Sebuah buku tentang perkenalan & percakapan tentang karya besar Cervantes, Don Quixote
“Inilah cerita paling sedih dari semua cerita—dan lebih menyedihkan karena ia membuat kita tertawa.”
Begitulah penyair Inggris Lord Byron menulis tentang Don Quixote, karya Miguel Cervantes yang berumur lebih dari 400 tahun.
Ada yang mencatat bahwa karya ini salah satu novel terlaris dalam sejarah: sampai dengan hari ini, sejak Don Quixote Buku ke-I terbit, di tahun 1605—sebelum di Indonesia VOC mendirikan Batavia— buku itu sudah terjual 500 juta eksemplar. Setelah lebih dari 140 bahasa menerjemahkannya, bahasa Indonesia segera menyusul.
Buku ini, Si Majenun dan Sayid Hamid, adalah sebuah perkenalan dan percakapan tentang karya besar Cervantes itu.
Memang menakjubkan, buku fiksi yang kocak ini membangkitkan respons dari pengarang-pengarang ternama—dan serius—di pelbagai penjuru.
Ia seorang jurnalis dan sastrawan yang kritis dan berwawasan luas. Tanpa lelah, ia memperjuangkan kebebasan berbicara dan berpikir melalui berbagai tulisan dan organisasi yang didirikan-nya. Tulisannya banyak mengangkat tema HAM, agama, demokrasi, korupsi, dan sebagainya. Seminggu sekali menulis kolom “Catatan Pinggir” di Majalah Tempo.
Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo kelahiran Karangasem Batang, Pekalongan, Jawa Tengah, 29 Juli 1941, ini pada masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang penyair. Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum.
Ia juga pernah menjadi Nieman fellow di Universitas Harvard dan menerima penghargaan Louis Lyons Award untuk kategori Consience in Journalism dari Nieman Foundation, 1997. Secara teratur, selain menulis kolom Catatan Pinggir, ia juga menulis kolom untuk harian Mainichi Shimbun (Tokyo).
Ia menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Sejak di kelas VI SD, ia mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI. Kemudian, kakaknya yang dokter (Kartono Mohamad, mantan Ketua Umum PB IDI) ketika itu berlangganan majalah Kisah, asuhan H.B. Jassin. “Mbakyu saya juga ada yang menulis, entah di harian apa, di zaman Jepang,” tutur Goenawan.
Pada 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan Majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time. Di sana ia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994.
Goenawan Mohamad kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), asosiasi jurnalis independen pertama di Indonesia. Ia juga turut mendirikan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia. ISAI juga memberikan pelatihan bagi para jurnalis tentang bagaimana membuat surat kabar yang profesional dan berbobot. Goenawan juga melakukan reorientasi terhadap majalah mingguan D&R, dari tabloid menjadi majalah politik.
Ketika Majalah Tempo kembali terbit setelah Pak Harto diturunkan pada 1998, berbagai perubahan dilakukan seperti perubahan jumlah halaman namun tetap mempertahankan mutunya. Tidak lama kemudian, Tempo memperluas usahanya dengan menerbitkan surat kabar harian bernama Koran Tempo.
Setelah terbit beberapa tahun, Koran Tempo menuai masalah. Pertengahan bulan Mei 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum Goenawan Mohamad dan Koran Tempo untuk meminta maaf kepada Tomy Winata, (17/5/2004). Pernyataan Goenawan yang dimuat Koran Tempo pada 12-13 Maret 2003 dinilai telah melakukan pencemaran nama baik bos Arta Graha itu.
Goenawan yang biasa dipanggil Goen, mempelajari psikologi di Universitas Indonesia, mempelajari ilmu politik di Belgia dan menjadi Nieman Fellow di Harvard University, Amerika Serikat. Goenawan menikah dengan Widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak.
Selama kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan menghasilkan berbagai karya yang sudah diterbitkan di antaranya kumpulan puisi dalam Parikesit (1969) dan Interlude (1971), yang diterjemahkan ke bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis. Sebagian eseinya terhimpun dalam Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980), dan Catatan Pinggir (1982).
Hingga kini, Goenawan Mohamad banyak menghadiri konferensi baik sebagai pembicara, narasumber maupun peserta. Salah satunya, ia mengikuti konferensi yang diadakan di Gedung Putih pada 2001 dimana Bill Clinton dan Madeleine Albright menjadi tuan rumah.
Kegilaan dan keimanan bagi beberapa tampak begitu mirip. Pada keduanya ada semacam keterpakuan pada yang tak tampak. Keimanan memang berguna selama Ia, Yang Dipuja itu, tak tampak. Saat Ia telah menunjukkan dirinya, keimanan kehilangan kesyahduannya, bahkan mungkin tak dibutuhkan lagi. Mungkin karena itu di surga nanti, tak perlu ada lagi ujian keimanan. Paragraf di atas adalah salah satu ide yang saya tangkap dari buku ini. Tentu ada beberapa ide lainnya. Membaca buku ini, seperti juga tulisan Goenawan Mohamad yang lain, memerlukan ketekunan dan kopi. Jika tidak, insyaallah Anda akan mulai menguap dan nyenyak tertidur. Bukan karena tak menarik, tetapi bahkan tiap paragrafnya bisa menjadi satu tulisan baru di kepala Anda.
