Jump to ratings and reviews
Rate this book

Centhini: Kekasih yang Tersembunyi

Rate this book
Diterjemahkan dari bahasa prancis: laddy lesmana "les chants de l'ille a dormir debout - le livre de centhini" [2002]

Pernah terbit dalam bahasa indonesia dalam 4 bagian terpisah. Edisi ini menyatukannya kembali.

444 pages, Paperback

First published January 1, 2002

53 people are currently reading
478 people want to read

About the author

Elizabeth D. Inandiak

16 books12 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
106 (37%)
4 stars
99 (35%)
3 stars
58 (20%)
2 stars
10 (3%)
1 star
6 (2%)
Displaying 1 - 30 of 49 reviews
Profile Image for Mel.
111 reviews
January 10, 2009
saya menganggap buku ini sebagai perpaduan dua kutub yang berbeda. itu yang menarik bagi saya.

ada banyak kisah berlapis di sini. kisah dalam kisah. dongeng dalam dongeng. membawa imajinasi terus berkelana. ditarik dari satu ujung sampai batas ujung lainnya. saya menemukan buruk yang juga indah. tempat tergelap hingga benderang. yang vulgar dan tersamar. semua nafsu-nafsu, dari syahwat hingga kekuasaan. hal paling bejat hingga agung. tokoh yang diceritakan pun dari ragam latar belakang. dari rakyat biasa hingga bangsawan. berdarah cina atau bukan. beragama sama atau berbeda. yang berkitab maupun tidak. semua yang tak waras dan sebaliknya. juga yang kasatmata dan kebalikannya. seperti roller coaster yang memberi efek ekstasi atau malah mual.

dari judulnya saja, centhini, sudah menarik. kenapa? karena awal terbentuknya serat ini, dimulai dari garis keturunan pangeran di kerajaan giri. kerajaan yang ditaklukkan oleh sultan agung. serat ini disusun oleh tiga orang pujangga: sastranagara, ranggasutrasna, dan sastradipura, atas perintah pangeran anom amangkunagara III. siapa pangeran ini? dia masih keturunan dari jayengresmi yang kemudian berganti nama menjadi amongraga, dan sang istri yang bernama tambangraras. nah, lalu centhini? dia adalah abdi setia tambangraras itu. nama seorang pembantu. satu 'mega karya' yang dilabeli dengan nama seorang pembantu. dua kutub berbeda, bukan? tapi ada baiknya dipandang sebagai suatu keakraban, kedekatan menyentuh antara pembaca dengan buku ini, menggunakan nama tokoh 'wong cilik' untuk suluk adiluhung, meski di tembang menjelang akhir nanti terungkap sedikit alasan lain kenapa namanya dipakai.

kisah mulai bergulir saat ketiga dari empat anak raja giri yang tersisa (satu gugur) terpisah, karena harus melarikan diri. jayengresmi sendiri. sementara jayengsari dan rancangkapti melakukan pelarian bersama. dari sanalah kisah dan dongeng mulai merembet mengikuti tokoh-tokoh yang muncul terkait mereka bertiga akhirnya. tuturan kisah yang masuk akal dan jauh dari akal. perjalanan panjang para tokoh yang mengajak kita mengenal kebatilan hingga kebatinan.

dan saya sebagai pembaca ikut senyum, tertawa, menyeringai lebar, terkekeh, mengernyit, atau cengar-cengir tak jelas. kadang merasa hilang kata, tapi juga menemukan banyak hal yang disukai. mengajukan tanya. sampai melakukan 'perjalanan sendiri' di benak (itu asiknya perbedaan kutub tadi bagi saya). hal yang bertolak belakang itu adalah gabungan seluruh kebijaksanaan dan ilmu kasampurnan. harus kita kenali kebatilan di ambang jalan kebatinan. tetapi berapa, yang setelah mengenali kebatilan, lalu tak pernah menemukan kebatinan? ya, tiap jalan, lurus atau bengkok, ada kubangannya.

cabulkah buku ini? kata-kata seputar selangkangan memang ditulis sangat gamblang. misal organ vital laki-laki yang ditulis jelas k**t*l. dan bukan itu saja, banyak lagi yang lain. tapi perlu diingat, bahwa tulisan aslinya menggunakan bahasa kawi jawa dan saya jelas tidak tahu pakai kata apa. jadi, jika tidak diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia, mungkin tidak akan terlalu jelas vulgarnya dimana (karena tidak semua orang akan mengerti artinya).

ditambah lagi, semua yang tertuang di centhini ini adalah tembang. jika dee membuat buku dengan ide memberi 'bonus' lagu untuk mengiringi tiap cerpen yang dibuatnya, maka tiap tulisan kisah di buku centhini sekaligus ditembangkan. jadi satu kesatuan. bukan untaian kata yang terpisah dari lagu atau tembang itu sendiri, tapi satu kesatuan sebagai liriknya. di dalam syair-syair cabul, kekotoran kata dihalau terbang oleh keanggunan tembangnya...kalau tembang dihilangkan, para pembaca akan tercebur ke dalam lubang comberan kata-kata dan amblas ke dalam lumpur untuk selamanya.

saya pribadi, penasaran sekali dengan tembang ini. seperti apa rasanya mendengar tuturan kata yang tertuang di buku ini ditembangkan? ingin sekali mendengar tembang-tembangnya. apa seperti menonton opera yang jika kalimat-kalimatnya dalam bahasa asing dan kita tidak mengerti sekalipun, kita tetap dapat ikut merasakan emosi yang dibawa pelantun nadanya? naik, turun, riang, gembira, sedih, getir, pedih, kemegahan, atau tragis di akhir kisah?

buku ini telah mengajak saya turut serta berpetualang. dan satu macapat di bawah ini merangkum 'petualangan' saya saat membaca centhini.

jika ilmu dari buku kamu pelajari
di lidahmu nikmat berhenti
jika ilmu rasa kamu cicipi
keindahan meresapi diri sejati




terimakasih ya buat kamu yang sudah menghadiahi saya buku ini. saya cukup menyukai buku ini dan memberinya 4 bintang. cover dan bahan kertasnya juga bagus. hehe.

Profile Image for aldo zirsov.
494 reviews34 followers
April 8, 2009
Saya tertarik mengikuti diskusi serat Centhini ini karena komunitas Salihara menyelenggarakan kegiatan 6 (enam) pekan sastrawan dan seniman perempuan di indonesia.
Di samping itu ada hal lain yang menarik, khususnya mengenai serat Centhini karya Ibu Inandiak, dimana dilakukan pembahasan dari sudut pandang ke-perempuan-an terhadap suatu karya, yang tokoh utama di dalam buku tersebut justru didominasi oleh kaum laki-laki, dengan segala aktivitas dan tingkah lakunya dalam kehidupan, walaupun buku tersebut berjudul Centhini, yang diambil dari nama abdi dalem si tokoh wanita Tembangraras.

