Jump to ratings and reviews
Rate this book

The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder

Rate this book
For the past half century, the Indonesian military has depicted the 1965-66 killings, which resulted in the murder of approximately one million unarmed civilians, as the outcome of a spontaneous uprising. This formulation not only denied military agency behind the killings, it also denied that the killings could ever be understood as a centralised, nation-wide campaign.
Using documents from the former Indonesian Intelligence Agency’s archives in Banda Aceh this book shatters the Indonesian government’s official propaganda account of the mass killings and proves the military’s agency behind those events. This book tells the story of the 3,000 pages of top-secret documents that comprise the Indonesian genocide files. Drawing upon these orders and records, along with the previously unheard stories of 70 survivors, perpetrators, and other eyewitness of the genocide in Aceh province it reconstructs, for the first time, a detailed narrative of the killings using the military’s own accounts of these events. This book makes the case that the 1965-66 killings can be understood as a case of genocide, as defined by the 1948 Genocide Convention.
The first book to reconstruct a detailed narrative of the genocide using the army’s own records of these events, it will be of interest to students and academics in the field of Southeast Asian Studies, History, Politics, the Cold War, Political Violence and Comparative Genocide.

349 pages, Kindle Edition

Published January 19, 2018

16 people are currently reading
416 people want to read

About the author

Jess Melvin

6 books3 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
37 (67%)
4 stars
14 (25%)
3 stars
2 (3%)
2 stars
0 (0%)
1 star
2 (3%)
Displaying 1 - 14 of 14 reviews
Profile Image for Trevor.
1,523 reviews24.8k followers
May 16, 2025
Oh god – I knew I needed to read this book – but this is not an easy book to read. Or rather, it is easy enough, but like reading any book about a genocide, it is hard. The central question here is how much did the Indonesian military know about the extent of the slaughter that was going on in 1965 and to what extent were they the main organisers of that atrocity? And the answers are everything and totally. I’ve become particularly interested in this history for a number of reasons. The first is that Australia seems to have played a major role in this – as our prime minister at the time is quoted here as saying, “With 500,000 to one million communist sympathisers knocked off, I think it’s safe to say a reorientation had taken place.” This level of jokey callousness at least proves that the West’s disregard for the murder of millions hadn’t started with Gaza.

The other reason is that my most recent ex was born in Indonesia and so I’ve become fascinated by the country. She is of Indian background, and there was virtually nothing in this about the Indian community there and how they were treated or behaved during the mass killings. Not something that you could say about the Chinese – who were immediately associated with the communist party and became immediate victims. I read an article recently that said racism against the Chinese in Indonesia remains high, although they continue to dominate the economic life of the country.

The point of the killings was to cut off the communist party to the roots – and hence the claim of genocide. And this was meant quite literally - killing generations in the same family, down to the smallest of children. This book studies mostly what happened in Aceh – given the author has discovered documents in that province. The communists had virtually nowhere to hide. When they turned themselves in to the police, the police either turned them over to the military to be taken to death camps or to the people who killed them in the streets.

As with other atrocities, the military pretended that it was the result of a spontaneous outrage by the public. Much as Kristallnacht was meant to have been. That no one has really been held accountable for this crime against humanity is a stain on our collective humanity.

A terrifying read – but even more terrifying when you remember that this was done with the full complicity of the US and Australia – right up to the point of providing names and addresses to the murderers. Yet another genocide the West celebrated.

I want to end with a nod to Bauman – that every genocide is a hygiene task. And that is why we call it ‘ethnic cleansing’. Kill enough of THEM and WE will be all the purer and all the cleaner for it. But their blood never leaves our hands and in our nightmares the eyes still stare at us from the heads we have cut off their bodies and left as a warning to our fellow citizens – look at our inhumanity, make sure you will not be next. The tales of people knowing they were about to be killed, but remaining true to their beliefs is always difficult to read. When my time comes, as seems increasingly likely in our grossly inequitable world, I hope I can share their courage.
Profile Image for Ann. .
68 reviews
July 9, 2025
Kalian pernah tidak, kebingungan dengan sebuah rumus matematika? Di mana rumus itu muncul di ulangan, ujian, ataupun tugas kalian yang membuat kalian bertanya-tanya?Sedang rumus itu sudah diajari oleh guru. Namun... ada sesuatu yang membuat kalian bingung—ada bagian rumus yang tak kalian ketahui benar detail lebih dalamnya—menyisakan pertanyaan di benak terdalam.

