Jump to ratings and reviews
Rate this book

Bertahan Hidup di Pulau Buru

Rate this book
Pada hamparan semak dan padang ilalang ditempatkan lokasi unit‐unit pemukiman yang dilengkapi sebuah asrama untuk peleton pengawal, mess komandan beserta anggota stafnya, dan bangunan untuk gudang alat. Keadaan seperti itu masih bisa disebut lebih “baik” karena rombongan tapol yang dibuang setahun lebih dahulu, yang ditempatkan di Unit I Wanapura, Unit II Wanareja, dan Unit III Wanayasa, benar‐benar dibuang begitu saja di hamparan ilalang tanpa peneduh selembar atap pun. Mereka mendapat perlakuan yang lebih buruk daripada perlakuan terhadap barang. Harkat dan martabat mereka benar‐benar direndahkan. Pada malam hari mereka berteduh di bawah naungan semak atau belukar.

Melalui sistem kerja rodi, tapol diharuskan membuka lahan pertanian. Ketika lahan belum bisa menghasilkan apa pun untuk dimakan, bahan makanan yang tersedia jauh lebih cepat habis. Hanya tiga bulan saja lamanya, jatah nasi sudah tidak bisa ditemukan lagi.

Nama resmi daerah pembuangan tapol ini adalah Tefaat Buru atau Tempat Pemanfaatan Pulau Buru. Sebuah nama yang cukup jujur, sesuai dengan ungkapan keinginan si pencipta nama. Keinginan penguasa untuk memanfaatkan manusia tawanannya sebelum mencapai tujuan akhirnya, penghancuran. Pilihan nama tersebut ceroboh dan pongah. Sekaligus membuktikan rendahnya budi dan moral pihak yang menciptakannya. Dia asyik dibuai kepuasan nafsunya sendiri, sehingga lupa istilah yang diciptakannya merupakan tindakan memanfaatkan manusia, apalagi dilengkapi dengan kerja paksa, jelas mengingkari moral manusia beradab.

Mars Noersmono pada bulan Oktober 1965 dijemput Kodim Jakarta, ditahan di RTC Salemba selama hampir 5 tahun, lalu dipindah ke RTC Tangerang. Tahun 1971 dikirim ke Pulau Buru dengan Kapal Tokala bersama sekitar 1500 orang tapol lainnya. Tiba di Pulau Buru ditempatkan di Unit XIV Bantalareja di Way Bini.

Jatuh korban akibat kelaparan, lalu lemah akibat terserang penyakit yang bertubi-tubi. Kondisi ini menghancurkan tubuh, menekan secara batin. Kondisi mental setiap tapol semakin bertambah gamang antara menghadapi kekerasan, kebohongan, ketidakpastian, dan penipuan.

Keterbatasan tidak menjadi alasan untuk tidak berusaha. Bahkan dalam keterbatasan itulah segalanya menjadi catatan dalam tulisan ini yang telah berhasil mempertahankan nyawa dan kehidupan para tapol. Energi yang telah dicurahkan para tapol pengasingan Pulau Buru, bersama keringat dan darah yang terkucur membasahi tanah di sana, terkumpul menjadi kekuatan besar yang berdaya menggetarkan sirkulasi ekonomi, sosial budaya lokal, pemerintahan daerah, dan terbangunnya ibu kota kecamatan Namlea. Kota ini menggeliat bangun dan menjadi paling berpotensi di Maluku Tengah yang berkedudukan sebagai pendukung ibu kota provinsi, Ambon.

Bertahan Hidup di Pulau Buru lengkap dengan 75 gambar sketsa dari penulisnya, Mars Noersmono. Inilah wajah kamp konsentrasi pembuangan tapol G30S Pulau Buru.

368 pages, Paperback

Published April 1, 2017

16 people want to read

About the author

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
2 (28%)
4 stars
3 (42%)
3 stars
2 (28%)
2 stars
0 (0%)
1 star
0 (0%)
Displaying 1 - 5 of 5 reviews
Profile Image for Hendra Putra.
31 reviews2 followers
May 1, 2021
Ini adalah buku yang sangat tidak mungkin terbit jika reformasi 1998 tidak terjadi di Indonesia. Setelah demokrasi benar benar dirasakan pasca reformasi, ada keinginan dari generasi muda untuk mendemokratisasi pengetahuan sejarahnya. Dan ternyata, banyak sekali hal yang harus diluruskan tentang tragedi masa lalu dan doktrin orde baru yang sampai saat ini masih menjadi hegemoni pengetahuan masyarakat Indonesia. 11000 orang yang dituduh komunis dibuang ke pulau buru tanpa proses peradilan. Dipaksa hidup dengan serba kekurangan bahan makanan dan banyak memakan korban jiwa yang tidak hanya karena kelaparan, tetapi juga pembunuhan yang dilakukan oleh rezim melalui alat negaranya. Penyiksaan adalah hal yang sangat wajar. Anehnya lagi, buku ini membuka rendahnya moral rezim orde baru yang berusaha menanamkan pancasila kepada para tertuduh komunis, tetapi disatu sisi mereka menghalalkan penyelundupan kayu, atau menjual jatah beras tapol (tahanan politik) untuk masuk ke kantong sendiri dan membiarkan sipesakitan mati kelaparan. Disamping kekurangan bahan makanan, juga diberlakukan kerja paksa seperti membuka lahan, membuat saluran irigasi, membuat jalan. Mirip seperti romusha jepang, yang jika kedapatan malas malasan bekerja, akan dihajar oleh popor senjata dan sepatu lars.

