pilihan. Opini/kata/susunan kalimat, udah ada yang ngendaliin. Selera makan dan musik, udah ada yang ngatur—tinggal ngikutin tren aja. Ujung-ujungnya apa? Banyak yang main aman dan nggak bener-bener jadi diri sendiri. So yeah.

Kedua, di dunia nyata sendiri, teknologi bisa amat sangat menentukan tindakan manusia. Contoh: ketika orang stres gara-gara terlalu fokus berkarya buat audiens, petuah untuk “berkarya buat diri sendiri aja” berdatangan, banjir, muncul sampe bikin eneg. Begitu si orang mampu berkarya buat diri sendiri, langsung muncul petuah baru lagi: “jadi seniman kok males promosi/marketing sih? Gabisa ngikutin perkembangan zaman yHa?????????????”.

Ntar kalo si orang nolak, dan udah tegas sama pilihannya sendiri, muncul lagi jurus pamungkas, “yHa emang gamudah buat semua orang nerima perubahan”. Yha emang nggak mudah, makanya ada yang nolak, ada yang ngeiyain. =w=

Gara-gara sistem yang busuk kayak gini, pergerakan banyak orang lagi-lagi jadi terbatas. Mutusin buat diri sendiri aja, mereka masih harus kepentok perkembangan zaman, perubahan, adaptasi, dan bullshit-bullshit lainnya. Nolak sedikit, udah dianggep beda dan ketinggalan. Sejak kapan manusia jadi budak teknologi? Dikit-dikit tergantung ke teknologi, dikit-dikit alasannya perkembangan zaman? Ya nggak salah sih, tapi kalo kebanyakan tetep aja bikin eneg. Kecuali sampe jadi sepersuasif candunya IKA, ya gapapa. Win-win solution, kan? =w= =v=

Mengenai tata bahasa, ada beberapa kata dan kalimat dalam bahasa Inggris yang menurutku aneh.

Untuk bahasa Inggris sendiri, aku terganggu dengan pemakaian kata cubicle yang sebenernya bisa diganti “kubikel” gitu aja; frase “say or write” tanpa “about” di hlm. 5 sama hlm. berapa lagi, aku lupa; “looked” di hlm. 60 yang harusnya “look” sebagai kata benda, bukan kata kerja; dan “area behavior” yang menurutku seharusnya “behavior area”. Yang terakhir ini maksudnya kayak area yang dikondisikan supaya nggak dikunjungi, karena terlalu rawan. Tapi, aku nggak bisa melogika “sikap suatu area” dari arti harfiahnya. Sama kayak “hot list promo merchant”—kenapa nggak merchant promo aja? Yha gitu deh. =w=

Di bahasa Indonesia, ada kata nggak baku kayak analisa, antri, lagipula (harusnya dipisah), apalagi yang seharusnya apa (spasi) lagi, juga “sebagai kompensasi” di hlm. 140. Yang terakhir ini juga menarik. Di paragraf, dijelasin kalo pemerintah udah membiayai pembuatan aplikasi IKA secara gratis. Terus, si IKA minta lagi supaya aplikasi ini ditanam di HP keluaran JS Corp aja, sebagai kompensasi. Aku bingung dong; udah dikasih gratis, kok malah minta-minta lagi sih? Ngelunjak banget?

Ada dua kemungkinan: penulisnya sengaja pake kata itu sebagai petunjuk, atau seharusnya diganti aja jadi “sebagai tambahan/sesuai perjanjian kontrak” si IKA minta supaya aplikasi itu dipake di HP JS Corp aja. :3

Satu lagi. Aku ngerasa banget world building di sini tergolong utopia. Aku sempat berharap si Gilang diajak ke task force buat dicuci otak jadi budaknya, kayak Tris (Insurgent) yang disuntik serum Amity terus jadi hilang kesadaran, atau Amy (Across the Universe) yang disuntik Phydus supaya nggak bisa mikir buat diri sendiri. Siapa tahu, kan, IKA mendeteksi pikiran Gilang yang mulai memberontak. Tapi tebakanku salah. Meski memang twist-nya sesuai harapan dan ekspektasi. Wkwkwk. (Aku juga suka waktu “wkwkwk” dibahas di sini.)