Satu hal lagi yang patut dipuji dari pengarang kelahiran Perancis yang sekarang bermukim di Yogyakarta dan berkeinginan menjadi warga negara Indonesia, seperti yang disampaikannya di dalam forum diskusi tersebut bahwa tidak mudah untuk menjadi WNI walaupun telah berkarya untuk bangsa ini, adalah keberanian beliau untuk menginterpretasikan dan mengapresiasikan serat Centhini menurut pemahaman beliau sendiri serta menyisipkan padanan, tema dan makna karya sastra dunia lainnya, salah satunya Victor Hugo, ke dalam centhini yang notabene karya sastra Jawa.

Elizabeth D. Inandiak menambahkan bahwa ia ingin menambahkan suatu nuansa dan rasa yang lain serta memperkaya khasanah karya sastra yang tebal aslinya mencapai 4200 halaman folio dan terbagi menjadi 12 jilid tersebut. Tepatnya, sang pengarang Centhini: Kekasih yang Tersembunyi ini tidak semata-mata hanya ingin menterjemahkan bulat-bulat karya tersebut dari bahasa aslinya ke dalam bahasa Perancis, disamping keterbatasan dan ketidakmengertian beliau akan bahasa Jawa pada waktu itu, tetapi adalah keinginannya untuk menjadi bagian dari serat Centhini itu sendiri. Beliau ingin diingat sebagai seorang pengarang yang memberi nilai lebih terhadap Serat Centhini tersebut.

Beliau malah mendorong para pengarang atau sastrawan baik di Indonesia maupun di luar untuk juga ikut memberi nilai lebih terhadap Centhini, dengan mengapresiasikan dan melihat Centhini dengan perspektif yang berbeda, secara Centhini sendiri sangat terbuka luas untuk bisa ditilik dari segala macam pemikiran karena Centhini, menurut beliau, tidak hanya sebagai sebuah karya sastra, tapi juga filsafat hidup, politik, lingkungan, tuntunan bermasyarakat dan menyangkut segala aspek kehidupan yang berlaku secara universal.

Jadi sah-sah saja kalau buku beliau ini mendapat tanggapan dan komentar yang beragam dari berbagai pihak, baik yang mengkritik dan yang memuji, seperti yang terlihat dalam sesi tanya jawab. Salah satu kritikan yang saya kutipkan disini adalah keberanian ibu Inandiak membalikkan suatu episode dalam Serat Centhini, dimana dalam buku beliau digambarkan Sultan Agung Mataram bersenandung tembang kerinduan kepada penguasa laut selatan Ratu Kidul, yang menurut versi aslinya justru sebaliknya, Sang Ratu-lah yang bersenandung menahan kerinduan terhadap Sultan Agung.

Pembalikan episode, penyisipan nuansa dan tema karya sastra dunia yang dimasukkan Elizabeth D. Inandiak ke dalam Centhini dilakukan dengan sangat halus dan baik, sehingga pembaca awam atau yang belum sempat membaca terjemahan literal-nya tidak akan menyadari adanya interpretasi tersendiri dari sang pengarang.
Sehingga member GRI yang hadir di diskusi tersebut (Nanto, Miaa, Ari dan saya) sempat bertukar pikiran dan bercanda untuk membuat Centhini versi alternatif, yang penting dapat memperkaya khasanah karya sastra agung itu sendiri. Toh itu sah-sah saja.

Saya pribadi saat membaca buku Centhini versi Ibu Inandiak, serta mendengar pemaparan beliau tentang sisipan karya sastra dunia ke dalam Centhini, malah membayangkan dan teringat tokoh Don Juan dalam karya Albert Camus The Myth of Sisyphus saat sampai pada episode Cebolang, tapi tentu dengan ending episode yang berbeda untuk kedua tokoh tersebut. Untuk episode tokoh lain seperti Jayengraga atau Amongrogo, malah terbayang Buddha yang berkelana mencari inti kehidupan, serta membayangkan pergulatan batin Sang Gautama menyikapi godaan hidup pada episode percakapan Amongrogo dengan Sultan Agung yang lagi bersemedi di puncak bukit. Episode pembalikan senandung kerinduan Sultan Agung atas penguasa laut selatan, mengingatkan saya akan tokoh mitos dalam legenda Yunani Kuno, yang bila kerinduannya memuncak untuk bisa bertemu, sang tokoh akan bersenandung di pinggir samudera memanggil kekasihnya yang ada di dasar lautan. Tetapi jika episode senandung itu tidak dibalik, saya malah teringat episode opera karya Richard Wagner yang saya tonton, dimana Isolde bersenandung sedih dan pilu saat memangku jasad Tristan, sang kekasih, yang gugur dalam pelukan, di bibir pantai.....

Aaahhh....sudahlah Do..!! Sudah terlampau panjang ini review, sudah panjang pula khayalan kau.... bisa termehe mehe nanti...!!! :)

Demikianlah......

PS:
Untuk laporan diskusi serat Centhini dipandang dari sudut Islam dan Kejawen oleh Ibu Junanah MSI (pembicara kedua), minta sama Cak Nanto aja yah hehehe. Perbandingannya merujuk ke thesis doktoral H.M. Rasjidi, Documents pour servir à l'histoire de l'Islam à Java, Ecole Francaise d'Extreme Orient, Paris, 1977.
Profile Image for Vivaldi.
10 reviews8 followers
September 26, 2008
Walopun penyusunnya udah bilang bahwa beberapa bagiannya sudah diringkas dan dipersantun, pembaca awam kayak saya tetep aja gak bisa ninggalin kesan pertama: Cabul. (Jadi pengen baca yang belum dipersantun hehehe. Hush..puasa!)

Cuma saya jadi terpengaruh ajakannya Ayu Utami di Bilangan Fu. Jangan menghukumi kondisi atau tradisi masa lalu dengan kaca mata modernitas. Jadi saya berusaha kontekstual untuk hal-hal berikut.

1. Naskah ini tentunya beredar di kalangan intelektual dan bangsawan saat itu. Banyaknya kandungan vulgar yang menceritakan urusan privat, boleh jadi karena pada saat itu wilayah privat belum seluas sekarang. Adegan ibu yang mewejangi putri angkatnya dengan kiat detil memuaskan suami, sebagai persiapan pranikah, rasanya sulit ditemukan di jaman modern saat ini. Anak sekarang lebih nyaman menjelajah informasi dari lingkungannya (termasuk internet) yang boleh jadi malah jauh lebih vulgar.

2. Membaca buku ini sebagai referensi perjalanan spiritual (sesuai namanya ‘Suluk’), rada rumit. Jauh lebih mudah membaca Risalatul Qusyairiyah, misalnya. Tapi sekali lagi, kondisi saat itu (sebagaimana banyak terbaca di beberapa tempat buku ini), masih era peralihan keyakinan dan masih banyak dipengaruhi oleh agama Budha. Sehingga adegan pencapaian maqam spiritual pada saat puncak sanggama, agak sejajar dengan kisah-kisah Tantric.