Faktanya, tidak semua orang buangan adalah anggota PKI, kebanyakan dari mereka bahkan tidak berideologi komunis sama sekali. Malah kebanyakan adalah petani yang tergabung dalam organisasi BTI (yang dikategorikan sebagai onderbouw nya PKI), orang orang desa yang bahkan tidak bisa baca tulis dan tidak pernah sekolah. Alasan akhirnya mereka dibebaskan pun sebenarnya dikarenakan desakan pihak asing, yang tidak mau menanamkan modalnya di Indonesia jika Indonesia masih memelihara kamp konsentrasinya di pulau buru. Diantara mereka juga terpadat para cendekiawan alumni kampus seperti ITB, UI, UGM, pelukis-pelukis hebat, penulis besar (salah satunya Pramoedya Ananta Toer). Mungkin bisa dibilang, Orba berhasil membasi puluhan ribu akademisi dan seniman hebat yang harusnya bisa membuat Indonesia menjadi negara maju lebih cepat. Dan harusnya, generasi setelah reformasi memiliki pemahaman sejarah yang sesuai fakta (dari kedua belah pihak), sehingga bangsa ini bisa belajar dari kesalahan masa lalu dan tidak akan mengulanginya di masa depan.

Mengenai penulisannnya, buku ini salah satu buku yang sulit dibaca. Karena sangat banyak informasi teknis yang sangat sulit dicerna oleh orang awam, seperti ttg metoda pukul sagu, desain irigasi, desain sawah, dll. Menariknya, buku ini dilengkapi oleh sketsa teknis yang dibuat sendiri oleh penulis (penulis adalah mahasiswa (alumni?) Teknik Arsitektur ITB dan tergabung dalam CGMI, organisasi yang dianggap dibawah PKI oleh Orba). Tetapi diluar pembahasan teknisnya, banyak sekali kekejaman orde baru yang dibeberkan di buku ini. Semoga kita semua bisa mengambil pelajaran.
Profile Image for Joshua.
62 reviews1 follower
May 18, 2025
Buku Bertahan Hidup di Pulau Buru saya peroleh di acara perayaan ulang tahun Mia Bustam ke-102 yang diadakan di Goethe Institut. Cukup lama buku ini berada di rak hingga akhirnya selesai juga saya baca selama kurang dari sebulan di tahun 2025.

==

Ekspektasi saya awalnya, buku ini akan menggambarkan dinamika kehidupan Tefaat Buru dengan proporsi yang banyak pada penderitaan psikologis dan fisik yang dialami para tapol. Ternyata buku ini justru banyak menghadirkan segi teknis cara bertahan di Pulau Buru, sehingga sangatlah selaras dengan judulnya.

Seketika membaca, memperhatikan susunan kalimat dan gambaran menyeluruh serta melihat sketsa yang komprehensif, langsung saya kenali pasti penulisnya adalah seorang lulusan teknik. Ternyata benar saja bahwa pak Mars memiliki latar pendidikan arsitektur (walaupun kehidupan akademiknya tidak usai dikarenakan geger Gestok).

Buku ini mengandung begitu banyak informasi rinci yang bisa saya katakan tidak banyak digambarkan di buku-buku terkait Tefaat Buru lainnya yang beredar. Informasi ini sangat bermanfaat karena menghadirkan segi lain cara Tapol melewati kehidupan di tempat pembuangan. Sekaligus bersamaan, saya bisa merasakan kepribadian penulis yang memiliki memori sangat kuat, (karena kemampuannya bisa menghadirkan buku ini dengan jenjang pasca pembebasan berdekade-dekade setelahnya), objektivitas dalam menilai situasi dan lingkungan, banyak akal atau kreatif, serta praxis yang baik berlandaskan teori akademik ataupun bacaan di masa lalunya. Referensi yang saya peroleh dari buku ini juga banyak karena beberapa kali penulis menyebutkan kembali buku atau sumber yang pernah ia baca di masa sebelum ia ditahan.

Penutup buku ini merangkum bahwa pak Mars adalah orang yang menatap masa depan dengan sikapnya yang kuat untuk memilih hidup di Pulau Buru setelah pembebasan serta terus berkarya sebagai arsitek dan penasehat sipil (diceritakan juga saat orang-orang dinas PU datang untuk membangun bendungan). Kesukarelaannya untuk membantu dilandasi kecintaannya pada nilai kemanusiaan dan nasion Indonesia yang ia pegang sebelum masa Orde Baru.

