Jump to ratings and reviews
Rate this book

Kambing dan Hujan: Sebuah Roman

Rate this book
Miftahul Abrar tumbuh dalam tradisi Islam modern. Latar belakang itu tidak membuatnya ragu mencintai Nurul Fauzia yang merupakan anak seorang tokoh Islam tradisional. Namun, seagama tidak membuat hubungan mereka baik-baik saja. Perbedaan cara beribadah dan waktu hari raya serupa jembatan putus yang memisahkan keduanya, termasuk rencana pernikahan mereka.

Hubungan Mif dan Fauzia menjelma tegangan antara hasrat dan norma agama. Ketika cinta harus diperjuangkan melintasi jarak kultural yang rasanya hampir mustahil mereka lalui, Mif dan Fauzia justru menemukan sekelumit rahasia yang selama ini dikubur oleh ribuan prasangka. Rahasia itu akhirnya membawa mereka pada dua pilihan: percaya akan kekuatan cinta atau menyerah pada perbedaan yang memisahkan mereka.

388 pages, Paperback

First published June 1, 2015

100 people are currently reading
947 people want to read

About the author

Mahfud Ikhwan

23 books74 followers
Mahfud Ikhwan lahir di Lamongan, 7 Mei 1980. Lulus dari Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Gadjah Mada, tahun 2003 dengan skripsi tentang cerpen-cerpen Kuntowijoyo. Menulis sejak kuliah, pernah menerbitkan cerpennya di Annida, Jawa Pos, Minggu Pagi, dan di beberapa buku antologi cerpen independen.

Bekerja di penerbitan buku sekolah antara 2005–2009 dan menghasilkan serial Sejarah Kebudayaan Islam untuk siswa MI berjudul Bertualang Bersama Tarikh (4 jilid, 2006) dan menulis cergam Seri Peperangan pada Zaman Nabi (3 jilid, 2008). Novelnya yang sudah terbit adalah Ulid Tak Ingin ke Malaysia (2009) dan Lari Gung! Lari! (2011). Novelnya yang ketiga, Kambing dan Hujan, memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014.

Selain menulis dan menjadi editor, sehari-harinya menulis ulasan sepakbola di belakang gawangdan ulasan film India di dushman duniya ka, serta menjadi fasilitator dalam Bengkel Menulis Gerakan Literasi Indonesia (GLI).

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
343 (39%)
4 stars
406 (46%)
3 stars
102 (11%)
2 stars
20 (2%)
1 star
6 (<1%)
Displaying 1 - 30 of 239 reviews
Profile Image for Teguh.
Author 10 books335 followers
June 22, 2015
Ini novel bahasanya sangat sederhana, encer, mengalir padahal tema yang diangkat sangat berat dan sensitif di masyarakat kita. Soal pergesekan NU dan Muhammadiyah yang sampai sekarang tak kunjung reda, terutama di kelompok akar rumput.

Dikisahkan Miftah dan Fauzia saling suka. Miftah anak Pak Iskandar adalah dari jamaah masjid utara yang berafiliasi pada Muhammadiyah. Sedangkan Fauzia adalah putri Pak Fauzan, tokoh penting dalam peribadatan NU di masjid selatan. Selatan dan Utara yang sebenarnya hanya dipisah jalan menjadi seolah tersela jurang, karena sejarah silam yang membuat karib akrab Iskandar dan Fauzan menjadi "berseteru".

Utara dan Selatan menjadi dua kutub yang saling mengejek, menghina, dan terutama merasa benar atas cara peribadatan. Awal ramadhan berbeda, lebaran beda, subuh berbeda, salat taraweh beda jumlah rekaat, ds. Padalah kalau ditanya apakah mereka lebih senang lebaran sama-sama atau berbeda, tentu saja mereka akan menjawab tegas: lebih senang sama-sama. (hal.240)

Setelah Miftah dan Fauzia merunut sejarah muasal perdebatan itu, diketahui bahwa sumber permasalahan adalah HATI. Ya ada hati yang tersakiti. Satu karena wanit, satu lagi karena salah sangka. Sosok Hidayatun yang menjadi istri Pak Fauzan ibu Fauzia adalah wanita yang dahulu disukai Iskandar. Ya ditelikung.