3. Kepercayaan lokal yang sering menggambarkan peristiwa-peristiwa pada epos keluarga Bharata terjadi di tanah Jawa (yang tentu saja bisa langsung disinisi oleh sejarawan), boleh jadi sesuai dengan keyakinan Geopolitik mayoritas masyarakat saat itu. Boro-boro punya wawasan global, wong yang berkesempatan mengelilingi pulau Jawa saja, hanya beberapa Kelana Sakti yang cukup beruntung hehehe. Jadi kisah-kisah besar yaa..hanya mungkin terjadi di tlatah satu-satunya yang mereka ketahui: Tanah Jawa.

4. Disela-sela banyaknya kisah-kisah ‘cabul’ (hehehe sekarang saya pake tanda kutip), yang mengherankan, kisah Amongraga-Tembangraras sendiri relatif sangat bersih. Saya merasa ini bagaikan buku silat yang menyembunyikan jurus andalannya. Hanya yang berhak saja yang bisa menemukan mutiara di dalamnya. Walopun tesis utamanya adalah seperti yang diutarakan oleh Amangkurat: Kebatinan bisa dicapai dengan mengenali Kebatilan (gw seneng banget nih tesis ini hehehe)

5. Sebagai karya sastra, buku ini bagus banget, apalagi jika bisa baca dalam bentuk aslinya, tentu ada keindahan bunyi dari perulangan rima-rimanya. Bahasanya indah, ceritanya seperti kisah berbingkai. Sayang saya gak tahu pergeseran yang sudah terjadi dari penerjemahan Jawa- Perancis-Indonesia.

6. Udah ah..baca aja sendiri hehehe
Profile Image for Ririenz.
62 reviews26 followers
October 6, 2009
CENTHINI ( Kekasih Yang Tersembunyi )

Penyusun dan Penulis : Elizabeth D. Inandiak
Penerjemah : Laddy Lesmana & Elizabeth D. Inandiak
Penerbit : Babad Alas ( Yayasan Lokaloka )
Cetakan / Edisi : Yogyakarta, July 2008
Halaman : 444 halaman


Manusia tidur. Ketika mati mereka bangun
( Kalimat ini yang selalu ada di kepala setelah membaca Centhini )


Sudah lama sebenarnya aku ingin mengenal “ Centhini “ namun baru seminggu ini keinginanku itu bisa aku wujudkan. Sebelumnya aku mengenal wujud “ Centhini “ terbagi dalam empat buku, yaitu; “ Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, Minggatnya Cebolang, Ia Yang Memikul Raganya serta Nafsu Terakhir”. Beruntung sekali di Pesta Buku 2009 aku mendapatkan edisi Centhini paling anyar, hanya satu buku dan di dalamnya memuat keempat buku yang sebelumnya terpenggal.

Awalnya aku sedikit enggan mengenal Centhini karena keterbatasan aksara dan bahasa. Maklumlah bukan kelahiran dari jawa jadi tidak ada pengenalan bahasa dan aksara jawa. Dan aku tahu bahwa Centhini adalah sastra jawa tingkat tinggi yang sangat susah untuk dimengerti. Tapi penasaranku lebih mendominasi inginku, jadilah seminggu lalu aku dekat dengan Centhini.

Meski sudah dialih bahasakan dan ceritanya disusun dengan penyesuaian disana –sini tetap saja aku merasa kesulitan memahami Centhini. Menurutku terlalu banyak kejadian atau peristiwa yang berhubungan dengan alam metafisika yang sulit diuraikan dengan logika dan akal sehat.

Serat Centhini dalam bahasa jawa dikenal dengan “Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga “. Sekitar tahun 1820-1823 Masehi Putra Mahkota kerajaan Surakarta Adiningrat, Pangeran anom Amangkunegara III a.k.a Pakubuwono V menitahkan kepada tiga orang pujangganya , yaitu; Sastranagara, Ranggasutrasna dan Sastradipura untuk menggubah Suluk Tambangraras ke dalam bentuk tembang agar tetap lestari sepanjang zaman. Serat Centhini pada masa itu digunakan untuk menghimpum segala macam ilmu pengetahuan lahir dan bathin masyarakat jawa baik secara individu, dalam bermasyarakat maupun beragama.

Serat centhini berkisah tentang perjalanan putra-putri Sunan Giri III ( paragen ). pasca kekalahan kerajaan Giri atas Kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram pada waktu itu dipimpin oleh Sultan Agung dan ia memerintahkan adik iparnya, Pangeran Pekik dari Surabaya untuk memperluas wilayah Mataram dengan menaklukkan Kerajaan Giri. Setelah kekhalifahan Giri tumbang ketiga putra-putri Sunan Giri berkelana untuk menghindari pasukan Sultan agung yang terus mengincar mereka. Sunan Giri mempunyai dua orang putera bernama Jayengresmi dan Jayengsari, seorang putri bernama Rancangkapti serta seorang putera angkat keturunan China bernama Endrasena. Endrasena kemudian gugur dalam peperangan dan Sunan Giri Paragen ditawan di kerajaan Mataram.

Peperangan membuatJayengresmi terpisah dengan kedua adiknya. Ia berkelana dengan dua orang santrinya, bernama; Gathak dan Guthuk untuk mencari Jayengsari dan Rancangkapti. Dalam perjalanan ia bertemu dengan berbagai macam guru yang sangat mumpuni, tokoh-tokoh gaib dunia pewayangan juga juru kunci makam-makam keramat di jawa yang mempunyai kesaktian. Dari mereka Jayengresmi belajar tentang berbagai pengetahuan yang ada di tanah jawa, mulai dari ilmu tentang candi, makna suara burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu untuk berhubungan seksual, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syekh Siti Jenar. Ilmu yang didapat sebelum dan selama berkelana membuat Jayengsari mengalami pendewasaan secara spiritual. Pengembaraannya membawa Jayengresmi kepada gurunya yang bernama Ki Karang dan karena ilmunya sekarang sudah tinggi oleh Ki Karang, ia diberi nama ( Syekh ) Amongraga ( Ia yang memikul Raga ) sedangkan kedua santrinya diberi nama Jamal dan Jamil. Dalam pengembaraannya pula akhirnya Amongraga bertemu dengan Tambangraras yang kemudian menjadi isterinya. Bersama abdinya yang bernama Centhini, Tambangraras menggali ilmu dari Amongraga berupa wejangan-wejangan yang sarat makna hidup dan agamanya.

Oya…. pada halaman292 dan di cover bagian belakang aku sempat berhenti sejenak pada tulisan yang ditipkan Amongraga untuk istrinya. Makna bahasanya bikin aku sesak nafas dan merinding. Berikut kutipannya ;
Kekasihku, di jalan ada jumpa dan sua kembali.
Tetapi kita berjalan sendiri-sendiri.
Kupikul ragaku menempuh kemegahan Suluk, dan kamulah tambang laras Suluk itu.
Kau mengira aku pergi, padahal aku mengembara di dalam dirimu.