Kesimpulannya, cerita ini bikin pembaca sadar bahwa nggak semua masalah bisa diselesaiin dengan teknologi, secanggih apa pun itu. Manusia pun butuh berdiri buat diri mereka sendiri, memutuskan sesuatu sendiri, dan bahwa jadi beda (baik selera, pendapat, apa pun) itu nggak masalah.

Well, semoga makin banyak orang yang mau baca novel ini dan ikut tercerahkan dan tersadarkan. Four solid stars! >3<
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Febrina Maharani.
2 reviews33 followers
September 1, 2018
The storyline is as captivating as its bright orange cover. For me, it's a fresh reading material to begin in 2018. This book could be a friend of your cup of coffee and a self-reminder to be wary of everything we choose, we decide, and we do. In the world of full of opportunity, we should be wise in picking what exactly we need. "Ikan-ikan Mati" offers the most possible and arguably a social economic transition in Jakarta for the next few decades. Not only the machine might turn human down, but the elites get richer along with the fast-leading technology. All in all, "being yourself" is no longer an issue related to fitting in or taking risk, but it turns out to be more complicated as we, human gets older. Roy Saputra has wittily sums up the hesitation, opportunity, and dead-end options middle-class people have to face in order to survive.

However, I do expect more on the Citra-Gilang part to be delved deeper, as it seems they haven't finished it yet (in terms of changing status maybe). The way the couplet maintains their relationship is somehow unique, for I agree that we should passionately learn something in every relationship we are in, just like them. While, Gilang finally determines his own feeling by knowing Monita is not at the same page with him. That's a great choice of how he resolves his problem without technology. Good job!
Profile Image for MAILA.
481 reviews121 followers
January 17, 2018
Lucunya adalah, akhir tahun lalu saya mengubah username twitter saya jadi memancinggg karena saya merasa bahwa twitter itu seperti sebuah kolam yang berisi banyak ikan. Walaupun definisi "ikan" saya dan mas Saputra roy ini beda, tapi saya tidak bisa berhenti senyum pas baca.

Dan yang menarik lagi, saya sudah bisa menebak seperti apa cerita dan bagaimana saya akan diajak kenalan sama Gilang. Tebakan saya benar sehingga saya kurang bisa menikmati ceritanya dengan baik.

Tapi saya suka dengan ide masa depan yang ditawarkan si penulis. Sayang bahasnya banker mlulu. Lumayan bosan ya sama novel indo perasaan mengangkat banker terus hh.

Ringan dan cukup ngajak mikir.
Profile Image for Anas.
91 reviews6 followers
January 24, 2018
maaf,
bagian depan buku ini tidak seheboh testimoni para 'endorser' yg terpampang di cover depan maupun belakang buku.
sejujurnya, dari 300 halaman hanya 70 halaman terakhirlah inti dari buku ini.
230an halaman awal berisi humor² yang gak lucu² amat, cerita cinta yg berbelit² antara gilang dan citra, dan.. hey, monita(?) bagaimana akhirnya dengan monita?

2 bintang kiranya cukup.
Profile Image for Endrapta Dhiaz.
25 reviews1 follower
June 28, 2021
Bulan lalu, saya dilanda kebingungan karena sebuah promo online shop. Toko itu sedang memiliki promo beli 1 gratis 2. Karena saya ini memang fakir gratisan, saya sikat lah itu. Buku yang saya inginkan langsung masuk di keranjang belanja. Dua buku gratis ini yang membuat screen time e-commerce di hp saya berada pada angka 90 menit.

Akhirnya, saya mendaratkan salah satu pilihannya pada Ikan-ikan Mati karya Roy Saputra. Hari ini, saya selesai membaca buku ini dan bersyukur karena ini saya dapatkan secara cuma-cuma. Kalau saya membayar, perasaan nyesel itu akan sedikit muncul.

Ikan-ikan Mati bercerta tentang Gilang, seorang manajer di sebuah bank milik negara. Di era yang ia tinggali, ada sebuah aplikasi bawaan hp bernama IKA yang bertugas menjaga keharmonisan negri. Cara mereka menjaga keharmonisan adalah dengan menyaring unggahan para pemilik, dimana yang lolos hanyalah unggahan yang positif-positif saja. Unggahan ini nantinya bisa dibagikan ke Facebook dan bisa mendapatkan poin dari likesnya. Poin itu sendiri bisa ditukar menjadi diskon di restoran-restoran ternama.