Gaya bahasa encer dan tidak memihak membuat novelnya tidak terasa ini nahdiyin banget atau muhammadiyah banget. Potret fenomena sosial. Dan justru bertanya jangan-jangan seperti kata Cak Nun, bahwa Indonesia adalah bagian dari desa saya. Sehingga sebenarnya persoalan indonesia terutama karena soal-soal perbedaan hanya disebabkan persoalan remeh temeh tanpa kejelasan komunikasi.

Penulisnya aku suka! Kenapa? Bacalah! Akan ada perubahan POV yang manis dan seru. Sesekali Mahfud Ikhwan menjadi tuhan di ceritanya, sesekali dia menjadi hamba tokoh dalam ceritanya yang bercerita.
Profile Image for Pradnya Paramitha.
Author 19 books459 followers
March 30, 2023
Kukira cinta beda agama aja yang sulit, ternyata cinta beda masjid juga sama sulitnya 🥺

Novel ini mengisahkan tentang kisah cinta Fauzia anak Pak Fauzan (kiai masjid selatan yang beraliran NU) dan Mif anak Pak Kandar (kiai masjid utara yang beraliran Muhammadiyah). Hubungan dua masjid ini sejak awal didirikannya udah complicated gitulah. Nah, jelas aja hubungan mereka bagaikan hubungan terlarang, mana bapak mereka udah puluhan tahun nggak saling bicara. Tapi tentu saja ternyata batu halangan Zia-Mif itu bukan cuma soal salat subuh pake doa qunut atau nggak. Perseteruan Pak Fauzan dan Pak Kandar itu bukan cuma soal masjid selatan vs masjid utara.

Buku ini kaya. Meski dilabeli roman yang merujuk ke kisah Fauzia dan Mif, tapi yang diceritakan lebih banyak dari itu. Ada tentang persahabatan, agama, politik, klenik, potret kehidupan di era tahun 60'an, budaya, sendi-sendi kehidupan masyarakat, banyak banget pokoknya.

Buku ini romantis dan mengharukan. Tapi dibanding hubungan Fauzia dan Mif, menurutku hubungan Mat dan Is ini jauh lebih mengharukan dan romantis. Adegan terakhir berbagi rokok di Gumuk Genjik itu sungguh bikin mixed feeling. Kocak tapi juga bikin hati hangat.

Buku ini indah dan mengalir lancar. Nggak banyak buku bertema religi yang kubaca. Jujur aja, aku lumayan menghindari novel-novel yang bertema religi karena bakal sulit relate-nya (karena yaah ... aku nggak terlalu religius 😅). Dan buku ini, isinya 90% soal agama meski dilihat dari banyak sisi. Tokoh-tokohnya santri, dan setting tempatnya juga Centong, desa santri. Buuut, penyampaiannya enak banget. Nggak ada kesan menggurui atau apa. Data sejarah, ayat, dalil, disampaikan dengan sangat ringan, nggak bikin bosan. Malahan aku suka banget gaya penceritaannya yang indah tapi sedikit ada satir-satirnya.

Di buku ini nggak ada protagonis dan antagonis. Kita diajak lihat dari sudut pandang selatan gimana dan utara gimana. Bahkan Pak Kamituwo yang disebut-sebut Is sebagai Abu Jahal itu ternyata nggak seburuk yang dia sangka.

Penulisannya juga rapi bangeet. Kayaknya sih aku nggak nemu typo (tapi kemungkinan besar sih aku nggak ngeh, karena terlalu fokus ngikutin alurnya 🤣).

Intinya, aku sukaaaaaaa buku ini. Dan btw, gara-gara buku ini aku jadi tahu kalau rabu itu bukan cuma nama hari, tapi juga berarti paru-paru. Keren!

