Tentang seorang bocah istimewa yang ingin mengingat sejarah. Dalam usahanya mencari keberanian, bersama Sungai Purba dan Rel Kereta Tua, dia terpilih menjadi saksi atas sebuah akhir.
“Itu malah kabar baik sebab lihat saja sekarang. Keadaan sudah benar-benar anu... kacau-balau, sangat busuk, tidak bisa diselamatkan lagi. Siapa takut?” (Bung Anu)
“Apakah sebelum mati nanti aku masih bisa bertemu jodohku?” (Pipit Uban)
“Aku hanya mau bertemu anakku yang hilang biarpun cuma nisannya.” (Oma Jengki)
“Sejak dulu, hidupku ini oo.... selalu susah. Aku sudah capek.” (Kerakbasi)
“Aku cuma ingin bisa tidur nyenyak tanpa mimpi buruk.” (Nenek)
Anindita Siswanto Thayf. Lahir di Makassar, 5 April 1978. Jatuh cinta pertama kali dengan buku sejak usia taman kanak-kanak hingga sekarang. Mengawali kegiatan menulis karena suka berkhayal. Memilih menjadi penulis karena sudah bosan menunggu lamaran kerjanya diterima. Tanah Tabu adalah novelnya yang meraih juara pertama dalam sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2008.
Lulusan Teknik Elektro Universitas Hasanudin, Makassar, ini kerap dilanda grogi kalau diminta bicara di depan umum. Guna mendukung kegiatan berkhayal dan proses menulisnya, kini dia tinggal di Lereng Merapi yang sepi dan dikelilingi kebun salak pondoh bersama suami.
Indonesia tahun 2000an dipotret habis-habisan. Cukup licin bagaimana tokoh2 yg senyatanya ada di dunia nyata menjadi samar dalam fiksi ini. Dan novel tebal ini (700an hal), barulah awal dari trilogi. Saya berapresiasi thd keteguhan penulis novel ini
Resensi novel "ULAR TANGGA" dimuat di Harian Kompas, 28/07/2018 ------------------- 100 HARI MENJELANG KIAMAT Oleh: Arie Saptaji
Anindita S. Thayf turun gunung. Betul-betul. Pada akhir 2008 ia menjadi pemenang tunggal Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta dengan novel mungil berlatar Papua, Tanah Tabu. Awal 2018 ini, dari pondoknya di Turi, daerah perkebunan salak di lereng Gunung Merapi, Yogyakarta, ia menyajikan novel berikutnya, Ular Tangga, karya ambisius setebal bantal leher.
Tanah Tabu berlatar sejarah selayang pandang pulau paling timur di negeri ini, dengan menekankan pada nasib dan pergulatan kaum perempuannya. Ular Tangga memaparkan sejarah sebuah bangsa. Novel berlatar waktu 15 tahun sesudah Presiden Kedua undur dari jabatan ini, menurut keterangan penulis, adalah buku pertama dari Trilogi Ijo.
Ular Tangga dibuka dengan beredarnya selebaran menggegerkan yang berbunyi: “KIAMAT TIDAK LAMA LAGI. UMUR HIDUP SISA SERATUS HARI. SUDAHKAH ANDA SIAP?” (h. 25). Kepanikan segera menjalar di Daerah Tambalsulam, perkampungan kumuh di tepi Sungai Purba dan di dekat lintasan Rel Kereta Tua, di ibukota Republik Kepulauan. Sebuah pertanyaan mulai mengendap-endap, “Apa yang akan kaulakukan sebelum mati?” (h. 67).
Rangkaian penantian 100 hari menjelang Kiamat—ibarat 100 kotak dalam permainan ular tangga—ini dipaparkan dalam tiga bagian. “Buku Satu” dinarasikan orang ketiga di luar cerita, mencakup 28 hari pertama sejak selebaran beredar. Bagian ini terutama memotret kehidupan kaum Kerak Nasi penghuni Daerah Tambalsulam.