Ini sama halnya dengan Kejadian Pembunuhan Massal 1965—1966. Pernahkah guru kalian mengangkat topik ini sebagai pelajaran? Mungkin ada yang pernah, ada yang tidak. Kita anggap saja pernah.

Indonesia dan "Sejarah" di sekolah mungkin menggambarkan Pembunuhan Massal ini akibat "Pemberontakan G30S/PKI" dan tak pernah menjelaskan apa yang benar-benar terjadi dan menyisakan pertanyaan seperti: Siapa yang memulai? Kenapa PKI memberontak? Siapa dalang G30S? Kenapa tiba-tiba para Jenderal di bunuh? Siapa yang menghasut?

Di buku ini, semua itu dijelaskan. Benar-benar detail sampai-sampai membuat saya beberapa kali mengernyitkan dahi dan membuat saya kehabisan sticky note sebab banyaknya detail penting yang tak dijelaskan di buku pelajaran. Detail detail yang membuat "Sejarah" yang digambar di buku sekolah terasa seperti kebohongan belaka.

Buku ini benar-benar menjawab pertanyaan saya. Sangat, sangat, menjawab.

Sang penulis berhasil menjelaskan semuanya secara detail, perlahan. Seperti sedang membaca buku thriller pembunuhan—di mana kalian mengikuti jejak jejak awalnya, sampai ada bagian di mana "Sang Pembunuh" akhirnya terungkap.

Sayang sekali di GoodReads tidak bisa memberi bintang 10. Kalau ada, akan saya berikan itu untuk buku ini.
Profile Image for Seno Guntur Pambudi.
75 reviews31 followers
August 8, 2024
Selama setengah abad peristiwa paling berdarah yang pernah terjadi di Indonesia belum ketemu titik terangnya. Bukti-bukti baru belum juga ditemukan. Siapa dalangnya? Apakah militer dan negara mendukung pembantaian massal tersebut? Jess Melvin menjawabnya dalam Berkas Genosida.

Apakah militer mengorganisir pembantaian massal 1965-1966? Selama ini pertanyaan tersebut tidak terjawab karena tidak ada bukti otentik yg mendukungnya. Jess Melvin pulang dari Aceh dengan setumpuk berkas setebal 3000 halaman yg diabaikan petugas2 pemerintah.

Berkas yang berisi laporan2 militer tentang operasi penumpasan PKI hingga ke akar2 ya yg sangat terkordinasi dan sistematis. Melvin dengan tekun membaca berkas laporan tersebut. Laporan yang menjadi bukti bahwa militer menggerakan program untuk menumpas habis PKI dengan memaksa kelompok milisi sipil untuk ambil bagian.

Pembantaian massal dan konsolidasi kekuatan yang dilakukan militer dan kelompok milisi sipil Aceh dilakukan dalam empat fase. Fase pertama, pembantaian terbuka. Di mana anggota PKI dan antek2nya dibunuh di tempat umum yg akan menimbulkan ketakutan dan peringatan.

Fase kedua, pembunuhan sistematis dan senyap. Karena ketakutan, anggota2 PKI dan anteknya melapor kepada PM dan polisi. Dari sini militer mempunyai daftar anggota2 PKI yg siap dihabisi. Banyak dr mereka ditahan. Setelahnya akan dibawa dgn truk pada waktu malam untuk dieksekusi.

Fase ketiga dan keempat, kekerasan massal disertai pembunuhan etnis Tionghoa dan pembersihan pegawai pemerintah oleh oramg yg terindikasi berhubungan dengan PKI. Setelah semua ini dilaksanakan militer mengkonsolidasi diri untuk mengambil tampuk kepemimpinan negara.

Bukti2 yg ditemukan Jess Melvin menjawab pertanyaan selama ini. Apakah militer mengorganisir pembunuhan massal 1965-1966? Militer tidak hanya mengorganisir, tapi juga menekan kelompok milisi sipil dan agama untuk turut andil dalam operasi mereka.
Profile Image for Boyke Rahardian.
340 reviews23 followers
November 12, 2025
Penulis mendasarkan buku ini pada dokumen dan memo yang ditulis sendiri oleh militer Indonesia khususnya TNI AD, tak lama sebelum dan sesudah peristiwa G30S tahun 1965 terutama di Aceh dan sekitarnya. Dokumen-dokumen tersebut menunjukkan rapinya birokrasi militer bahkan dalam periode yang tak menentu saat itu, termasuk mengenai operasi pembantaian mereka yang dituduh terkait PKI. Menariknya, dokumen-dokumen tersebut tampaknya tidak sengaja diarsip secara digital kemudian masuk ke wilayah publik dan ditemukan oleh penulis.