4⭐️ untuk keseluruhan plot, penceritaan, karakter, dll + 1 ⭐️ bintang karena ini buku bertema religi dan aku sangat menikmatinya.

P.S. Adegan favoritku setelah gumuk genjik adalah adegan penebangan pohon mahoni. Ngakak 🤣
Profile Image for Op.
373 reviews125 followers
May 28, 2017
Aaaa... Sukaaaaa bangeeett....
Sukses bikin geli cekikikan sampe nangis terharuu. Huhuhu.
Profile Image for Ifa Inziati.
Author 3 books60 followers
October 21, 2015
Ini kata Mahfud Ikhwan tentang Kambing & Hujan di Klub Baca Bandung Jabar Book Fair - Kantinnasion: http://inziati.blogspot.co.id/2015/10...

"Tapi, bukankah tidak sembarang orang diberi kesempatan dan kehormatan untuk memperjuangkan cinta yang dicita-citakannya?" (hlm. 269)


My faith in DKJ Winner has been restored.

Jikapun naskah ini tidak diikutsertakan dalam lomba bergengsi itu, Kambing & Hujan sudah pasti dapat penghargaan dari saya sebagai Buku Terbaik yang Saya Baca Tahun Ini Sejauh Ini. Jikapun menang DKJ juga, memang pantas.

Dan meski blurb-nya menceritakan Mif dan Fauzia, romansa mereka bukanlah intinya. Buku ini sejatinya adalah kisah tentang bromance dua sahabat yang luka hatinya. Dan dua sahabat itu adalah ayah dari Mif dan Fauzia, Iskandar alias Is alias Pak Kandar, dan Muhammad Fauzan alias Mat alias Moek (orang Jawa kalau bilang Muhammad suka jadi Muk-hammad--fyi).

Nah, cerita bromance ini berlatar tahun 60an di sebuah desa bernama Centong di Jawa Timur. Inilah yang bikin tambah menarik. Tidak hanya rumitnya plot campuran yang disuguhkan, dokumentasi sosial--seperti yang disebut endorser dan reviewer buku ini--masyarakat pada zaman itu juga lengkap sekali dijabarkan. Suasananya begitu dapat dan kental.

Sudut pandang yang dipilih juga pintar. Sudah alurnya bolak-balik, naratornya pun beragam tanpa bikin bingung. Soal teknik rasanya memang tak perlu diragukan lagi, dan saya belajar amat banyak dari buku ini. Segar membacanya.

Bagian favorit saya adalah penggunaan teknik dialog dari halaman 343-347. Merinding, haru, sampai sedikit menitikkan airmata (sedikit! Itu juga masih di pelupuk) menunjukkan betapa kuatnya emosi dalam percakapan yang singkat-singkat itu.

Tapi memang saya sedikit deg-degan membaca buku ini. Takut kalau kekecewaan saya terbukti. Soalnya di awal-awal buku ini banyak mengindikasikan penyebab reading-block saya, seperti konflik yang cetek dan cheesy serta karakter yang seumpama dipan mengaji TPA, satu dimensi. Alhamdulillah tak terjadi. Penyebabnya lebih kompleks dari itu, menyatu dengan latar budaya yang sangat 'menjual' di sini. Juga, ternyata, Fauzia tak secengeng yang saya duga. Jujur saja, soalnya saya tak suka cerita cinta mereka! Apalagi Fauzia yang uh, kamu perempuan masa kini bukan, sih? Rasanya yang kamu lakukan cuma nangis sampai tidur.

Karakter kesukaan saya? Tentunya Is dan Mat! Serasa fangirling ketika menyelami kisah mereka, dan saat mereka berpisah, saya berteriak seperti saya berteriak ke layar laptop ketika melihat Shishido dan Choutari dari anime Prince of Tennis bertengkar, 'BAIKAN LAGI DONG, KALIAN KAN, SILVER PAIR!' (referensi yang agak tak nyambung, tapi biarlah). Greget rasanya!