Sementara itu Jayengsari dan Rancangkapti berkelana mencari kakak mereka ( Jayengresmi ) dengan diiringi santri bernama Buras. Selama berkelana banyak juga ilmu yang telah mereka genggam, diantaranya; tentang adat istiadat masyarakat jawa, syariat para nabi, kisah Sri sadana, Ilmu tentang wud hu dan shalat, Pengetahuan tentang Zat , sifat dan Asma Allah SWT, Hadis Markum, perhitungan jika mengadakan selametan orang meninggal, Seluk beluk Kurawa dan Pandawa, juga ilmu bercinta. Dalam pengembaraan itu akhirnya Rancangkapti menemukannya jodohnya, bernama Cebolang. Untuk menghindari pasukan Sultan Agung mereka melanjutkan perjalanan ke tempat persembunyaian. Oleh Syekh Akhadiyat mereka diberinama baru, Jayengsari menjadi Mangunarsa, Cebolang menjadi Anggungrimang dan Buras menjadi Montel, sedangkan Rancangkapti disarankan untuk tidak berganti nama.

Setelah bertahun-tahun hidup terpisah, akhirnya ketiga kakak beradik itu bertemu dan berkumpul kembali lengkap denga para kawulanya. Tetapi kebersamaan mereka tidak berlangsung lama karena Syekh Amongraga dan Tambangraras memilih untuk melanjutkan perjalanan spiritualnya ke jenjang yang lebih tinggi. Perjalan spiritual ini mengharuskan Amongraga dan Istrinya moksa ( menghilang ) agar terlepas dari samsara duniawi. Tetapi sepertinya ( kalau tidak salah ) diakhir kisah Amongraga dan Tambangraras menitis kembali tetapibukan kebaikan yang terbaca dijiwa mereka melainkan kepedihan pada kehidupan sebelumnya.

Aku jadi bingung kok di Islam ada re-inkarnasi ya…
mungkin ini buah dari akulturasi budaya antara agama islam dan agama sebelumnya yaitu Hindu dan Budha. Banyak tembang yang merupakan kolaborasi antara cerita legenda hindu seperti Pandawa dan Kurawa yang dipadu dengan dengan eksistensi islam, misalnya legenda Dewa Ruci dan moksanya Yudhistira ke Nirwana. Terkadang tembang yang dilagukan juga menggunakan bahasa biasa tanpa adanya kiasan atau tambahan mitos tetapi mempunyai arti yang sangat dalam.

Selain kebingungan aku juga sedikit terbawa suasana romantis-sensual karena Centhini juga bercerita tentang hubungan jasmani antara laki-laki dan perempuan. Yang membuat aku terhenyak adalah hubungan itu terkadang tanpa memperdulikan norma susila yang ada di masyarakat juga norma agama. Seks yang dilakukan oleh pelakon dalam cerita itu sungguh brutal layaknya binatang saja. Mungkinkah itu wujud kemarahan Anom Amangkunegara III yang selalu menentang ayahandanya? Karena ada percakapan yang dibukukan dan berbunyi “ Akan ananda buktikan Ayahanda, bahwa nafsu-nafsi ananda, suatu hari nanti akan membimbing ananda pada Ilmu Kasampurnaan. Harus kita kenali kebatilan di ambang jalan kebatinan “ . Karena itulah kita bisa mengetahui bagaimana bejatnya Cebolang dan Jayengraga sebelum insaf. Apa yang dituturkan Centhini tentang seks sesungguhnya adalah hal yang nyata pada zaman sekarang karena hal serupa bukan hal tabu lagi saat ini. Hendaknya tembang ini menjadi renungan buat kitasemua karena hidup tak sekedar memuaskan ragawi saja karena sesungguhnya dunia ini hanya persinggahan yang bersifat sementara sedangkan pertanggungjawaban yang bersifat kekal telah dijanjikan (pasti) oleh yang Maha Mulia, allah SWT.

Terima kasih sekali buat team penyelamat budaya yang sudah menggubah Serat Centhini, sehingga aku juga generasi penerus lainnya tidak hilang tergerus zaman.

Buat yang belum baca Centhini…coba deh…durasi bukan masalah asal poinnya kena di qolbu dan bisa menyejukkan sukma kita.



* Rienz *















Profile Image for Reisa.
62 reviews
April 25, 2018
Ingat pelajaran sejarah jaman SD dulu? Dikatakan bahwa penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan melalui proses "asimilasi kebudayaan", di mana Islam tidak serta merta membunuh agama dan kepercayaan yang sudah ada melainkan membaur di dalamnya. Proses itu tergambar jelas dalam naskah Serat Centhini.

Serat Centhini yang asli terdiri dari 722 tembang, ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno. Inandiak menerjemahkan bebas dan merangkumnya dalam 150 tembang yang paling esensial. Meskipun demikian, buku ini masih berisi banyak cerita, dongeng dalam dongeng, karakter yang silih berganti. Namun demikian, semua cerita itu akhirnya bermuara pada satu tokoh, Amongraga, sang Pangeran Kerajaan Giri yang terusir dari tanahnya sendiri.

Di setiap cerita, asimilasi Hindu-Buddha-Islam sangat kentara. Terdapat cerita tentang Yudhistira yang tidak dapat naik ke kahyangan karena masih membawa tubuh duniawinya. Menurut Mahabharata, ini karena Yudhistira begitu mulianya, tapi menurut Serat Centhini, ini karena dia masih membawa dosa badan. Maka dipulangkanlah Yudhistira ke bumi untuk bertapa, sampai akhirnya dia bertemu seorang sunan yang melengkapi ilmu spiritualnya dan Yudhistira pun moksa.

Semua tokoh utama dalam cerita ini beragama Islam, tetapi mereka melakukan tapa brata dan memberikan sesajen sebagai bagian hidup mereka. Tidak ada ajaran agama yang salah maupun benar, semuanya saling melengkapi satu sama lain, mengisi yang kosong dan mengosongkan yang penuh.

Meski dikatakan sebagai kitab cabulnya orang Jawa, menurut saya Serat Centhini lebih berkecimpung dalam spiritualitas Islam-kejawen, yang berfokus pada penyatuan manusia dengan zat Ilahi. Persebadanan hanya merupakan salah satu cara memperoleh tingkatan itu. SEbagian besar tokoh justru memperoleh "pencerahan" dari pengembaraan bertahun-tahun, introspeksi diri (dalam bahasa Centhini: "menghilang dalam diri sendiri"), dan memberi/menerima ilmu.