Namun, poin itu bisa berkurang jika pengguna kedapatan berkata kasar. Singkat cerita, Gilang direkrut ke dalam task force IKA, ditugaskan untuk menjadi pengembang aplikasi tersebut. Enam minggu menjadi bagian dari IKA, Gilang menemukan kejanggalan yang membuatnya resah. Munculnya kembali sosok yang ia sukai saat dirinya masih di SMA juga menjadi salah satu keresaha n tersebut.

Melalui sinopsisnya di atas, Ikan-ikan Mati seperti menceritakan road to dystopian future kota Jakarta. Buku ini mungkin versi Indonesianya episode Black Mirror yang Nosedive, dimana Bryce Dallas Howard berperan seperti Gilang yang mementingkan jumlah poin yang ia dapatkan dari unggahan media sosialnya.

Ceritanya bisa dibilang mudah tertebak. Puncak dari permasalahannya juga sudah terbaca sejak membuka halaman pertama. Meski begitu, prosesnya mencapai klimaks cukup seru untuk diikuti. Letak serunya tentu karena bisa relate dengan kegiatan sehari-harinya yang tidak jauh berbeda dari kehidupan aslinya. Bahkan, perbedaannya bisa dibilang sangat tipis karena persis seperti apa yang saya lihat sehari-hari.

Akhir kata, buku ini memang bukan yang terbaik di genrenya. Namun, eksplorasi cerita seperti rasanya cukup menyegarkan bagi saya yang baru mulai kembali membaca buku-buku fiksi Indonesia.
Profile Image for Reyhan Ismail.
Author 3 books10 followers
November 13, 2018
Ikan-Ikan Mati yang ada dalam imajinasi saya adalah ikan yang tidak bergerak, mengambang di permukaan. Beberapa pemikiran itu sempat muncul ketika mempertanyakan kenapa Roy Saputra mengambil Ikan-Ikan Mati sebagai analogi orang-orang yang tunduk pada sistem teknologi yang ada pada dunia Gilang.

Yang kedua, saya tidak tahu kenapa buku ini seakan-akan menyalahkan 'objek' sebagai alat yang sengaja mengendalikan manusia. Padahal menurut saya, yang salah letaknya ada pada pikiran manusia. Tentang pilihan, eksistensi atau kebebasan privasi. Semua kembali lagi kepada pilihan sendiri. Kalo kau memilih menjadi pengguna yang fanatik atau pengguna yang biasa-biasa saja, itu pilihanmu. Semua letaknya ada pada pikiran, subjek bukan objek.

Setelah saya baca lebih lanjut, lembar demi lembar, saya menemukan ke mana Roy Saputra membawa semua akar di balik masalah ini. Di selingi dengan beberapa punchline absurd tak terduga yang membuat jalan cerita menjadi menyenangkan dan tidak membosankan.

Akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa semua pola teratur itu, semua kebiasaan yang monoton itu, garis besar permasalahannya ternyata ada pada sistem yang sengaja di buat untuk kepentingan kekuasaan satu kelompok. Saya tidak tahu ini ada hubungannya tentang kapitalisme atau tidak. Saya sendiri juga belum terlalu mengerti tentang itu.

Yang jelas, Ikan-Ikan Mati menurut buku ini adalah satu titik pemikiran yang tak punya kendali atas pikirannya, lalu berkumpul menjadi gerombolan titik yang kehilangan kendali untuk memilih. Berenang ke sana ke mari seperti seekor ikan yang di jatuhi sebutir biji makanan dari satu tempat ke tempat lain.

Dengan Ikan-Ikan Mati ini, Roy Saputra menurut saya berhasil menyinggung dengan halus. Kisah cinta segitaga antara Gilang, Citra dan Monita juga berhasil menjadi bumbu pemanis untuk menghaluskan pesan yang ingin di sampaikan lewat tiap gestur dari karakternya.