Saya juga suka Pakde Anwar, yang membuat Is dan Mat akhirnya baikan lagi. Hehehe. Makasih, Pakde.

Tapi bukan berarti buku ini minus kekurangan. Ada typo seperti di nama istrinya Fuad (Hanifah, atau Halimah, atau Halima?) dan nama Pak Kamituwo (jadi Pak Carik--jauh banget). Kedatangan Cak Ali dan Mas Ali di pernikahan Mif-Fauzia juga sepertinya ujug-ujug. Lalu Suyudi dan Pakde Anwar cepat sekali baikannya.

Kavernya juga, saya sempat bingung maksudnya botol susu itu apa? Tadinya saya bertanya hal sama untuk judulnya, sampai saya membaca halaman 222:

Is, bagi sebagian besar dari kami, seperti kambing dan hujan--sesuatu yang hampir mustahil dipertemukan.


Setelah itu, saya putuskan kalau pemilihan judulnya cerdas. Selama ini salah saya yang sering menghubungkan hujan dengan hal galau dan mendayu, sementara kambing... entahlah.

Pengalaman membaca buku ini kembali mengingatkan saya akan arti sastra, seperti apakah ia? Mari kita bermain logika. Kalau a. Novel jebolan sayembara DKJ adalah sastra dan b. Kambing & Hujan pemenang pertamanya dan c. Kambing & Hujan memiliki bahasa yang mudah dicerna, tidak bertele-tele, atmosfer yang membumi, dan mengangkat tema cinta populer, jadi sastra itu apa?

Ya, ini! Buku ini! Dan seperti yang dikatakan salah satu halamannya juga, '...cara kadang tidak kalah pentingnya dengan tujuan.' (hlm. 166) menurut saya caranya menyampaikan tujuan sudah ngena, dan novel yang berhasil seperti itulah yang disebut sastra. Toh, juri DKJ saja setuju dengan selera saya ini.

Bacalah! Terutama untuk anak muda. Karena dari sini kita akan dibuat malu dengan generasi muda lima puluh tahun lalu, yang berjuang demi agamanya, yang tak kenal lelah menuntut ilmu, yang rela membangun kampung halamannya. Bagaimana dengan kita?
Profile Image for Hestia Istiviani.
1,034 reviews1,961 followers
August 29, 2017
Harus diakui, awalnya sempat skeptis dengan buku ini. Terlebih, tidak paham mengapa berjudul demikian. Memangnya, ada apa dengan kambing dan hujan? Bukakah keduanya merupakan entitas yang berbeda? Hingga akhirnya membaca buku ini, barulah menyadari adanya korelasi antara hewan bernama "kambing" dengan kejadian alam bernama "hujan".

Sebelumnya memang sempat mengetahui kalau buku ini menawarkan sesuatu yang erat kaitannya dengan kehidupan kita, namun tidak begitu sering dibahas. Belakangan, malah direkomendasikan. Katanya memang bagus. Tentang pandangan mengenai agama dan pernikahan. Sampai di situ, dorongan untuk (minimal) meliriknya belum ada. Hingga akhirnya, tim dari Bentang Pustaka mengirimkan judul ini untuk dibaca. Didorong oleh hal tersebut (dan juga karena saat itu tengah kehabisan bacaan), dicicipilah.

Kambing dan Hujan mengingatkan pembaca dengan Kisah 1001 Malam pada cara bertutur. Ya, dengan menggunakan narasi cerita berbingkai, nyatanya buku ini malah menjadi semakin menarik. Apakah pembaca akan merasa kebingungan? Ternyata tidak. Malah menjadi daya tarik tersendiri. Dibantu dengan pembeda berupa font face yang dipilih, memudahkan pembaca untuk memahami dimana timeline cerita itu berada.

Berkisah tentang dua anak manusia yang sama-sama memperjuangkan cinta kasihnya. Perbedaan memang begitu besar, namun keduanya mau mengurangi ego masing-masing demi dapat bersama. Nyatanya, menikah tidak semudah itu. Belum juga dijalani, masih untuk menayakan restu kedua orangtua, kesulitan demi kesulitan terus menyerang.

