"Diperlukan keterampilan sastrawi untuk mengubah luka batin menjadi sebuah roman. Jenis sastra ini semakin dibutuhkan di zaman sekarang agar depresi bisa dialami sebagai pengalaman estetik. Jangan minum pil anti depresi, tapi bacalah buku ini." (Ayu Utami, penulis)
"Cerita-cerita karya Angelina Enny adalah cerita-cerita yang dingin. Ia bercerita tanpa tendensi, apalagi menyodorkan kebaikan-kebaikan dari tokohnya. Ia membiarkan tokoh-tokohnya hadir di hati pembaca sebagaimana adanya. Plotnya yang mengalir, membuat kisah-kisah yang ia ungkapkan sangat mudah dan menarik untuk terus diikuti. Walau misalnya, ia harus mengisahkan lompatan-lompatan waktu lewat mimpi, tetapi tidak terasa bahwa kisah itu janggal. Sekali Anda membaca buku ini, sungguh sulit melepaskan diri dari cengkeramannya." (Putu Fajar Arcana, editor cerpen Kompas Minggu)
ANGELINA ENNY is a writer from Kotabumi, Lampung, who now resides in Jakarta, Indonesia. Her stories "Nokturnal Melankolia" (Gramedia Pustaka Utama, 2017) was named to the Long-list of Kusala Sastra Khatulistiwa. She published the poetry collection "In Between, Di Antara" (Kepustakaan Populer Gramedia, 2019), alongside Dutch artist Robin Block and translated it into the performance form "A Passage, Sebuah Antara." Her script, "The Fifteenth Night" about the May 1998 riots, was longlisted for the Jakarta Film Fund in 2021. She just wrote "Finding Sita in the Indies" (Kepustakaan Populer Gramedia, 2024), a novelette on the search for identity during colonial times.
Aku lupa sudah punya buku ini, kira-kira sudah teronggok berapa lama, ya?
Tulisan-tulisan Angelina Enny di kumpulan cerita ini memiliki ciri khas, tapi menurutku justru jadi semacam template dengan formula yang mirip-mirip; apalagi cerita-cerita di buku ini lebih cenderung ke flash fiction saking pendeknya. Ada beberapa yang aku suka; tapi nggak membekas. Aku bahkan lupa apa yang aku suka saat menutup buku ini.
Buku ini akan aku taruh di kafe, semoga langsung ada yang adopsi secara cuma-cuma. :D
Aku suka deh gambar si mpus dan bulan di kover buku... cantik banget! Tapi beneran deh, benci banget sama font judulnya... ih!
Sampul dan judulnya sudah teramat memikat. Bagaimana isinya? Terdapat 16 cerita pendek di dalamnya. Sesuai dengan testimoni dari Putu Fajar Arcana di sampul belakang, cerita yang ditulis adalah cerita yang dingin. Jangan berharap tokoh baik-baik di dalamnya. Kisah di dalamnya penuh kedepresian. Namun itulah menariknya. Kita seperti berkaca tanpa digurui mengenai konflik di kehidupan manusia: penerimaan diri sendiri, pemuasan batin, pengharapan yang tak sampai, dan lainnya. Ketakjuban saya bertambah karena kejeniusan Angelina Enny memilih sudut padang. Yakinlah, pembaca akan sering salah menerka si aku di dalam kisah ini siapa. Salah satu contoh, penulis bisa mengambil boneka seks sebagai sudut pandang! 'Perempuan Penari' juga merupakan salah satu cerita dengan PoV terbaik yang pernah saya baca. Tidak akan saya ulas di sini alasannya, Anda harus membaca sendiri dan menyimpulkan sendiri. Secara keseluruhan, saya menikmati membaca semua cerita di dalamnya. Berkali-kali saya menggelengkan kepala akan masalah yang dihadapi si tokoh dan akhir pahit yang harus mereka terima. Kepahitan yang disajikan dengan amat cantik oleh tulisan Angelina. Rupanya penulis berguru dengan Ayu Utami. Barangkali salah satu faktor semua ceritanya bisa sarat makna. Saya sedang membaca buku panduan menulis Ayu Utami, dan pematangan ide adalah hal penting yang beliau utarakan. Sehingga cerita di dalamya tidak asal sedih. Karena buku berupa kumpulan cerita pendek, Anda bisa membacanya melompat-lompat. Tentu pas untuk Anda yang sering tak sabaran dengan panjangnya alur novel. Salah satu minus dari buku ini menurut saya adalah ketiadaan sinopsis singkat. Bagi saya, penempatan sinopsis, atau setidaknya deskripsi umum buku, bisa diberikan di sampul belakang. Jangan hanya mengandalkan testimoni, sekalipun testimoninya dirasa hampir mewakili isi buku. Kritik ini saya berikan kepada buku-buku lain yang beredar. Terjunlah, rasakanlah, duka yang teramat anggun menyayat jiwamu. Angelina Enny menjadi salah satu penulis jenius versi saya. Akan saya nantikan karyanya selanjutnya.
