Dalam narasi sejarah yang populer di Indonesia, Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 lebih sering dipandang semata-mata sebagai kisah sukses Indonesia dalam menggelar sebuah konferensi tingkat dunia. Latar belakang yang kompleks dan perdebatan-perdebatan keras yang berlangsung antar pesertanya justru jarang ditampilkan.
Buku ini bermaksud melihat KAA 1955 secara lebih kritis dan komprehensif dengan menyuguhkan kompleksitas riil konferensi tersebut. KAA diadakan di tengah gelombang dekolonisasi sekaligus Perang Dingin, dan pemikiran yang melandasinya bisa dilacak jauh ke belakang ke aktivitas gerakan-gerakan antikolonialisme dan antiimperialisme Asia dan Afrika awal abad ke-20. Buku ini bermaksud menelusuri asal-usul, momen, dan warisan KAA melampaui warisan institusionalnya, selain untuk menyediakan analisis dalam melihat respons kekuatan adidaya dan publik Indonesia sendiri terhadap konferensi ini.
“Buku karya Wildan Sena Utama ini memberikan tinjauan terkini tentang studi mengenai KAA dan menempatkannya dalam konteks historisnya. Yang lebih penting lagi, risetnya didasarkan pada penelitian arsip multinasional. Selain dokumen yang pernah diterbitkan, Wildan telah melakukan penelitian di Institut Internasional Sejarah Sosial di Belanda dan Arsip Nasional Republik Indonesia. Penggunaan dokumen-dokumen Indonesia secara khusus memberikan wawasan baru mengenai kebijakan negara tuan rumah—dan dengan demikian mengembalikan peran Indonesia dalam sejarah internasional abad ke-20.” — Jürgen Dinkel
Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 yang selama ini umum diketahui hanya sebatas keberhasilan Indonesia, di bawah komando Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, menyelenggarakannya. Semangat dan gagasan intelektual dibalik penyelenggaran KAA tersebut jarang sekali dibahas, terlebih dalam konteks politik internasional masa itu. Penulis menunjukkan bahwa semangat KAA adalah untuk menciptakan keseimbangan politik internasional, yang saat itu didominasi oleh praktik imperialisme dan kolonialisme yang dimulai sejak awal abad ke-20.
Semangat tersebut tertuang di antaranya pada penyelenggaran pertemuan/konferensi perdana tokoh-tokoh darj Asia, Afrika, dan Amerika di Brussels, Belgia, pada tahun 1927, yang untuk pertama kalinya membahas permasalahan imperialisme dan penindasan kolonial. Runtuhnya dominasi Eropa memicu semangat negara-negara Asia untuk berkumpul di satu forum, bernama Konferensi New Delhi 1947, membahas upaya memperkuat solidaritas antar negara-negara Asia, dekolonisasi Asia, dan upaya mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat keterbelakangan pembangunan di negara-negara Asia. Pembicaraan awal mengenai keinginan untuk menyelenggarakan KAA sendiri dimulai saat beberapa tokoh berkumpul di Kolombo bulan April 1954 yang diusulkan oleh Ali Sastroamidjojo. Persiapan lebih lanjut terkait teknis penyelenggaraan kemudian dibahas dalam pertemuan berikutnya di Bogor bulan Desember tahun 1954.
Penulis di dalam buku ini juga memperkenalkan istilah Dunia Ketiga (Third Worldism) bukan sekadar dalam koridor geografis belaka, melainkan juga dalam sikap dan posisi dalam percaturan politik internasional yang pada waktu itu berada di tengah kemelut dua ideologi berbeda, komunisme dan liberalisme-demokrat (Perang Dingin). Di bab 2 buku ini, penulis juga memaparkan sikap-sikap negara Dunia Ketiga tersebut dalam merespons gejolak-gejolak akibat meletusnya Perang Dingin yang terjadi, seperti terhadap Perang Korea dan pendudukan Prancis di Vietnam. Dalam bab ini penulis juga memaparkan secara lebih rinci alasan-alasan dibalik pentingnya penyelenggaraan suatu pertemuan negara-negara Dunia Ketiga (KAA 1955): wujud konsistensi untuk memosisikan diri pada poros non-blok, pertimbangan munculnya kembali dominasi negara adidaya di Asia, dan kurang didengarnya suara negara-negara Asia dan Afrika di kancah dunia.