Kita dipertemukan dengan berbagai tokoh yang memiliki keunikan masing-masing. Mulai dari nenek tua yang menjadi budak seks pada masa penjajahan sampai bocah yang lahir sebagai akibat pemerkosaan pada Hari Rusuh. Ada pula Bapak Presiden Kita, Asisten Khususnya, dan seorang anggota dewan yang terhormat.
Tiga Tokoh
Tiga tokoh yang menonjol adalah Ijo, Nenek, dan Bung Anu. Ijo adalah bintang kita—bocah penakut, cerdik, pintar menggambar, memiliki kemampuan istimewa, dan terpilih untuk menjadi saksi dari sebuah akhir. Nenek, perempuan yang dihinakan karena masa lalunya, tetapi ditakuti dan disegani karena ketegasan sikap dan sumbangsihnya bagi warga sekitar. Bung Anu penggerak Sanggar Merah yang ternyata juga pawang hujan, dan terlibat dalam suatu rencana misterius, yang bakal berdampak dahsyat.
“Buku Dua” dituturkan secara unik. Tanah Tabu menggunakan dua narator nonmanusia, yang baru terungkap di ujung novel. Dalam Ular Tangga, Anin juga menggunakan dua narator nonmanusia, yang sudah diperkenalkan di bagian sebelumnya, yaitu Sungai Purba dan Rel Kereta Tua. Mereka ini penghubung dua alam—Semesta Tengah dan Semesta Bawah—yang berperan sebagai pengawas kehidupan..
Selama 28 hari, Sungai Purba dan Rel Kereta Tua bergantian bercerita kepada Ijo tentang sejarah hidupnya dan sejarah bangsanya. Ijo memerlukan suntikan keberanian untuk menyongsong Perubahan yang bakal terjadi. Ia mendapatkan keistimewaan mampu berkomunikasi dengan Sungai Purba dan Rel Kereta Tua gara-gara kecelakaan pada masa kecil.
Sejarah menurut mereka, adalah soal mengapa dan bagaimana. “Bayangkan saja begini, aku tidak akan membagikan kisah sebuah film, tapi menceritakan bagaimana film itu dibuat,” kata Opa (h. 473). Adapun penggerak utama sejarah, menurut Nenek Sungai, adalah virus Kehendak Berkuasa (h. 290). Paparan mereka membentang mulai dari masa kerajaan hingga era Bapak Presiden Kita. Di luar itu mereka terus memantau perkembangan keadaan.
“Buku Tiga” kembali dinarasikan oleh orang ketiga. Tinggal 44 hari lagi menjelang Kiamat. Keadaan kian gawat. Suasana kian genting. Seperti bisul yang siap pecah. Selain terus melaporkan rangkaian kejadian di Semesta Tengah, narator membawa kita ke Semesta Bawah, dunia para roh yang turut memainkan peran dalam kehidupan di Semesta Tengah. Mencakup kurun waktu paling lama, tetapi jumlah halamannya paling sedikit. Alur cerita bergerak lebih gesit, “berguncang, beriak, berpusar, berayun, berderak, dan beterbangan” (h. 711), menuju klimaks yang menggelegak.
Tokoh Merah yang Simpatik
Dalam novel-novel yang berlatar peristiwa 1965, tokohnya kebanyakan adalah orang-orang yang “tersangkut,” bernasib sial, tak bersalah, atau tak paham situasi, tetapi ikut terkena getah dan tergulung gelombang prahara. Perlakuan terhadap mereka adalah sebentuk ketidakadilan. Jika orang itu betul-betul komunis, lain ceritanya—ia akan dihabisi.
Nenek atau Terang Bulan sungguh-sungguh penganut, pemeluk teguh ideologi Partai Merah (baca: partai kiri, komunis) sejak remaja. “Nenekmu—anak petani miskin itu—merasa telah menemukan surga kecilnya lewat apa yang diajarkan partai tersebut: tentang bagaimana caranya mendapat hidup yang lebih baik meskipun engkau terlahir sebagai jelata di tengah dunia yang pilih kasih ini. Itulah ajaran suci yang tertulis dalam Kitab Merah karya Santo Jelata, tokoh panutan Partai Merah” (h. 436).