Cerita Gilang dkk barangkali belum terjadi sepenuhnya hingga hari ini. Belum ada aplikasi yang bisa merepresentasikan IKA yang ada pada dunia Gilang dengan aplikasi yang ada di jaman sekarang. Tapi dengan dengan membaca buku Ikan-Ikan Mati, setidaknya kita bisa menyadari itu terlebih dahulu sebelum semuanya sempat terjadi.
Profile Image for Aldila Sakinah Putri.
83 reviews
February 27, 2022
"Selama ini matanya hanya menyaksikan dunia dari layar sebesar 7 inci yang mempertontonkan segala sesuatu yang ingin dilihat penggunanya. Potongan-potongan kehidupan yang tak pernah diketahui bagaimana proses di belakangnya." (Hal 265)

Namanya IKA (Indonesia Kindness App) aplikasi milik pemerintah yang merupakan sahabat bagi semua orang, tak terkecuali Gilang. Hidupnya diisi dengan selfie, posting, mendapat like sama dengan mendapatkan poin yang bisa ditukarkan ke merchant yang terdaftar di IKA. Semakin sering diunggah, semakin banyak diskon dan promo menarik.

Namun, pertemuannya dengan Citra membuat Gilang berpikir ulang tentang IKA. Aplikasi kekinian yang mempunyai banyak teori di belakangnya. Akankah Gilang dapat menemukan jawaban yang ia cari selama ini?

Buku ini termasuk novel fiksi ilmiah yang berhubungan erat dengan dunia IT dan media sosial. Ditulis pada tahun 2017 dan setengah teknologinya telah hadir di dunia nyata pada penghujung tahun 2021.

Betapa ceritanya menggambarkan kehidupan saat ini, tidak kenal tempat tidak kenal waktu, semua orang melakukan selfie dan mengunggahnya di media sosial hanya untuk mendapat like. Aku merasa tertampar 🤦

Eits, jangan salah! Buku ini tidak hanya berisi dunia IT kok, cerita cinta Gilang juga turut mewarnai, ditambah pula kekonyolan "gerombolan sirkus" yang membuat sakit perut 😆

Lalu, apa hubungannya dengan ikan-ikan mati? Cuz baca kuy, biar tahu jawabannya 😉

"Sekarang atau nanti, kita pasti harus memilih. Karena hidup ini memang tentang pilihan. Sampai kapan kita nggak nau belajar mengambil risiko atas keputusan yang kita ambil? Mau terus bergantung pada aplikasi?" (Hal 278)
Profile Image for Faridilla.
66 reviews
December 8, 2017
Berada di antara pilihan memilih Monita yang kekinian atau Citra yang anti mainstream, membuat saya sempat mengira novel ini adalah novel bankir penuh romansa mirip dengan karya Ika Natassa. Ternyata bukan. Ikan – ikan mati lebih dari itu. Saya malah teringat dengan Negeri Para Bedebah karya Tere Liye yang berisi konspirasi dan aksi heroik tokoh utama. Jalan ceritanya bisa dibilang gak ketebak

Alurnya tak melulu menceritakan Gilang di masa kini. Penggambaran seorang Gilang dan gerombolan sirkus teman-temannya di kantor serta Monita terasa pas sebagai kaum menengah milenial muda jaman sekarang yang mungkin bisa dibilang ikan-ikan mati. Cuma ngikutin arus doang.

Novel ini mungkin bisa dibilang sebagai bentuk sindiran sosial hasil observasi dan keresahan Roy Saputra sebagai penulis akan fenomena yang ada saat ini. Ceritanya tidak sesederhana yang saya bayangkan . Jujur, karena di luar ekspektasi, saya ngerasa kehibur banget baca novel ini.


Review lengkap ada di : http://fainun.com/review-ikan-ikan-ma...


Profile Image for M Adi W.
17 reviews
December 13, 2021
Jujur aku baca buku ini tanpa punya ekspektasi dan gambaran apapun. Tapi, first impressionku waktu baca awal2 buku ini bener2 "wahh" gitu. Sukakk banget sama konsep ceritanyaa🤩
Berlatar di Jakarta pada masa depan yang mana menceritakan sekumpulan kaum urban yang hidup serba ada kemudahan. Cerita yang disajikan bener2 ciamik dengan plot yang cukup bagus.

Awalnya kukira ini novel metropop pure romance, tapi ternyata romance nya hanya sekadar pelengkap cerita ajaa dengan ditambahi bumbu2 misteri dan konspirasi. Ditambah di beberapa bagian aku merasa tersindir dengan beberapa kalimat yang kek "Wahh iya juga..." Seperti itu gitu... Novel ini juga diselipin beberapa comedy tapi menurutku maap agak garing:"

Selain itu, menurutku ending yang disajikan cukup menggantung yang mana ada beberapa hal/kejadian/tokoh yang ga diceritakan bagaimana akhirnya.