Mif dan Fauzia, dua sejoli yang memohon untuk bersatu ternyata menguak lembaran-lembaran lama yang sudah tidak pernah terjamah. Permasalahan-permasalahan sosial yang tidak sesederhana itu. Dari situlah mereka berdua belajar masa lalu keluarga. Sebab, menikah di Indonesia, apalagi di desa Centong, berarti menikahi seluruh keluarga besarnya, mengadaptasi nilai-nilai yang dipegangnya.

Apa yang dituliskan oleh Mahfud Ikhwan memang menggunakan dua pandangan terhadap Islam. Itu hanya contoh, tetapi tidak bisa dipungkiri juga bahwa yang seagama pun masih sulit untuk mendapatkan restu menikah. Mahfud Ikhwan mengangkat mengenai Islam di Centong sembari menunjukkan kepada pembaca betapa masyarakat di pedesaan memiliki tali persaudaraan yang begitu erat pun berpegang teguh terhadap kepercayaannya. Oleh karena itu, terciptalah jurang antara keluarga Mif dengan keluarga Fauzia. Namun, Mahfud Ikhwan tidak hanya menonjolkan perbedaan yang menyebabkan layunya tali silaturahmi. Mahdud Ikhwan juga menggarisbawahi mengenai perbedaan yang bukanlah sebuah masalah, melainkan ego masing-masing golongan.

Mahfud Ikhwan seakan ingin menyampaikan, terkadang yang membuat rumit menikah adalah tatanan sosialnya. Padahal dua insan yang akan menjalaninya toh bisa dan mau menerima perbedaan mereka sebagai santapan sehari-hari. Mahfud Ikhwan ingin menyederhanakan perihal itu.

Gaya penulisan Mahfud Ikhwan yang sangat memperlihatkan kehidupan di pedesaan mengingatkanku dengan tulisan Tohari. Apalagi Mahfud Ikhwan juga sempat menyinggung kondisi Indonesia di tahun 60an. Tentu dengan adanya kisah mengenai PKI dan mereka yang disebut sebagai komunis. Mahfud Ikhwan berhasil membuktikan bahwa roman yang ia tulis, bukan sekedar roman. Ia telah melakukan riset sehingga tulisannya tidak memaksa pembaca untuk segera mengerti. Malah berhasil membuat pembaca terbuai dan memutuskan untuk terus membaca hingga akhir.

Kambing dan Hujan berhasil membuatku tunduk. Gemas dan penasaran dengan tingkah keluarga Mif dan Fauzia. Yang tentu, merupakan sebuah bacaan layak untuk dinikmati.
Profile Image for Anastasia Cynthia.
286 reviews
October 5, 2015
“Sebab tak ada biografi tanpa sebuah roman!”—Kambing dan Hujan, hlm. 72


Mifathul Abrar bertemu dengan Nurul Fauzia Jumat siang itu. Hatinya berdebar sembari menumpangi bus yang sama dengan seorang warga Centong. Sejauh apa ia merantau, ia selalu tahu gadis mana yang sekampung halaman dengannya. Mif lekas jatuh hati dengan Fauzia, pun dengan gadis itu, tapi siapa sangka kalau keduanya dibesarkan dengan dua aliran berbeda. Sama-sama Islam, namun berbeda adat, pun penempatan Hari Raya. Mif dibesarkan dengan tradisi Islam modern, Fauzia dengan Islam tradisional.

Sayangnya, Mif dan Fauzia tak bisa menyembunyikan perasaan itu terlalu lama, terlebih keduanya sudah memikirkan soal akad nikah. Centong bukan wilayah yang besar. Sedikit desas-desus, mau tak mau Fauzia harus buka mulut kepada Pak Fauzan, ayahnya. Sambil bermanja-manja, ia ingin minta restu, tapi di lain sisi Ibu Yatun, istrinya, malah diam seribu bahasa. Bukan persoalan Islam modern atau tradisional, tapi hatinya pedih saat mendengar nama Mif terucap dari bibir anak gadisnya.