==

Buku ini saya rekomendasikan bagi pembaca yang ingin mengenali segi teknis (non-historis/politis) kehidupan di pembuangan Pulau Buru.
Profile Image for Kristoporus Primeloka.
116 reviews6 followers
April 5, 2018
Mengapa kita membutuhkan (membaca) cerita-cerita arsitek? Apakah dengan membaca cerita-cerita arsitek kita memperoleh pemahaman terhadap realitas arsitektur? Jika iya, apakah cerita-cerita dari arsitek adalah realitas arsitektur itu sendiri? Pertanyaan-pertanyaan ganjil ini muncul setelah saya tandas membaca buku berjudul 15 Cerita Arsitek Muda terbitan IMAJI disusul sebuah buku tulisan Mars Noersmono berjudul Bertahan Hidup di Pulau Buru terbitan Ultimus, dua buku tersebut terbit pertama kali pada tahun 2017. Dari dua buku tersebut, buku terakhir menawarkan cerita-cerita yang jauh berbeda dibandingkan dengan yang pertama karena ditulis oleh seseorang yang tidak sempat menamatkan pendidikan arsitektur, tetapi menggunakan pengetahuan yang dipelajarinya untuk bertahan hidup di bawah rejim yang represif dan dengan segala keterbatasannya tetap bertekun di seputar bidang tersebut hingga usia senja. Apakah dengan membaca tulisan seseorang yang gelar sarjana arsitektur pun tidak punya kita akan secara otomatis tidak mendapatkan pemahaman terhadap realitas arsitektur? Belum tentu!

Mars Noersmono merupakan bekas tahanan politik jaman Orde Baru. Pria kelahiran Jakarta 9 Desember 1939 itu pertama berkuliah di Akademi Seni Rupa Jakarta tahun 1959, setahun kemudian masuk Akademi Teknik Nasional di Jakarta lalu pada tahun 1961 diterima di Jurusan Arsitektur ITB. Belum sempat menamatkan pendidikan arsitekturnya di ITB, sekitar Oktober 1965 Mars Noersmono dijemput Kodim Jakarta karena namanya tercatat sebagai simpatisan CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang terkait dengan partai terlarang versi Pemerintah Orde Baru. Ia ditahan di RTC (Rumah Tahanan Chusus) Salemba selama hampir 5 tahun, dipindah ke RTC Tangerang, kemudian pada 10 Agustus 1971 dikirim ke Tefaat (Tempat Pemanfaatan) Pulau Buru dengan kapal Tolaka bersama 1500 orang tahanan politik lainnya. Di pulau asing itulah Mars Noersmono memulai cerita-ceritanya.

....bersambung nanti di blog>>
7 reviews
November 15, 2020
“…Kekerasan yang semula menakutkan kini menjelma menjadi semacam selingan hidup, bahkan bagaikan lelucon saja. Lelucon yang bisa kami anggap pantas untuk ditertawakan. Selama belum menghampiri maut, tidak banyak mengeluarkan darah, tidak ada tulang yang patah, maka kami masih sanggup menertawakannya. Tentu saja tidak semua sanggup menertawakan kekerasan seperti ini. Biasanya mereka yang relatif berumur muda yang sanggup menertawakannya.”

Tulisan panjang dan dalam dari kisah-kisah selama hidup di Pulau Buru. Mars Noersmono, menulis buku hariannya itu dengan penuh horor, keberanian, keputusasaan, dan harga diri.

Perjalanan Noersmono ke penjara dimulai ketika ia berusia 25 tahun, sarjana teknik di tahun terakhirnya di Institut Teknologi Bandung. Sebelum pergi ke ibukota Jawa Barat, ia pernah belajar seni di Jakarta dan mengambil kursus arsitektur. Perkenalannya dengan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) membawa Ia ke Pulau Buru.

Selain kemarahan, yang tersisa dari buku ini adalah kekaguman saya pada kecerdasan Mars Noersmono. Sketsa-sketsa proses pembangunan Tefaat Pulau Buru, semacam "diary" dari seorang peneliti -meskipun di bawah bayang-bayang todongan senjata.

Semua kemarahan itu, berakhir pada satu kisah percintaan dia dengan kekasihnya, “Jika saya tidak dikirim ke Buru saya tidak akan bertemu dengan kekasih saya.”
Profile Image for Hero Yudha.
23 reviews1 follower
August 4, 2018
Sejarah memang milik pemenang. Revolusi selalu meminta tumbal. Kematian masal hanya data. Pembuangan kolektif hanya berupa angka. Bagi bangsa yg berpikir, sudut pandang alternatif adalah hal mutlak. Membaca kesaksian tumbal "revolusi" memberikan pandangan dari sudut yg berbeda selain yg dijejalkan rejim selama ini. Selayaknya bagi sebuah bangsa yang mengaku beradab, perampasan hak dasar manusia merupakan kejahatan. Lalu selama ini bangsa macam apa kita ini?
Displaying 1 - 5 of 5 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.