Sedikit nilai kurangnya bagi saya, buku ini agak susah saya dalami karena bahasanya yang puitis dan jalan ceritanya yang meloncat-loncat tanpa banyak deskripsi. Deskripsinya merupakan deskripsi rasa / kesan dari para tokoh, alegori, dan metafora; bukan deskripsi literal. Ya maklumlah saya yang tidak pandai membaca simbolisme ini jadi bingung :((( tapi sekalinya sudah "in the zone", buku ini enak banget, dan barangkali juga relatable :"DDD
Profile Image for Arinamidalem.
106 reviews7 followers
April 26, 2009
Berdasar pada karya sastra Jawa Kuno, Serat Centhini – Inandiak menghadirkan kembali kisah-kisah dalam karya tersebut hingga bisa kita nikmati dalam wujudnya yang sekarang. CENTHINI: Kekasih yang Tersebunyi, memang bukan terjemahan asli tapi sudah digubah sedemikian rupa dengan tambahan karya-karya sastra non-jawa dan juga hasil penalaran beliau sendiri terhadap Serat Centhini.

Lebih bagus begini menurut saya, toh kalau mentah-mentah membaca terjemahan tanpa tafsiran, bisa jadi bingung sendiri. Terjemahan plus tafsiran tanpa variasi.. bosan juga bacanya.. ;p

Berbagai kisah dihadirkan, berbagai tokoh muncul dengan warnanya masing-masing.. mencari saudara, mencari arti cinta, mencari kedamaian, memaksa kepercayaan, tentang kebesaran hati dan kesucian, tentang kepatuhan dan pelanggaran, tentang tabu yang nikmat dan mani yang berceceran. Perjalanan menuju kebijaksaan, namun tak jauh dari peluh, lenguh dan lekuk tubuh. Ada doa dan ada zina..hingga ada yang berpendapat... "ya semua itu manusiawi saja tho", jujur.

Sakral yang erotis… cabul kah? rasa-rasanya tidak juga. *sotoy*
Profile Image for Desca Ang.
704 reviews35 followers
January 24, 2021
This review is taken from my IG account @descanto

How would you categorise Vātsyāyana’s Kamasutra? Will you see it as a piece of erotic work or associate it with pornography?

I have just finished reading Serat Centhini. It’s considered as a canon work for Javanese erotic literature. Some consider it as a piece of Javanese erotica and some associate it with pornography. Simply because there are some parts portraying the sexual intercourse and mentioning one’s genital: cock, hymen, and spermas. What is so porno about those words?

Serat Centhini to me is like Vātsyāyana’s Kamasutra. There is nothing erotic or porno about it but is full of a guidance of living a life. It tells people how to live a life and how to reach the most satisfying point in the pleasure department. All of these points are wrapped into allegories and is intersected with the history of ancient times in Java particularly the development of Islam in Java back then. The local wisdom and the culture are all integrated with the Muslim, Hindu, and Buddha’s teachings. What fascinate me the most is how people life is being portrayed vividly: as a flesh with desire and as a spiritual being.

Cebolang is the perfect portrayal to be taken as an example. His gender is fluid like Arjun, one of the characters in Indian epos, Mahabharata. He takes female and male lovers. His homoerotic relationship with Adipati and Nurwitri is also an interesting point. They remind me of the portrayal, character, and gestures of people in real life because they are portrayed with their strengths and weaknesses. The part about warog and gemblakan makes it relatable to the social practices of homosexuality in Indonesian culture.

The version of Serat Centhini I read was written by a French writer who is very much in love with Java and is now living in my city Yogyakarta, Élisabeth D. Inandiak. I thank Ibu Inandiak for helping me to find this valuable Italian translation. If you are able to find the book in English version or in Bahasa Indonesia, do please read it. It's based on Inandiak's interpretation but it's worth reading. Some parts may be twisted and misinterpreted but it will take you to different dimension of reading.
Profile Image for Irwan.
Author 9 books122 followers
May 22, 2010
Cerita epik dari negeri sendiri yang disajikan oleh seorang Perancis, yang melakukannya dengan penuh kecintaan sampai-sampai melarutkan dirinya ke dalam cerita.

Saat membaca dalam hati aku merasa mengerti kenapa cerita ini menarik minat seorang Perancis. Teringat pada berbagai novel dan film Perancis yang surealistik. Banyak elemen-elemen buku ini yang pertama kali kukenal lewat produk-produk budaya Perancis tersebut: spiritualisme magis, seks, surealisme, rancunya batas metafor dan realitas, kecabulan dan kesakralan yang bersandingan tanpa malu-malu dan saling terancam, dan banyak lagi.

Kalau budaya Perancis atau Eropa secara umum dikaitkan dengan konsep kemodernan, betapa "modern" ide yang disajikan novel ini. Tapi, lagi-lagi, konsep kemodernan itu temporal. Jadi tak perlulah berpanjang-lebar berbangga hati karenanya.

Produk budaya Perancis yang aku sebut diatas seringkali dikaitkan sebagai bentuk pemberontakan atas berbagai tabu dan nilai-nilai konservatisme masa sebelumnya. Apakah Serat Centhini bisa dianggap seperti itu juga? Sebuah pemberontakan budaya kala itu?

Merasa sangat tergugah!


---

Notes:

p.76
Kalijaga berujar kepadaku: "Siti Jenar, kamu berbicara benar, tetapi kamu berbicara terlalu banyak. Kata-kata sang kekasih saat asyik-masyuk harus dibungkam."

p.264
"Dina, ada dua kala lupa, lupa di kala biasa dan lupa di kala takjub. Orang yang lupa di kala biasa adalah yang terperosok dalam kelelapan sebelum mencapai mimpi. Adapun lupa dalam ketakjuban, itulah orang suci yang lupa diri dalam doa, yang tidur dalam jaga dan mati dalam hidup sebab kantuk dan kematian adalah zat yang sama bagi orang yang lupa diri di dalamnya dengan sadar, terjaga."

p.292
Kekasihku, di jalan ada jumpa dan sua kembali. Tetapi orang berjalan sendiri-sendiri. Kupikul ragaku menempuh kemegahan Suluk, dan kamulah tembang laras Suluk itu. Kamu mengira aku pergi padahal aku mengembara di dalam dirimu.
Profile Image for Olivia.
41 reviews7 followers
September 15, 2009
Pemaparan yang indah untuk Centhini. Tadinya saya pikir ini dari naskah asli tapi setelah saya baca keterangan dari penulis, ternyata lebih tepat disebut sebagai interpretasi penulis dari Serat Centhini. Serat Centhini yang asli rupanya terpotong-potong naskahnya karena masyarakat pada jaman dulu hafal dengan cerita yang dimaksud. Namun makin lama, generasi mudanya sudah tidak terlalu akrab lagi dengan hikayat-hikayat ini.

Interpretasi yang menarik dengan pertimbangan yang cukup matang dari penulis. Saya menangkap kesan penulis belajar banyak soal kebudayaan Jawa. Beberapa cerita peperangan mirip Babad Tanah Jawi dan ternyata memang diambil sebagian dari situ.