Salah satu 'warisan Bandung' yang penting adalah deklarasi komunike untuk mendukung kebebasan dan kemerdekaan negara-negara yang masih berada dalam jajahan bangsa asing, yang secara psikologis turut melemahkan justifikasi moral apapun terhadap kolonialisme. Semangat KAA ini menjadi penting bafi negara-negara di Afrika, karena pada tahun 1950-an mereka sedang berada pada momen menuju kemerdekaan. KAA menjadi semacam 'tekanan psikologis' bagi pihak kolonial untuk mengubah arah kebijakan politik mereka. KAA juga menjadi tonggak terselenggaranya konferensi 'All African Peoples Organization' di Accra pada tahun 1958, diinisasi oleh PM Ghana Kwame Nkrumah. Konferensi ini menyatukan gelora kemerdekaan negara-negara Afrika, karena sepanjang tahun 1957-1962, 25 negara menyatakan kemerdekaannya. Perubahan cepat arah politik Afrika ini turut mempengaruhi arah politik PBB yang sblmnya didominasi oleh pengaruh AS.
Penulisan sejarah Indonesia dalam sistem pendidikan terkesan melompat-lompat dan mengabaikan detail-detail peristiwa yang lain. Untuk itu buku ini hadir guna memberikan pemahaman sejarah yang lebih terperinci mengenai fenomena sejarah yang minor terdokumentasikan.
Selain itu, buku ini juga mampu memberikan gambaran yang cukup komprehensif mengenai KAA, sejak pra sampai pasca pelaksanaan. Hingga relevansi nya dengan jaman sekarang.
Secara garis besar, buku ini membicarakan tentang negara baru yang berusaha mencari panggung dan merebut prestise dalam konstituen yang lebih luas. Pada konteks buku ini, mengacu pada geopolitik dunia.
Karya ini adalah sebuah panduan yang sangat lengkap, rinci, dan menarik sekali bagi pembaca yang ingin mengetahui tentang KAA. Sena menyajikan penjelasan yang runut mulai dari latar belakang KAA yang meliputi Perang Dingin dan situasi sosial politik negara-negara peserta KAA, jalannya KAA berikut sangat banyak kutipan pidato pesertanya sampai dengan arti penting KAA, pencapaian dan kemundurannya.
Dengan begitu ada banyak sekali pengetahuan baru yang didapat dari buku ini yang mana selama ini hanya diulas sekilas dalam buku-buku sejarah lainnya. Penyampaian Sena pun sangat mudah untuk dipahami dan dinikmati sehingga tidak butuh waktu lama untuk selesai membaca buku ini. Pembacaan yang singkat tapi sangat kaya dan mencerahkan
Sejauh ini, merupakan buku terbaik yang merangkum dan menjelaskan betapa penting dan kompleksnya Konferensi Asia-Afrika 1955 yang dilaksanakan di Bandung.
Utama memberikan kebaruan dalam melihat Konferensi Asia Afrika yang selama ini hanya menyempil sebentar di buku-buku sejarah. Sekalipun konferensi ini mengembangkan imajinasi kita tentang negara Indonesia yang jaya, perhelatan ini juga memiliki nilai internasional yang perlu diletakkan analisisnya pada situasi Perang Dingin. Konferensi ini berawal dari Konferensi Kolombo yang mempertemukan lima negara Asia yang baru merdeka: Indonesia, India, Pakistan, Burma, dan Sri Lanka. Terbangun dari euforia kemerdekaan dari negara-negara penjajah, kelima negara ini ingin meluaskan solidaritas global ke negara-negara yang juga baru merdeka dan ingin lepas dari kekangan imperialisme. Wujud dari niat itu adalah di Bandung, 1955. Melalui penelusuran ke arsip-arsip negara dan juga ke berita-berita yang dimuat pada periode itu, Utama mampu untuk menggambarkan bukan hanya keberhasilan mempertemukan negara-negara yang nantinya akan punya masa depan tidak rukun (India dan Pakistan, misalnya), tetapi juga sentimen kolonialis dari negara-negara berkembang yang menganggap sebelah mata konferensi ini, sampai ke intrik-intrik internal menjelang dan saat konferensi. Ketegangan misalnya terjadi ketika Thailand dan Kamboja menyinggung secara tidak langsung RRC sebagai salah satu aktor yang melakukan ekspansi baru. Zhou Enlai, sebagai perwakilan dari RRC, langsung memberikan tanggapan yang sifatnya netral dan berkata bahwa kehadiran dirinya di konferensi itu adalah “untuk bersatu dan bukan bertengkar, untuk menemukan persamaan ketimbang perbedaan.” Penulis juga menggambarkan bagaimana sekalipun Bandung meninggalkan banyak warisan untuk pemikiran antikolonialisme di masa-masa mendatang, Bandung sulit untuk menjadi jalan tengah dari dua kekuatan utama yang sedang bertarung pada masa Perang Dingin. Angan-angan untuk mendirikan poros ketiga—bahkan untuk membuat sekuel dari konferensi ini—gagal karena pergolakan politik dalam negeri sendiri (Indonesia, Burma), konflik antara negara-negara peserta konferensi (konflik India-Cina) atau gerakan antiimperialisme tandingan (Yugoslavia dengan Konferensi Beogard-nya).