Kesimpulan yang bisa ditarik dari dokumen-dokumen tersebut adalah: militer sudah lama mempersiapkan diri dalam menghadapi kemungkinan konfrontasi dengan PKI. Alasan utama mendukung operasi Dwikora yang dicetuskan Soekarno—alias konfrontasi dengan Malaysia—bukanlah keyakinan pada narasi anti-Barat dan anti-kolonialisme, tapi karena memberi kesempatan untuk menguji struktur komando alternatif yang relatif terlepas dari kendali Soekarno sebagai Panglima Tertinggi. Aceh dan Sumatera Utara adalah area yang ideal untuk hal ini karena secara geografis berhadapan langsung dengan Malaysia. Perlu dicatat bahwa PKI memanfaatkan Dwikora dengan tujuan serupa: melakukan mobilisasi dan pelatihan militer bagi kadernya.

Untuk alasan terjadinya dan siapa di belakang G30S, penulis terlihat sejalan dengan banyak sejarawan kontemporer seperti John Roosa yang menunjukkan G30S sebagai gerakan perwira muda AD, yang tidak puas atas manuver perwira tinggi yang diam-diam menggembosi Soekarno. Rencana para perwira muda ini terdengar dan dikipasi oleh Biro Chusus PKI, sebuah badan yang bertanggung jawab langsung kepada Sekjen PKI tetapi tidak kepada Partai.

Yang menarik disorot adalah hanya beberapa jam setelah penculikan Jenderal di Jakarta, dokumen-dokumen ini menunjukkan bahwa militer di daerah Aceh dan sekitarnya di bawah Jenderal A.J. Mokoginta dan Ishak Djuarsa langsung bergerak dan menyasar PKI. Anggota PKI sendiri tidak sadar atas skala G30S di Jakarta, bahkan Njoto salah satu anggota Politbiro PKI sedang berada di Langsa, Aceh pada tanggal 1 Oktober bersama wakil PM Soebandrio untuk melakukan rapat umum mendukung Dwikora. Bila memang PKI sungguhan berada di belakang G30S sulit untuk dipahami bahwa salah satu pengambil keputusan yang penting sedang berada jauh dari Jakarta sekedar untuk berpidato—walaupun memang ada desas-desus Njoto mulai terpinggirkan dari lingkar dalam kepemimpinan PKI.

Dokumen-dokumen militer ini selanjutnya juga memperlihatkan dijalankannya Operasi Berdikari yang bertujuan pada penghancuran total PKI. Di situ terlihat bahwa militer terlibat aktif dalam menuduh PKI sebagai dalang G30S, mendorong massa melakukan pengejaran dan penangkapan orang-orang yang dituduh terlibat PKI, membagikan senjata untuk keperluan 'pemusnahan G30S' dan mendukung pembentukan regu jagal yang terdiri dari elemen masyarakat umum (kebanyakan ex tentara DI/TII) dan mahasiwa.

Hasil dari semua ini sudah kita ketahui yaitu hilangnya paling tidak puluhan ribu orang dalam periode pembersihan PKI ini. Selain itu secara nasional Soeharto dan militer sukses melakukan kudeta merangkak-nya dan menancapkan kekuasaan Orde Baru selama lebih dari 30 tahun di Indonesia. Waktu yang cukup lama untuk melakukan propaganda menghapus ingatan massa pada peristiwa genosida ini. Bahkan setelah Orde Baru tumbang, tidak ada 'closure' yang cukup tegas untuk mengungkap kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang dilakukan rezim ini. Akibatnya ingatan bersama atas pengkhianatan PKI, alih-alih kekejian rezim Orde Baru, terus membekas pada sebagian besar masyarakat Indonesia bahkan generasi mudanya.