Terus terang saya tergerak oleh "empat puluh malam dan satu hujan". Amongraga dan Tembangraras saling menembang dan membuka rahasia tentang hidup, prahara, dan jalan Allah demi ilmu Kasampurnaan atau Kebahagiaan. Kata Amongraga pada Tembang Raras, "Cinta adalah Karya agung yang mengubah nafsu menjadi nafas. Itulah jalan kematian besar, kenikmatan di luar kenikmatan tubuh."

Di samping kesukaan hati saya pada Centhini, saya kurang setuju dengan "penggantian" sebagian cerita dari Serat Centhini. Dalam Serat Centhini yang asli, diceritakan Nyi Rara Kidul menyanyikan tembang rindu untuk Sultan Agung. Sedangkan dalam interpretasi penulis, posisi Nyi Rara Kidul diganti Sultan Agung. Jadi Sultan Agung lah yang diceritakan sakit rindu pada Ratu Pantai Selatan itu. Saya senang untuk mengetahui sudut pandang penulis. Interpretasi menjadikannya lebih kaya. Namun saya masih sedikit berharap kesesuaian dengan naskah asli lebih dijaga dan interpretasi digunakan untuk melengkapi "jembatan" yang hilang.
Profile Image for Rizkyana Maghfiroh.
1 review
January 23, 2021
Mungkin ini yang disebut jodoh. Pertemuan tak sengaja antara aku dan Centhini, membawaku dalam kubangan pana dan cinta. Dengannya, waktu seolah berjalan lebih cepat, berlalu begitu saja. Saat menghabiskan waktu berdua, aku seperti sedang bersama "milikku": Jawa dan segala ajaran yang bersemayam dalam rahimnya. Tetapi juga sekaligus miris, sebab aku baru menemukan sesuatu "milikku" itu sekarang. Padahal, sudah hampir dua dekade aku hidup, berkembang, dan berlindung di tanah yang menyimpan sejuta budaya itu.

Seperti tokoh Centhini yang tak banyak bicara, bersimpuh di balik kelambu; tetapi tak banyak yang tahu kalau dalam diamnya, ia menyerap banyak ilmu dari Amongraga dan tuannya, Tambangraras. "Centhini - Kekasih yang Tersembunyi" pun demikian adanya. Ia tersembunyi di rak paling bawah dan dalam. Tertutup barisan buku lain. Berdebu dan berselimut plastik koyak. Tetapi justru dalam 400+ halamannya terkandung berbagai ajaran kehidupan. Ilmu spiritual, filsafat, sejarah, bahkan asmaragama. Semuanya bergumul dalam satu judul, tanpa ada kesan menggurui sama sekali.

"Manusia tidur. Ketika mati, mereka bangun." [22] tutur Syekh Walilanang kepada putranya: Sunan Giri yang dikemudian hari juga dipakai Centhini dalam penantian empat puluh malamnya. Sederhana; satu bait, dua kalimat, dan enam kata. Namun, penuh makna. Gambaran tentang kehidupan manusia yang seringkali lebih mementingkan duniawi yang sementara ini. Tetapi lupa mempersiapkan bekal kehidupan abadi di akhirat nanti.

"Ibarat surbanku, kedua puluh aksara ini akan membentang tiada habisnya serta melingkupi segala ilmu yang berharga dan yang tak dihargai. Kuberikan kepada kalian, tolong digunakan sebaik-baiknya." [60]

Demikian kata Ajisaka tentang aksara Jawa. Gaya bicaranya berwibawa, tetapi kalimat yang terucap sungguh ironi. Sebab begitulah kenyataan yang terjadi. Tak banyak yang tahu tentang sejarah, budaya, dan sastra Jawa.

"Ia telah melakukan tindakan yang sedemikian memalukan sehingga dia putus asa akan diampuni atau dilupakan kesalahannya, kecuali menceburkan diri dalam kelakuan-kelakuan yang lebih hina lagi." [87]

Dari Cebolang, aku belajar bahwa hidup adalah perjalanan. Ada kalanya hina dina, terbentur, terperosok liang birahi, hingga tertampar oleh kekuasaan Ilahi. Dari Cebolang pula aku memahami: ketika Tuhan telah berkehendak, jadilah. Dan kita sebagai manusia biasa, tidak berhak menjatuhi hukum dosa dan neraka kepada sesama.

"Jika kamu mau sanggama di hari pertama bulan, mulailah dengan mengecup dahi pasanganmu. Di hari kedua, cium pusarnya. Di hari ketiga, pijit betisnya. Di hari keempat, lengannya. Di hari kelima, kulum susunya, dan begitu seterusnya. / Jika kamu ingim tahan lama, tumbuklah halus daun legundi dan daun widuri serta potongan kulit trenggulung, dibikin bulatan kecil-kecil lalu telanlah sambil membaca dua belas kali kalimat ini: .... Zakarmu akan tetap keras dan tidak lekas keluar." [91]

Itu hanya sebagian ilmu sanggama yang tertulis. Sisanya? Lebih banyak, vulgar, dan cabul! Tetapi bukan berarti "Centhini - Kekasih yang Tersembunyi" adalah kitab mesum. Sekali lagi aku katakan: semua ilmu kebahagiaan (termasuk seks) terkandung dalam buku ini, berdampingan dan saling melengkapi.

Dan ... bukankah seks termasuk bagian dari kesempurnaan?
Profile Image for Inggit Merawi.
12 reviews2 followers
October 21, 2025
diksinya kacau. the words linger long after i close the book. the diction is freakingly beautiful, almost like a quiet song you can’t stop humming. each sentence flows with care, weaving tradition, emotion, and subtle longing into a tapestry that feels alive. reading it isn’t just reading, it’s tasting, inhaling, and letting each word settle into your mind like soft rain on still water.

the characters are also equally mesmerizing. they move through the pages like shadows and sparks—layered, secretive, and full of inner fire. you feel their fears, their desires, their hesitations, and their tiny victories. they’re not perfect—they’re human in the most delicate and raw sense. through them, the diction comes alive: their thoughts, their speech, their silences all resonate with the lyrical flow of the text.

and the emotional depth, you can sense the weight of tradition, the quiet oppression of societal expectations, and the intensity of desires that must be hidden. the characters carry this weight with grace and messiness alike, and reading about them feels like watching fireflies in a dark forest—tiny, fragile lights flickering against a vast, shadowed background. you’re drawn in, and even when the story is quiet, it resonates with intensity because of how the words capture those unspoken tensions.

this isn’t a book to rush through. it’s one to linger over, to read slowly, to savor the poetry of both the language and the humanity within. it makes you reflect on life, love, secrecy, and the fragility of human emotion. by the end, you feel like you’ve spent time with real people, in a real world, yet it’s filtered through the kind of lyrical beauty that only skilled writing can achieve.

such a nice one, elizabeth dkk! :)

🔆
Profile Image for Boyke Rahardian.
340 reviews22 followers
July 31, 2022
Bukan suatu terjemahan mentah dari Serat Centhini yang asli—Inandiak mereka beberapa bagian, mengintrepretasi ulang dan juga menambahkan kutipan dari syair Sufi, Al Quran sampai Viktor Hugo—buku ini bermaksud memberikan ‘rasa’ tentang karya besar Jawa ini. Serat Centhini sendiri dikenal kontroversial karena banyak menggambarkan adegan cabul yang dilakoni tokoh-tokohnya. Tapi pada intinya Serat Centhini merupakan ajaran-ajaran kepercayaan Jawa yang berakar pada sinkretisme Islam (terutama Sufisme) dan Hindu Buddha, dan bertujuan mencari puncak kesempurnaan yaitu penyatuan diri dengan yang Ilahi.

