Memandang sebuah foto artinya memandang melalui mata seorang fotografer. Tak pelak, seorang fotografer adalah seorang pengembara dalam semesta penampakan. Ia berjalan, memandang, dan memotret. Berjalan, memandang, dan memotret. Sedangkan kita hanya tinggal membuka mata di depan foto untuk melihat pemandangan yang sama.
Masalahnya, seberapa jauhkah para pemandang foto ini akan melihat juga segala sesuatu yang dilihat sang fotografer? Tepatnya, seberapa jauh mata kita terbuka, meskipun gambarnya nyata-nyata ada di depan kita?
Rupa-rupanya, mata yang terbuka saja belum cukup untuk memandang dunia. Seperti para fotografer, para pemandang foto pun harus berangkat mengembara dalam semesta penampakan itu, dan membingkai pembermaknaannya sendiri.
Seno Gumira Ajidarma is a writer, photographer, and also a film critic. He writes short stories, novel, even comic book.
He has won numerous national and regional awards as a short-story writer. Also a journalist, he serves as editor of the popular weekly illustrated magazine Jakarta-Jakarta. His piece in this issue is an excerpt from his novel "Jazz, Parfum dan Insiden", published by Yayasan Bentang Budaya in 1996.
pastikan anda sedikit memahami tentang hermeneutika ketika akan membaca buku ini, jika tidak anda akan mengalami hal yang sama dengan saya. Mengulang-ulang membaca, membalik beberapa halaman yang telah dibaca sebelumnya, sehingga membaca buku ini jadi terasa lama ... :D
Da-sein dan Mitda-sein.
Buku yang sebenarnya adalah thesis penulis ini membahas bagaimana sebuah foto akan menjadi hanya sebuah gambar (benda) tak berarti, jika Sobyek-yang-Melihat tidak memaknai, bukankah sesuatu (benda) itu dianggap "ada" jika bermakna.
Sedari awal sampai akhir dalam buku ini, akan banyak dijumpai kata Da-Sein dan Mitda-sein dan parahnya saya tak benar-benar paham apa maksud keduanya sampai bacaan sampai mencapai 48 %. Meski begitu pemahaman saya tak lebih dari 20 % saja.
Sobyek-yang-Memotret dan Sobyek-yang-Memandang
Buku ini berisi puluhan pendapat para fotografer tentang bagaimana fotografer sebagai Sobyek-yang-Memotret memaknai foto (benda) hasil karyanya. Sebut saja Paul Caponigro, Duane Michale, Augus Sander dan banyak lainnya, termasuk Kassian Chepas (fotografer pertama dari kalangan pribumi).
Satu hal yang menarik adalah kutipan " Fotografer mati setelah fotonya jadi " (hal. 123)
Akhirnya ...
Saya tak bisa menulis lebih banyak lagi, selain pemahaman saya yang kurang, juga karena saya belum selesai membaca buku ini. Suatu saat pasti akan saya selesaikan buku keren karya Seno ini ... :)
Buku yang cukup unik: asalnya tesis, temanya fotografi dengan pendekatan fenomenologi Heideggerian. Buku fotografi dengan banyak kutipan filsafat. Buat orang awam, buku ini barangkali terasa sangat liat.
Tersebab mulanya tesis di Universitas Indonesia, diksi yang digunakan masih kental nuansa akademis. Sistematika penulisannya pun tak banyak dirombak: kurang sederhana.
Namun, harus diakui ide Seno Gumira Ajidarma yang mengawinkan ilmu fotografi dengan filsafat benar-benar orisinal. Tersebab dua hal tersebut telah akrab dengan penulisnya (satu kegemaran, satunya lagi ilmu yang dipelajari di kampus), buku ini mengalir seperti seharusnya dan, bagi yang sudah punya pengetahuan satu dari dua hal itu, lumayan nyaman dicerna.
Dunia ini penuh dengan keajaiban karena hal-hal yang tidak masuk akal masih terus berlangsung. Seorang fotografer ingin membagi duka dunia di balik hal-hal yang kasat mata....para fotografer membagi pandangan, tetapi yang memandang fotonya ternyata buta meskipun mempunyai mata.
Keajaiban dunia adalah suatu ironi, di depan kemanusiaan yang terluka, manusia tertawa-tawa.
Baca buku ini memang gak bisa sekaligus selesai, filosofi eksistensialisme bukan topik diskusi favorit saya. Tapi paling suka pendapatnya SGA tentang Henri Cartier-Besson dan Robert Capa, dua fotografer yg menurut saya paling pantas dapat label Time Framer.
Fotografi mengajak saya untuk lebih peka dengan sekitar. Setiap momen yang kita lalui kemudian dikekalkan dari 'frame-frame' foto, berhenti, dan memiliki banyak tafsir. Lewat buku ini saya belajar untuk memaknai foto sebagai hal yang bisa kembali mendefinisikan tentang kita dan sekitar.