The 1955 Asian-African Conference (KAA) was a momentum for the development of anti-colonialism and coexistence efforts amid the raging Cold War for third world countries. Indonesia hosted this conference, which was held in Bandung. In the future, the member countries of the conference gathered solidarity under the name Bandung Regime. This book not only highlights the process of the KAA from its inception in Colombo by Ali Sastroamidjojo and four other prime ministers (Nehru, Ali Jinnah, U Nu, Kotalewala) to voice the aspirations of newly independent Afro-Asian countries or those still struggling against colonialism. In particular, it was so that their voices would carry more weight with the United Nations. This book also highlights the proto-KAA, which was reviewed since the Anti-Imperialism League in Brussels, as well as the legacy of the KAA for Afro-Asian solidarity after its fall until today. I enjoyed reading about the debates that arose during the conference, ranging from issues of colonialism, coexistence, human rights, to security rights. However, there are some shortcomings, such as small details that were overlooked. For example, there is no explanation of why Egypt became the United Arab Republic, or how Sukarno's guided democracy increasingly reinforced his anti-colonial policies, or the omitted story of Algeria's independence (in 1955, Algeria was not yet independent but hosted the second KAA in 1965, which was never held). These small details are important to add in order to reinforce the narrative and clarify it so that nothing is overlooked.
Menurut cover belakangnya, buku ini bertujuan melihat KAA dengan lebih "kritis dan komprehensif", menggambarkan latar belakang kompleks dan perdebatan keras, bukan sekadar kisah sukses Indonesia yang digambarkan di buku sekolah. Buku ini memang menyuguhkan KAA dengan lebih kritis dan kompleks, tapi sayangnya kebanyakan isi bukunya terlalu datar dan tidak banyak informasi baru. Banyak topik yang dibahas terlalu panjang lebar, misal pengaruh ke anti kolonialisme, pengaruh perang dingin, posisi peserta yang beragam, dsb tapi sebenarnya yang diulas itu-itu aja. Tapi kalau dari segi akademis dan sumber-sumber sejarah yang digunakan buku ini oke lah. Mungkin lebih cocok jadi artikel atau paper 10-20 halaman dibanding buku 200+ halaman.
Dari buku ini kita dapat melihat bagaimana timeline awal dan akhir penyelenggaraan dan warusan KAA, dari awal konsepsi2 di masa sebelum KAA diadakan hingga 10 tahun setelah dicetuskanya 'Semangat Bandung'.
Minusnya ada banyak bagian dimana penjelasanya sangat panjang dan meluber, namun pada saat yang sama banyak terms dan poin2 di bagian lain yang tidak diberikan penjelasan.
Salah satu topik sejarah yang banyak dikenal rakyat indonesia namun sedikit sekali membahas mengenai detail dan efek dari KAA ini, buku ini dengan jelas membantu mendalami KAA mulai dari awal hingga dampak nya bagi dunia
It’s a good book to now about the foundation of Indonesian foreign policy as many values and spirit prior to and after 1955 Bandung Conference are still relevant until today.