Sebagai penulis debut, Enny termasuk yang --menurut saya-- sudah memiliki ketertarikan khusus. Dia berusaha untuk tenang membuat alur, tidak terburu-buru, meski pun tekniknya masih cenderung aman dan konvensional. Enny juga tidak terburu-buru membuat tikungan ending, twisted ending yang terburu-buru.
Di cerpen pertama Veronika Memutuskan untuk Mati, saya sudah bisa menebak endingnya akan begitu. Meski menjelang akhir Enny seolah kehilangan arah, tapi itu tidak menjadi soal. Namun tebakan saya sedikit meleset di La Jolie Chat, yang menjadi cerpen favorit saya. Di cerpen ini, kesepian menjadi sangat kentara sekali. Meski karakter si madame masih bisa digali menurut saya. Dan endingnya bikin nyesek sekaligus ketawa. Ending tertebak 100% di Cupcakes Untuk Kaka. Enny terlalu fokus mengeksplor personal, sehingga pembaca akan sudah menebak bahwa ketidakhadiran tokoh lain ini akan berujung pada persoalan psikis tokoh ibu di sini. Dan memang benar.
Saya juga suka Gloomy Sunday, sedikit surealis. Di cerpen Barbie (agak gemetar pas adegan seksnya, keekeeee) juga berakhir dengan sedikit surealis. Mungkin kalau saya akan memilih adegan kekasih gelap ini menjadi satu dari sekian banyak boneka barbie yang ada dalam kamar si pejabat. Keekeee, ini kan kalau saya.
Tetapi suara penulis terlalu banyak masuk di cerpen Betina. Terutama di bagian awal soal cerita kali angke, kemudian cerita China dan pemilik kota yang juga China. Padahal menurut saya ceritanya akan lebih enak dan twisted endingnya dapat, kalau lebih fokus ke soal romansanya.
Tetapi, apapun itu, selamat Enny. Aku jadi ngiri sama kamu.
Buku ini kumpulan cerpen berkisah kehidupan kebanyakan diaduk dengan sedikit misteri. Hampir semua cerpen menceritakan akhir yang sedih Dan membuat pembaca penasaran. Menurutku disitu yang menarik dan aku suka. Pembaca dibuat sedikit terkecoh pada akhirnya. Potongan misteri sengaja dibuat supaya pembaca berimajinasi dan menjawab sendiri misterinya.
--- Veronika Memutuskan Untuk Mati. Keinginan mati Veronika bukan karena penderitaan-penderitaan yang dia alami, lebih kepada kesedihan orang lain. Yang menarik adalah latar cerita orang lain yang ditemuinya.
La Jolie Chat. Cerita seorang madam kesepian yang tinggal bersama kucing, ia berjuang menarik perhatian pujaannya. Yang menarik adalah latar kota di perancis dan akhir cerita yang miris.
Matinya Seekor Kucing Hitam. Cerita misteri tentang kucing hitam yang mempunyai sembilan nyawa. Ia selalu menolong tuannya. Yang menarik adalah akhir cerita menjadi misteri.
Akhir cerita berikutnya hampir seperti ini penuh misteri dan logika diputar balik. --- Hampir semua cerpen bisa ketebak akhirnya setelah membaca cerpen pertama hingga ketiga kecuali cerpen Betina. La Jolie Chat, Cupcake untuk Kaka dan Malam Kelima Belas paling favorit. La Jolie Chat karena latar perancis, kocak, sedih dan nelongso, sampai kepikiran rasa sedihnya kehilangan seekor kucing daripada kekasih, menurutku. Cupcake untuk Kaka dan Malam Kelima Belas buatku favorit karena cerita tentang keluarga, sangat menyentuh.
Nokturnal Melankolia ini adalah Kumpulan Cerpen karya Angelina Enny , teman seperguruan Kursus Menulis Kreatif yang diampu penulis kondang Ayu Utami.
Saya membacanya sampai habis dengan rasa bungah lagi bangga. Tentu saja ada rasa kompetisi pada saat membaca karyanya-rasa ingin membuktikan, sebagus apa...