N.B.: Mokoginta dan Djuarsa sendiri akhirnya disingkirkan oleh Soeharto dan tidak pernah berada pada posisi penting dalam Orde Baru. Mokoginta adalah salah satu Jenderal sakit hati yang mencetuskan Petisi 50 yang mengkritisi Soeharto.
Profile Image for Ann T.
72 reviews
June 15, 2020
A very important book that layouts the atrocities committed systematically by the army using the less educated population at that time. It is a shameful period of Indonesia’s history. It was amazing that the author was able to obtain such documentary proofs from the local archives, which is important for the preservation of the history, however unpleasant the truth was. It makes me wonder if such documentaries could not be found in other parts of Indonesia also.
Profile Image for Lolita.
18 reviews
September 25, 2025
"Yang terjadi bukan karena kurangnya bukti, melainkan kurangnya kemauan politik"

Melihat sejarah dari perspektif yang berbeda.

Jess melvin memberikan cukup bukti bagaimana pemerintah ikut terlibat dalam Tragedi 1965-1966, dimana rakyat banyak menjadi korban. Dengan bukti yang ia dapat yaitu berupa Berkas Resmi dan wawancara dengan beberapa saksi juga pemerintah daerah aceh yang ikut terlibat. Jess melvin menyusun buku ini dengan sangat baik dan mudah dipahami.
603 reviews11 followers
November 20, 2025
I hope someone make this book available in Indonesian bookstores and have it translated. Essential study that confirms the central government-induced military culpability in Aceh of the Indonesian massacre/genocide of 1965. While the book concentrates on Aceh specifically, the book is specific enough that the evidence is clear. Melvin drew on a 3,000 pages archive she called the Indonesian genocide file that she gathered from a dusty library archive room somewhere in Aceh.

The book's strongest aspect lies in the detail of evidence based on the trove of files mentioned above and the dozens of interviews that the author conducted throughout Aceh, Hongkong, etc. The wealth of details reveal many aspects of the massacre/genocide that was still unclear.

The book's biggest problem is that it generalizes a nation wide pattern of a genocide of PKI supporters by military-backed civil organizations, although the evidence is only from Aceh. Instead, she argues that the burden of proof is on those who continue to insist on the military's version that the massacre were localized and instantenous reactions from locals outraged by PKI's betrayal and coup, because there is no evidence that Aceh presents a different pattern from the other regions.

I still object to calling it genocide although for all practical purposes it is a genocide. I think on the whole she seems to downplay the whole dimension of the 1965 massacre as a power struggle between army and PKI, although she is clearly aware of this. While there is no evidence of PKI having the means to support the 30 September had it succeeded, the intent is clearly there as shown from Sukarno's 17 August 1965 speech of establishing the Fifth Column, and as evident from books such as Taomo Zhou's book that argues that Sukarno and the Chinese government intends to arm PKI supporters with light arms. One should be aware of this potential of a civil war and understand the army's intention to preempt such a scenario when discussing this topic. Nevertheless, this should not exonerate the military and its supporters of committing massacre/genocide on PKI supporters/affiliates. An ideal/more humane solution will be if the army arrests key PKI officers involved in the coup and the organization while leaving others untouched (maybe a large chunk of section of Class A persons), but it is difficult to restrain the army in such a frenzy and fear.

Some of the main takeaways:
1. The military already prepared the instruments of massacre/genocide a few years prior, mainly through Sukarno's Ganyang Malaysia campaign. Organizations were set up, youths were given training in the use of arms. Officially for struggle against 'nekolim', the Army secretly prepares these organizations for its own upcoming struggle against PKI.
2. PKI was very ill prepared. The key persons and the functionaries were not aware of such a plot for a coup. Worse, it was not aware of the army's preemptive intention to arrest and massacre. In the period before the mass campaign and violence, these PKI members assumed that all the ruckus will go away. They held no suspicion against the police/army. They had no weapon.
3. The military, at least in Aceh, tried to avoid responsibility by framing the massacre/genocide as spontaneous civilian action. It pretended to give protection to PKI members/affiliates who turned themselves to the police, let them go home, before informing the civil organizations of the individual's location, rearresting, and then massacring. In some cases the algojos were ready to pick up and murder when the PKI members is let go from the prison.
4. The massacre was systematic, started of by committed against individuals (bodies found in public spaces, head cut and put on a stick). Later, when the massacre entered its systematic phase, it became more systematic (using truck, algojos used machete or machine gun, at a neighbouring region so the people won't recognize them).
5. Suharto and the military (in Aceh Djuarsa and Mokoginta) explicitly disobeyed orders from Sukarno, in the former case disobeying a stand down order to release his authority in 1 Oct 1965, while in the latter liberally interpretting Sukarno's order to keep calm as an order to making situation calm by speeding up the massacre.
6. The Army explicitly threatened Sukarno, and forced him to sign the Supersemar, with the implicit threat of removal from presidency. Melvin quoted a book from a former Presidential Guard personnel for this piece of fact.
7. Many civilians knew about the massacres, but pretended not to know in the open. This is also the algojo's behavior when interviewed. It still carries a strong taboo.
8. Once the systematic murders were done, the military gave a stand down order to stop the massacre, mainly to bring back order so the civil organizations don't have any chance of using the martial law situation to create chaos against the army.
9. The riot against the Chinese occured after this stage (in early 1966) although it has started much earlier.
10. In Aceh/Medan, the military tried protecting pro-Taiwan shops because of presumably orders from the central government, sometimes to the detriment of its image (it killed a demonstrator/rioter and resulted in some clashes between the rioters and the army).