Dari kacamata modern, struktur Serat Centhini sungguh tidak biasa. Ini karena pertama, hampir semua hikayat Jawa berakar pada tradisi lisan dan dimaksudkan sebagai syair untuk ditembangkan (macapat) sehingga penyajian dalam bentuk cerita beralur linear hampir tidak dikenal saat itu. Kedua tentu karena alur cerita yang penuh dengan mitos dan kejadian fantastis—mirip rasanya dengan dongeng anak kecil.

Membaca Centhini jadinya adalah pengalaman yang menarik, pembaca seperti diajak dulu untuk mencapai kondisi ‘giting’ sebelum dicekoki dengan ajaran-ajaran yang ditujukan untuk mencapai puncak kesempurnaan tadi.
Profile Image for Nadia.
27 reviews
July 30, 2020
"Kutembangkan pengembaraan luar batas, kelana gila-gilaan, tenunan bukan-bukan syahwat dan roh Tanah Jawa. Kutembangkan ilmu kasampurnan yang pula dikenal dengan nama ilmu kebahagiaan."
Tambangraras; Tembang 138
-Elizabeth Inandiak, Centhini Kekasih yang Tersembunyi, hlm. 339

Kembara edan luar batas yang dimuat Suluk Adiluhung Jawa yang telah tidak mungkin dijumpai naskah aslinya, karena Suluk Tambangraras barangkali sudah menyusul junjungannya Pangeran Anom Hamengkunegara III yang pupus akibat rajasinga.

12 jilid, 4200 halaman, 722 tembang, Suluk Tambangraras yang lebih dikenal dengan Serat Centhini mengajarkan cara mengenali kebatilan untuk menemukan kebatinan. Sebuah kisah tapa brata serta asyik masyuk yang beriringan dikisahkan dalam suluk ini.

Harus saya akui, Elizabeth Inandiak telah berhasil menjalin cerita-cerita yang sudah punah ini menjadi satu cerita yang dapat menggambarkan perjalanan kebatilan nafsu-nafsi untuk menjumpai ilmu kasampurnan yang dicari-cari oleh Pangeran Anom Hamengkunegara III.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Indah Purwanti.
124 reviews1 follower
June 10, 2019
Buku ini kebetulan ditemukan di bazar buku murah. Dalam pikiran, kenapa buku ini bisa sampai di rak buku murah, dari 75rb menjadi 20rb. Kebetulan buku ini tulisan tangan penulis Perancis, yang sempat saya baca di buklet acara IFI Bandung. Tentang buku ini...

Buku ini sebenarnya bukan buku biasa, diceritakan ulang dari serat terkenal Jawa, Serat Centhini. Kebetulan saya sempat membaca Serat Centhini jilid 1 dari 12 jilid namun belum juga rampung, karena isinya terlalu berat (banyak petuah-petuah dan ramalan). Melalui buku ini saya bisa mengerti silsilah, asal-usul karakter yang tersebut di dalam buku. Gaya bahasanya juga bagus, apalagi pantun2nya.

Ceritanya juga dikisahkan dengan menarik, intrik2nya seru dan wejangan2nya juga dapet... Tapi, lebih ga suka dengan akhir kisah itu sendiri, benar2 ironi yang menyedihkan, sudah melakukan beberapa pengembaraan namun hatinya masih tidak ikhlas menerima nasib dan tidak mensyukuri hidup. Ya mungkin ini inti cerita yang saya dapat... =)
Profile Image for saraswati.
21 reviews121 followers
March 30, 2018
Dalam semesta, ada dua hal yang saling tarik-menarik; dua kutub yang berbeda. Dalam semesta Centhini, selalu ada dua kutub di tiap ceritanya. Saling bertemu, berlapis, tapi tidak tumpang tindih. Ada kecantikan yang buruk rupa, ada juga keburukan yang cantik, ada kegelapan yang benderang, ada pula terang yang gelap. Yang priyayi, yang bejat. Yang berkuasa, yang patuh. Dua kutub yang berbeda ini, tak ayal menggiring saya menuju pertanyaan; "Untuk apa diciptakan dua hal yang berbeda? Mungkinkah sebenarnya mereka satu yang merekah dan tumbuh dengan arah yang sama, tapi caranya saja yang berbeda?"

Seperti kutipan dari salah satu halaman di buku ini,

"Jika aku Utara, kau adalah Selatan,
Jika aku perempuan, kau adalah laki-laki..."
Profile Image for Lauransia O..
62 reviews24 followers
May 9, 2018
A friend of mine from Nusantara literature told me to read this if I wanna learn about the real history of our nation in the past.

This book has told me something about the ancient culture and real islam. Well at the highest level of it, called ma'rifat. Let alone syariat.
This book has strengthened the crystallised process of sufism theory in my brain.
Inandiak is indeed a passionate person who brought Centhini to the world by translating it to languages that we can understand.
I recommend this to those who wanna learn about history and spiritualism.
1 review
Want to read
October 2, 2025
Good
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Setadipa.
95 reviews3 followers
October 8, 2016
Suwung..., kenapa wanita perancis yg bisa mengungkapkan dengan lugas? indah sekali...
Profile Image for Mikael.
Author 8 books87 followers
April 18, 2010
the best of the abridged centhini in translation. inandiak hasn't just translated centhini, she has BECOME centhini, the "lover in hiding", the not-so-secret narrator of this great bawdy encyclopedie. she slips in passages from hugo, baudelaire, reworking of a linus suryadi poem, into her translation, a la christopher logue's homer, sometimes mistaking the great work as her own poem. eg, in her note for tembang 24 she said "tembang ini ditulis tepat pada hari raya Idul adha, karena itu timbullah gagasan untuk membuat Putra dan Putri Giri tiba di Sokayasa pada hari raya Qurban. Setahun sebelmnya, pada hari raya itu, saya menyumbang seekor kambing ke desa. Pada tembang inilah kambing yang dikurbankan itu menemukan jalan menjadi abadi." if this "saya" was inandiak, she was obviously the same person who decided that the Giri royals should arrive at Sokaya during Idul Adha, no longer the trio of court pujanggas who wrote the original centhini. or did inandiak travel back into the mythical time of centhini and sacrificed goats there who have now been immortalized in the work she is now translating? the woman's totally nuts, just like centhini itself.
Profile Image for Uitgeverij Abraxas.
7 reviews
May 18, 2015
Élizabeth Inandiak is een Franse journaliste en schrijfster die geobsedeerd is door het eiland Java en de oude Javaanse cultuur.
Haar oorspronkelijke naam wijzigde ze in de Javaanse naam Inandiak.
Ze hervertelde een twee honderd jaar oud Javaans epos dat vierduizend pagina's telt en verdeeld is over twaalf boeken en vatte het samen in honderd twee en vijftig zangen. Het epos, met de oorspronkelijke titel Soeloek Tabangraras, vertelt over de omzwervingen van twee jonge prinsen en een prinses die gedwongen worden het rijk van Giri te ontvluchten. Op hun omzwervingen over het eiland leren ze alle wereldse geestelijke wijsheid van Java kennen. Het is een monumentaal epos vol humor, Javaanse mystiek, wetenschap en erotiek. Het boek is beter bekend onder de naam Serat Tjentini.
De Serat Tjentini wordt wel eens de Javaanse encyclopedie genoemd. Het bevat een fenomenale schat aan traditionele Javaanse kennis en wetenschap. Inandiak heeft deze erotische-spirituele queeste als het ware herbeleefd en verwoord. Het boek bevat onder meer een bibliografie en een lexicon.
Profile Image for Wuwun Wiati.
Author 3 books8 followers
August 3, 2010
saya baca versi indonesianya.