Nyatanya memang saya menyukainya dan mendapati kekuatannya pada setting dan karakter yang 'versatile'. 16 cerpen disajikan dengan tutur mengalir dan pindah dari satu cerpen ke cerpen lain seperti pindah wahana karena dari Bandung, Padang, Paris, yaaa Bandung, Padang, Paris secara setting dan karakter-karakternya. Warna-warni ini membungkus benang merah 'drama muram/depresif'-genre favorit saya.
Cerpen favorit saya pada buku ini 'Gloomy Sunday' dan 'Cemani yang Tak Mau Pergi'. Tak heran yang terakhir dimuat pada Kompas Minggu beberapa waktu lalu...
Murid ulet yang belajar dari nol dan malang melintang menimba ilmu pada Kursus Menulis Cerpen Kompas, juga Kursus Menulis Fiksi yang diadakan Tempo, finally you made it!
Untuk yang menghargai proses belajar dan mempunyai hasrat menulis, dapatkan cerpen ini yang sudah tersedia di Gramedia... asyik dibaca dan saking asyiknya tiba-tiba sudah sampai ending dan....Damn! Anda yang meleng dikit aja terpaksa membalik-balikkan halaman-halaman sebelumnya mencari detail untuk memecahkan ending yang ambigu..
Menarik, ada belasan cerita di dalamnya yang mengisahkan tentang kepiluan. Masing-masing cerita dituturkan dengan gaya bahasa yang rapi dan indah. Saya suka dengan gaya bahasa penulis.
Hampir semua cerita menggugah rasa penasaran saya. Setiap memulai cerita,saya langsung bertanya bagaimana endingnya, kejutan apalagi yang ada di akhir cerita. Walau terkadang akhir cerita sulit saya cerna namun ada beberapa akhir cerita yang saya suka seperti Cupcake untuk Kaka, Betina, dan Barbie.
Oh ya, saya tidak ada masalah dengan buku ini, hanya saja saya agak tergelitik dengan kata-kata dari Ayu Utami di belakang sampulnya yang mengucapkan bahwa depresi bisa dijadikan pengalaman estetik. Walaupun off topic, tapi entahlah, saya memang kurang setuju dengan romantisasi depresi. Percayalah, depresi tidak seindah itu.
Walau begitu, sayaa tidak menilai novel ini dari kata-kata di balik sampulnya kok. 😁
Saat pertama lihat cover dan judulnya, saya tertarik sekali. Membayangkan cerpen-cerpen di dalam buku ini akan bertema gelap dan psikologis yg kelam, seperti yg coba disampaikan pada sinopsis di cover belakang. Saya pun agak berharap agar bisa menemukan kembali rasa "girang yg kelam" seperti saat membaca Orang-Orang Tanah dari Poppy D. Chusfani, nyatanya buku ini beda jauh.
Tiap cerpen dalam buku ini ceritanya gantung. Bukan twisted ya, ingat, beda. Kisah-kisah ini ngegantung, seakan si penulis gak tau gimana cara ngelanjutin isi cerita. Beda dengan ending twisted, yang bikin pembaca terheran-heran / shock dan bikin banyak kemungkinan lanjutan dari isi cerita yang bisa berkembang bebas sesuai imajinasi pembaca. Cerpen-cerpen dalam buku ini justru buntu. Gak jelas ngarah kemana. Entah maksudnya mau dibikin puitis yang gelap atau gimana. Tapi yang pasti, tiap ending dalam cerita ini tidak menghasilkan apa-apa. Lempeng. Kering. Lewat begitu saja. Tidak ada kesan.
Membaca tulisan Mbak Enny, seperti menikmati sebuah perjalanan yang menyenangkan tapi ternyata di ujungnya ada jurang yang dalam dan mau tidak mau kita harus melompat ke sana karena jalan balik sudah tertutup tembok besar yang hadir tiba-tiba.
Cerita-cerita pendek di Nokturnal Melankolia ini kebanyakan berawal manis, enak dibaca, namun begitu tiba sampai akhir, mencengangkan. Namun, itulah yang membuat saya tertarik membacanya dan bikin buku ini sukses ada di tangan saya terus-menerus.
Uniknya, saya perlu "beristirahat" setiap habis menyelesaikan satu cerpen. Karena Mbak Enny sukses membuat saya terengah-engah kaget, atau berkomentar "Gila..." atau "Ck..ck..ck..". Satu buku yang wajib kamu baca, kalau kamu sudah bosan dengan roman-roman berakhir manis seperti kisah Cinderella :")
Bravo, Mbak Enny! Aku menunggu karyamu selanjutnya, ya!