But overall yaa novel ini cukup menghibur dan bisa jadi renungan sii di beberapa kalimatnya🤩🤔

Cukupp recommended! 🌠4/5
Profile Image for Aro~.
232 reviews9 followers
March 16, 2022
Buku ini seolah menyindir kehidupan manusia masa kini yang serba bergantung ke gadget dan internet. Meski tak seratus persen serupa, ada banyak aspek media sosial yang mirip dengan IKA. Fitur-fitur yang disetujui begitu saja tanpa dipahami. Pelanggaran privasi pengguna. Penggunaan data pengguna. Tentu saja tak lupa diskon besar-besaran dengan menggunakan sistem pembayaran tertentu.

Tanpa kita sadari bahwa kita sebenarnya tak benar-benar diuntungkan. Padahal sebenarnya kita sedang diikat pada "tawaran" yang akan mengikat begitu erat.

Buku ini menawarkan topik yang seiring berkembangnya zaman justru semakin terasa dekat dengan kehidupan. Kemajuan teknologi, kemudahan berkomunikasi, bertransaksi, dan berkomunikasi yang tak urung juga turut menghadirkan "oknum cerdik" yang memanfaatkan fitur-fitur yang tersedia guna kepentingan pribadi.
Profile Image for Edotz Herjunot.
Author 5 books14 followers
July 17, 2021
Membaca buku ini di tahun 2021 ternyata ada beberapa 'masa depan' Roy Saputra yang sepertinya jadi kenyataan.

Diskon gede di Grabfood misalnya, banyak orang-termasuk saya yang lebih suka milih makan karena diskon gede bukan karena pengen makan apa. Kadang malah makanan yang dateng ternyata nggak sesuai ekspektasi.

Tentang Citra dan Monita juga terlihat klise banget sih sebenernya. Gilang ketemu cinta lamanya terus ada orang baru yang lebih istimewa datang.

Terakhir, walaupun untuk babak penyelesaian konfliknya agak maksa banget, saya ngerasanya jadi kayak di adegan komedi. Security yang tampak bodoh, wifi yang jadi lemot bikin cctv patah2 gara2 dipake download film sama Jay. Tapi secara keseluruhan novel ini asik dinikmati
Profile Image for Zulfa Noor.
6 reviews1 follower
August 31, 2018
Jika ingin dan suka membaca cerita-cerita dengan latar dunia alternatif, terutama dunia alternatif ibukota Jakarta, ini adalah bacaan yang sangat merasa pulang. Pulang ke masa depan lebih tepatnya. Karena latar Jakarta di buku ini yang sudah jauh di depan, namun dengan permasalahan yang itu-itu saja namun lebih tech-savvy. Kalau kalian pernah menonton atau pernah tahu sekilas tentang serial televisi Black Mirror dari Netflix, ini adalah novel yang terasa seperti itu, mungkin juga terinspirasi dari serial tersebut. Pada akhirnya, buku ini adalah buku yang PAS. Romansa ada, fiksi ilmiahnya ada, humor nya pun ada. 8.5 / 10 rekomen.
Profile Image for Heru Prasetio.
210 reviews2 followers
December 28, 2021
Novel fiksi masa depan tentang gaya hidup anak muda di bawah satu komando teknologi. Mereka seperti diperbudak media sosial dengan iming-iming diskon saat belanja online atau offline. Kasus yang diangkat cukup 'ngena' dengan bau menyengat ala kapitalisme.

Kisah cinta yang dibuat bagus dan tidak membosankan serta diselipi beberapa humor yang buat kita ketawa di sela-sela cerita. Kekurangannya ada beberapa typo yang masih bisa dimaklumi dan kalau dikategorikan ini novel sastra atau bukan, jawabannya tidak.
Profile Image for Vira.
14 reviews
December 19, 2021
Ide cerita yang menarik. Tapi sayang alurnya kurang greget menurutku. Terlalu lambat di bagian awal. Konfliknya baru kerasa di 1/3 bagian terakhir. Cara Gilang mengalahkan mafia (yang notabenenya orang besar dan punya akses dimana-mana) dipaparkan penulis dengan terlalu mudah. Masa sekali "pukulan" langsung kena sih? :D jadinya kurang seru.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for sar!.
3 reviews
July 23, 2022
haii(。•̀ᴗ-)✧
buku ini menceritakan tentang bertahun-tahun ke depan yang dimana banyak perubahan perilaku apalagi millennials yaaa, cukup tersindir sih pas baca, aku gabisa review maaf ya jadi yaudah baca aja heheh oke byee(。•̀ᴗ-)✧
1 review
October 16, 2017
Not bad.
Suka banget pas bagian Citra ngomong " Why do we have to be the same? Kita bukan ikan-ikan mati kan Lang?"
Ngena banget 👍
Nyentil tapi tetep rapi 👌
Profile Image for Ayah & ibu.
52 reviews1 follower
January 8, 2018
Buku bagus,
Memang kita sudah ke arah itu si, walau namanya bukan IKA, tapi namanya media sosial...