There remains no justice for the victims while the central government continues to deny its (and the army's) culpability in the massacre. I hope this changes one day. This book has played not an unimportant role in advancing the scholarship and shedding some clear light on the military culpability. Much further study need to be done on the massacre/genocide in other regions.
Profile Image for sahla.
40 reviews
July 11, 2023
Pertanyaan yang selalu muncul di kepala saya ketika membicarakan peristiwa G30S, selain tentang siapa sebenarnya dalang di baliknya, adalah tentang mekanika pembunuhan massal yang terjadi setelahnya dan bagaimana pembunuhan semasif itu bisa terjadi di seluruh wilayah Indonesia dalam kurun waktu yang sama. Akhirnya, pertanyaan tersebut terjawab melalui buku ini.

Buku ini menyajikan narasi baru tentang keterlibatan militer terhadap pembunuhan massal 1965-1966, khususnya di Aceh, pasca persitiwa G30S. Buku ini menunjukkan betapa rapi dan terstrukturnya militer dalam mengkoordinasi pemerintah sipil dan masyarakat untuk berpartisipasi di dalam genosida melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh militer dan pemerintah sendiri. Penulis mendasarkan buku ini pada dokumen-dokumen yang dibuat oleh militer dan pemerintah sejak 1 Oktober 1965 untuk membantu genosida Indonesia terkoordinasi secara lebih baik dan dilaksanakan serentak.

Kesimpulan menarik dari dokumen-dokumen tersebut adalah militer telah lama mempersiapkan diri dalam menghadapi kemungkinan konfrontasi PKI karena masa-masa sebelum 1 Oktober 1965, keadaan militer dengan PKI memang memanas. Terlihat dengan militer yang mendukung penuh Operasi Dwikora yang dicetuskan Sukarno, militer melihat ini sebagai kesempatan untuk menerapkan struktur komando alternatif yang relatif tidak terikat pada Sukarno serta melakukan pelatihan militer pada rakyat sipil sebagai upaya kesiapan.

Selain itu, dokumen-dokumen tersebut juga memperlihatkan dijalankannya Operasi Berdikari, yaitu operasi yang memerintahkan militer dan masyarakat sipil untuk berpartisipasi aktif dalam "penghancuran total PKI". Melalui operasi ini terlihat bahwa militer terlibat aktif dalam menyebarkan propaganda bahwa PKI adalah dalang G30S bahkan menggunakan manipulasi agama ala militer dalam upaya penghancuran total PKI tersebut. Militer aktif mendorong massa melakukan pengejaran dan penangkapan orang-orang yang dituduh terlibat PKI, membagikan senjata, bahkan mendukung pembentukan regu jagal yang terdiri dari elemen masyarakat umum untuk keperluan pemusnahan PKI.

Sebagai anak muda yang lahir 3 tahun setelah reformasi dan hanya mengetahui cerita-cerita pada masa 1965-1966 dari kakek nenek yang telah terdoktrin propaganda Suharto, saya merasa dongkol setelah merampungkan buku ini. Dongkol karena mengetahui kebenaran yang sesungguhnya di balik pembunuhan massal 1965-1966, rasanya kok bisa orang-orang pada masa itu sebegitu mudahnya menyerahkan tetangganya, temannya, saudaranya sendiri kepada militer bahkan membunuhnya karena terlibat dengan PKI tanpa mengetahui kejelasan yang sebenarnya mengenai peristiwa G30S. Dongkol dengan suksesnya propaganda militer dalam berlangsungsnya genosida Indonesia ini, sampai-sampai pemerintah ikut ambil bagian dalam menyukseskannya. Pemerintah tutup mata atas pembunuhan massal yang terjadi masa itu dan mengklaim bahwa pembunuhan massal tersebut adalah reaksi spontan dari masyarakat.