Kumpulan kumpulan cerita sendu dan pilu yang disajikan seramah dan "sepalsu" mungkin (agar tidak terlihat sedih sedari awal cerita). Kesedihan dalam cerita ini sering kali diawali dengan kehangatan yang biasa ditemui dalam kehidupan masyarakat: cinta. Walau pada akhirnya, yaaaaaa begitu. Awal dan akhir pada cerita cerita di buku ini sudah seperti keniscayaan, namun proses yang menghubungkannya selalu menarik. Ada kalanya dimana saya tidak menyangkan bahwa akhir dari cerita tidak akan sedih dikarenakan proses pembawaan cerita yang selalu menyenangkan, namun akhirnya saya salah ("Malam Kelima Belas"). Bila sedang gundah gulana dan membutuhkan komparasi nasib, buku ini bisa jadi salah satu opsinya
Cerita-ceritanya bukan selera saya. Banyak di antara ceritanya yang berakhir dengan tidak tuntas (bagi saya). Tidak tuntas ya, bukan nggantung. Cerita nggantung itu seolah kita diberi twist, tapi penulisnya ngenyek dan langsung menyetop ceritanya. That's cool. In fact, that is super cool. I love nggantung stories that screwed with my mind. Cerita tidak tuntas, di sisi lain, seolah kita nonton film donlotan, tapi 15 menit sebelum filmnya habis, ternyata filenya corrupt jadi nggak bisa lanjut nonton ;))
Namun, kisahnya sama sekali bukan kisah yang biasa suka kubaca, dan aku tidak yakin aku suka. Karena twist kisah itu tidak apa-apa, tapi kisah yang digantung seakan-akan penulis tidak tahu bagaimana harus mengakhiri kisahnya itu menyebalkan. :)) Kalau penulis menuntaskan satu kisah, pembaca yang tidak puas bisa menyambung dalam bentuk fanfic, tapi kalau digantung, koq rasanya gimana gitu. =.=a
Harus kubilang, kisah di buku ini cenderung dark. Mungkin banyak yang suka, tapi aku tidak.
There are several short stories in this book. Most of them are not the happiest one, actually they are little lonely, little sad and dark but delivered in nice and interesting way. The writer write each stories like unfolding papers, pieces images was told frame by frame like a mystery. As the reader, after finishing the book, and we know this is her debut, the dots were connected. But this a light reading to kill your times and reading this book was like feeling short and light wind to just saying hello or good night, there is still tomorrow awaits us.
Gimana ya? The first short story compilation I read after a long time, and I'm upset. Kinda.
Literally cuma tiga cerita yang membekas di pikiran. Sisanya? Ada beberapa yang alurnya pun bahkan gue gak inget. The plot twists are either forced or too weak (except the ones in those three stories that I actually like, of course), dan 'melankoli'nya bener-bener gak nyampe ke hati.
Kamu ingat film Melancholia karya sutradara Lars von Trier, yang dibintangi oleh Kirsten Dunst? Buku ini meninggal kesan yang sama begitu usai membacanya. Hampa. Kehampaan yang wajar mengingat baru saja digeber oleh 16 cerita pendek yang kesemuanya tragedi. Layaknya film Melancholia yang dari awal film kita tahu semua tokohnya akan mati. Walaupun selalu bisa dipastikan tokohnya akan berakhir seperti apa, tetapi twist masing-masing cerita patut dinantikan dan dirayakan karena begitu rapi.
Depressingly compelling. This book contained short story with each plot twist. Even one of the happier story has it's own gloomy tragedy behind the cheery words. Each story portrays their own agony. Can't even decide which one of my favorite story. But my favorite part goes to the part where the main character told the readers about how she cut her hair short because her past lover loves her long and beautiful hair.
Jarang banget baca karya sastra seperti buku ini, tapi waktu ngeliat list 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa ke-18 tahun 2017-2018, dan ada Nokturnal Melancholia, duh judulnya saja mengelitik. Dan ternyata cerita-cerita dalam buku ini memberikan aura yg sama. Agak-agak melankolis, dengan cerita khas kehidupan sehari-hari yang rumit, sendu hingga kelam. Susah buat di jelaskan dengan pasti, hanya bisa dirasakan saat membaca ceritanya saja. Tapi yang pasti saat menyelesaikan buku ini saya mengerti kenapa Nokturnal Melankolia bisa masuk sebagai sepuluh besar Kusala Sastra Khatulistiwa 🙂
Buku ini adalah bukti bahwa penulis2 baru di Indonesia sama sekali tidak bisa dipandang sebelah mata! Nokturnal Melankolia ini berkutat pada karakter2 yang kehidupan nya sama sekali tidak baik-baik saja. Baca buku ini saat menyendiri di malam hari, dan rasakan kesedihan yg dialami karakter2nya.