Di luar perguruan, di daerah pertanian, orang Arab membawa ilmu agronomi. Bersama itu, produk pertanian yang dulu belum dikenal tebu, beras, asparagus, bayam, jahe, dan banyak yang lain. Teknik membuat kertas dibawa dari Baghdad. Ketrampilan baru tumbuh: di masa itu tercatat ada 13.000 penenun di Cordoba; hasil kriya seperti cordobanes, kulit lembu yang disamak halus, jadi komoditi yang terkenal di seluruh Eropa, sebagaimana halnya permadani dan tirai sutra.
Ada penulis sejarah yang melihat akulturasi itu berlangsung dalam masa la convivencia, yang berlangsung lebih dari dua abad, ketika penganut agama-agama Ibrahimi hidup berdampingan dengan damai. Tapi la convivencia bukan satu corak masa itu. Dalam periode sejak abad ke-8, sejak berdirinya dinasti Umayyah, sampai dengan akhir abad ke-15-perdamaian bisa berarti penindasan: Katolik, Muslim.
"Kontradiksi?... Pasti!... Tentu saja ada kontradiksi... Sebab kita hanya hidup dalam dan dengan kontradiksi. Sebab hidup adalah tragedi dan tragedi adalah perjuangan yang terus-menerus, tanpa kemenangan ataupun harapan untuk menang..."
Dengan perkenan tuan, tak ada apapun yang mustahil yang tak dapat hamba tempuh dan hamba capai. Hal 101
Hidup adalah proses asimilasi. Tak pernah satu-nada, tak pernah murni. Hal 117
Orang yang beriman akan saling berhantaman untuk secercah perbedaan, orang yang ragu berkelahi dengan dirinya sendiri. Hal 164
Belum cukup rasanya membaca kisah Don Quixote. Buku ini akan mengantarkan kita pada seluk beluk Don Quixote serta pengarangnya Cervates (atau Sayid Hamid?). Jika kisah-kisah 500 tahun lalu Don Quixote terlalu jauh bagi kita pahami, dalam buku ini Gonawan Mohammad membukakan pintu-pintu lain mengenai konteks agama, sejarah, perlawanan dan keadilan. Sehingga kita dapat memahami bahwa kekuatan naratif Don Quixote terletak dalam ironi, di celah-celah parodi, dalam humor dan keanekaragaman cerita (156).
I don't know what I should say about this book. First of all, I only read Don Quixote briefly, just like the whole story pressed into conclusion. I barely remember it. Then reading this book, I def. make a mistake by reading along till the very end before re-read the whole long story of Don Quixote. This is a wonderful book, for those who understand it. Might want to get back to this book few years later after I re-read the Don Quixote. Cheers!
Saya tidak suka menunggang review atau promo untuk tiba pada sebuah buku. Justru, saat menemukan sebuah buku ternyata sangat menarik atau sangat tidak menarik, saya baru mencari review nya, penasaran adakah yang sesuka atau setidaksuka saya. Rekomendasi teman lebih sering.
Don Quixote-nya Cervantes belum pernah saya baca. Hanya seorang teman bercerita itulah fiksi satu-satunya yang dia suka. Alasannya: lucu. Versi e-book sudah dapatbertahun-tahun lalu, tapi selalu tergeser buku buku lain untuk dibaca. Sampai ketika tak sengaja menemukan buku tulisan GM tentang novel Don Quixote ini . 200 halaman buku ini adalah review GM terhadap novel Don Quixote.
Asyik sekali membacanya, sensasinya seperti mendengarkan GM ngobrolin novel favoritnya. Semua cast dibahas satu2. Berikut kritik2 dari reviewer2 di dunia. Bahkan saking lucu novelnya, jika ada orang tertawa hebat, selalu dikatakan kemungkinannya hanya 2: orang itu gila, atau ia sedang membaca Don Quixote.
Novelis Vladimir Nabokov termasuk yang tidak menyukai novel ini, keras sekali dikritiknya beberapa adegan yang dinamainya "hidden cruelty". Rupanya ia bukan penggemar adegan adegan slapstic yang menertawai kekonyolan dan kecelakaan orang. Kira2 sengamuk apa Nabokov bila menonton film film Warkop DKI? 🤣
Bijaknya GM, dia menganalisa semua kritik termasuk slapstic2 di novel ini dengan saaaaaangaaat cerdas. Dikaji dari sudut historis, timing, sampai psikologis. Betaaaahh sekali membaca bedah 200 halaman kalau begini caranya.