Hehehe

Semoga ga parah2 amat si aku sama media sosial

Hahah
Profile Image for andhikamppp.
12 reviews
January 15, 2018
Renyah, sederhana. Tapi dengan imajinasi yang luar biasa tentang apa yang 'mungkin' akan terjadi di negeri ini beberapa tahun kemudian.
Profile Image for Safiera Gassani.
19 reviews4 followers
February 11, 2018
Started out with an interesting storyline but dragging down as the pages go. I do like the idea of the app though (minus the commercial gimmick behind it)
Profile Image for Daniel Pardede.
1 review
January 27, 2019
witty. conflict of author self-idea of future's social media and his conscience about being OG.
Profile Image for Titis.
21 reviews
May 5, 2020
Ceritanya ngalir... buat penasaran buat nuntasin. Juga ngebuka pikiran tentang perkembangan zaman. Bagus pokoknya.
Profile Image for Ann21.
11 reviews
June 18, 2022
Suka banget deh sama buku ini, cukup menggelitik dibeberapa bagian.
Profile Image for Ayu Lestari.
15 reviews1 follower
September 3, 2017
Buku yang bikin ketawa sekaligus mikir. Bikin tersipu malu gara-gara cerita manis Gilang dan Citra. Well, Roy sukses menceritakan Indonesia puluhan tahun kedepan dengan cara yang menarik.
Bercerita tentang Gilang, karyawan kelas menengah ngehek yang terjebak dalam kerumitan...kenapa harus dipaksa sama, padahal berbeda bukanlah kesalahan 😀 review lengkap menyusul ya 😊
Profile Image for Puty.
Author 8 books1,377 followers
September 12, 2017
Sebagai pembaca beberapa karya Roy sebelumnya, ini favorit saya. Ide dan konsepnya jenius, 5 bintang, semacam Black Mirror versi komedi Indonesia dengan topik utama: kelakuan kelas menengah ngehe. Satire banget. Jokes-jokesnya bikin saya ketawa. Romancenya dapet, walaupun endingnya ketebak.

Terus kenapa nggak 5 bintang? Nggak suka endingnya karena terlalu ala ala film-film komedi agen rahasia.

Nevertheless, saya merekomendasikan banget novel yang segar ini untuk bacaan ringan tapi filosofis. Gimana coba ringan tapi 'dalem'? Bingung kan? Baca aja pokoknya hehehe ;)
2 reviews
May 18, 2018
"Why do we have to be the same? Kita bukan ikan mati kan, Lang?"



Roy Saputra berhasil membuka pikiran pembacanya, termasuk saya, tentang masalah serius yang sedang dialami millenials saat ini; kecanduan teknologi.

Bacaan yang ringan tetapi cukup 'menyadarkan'. Saya selaku pembaca remaja pun tersentil di beberapa bagian novel ini. Saya sepakat dengan amanat yang penulis coba sampaikan; Jangan mau dikuasai oleh teknologi, sebab kita bukan ikan-ikan mati yang pasrah mengikuti kemana arus berlari.

Hanya saja, bumbu humor di novel ini agak berlebihan dan beberapa kali justru terkesan 'maksa'. Juga, endorsement dari beberapa tokoh yang tercetak di halaman sampul juga membuat ekspektasi saya melambung terlalu jauh. Padahal nyatanya, isi dari novel ini sendiri tidak se-'wah' apa yang para tokoh itu gambarkan— setidaknya bagi saya. Yah, ini semua hanya masalah selera.

Secara keseluruhan, buku ini cukup nikmat untuk dibaca kala senggang. 4 bintang untuk Roy Saputra.
Displaying 1 - 29 of 29 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.