buku yang luar biasa ajaib! gabungan antara budaya jawa, islam dan seks. ada kalanya, kesannya cabul banget, terutama dibagian petualangan cebolang, namun kecabulan ini dengan gilanya tergabung dalam nuansa keindahan sastra yang luar biasa. terasa sangat sesuai dengan pengantarnya yg mengatakan sejarah panjang penciptaan buku ini.

dibuat oleh seorang pangeran jawa di abad lampau, sempat terbengkalai karena pihak yang saling bertentangan, antara yang menyatakan ini berisi budaya yang sangat tinggi dengan pihak yang menghindarinya atas kata kata kotor di dalamnya. sehingga harus ada campur tangan pihak dari asing/ prancis. penerjemahan serta penulisan ulangnya memakan waktu 4 tahun.

kita harus bersyukur terbitnya buku ini. bagi yang memiliki pemahaman tinggi dalam budaya jawa, dinyatakan bahwa banyak pengetahuan di kandung di dalamnya. saya belum sampai ke situ. cuma bisa bilang

ini buku paling edan yang pernah saya baca! imaginasi tingkat tinggi!
Profile Image for n.
74 reviews106 followers
July 19, 2021
Suluk Tambangraras or widely known as Serat Centhini, is an ancient javanese manuscript, consists of tales and teachings. It pretty much shows us a closer look into the stories of the Javanese kingdoms from the point of view of the princes and princesses. From grandly described explicit, controversial contents (same sex practice y’all?! Even in Indo society nowadays there’s a high chance you’ll be stoned to death if any of your conservative relatives knows you’re into it) to dialogues between beliefs. The book I just read is actually can be considered as a personal interpretation of the manuscript, done by Inandiak. But well, it was beautifully written. Prolly it’s the best translation work I’ve ever read.

One thing I want to do after reading this: reading the manuscript of Suluk Tambangraras (ofc the one which is already rewritten in latin alphabet). But now let’s go back into the pool of regrets of my inability of understanding Javanese in its highest speech level.
Profile Image for Dyah.
182 reviews7 followers
September 13, 2015
Buku ini bkn merupakan Serat Centhini original. Buku ini bs dibilang hasil pemadatan seluruh pengetahuan dan pengalaman hidup Elizabeth Inandiak.
Ada bbrp bagian yg tdk saya pahami, mungkin krn keterbatasan saya atau krn bagian2 tsb mmg bkn untuk dimengerti.
Yg mengejutkan saya adalah betapa blak-blakannya seksualitas dilukiskan dlm buku ini yg ditulis pd thn 1800an atas perintah Pakubuwono V. Saya jd mempertanyakan kebenaran imej orang Jawa zaman itu yg serba menabukan dan kaku.
Apakah Centhini dimksdkan sbg rekaman norma sosial selama itu? Atau itu hanya sebuah karya mbeling, karya fantasi belaka? Jangan2 skrg ada raja mbeling yg mati karena sifilis sedang tergelak-gelak di dlm kuburnya krn karya yg ia susun untuk kesenangan pribadinya, untuk lucu-lucuan ledek-ledekan saja, skrg dipuja mjd suluk adiluhung.
Profile Image for Syafruddin.
10 reviews17 followers
June 21, 2009
Bulan menuju malam, Amongraga meniduri Tambangraras di ranjang bidadari dan membanjiri tubuhnya dengan airmata. Mereka mulai main asmara yang langka, tanpa aturan atau tujuan, tanpa kalah atau menang. Beberapa saat menjelang subuh, Tanbangraras terlena dalam dekapan. Perlahan, Amongraga undur diri dari kelelapan sang istri. Diselimutkannya kain peraduan ke atas tubuh telanjangnya bagai kain kafan bagi sanggama mereka. Ditulisnya surat kepada Tambangraras:
"Kekasihku, di jalan ada jumpa dan sua kembali. Tetapi kita berjalan sendiri-sendiri. Kupikul ragaku menempuh kemegahan Suluk, dan kamulah tembang laras Suluk itu. Kau mengira aku pergi, padahal aku mengembara di dalam dirimu..."
Profile Image for Triwido.
12 reviews
April 2, 2016
Buku ini bercerita tentang sejarah, nilai nilai ketuhanan, dan kehidupan. Berisi tentang cerita ilmu ilmu membaca alam dan kejawen.

Ada beberapa hal yang cukup menarik bagi saya saat membaca buku ini. Seperti kisah walisongo & Syekh Siti Jenar. Kemudian lainnya seperti:

Macam-macam mimpi, yang ternyata ada empat macam mimpi, mimpi yang akan terwujud secara harfiah, cerminan, kebalikan, dan mimpi ramalan.

kemudian hal lainnya terkait pada agama. Dalam buku juga dielaskan bagaimana menyapa Budha, dan agama tri rasa yang mencakup raga, ucap, dan kalbu.
Profile Image for Shahnaz.
196 reviews
October 24, 2011
hadiah dari papa dan ibu buat ultahku :P

aku suka banget buku ini. kata2nya bener kaya, salut sama laddy lesmana yang bisa memberi makna indah dalam kata2,,, dan ceritanya bagus.

hmm.. sayang sekali, begitu sampai bagian cebolang dan petualangan syahwatnya, bagiku itu udah terlalu dewasa. jadi takut hiks.



akhirnya kuberi bintang empat, dengan mengesampingkan isinya yang vulgar itu... centhini jadi terlihat manis dengan segala sejarah, filosifi dan interpretasi Elizabeth D Inandiak...
Displaying 1 - 30 of 49 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.