Lantas, pertanyaan baru muncul di kepala saya: bagaimana kita mendekati isu terkait pertanggungjawaban? Siapa yang bertanggung jawab atas genosida Indonesia? Bagaimana cara membuat para pelaku (baik individu maupun badan) menebus dosa masa lalu tersebut?
Profile Image for Alif Dzikri.
12 reviews
November 9, 2025
Mudahnya, buku ini mengungkapkan bagaimana pembunuhan terhadap orang-orang yang terindikasi PKI. Tapi, bukan sekedar metodenya saja, melainkan bagaimana proses-proses yang lebih mendetail dari awal adanya instruksi militer yang mau membasmi PKI hingga ke akar-akarnya, gerakan dari berbagai ormas yang juga turut andil dalam pembunuhan, hingga bagaimana cara terduga ini dibunuh

Seperti yang diketahui bersama, pada dasarnya militer memang turut andil dalam genosida ini. Namun, bisa dibilang caranya cukup bersih untuk tidak meninggalkan jejak keterlibatan, di buku ini cukup dijelaskan bagaimana cara militer untuk seolah-olah tidak terlibat. Hasil temuan pun bukan sebatas bagaimana bentuk keterlibatan militer, tapi juga menjelaskan bagaimana masyarakat seolah-olah dibuat tidak tau apa yang terjadi setelah mereka membantu penangkapan, atau membantu dalam hal apapun yang terkait pembantaian ini.

dan genosida Aceh juga menjadi sebuah kondisi yang tidak umum terjadi, karena masyarakat yang masih dalam kondisi siap untuk melawan musuh karena pada saat itu masih ada propaganda "Ganyang Malaysia" dan juga militer yang berhasil menggaet para kelompok yang pernah melakukan pemberontakan di Aceh. Sehingga, kesiapan sipil untuk melakukan kontak fisik sudah cukup baik.

Memang kita tahu bahwa saat itu, cukup kelam, tapi dengan pencantuman hasil wawancara yang dilakukan Jess Melvin ke berbagai narasumber yang menjadi saksi hidup, cukup memberikan kesan bahwa era tersebut sungguh mengerikan karena hampir setiap hari pasti ada pembunuhan.
Profile Image for Galen Hosea.
17 reviews2 followers
July 14, 2025
Buku ketiga yang dibaca soal 1965 selain Algojo dan Metode Jakarta.

Isinya, buku ini melihat bagaimana pembunuhan massal 1965 hingga 1966 terjadi secara sistematis, terstruktur, dan resmi yang dilihat melalui berbagai arsip dokumentasi yang tersimpan.

Buku ini banyak menceritakan tentang kejadian yang terjadi di Aceh. Bagaimana sentimen keagamaan digunakan seperti orang komunis adalah Atheis, tidak percaya Tuhan, pantas untuk dibunuh

sangat kencang dibicarakan.

Buku ini memperlihatkan bahwa pembunuhan massal, atau lebih pantas disebut sebagai Genosida karena menghilangkan identitas secara besar-besaran dengan menggunakan instrumen keagamaan dan atas nama Bangsa.

Profile Image for Wul.
2 reviews
May 3, 2023
Jujur selesain buku ini agak lama karna bukan genre kesukaan. Ini buku agak brutal dan menyadarkan gue bahwasannya sejarah itu banyak diubah. Thanks bgt buat penulis udh menyajikan buku dengan fakta-fakta mencengangkan.
Profile Image for Ruru Frans.
95 reviews1 follower
August 3, 2025
Aku harap buku ini tidak menjadi salah satu buku yang dibungkam rezim saat ini. Ini bukti bahwa politik itu kejam dan semua orang menghalalkan segala cara, bahkan dengan melakukan genosida. Kekuatan yang ada digunakan untuk kekejian dan kebodohan dapat membuat kekuatan itu membesar.
Profile Image for naabilaputri.
26 reviews50 followers
May 25, 2025
buku ini terlalu bagus untuk sekadar diberi bintang lima.
Displaying 1 - 14 of 14 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.