Maka, ketika sejarah hendak melindasnya dengan bengis, membikinnya jadi Nol Besar, ia memperlihatkan daya sintas yang amat liat. Di Daerah Tambalsulam, ia ditakuti sebagai Nenek Sihir Berwajah Rusak, tetapi juga dihormati sebagai Malaikat Penyembuh Berkuku Separuh.
Novel ini memperlihatkan ketekunan dan kecermatan penulis, kepiawaian bercerita, kelenturan imajinasi, dan kemahiran menggunakan perangkat kebahasaan. Secara gaya tutur, Ular Tangga tampil sebagai novel polifonik yang mengesankan. Ketiga narator memperdengarkan kekhasan suara masing-masing; belum lagi keragaman tokohnya, yang pelan-pelan jadi akrab seakan tetangga sebelah rumah. Kita serasa diajak menyusup ke tengah kerumunan yang gaduh, tetapi mengasyikkan.
Kita diajak untuk melihat apa yang tersembunyi di balik permukaan: bahwa timbunan “sampah” itu masing-masing mengandung riwayat—riwayat pribadi, riwayat kampung, riwayat kota, yang pada akhirnya jalin-menjalin membentuk riwayat sebuah bangsa. Timbunan itu mengandung luka, kenangan, pengkhianatan, pertarungan, kegigihan, kedegilan, hikmah, dan pelajaran.
Novel ini betul-betul menantang konsentrasi, kesabaran, dan stamina pembaca. Rel Kereta Tua mencela mereka yang “punya mata, tapi hanya digunakan untuk melihat apa yang disukai dan diingini” (h. 364). Ular Tangga mengundang kita mencermati sebuah dunia yang tersisihkan, orang-orang yang terpinggirkan dan tak masuk hitungan, serta sisi-sisi sejarah yang kita cenderung enggan menengoknya. ***
Perlu energi besar untuk sampai ke halaman pembuka di bagian kedua nanti. Jangan lupa, ini baru gong pertama. Trilogi Ijo ini punya konflik yang bikin sakit kepala.
I have to admit for one that had a short attention span, this book is really hard to read because of how thick it is and the writing style using metaphor adding another context to be understood before enjoying the journey more, at least for me. one of my highlights of this book was on the second part because it is like reading Sophie's world but the topic was about Indonesia before it colonized and after the 2nd president regime end. the metaphor is heavily used at this part. overall the first and last part contains portraits of Indonesia. I am a bit surprised this book not as popular as pulang and laut bercerita.
reading several goodreads reviews said that this is the first of the trilogy making it make sense reading that ending.
Pertama kali tertarik membeli buku ini adalah karena nama sang penulis. Namun ketika akan membeli, mundur melihat harganya yang lumayan mantul, walau banyaknya halaman harusnya menjadi pertimbangan saya.
Ketika ada program belanja apa saja seharga sekian bisa beli buku seharga sekian, eh atau program harga sekian dapat berapa novel (lupa saya😜) langsung buku ini masuk dalam keranjang. Ngak mau rugi dong.
Kebiasaan jelek! Ditimbun sekian lama. Baru, ketika tiap pagi berjemur buku ini dibaca. Per harian sekian halaman, lama2 tamat juga. Sebuah buku yang luar biasa. Aneka konflik bisa ditemui seiring dengan aneka tipe manusia.
Konon ini buku pertama dari sebuah trilogi. Duh, kira2 setebal apa ya buku selanjutnya.
Kisah ambisius yang merentang dari perisiwa 65 hingga 98, dari kacamata orang pinggiran. Kisah yang perlu tekad untuk menyelesaikannya karena begitu tebal dengan pov tokoh yang berganti-ganti.