What do you think?
Rate this book
248 pages, Paperback
Published September 1, 2017
Burung layang-layang itu terbang kembali ke Pangeran yang selalu Bahagia itu, dan melaporkan apa yang telah dikerjakannya. “Aneh sekali,” katanya, “rasanya udara lebih hangat sekarang, meskipun dingin sekali.”
“Karena kau telah berbuat baik,” kata Pangeran. Dan burung layang-layang kecil itu termenung.(Hal.9)
“Aku pasti sudah menciptakan peristiwa yang hebat,” kata roket, dan ia pun mati. (Hal. 69)
“Bergembiralah,” seru Burung Bul-bul, “bergembiralah; karena engkau akan mendapatkan setangkai bunga mawar merah. Aku akan membuatnya dengan suara musik dan cahaya bulan, dan melumurinya dengan darah hatiku sendiri. Yang kuminta darimu sebagai imbalannya adalah kau harus menjadi kekasih yang sejati, karena cinta lebih bijaksana dari filsafat, meskipun filsafat itu bijaksana, cinta lebih kuasa daripada kekuatan, meskipun kekuatan memang kuasa. Cinta memang sangat indah dan manis.” (Hal. 78)
Semua orang berlutut penuh hormat, dan acara penobatan pun dimulai, dan wajah Uskup itu menjadi pucat dan gemetar. “Orang yang lebih mulia dariku telah menobatkanmu,” katanya dan ia pun berlutut di depan si Raja Muda.
Kemudian si Raja Muda menuruni tangga altar, dan melintas di tengah-tengah kerumunan orang banyak. Tak seorang pun yang berani memandangnya, karena wajahnya persis seperti malaikat. (Hal. 104-105)
“Putriku yang cantik, si kerdilmu yang lucu tidak akan pernah menari lagi. Malang sekali, ia begitu jelek sehingga ia bisa membuat Raja tersenyum."
“Tapi kenapa ia tidak akan menari lagi?” tanya Infanta, tertawa.
“Karena jantungnya rusak,” jawab Bangsawan itu.
Infanta merengut, bibirnya yang merah cemberut. “Lain kali, siapa pun yang bermain denganku tidak boleh punya jantung,” teriaknya, dan ia berlari ke dalam kebun. (Hal. 130)
Tetapi ia berkata kepada mereka, “aku tidak berharga, karena aku tidak mengakui ibuku. Aku tidak akan berhenti mencarinya, aku ingin minta maaf padanya. Karena itu, aku tidak bisa tinggal di sini, sekalipun kalian akan menobatkan aku.” Dan seketika itu ia pun berbalik menuju jalan keluar istana. (Hal. 153)
Dan si nelayan muda itu berkata pada dirinya sendiri. “Aneh sekali benda satu ini! Pak Pendeta berkata padaku bahwa jiwa adalah benda yang paling mulia dan berharga di dunia ini, sementara para pedagang itu mengatakan bahwa jiwa tidak lebih dari sebuah klip penjepit kertas.” (Hal. 164)
“Apa yang engkau tertawakan?” tanya Roket, “aku tidak tertawa.”
“Aku tertawa karena aku bahagia,” jawab Biskuit.
“Itu alasan yang egois,” kata Roket dengan marah. “Apa hakmu untuk bahagia? Kau harus memikirkan orang lain. Pada dasarnya, kau harus memikirkan aku. Aku selalu memikirkan diriku sendiri, dan aku harap orang lain memikirkan aku juga. Itu namanya simpati. Simpati itu sifat baik dan aku sarat dengan kebaikan. Contoh, seandainya terjadi sesuatu padaku malam ini, orang-orang akan merasa rugi....” (Roket yang Mengagumkan, hal. 57)
Dia pasti orang yang sangat romantis,” kata Kembang Api Roda Chaterine, “karena ia menangis pada saat tidak ada yang perlu ditangiskan,” dan ia menarik napas dalam-dalam, memikirkan kotak perjanjian itu. (Roket yang Mengagumkan, hal. 60)
Raksasa itu mengagumi kebunnya. “Bungaku banyak sekali,” katanya; “tetapi anak-anak itu adalah bunga yang tercantik di dunia.” (Raksasa yang Egois, hal.27)
Dan ketika sudah dekat, wajahnya menjadi merah karena marah, ia berkata, “Siapa yang berani melukaimu?” Raksasa itu melihat di telapak tangan dan kaki anak kecil itu bekas tanda dua paku.
“Siapa yang berani melukaimu?” seru Raksasa itu, “katakan padaku, biar kubunuh dia dengan pedangku yang besar.”
“Jangan,” jawab anak kecil itu; “luka-luka ini adalah luka cinta.”
“Siapa engkau sebenarnya?” kata Raksasa itu, dan tiba-tiba ia menjadi terpesona dan berlutut di depan anak kecil itu.
Dan anak kecil itu tersenyum pada Raksasa itu, dan berkata padanya, “engkau pernah membiarkanku bermain-main di kebunmu, sekarang kau harus ikut denganku ke kebunku, yaitu Surga.” (Raksasa yang Egois, hal.28)