Buku ini bahasanya to the poin, sampe wkt baca bab pertama terheran-heran bgt. Tp lanjut halaman selanjutnya bikin ketagian baca lagi dan lagi.. Mau brapa kali aq baca rasanya ngak bosen ajah.. Walao tipis tp isinya menurutku bagus bgt 👍🏻
Selesai, itu yang paling penting. Cerpen-cerpennya cukup ringan dan berbobot buat jadi camilan, tapi aku nggak nemu sesuatu yang nancap banget di otakku. Setelah selesai, ya udah gitu aja.
Siapa yang tak pernah didera rasa kecewa? Setiap dari kita pasti pernah mengalaminya. Namun, sering kali kita menutupinya dengan seuntai senyum. Membiarkan semua mengendap dalam benak hingga sewaktu-waktu endapan itu meledak tanpa isyarat.
Namun, Angelina Enny tak segan-segan untuk menyuarakan kegelisahan yang dialami setiap karakter dalam ceritanya. Pergumulan yang bisa jadi tengah kita alami dan kerap memenuhi benak tatkala malam tiba. Kita pun kerap didera insomnia. Nokturnal Melankolia.
Salah satu cerita dalam kumpulan cerpen ini berjudul La Jolie Chat. Adegan demi adegan dibangun secara cerkas oleh Enny untuk menggambarkan keminderan Madam Jeanette-Ludy akan penampilannya. Seperti ketika ia meminta Remy, seorang pelukis jalanan yang tengah ia gandrungi, melukis kucing kesayangannya, Coco.
“Dia kesepian karena tidak ada betina yang menginginkannya,” kata Madamme Jeanette-Ludy sedih. Entah ia sedih atas empatinya terhadap Coco atau karena kisah Coco yang dibuat alasan untuk menggambarkan dirinya. Berbeda dengan Catherine yang mudah berkencan dengan lelaki, Madam Jeanette-Ludy tidak berkencan sejak suaminya minggat setahun lalu. Ia tidak begitu percaya diri dengan tubuhnya yang tidak semolek Catherine.. .” (Hal. 25)
Sedangkan dalam Betina, Enny seperti mengajak kita untuk mengenang mantan Gubernur DKI yang telah banyak berjasa dalam memperbaiki Ibukota ini. Kali Angke dipilih Enny untuk menjadi latar cerita tersebut.
Dan jika kita merasa jenuh dengan suasana kehidupan urban, Enny mengajak kita untuk ‘bertamasya’ ke pedalaman Sumatera, di mana kepercayaan kepada dukun masih disahihkan. Dalam Cemani yang Tak Mau Pergi, kita diperkenalkan kepada Mak Etek, seorang dukun yang cukup dielukan di kampungnya dan kerap dimintai ‘nasihat’ oleh warga. Salah seorangnya adalah Datuk yang tengah limbung lantaran ladangnya telah beberapa kali gagal panen.
Saya cukup menikmati buku ini. Karakter tokoh dan latar yang beragam, serta kepiawaian Enny dalam mencampuradukkan ide cerita dengan berbagai elemen menarik (seperti sejarah dan misteri), membuat kisah depresif yang ditorehkan justru tidak terkesan terlalu muram.
Saya merekomendasikan buku ini bagi mereka yang telah bosan dengan cerita picisan yang selalu berujung pada ‘happy ending,’ seolah-olah kesedihan dan kesuraman hidup adalah tabu yang harus disangkal keberadaannya. Selain itu, buku ini juga baik bagi mereka yang tengah gundah dan hampir mencapai titik kelam, jangan terburu-buruh membeli pil anti depresi. Beli buku ini. Membaca buku ini melahirkan pemahaman bahwa it is okay not to be okay and you are not alone in this. Keenam belas kisah dalam kumpulan cerpen ini akan menemanimu.
Semoga masa-masa kelabu tak membuat kita semua gegabah untuk mengakhiri hidup. Seperti yang pernah diucapkan Mendiang Carrie Fisher:
“Take your broken heart, make it into art.”
Sepenggal kalimat yang pernah diucapkan pemeran Princess Leia itu seakan menjadi jiwa dalam setiap cerita pendek yang disuguhkan oleh Enny. Harapan saya, semoga kisah-kisah tersebut bisa menjadi sumbu yang menerangkan kita semua saat kita sedang mencapai titik gelap.