Sedang Mif meminta kejelasan dengan Pak Kandar. Apa hanya lantaran persoalan Masjid Selatan dan Utara lantas keduanya tak bisa menikah? Atau pelanggaran norma agama hanya sekadar akal-akalan bapaknya yang ingin menutupi rahasia di masa lalu?



”Kita dulu mengira bapak-bapak kita adalah dua musuh bebuyutan yang tak terdamaikan. Ternyata, mereka dua sahabat karib, bahkan memanggil dengan panggilan “saudara”. Bukannya itu justru sangat menggembirakan?”—Kambing dan Hujan, hlm. 152





“Kambing dan Hujan” adalah buku karangan Mahfud Ikhwan pertama yang saya baca. Sampulnya sudah berkali-kali saya puji, kadang juga saya sebut-sebut sebagai susu kambing. Tapi, “Kambing dan Hujan” bukan bercerita tentang hasil hewani dari Kampung Centong. Seperti label kecil di bawah tulisan “Kambing dan Hujan”, alur ceritanya yang sederhana lebih didominasi oleh unsur roman. Ada unsur nge-pop pada sampul depannya, pun pada gaya bahasanya. Kalau ada label pemenang juara pertama pada Sayembara Menulis Novel Kesenian Jakarta 2014, “Kambing dan Hujan” memang bisa dibilang sebagai karya sastra. Namun, jauh dari novel-novel sastra lain yang pernah saya baca, “Kambing dan Hujan” bisa dibilang punya gaya sendiri yang lebih mengalir, simpel, dan mudah dicerna.

Secara garis besar, seperti roman klasik era dahulu, “Kambing dan Hujan” bisa dibilang sedikit menyerempet kisah “Romeo & Juliet” karya Shakespeare, bedanya, kalau Romeo berasal dari keluarga Montague dan Juliet berasal dari keluarga Capulet; Mif dibesarkan oleh kaum Masjid Utara—seringnya disebut Centong Utara—dan Fauzia adalah anak dari petinggi Masjid Selatan atau Centong Selatan. Lantas keduanya jatuh cinta diam-diam tanpa sepengetahuan orangtua mereka. Kendati demikan, novel ini masih bisa dibilang menarik. Tidak saja mengangsurkan kadar roman yang manis-asam, pun tentang isu-isu yang bersangkutan seputar norma agama sekaligus detail ceritanya yang sangat teliti. Konflik yang dirasa penting—tapi tidak penting juga, lantaran cerita ini sebagian besar didominasi oleh kisah roman, tapi isu-isu pertentangan kedua kubu Islam tersebut pun memberikan banyak informasi dan alasan-alasan yang masuk akal, yang patut dipertanyakan.


Baca selengkapnya di: https://janebookienary.wordpress.com/...
Profile Image for Dion Yulianto.
Author 24 books196 followers
March 1, 2020
Novel dengan cerita yang sangat mengalir, dengan indah mampu menggambarkan sebuah isu perbedaan yang ada di masyarakat lewat kisah yang sangat membumi. Skor 4,7 dari 5 bintang alias novel keren ini woy.
Profile Image for ABO.
419 reviews47 followers
September 8, 2015
http://ariansyahabo.blogspot.com/2015...

“Bukankah berusaha mendapatkan istri hebat dan cantik yang kita cintai, yang kita yakini bisa menemani kita dunia akhirat, adalah ibadah? Dulu aku berpendapat begitu. Dan sekarang, setelah puluhan tahun hidup bersama budemu, aku tetap menganggapnya demikian.”

Miftahul Abrar dan Nurul Fauzia berjumpa kali pertama di bus. Lalu saling jatuh cinta. Usut punya usut, Mif dan Fauzia berasal dari desa yang sama, Centong. Tapi dengan fakta tersebut tak lantas membuat rencana mereka untuk menata masa depan bersama berjalan dengan mulus.

Pada tahun 60-an di Centong muncul gerakan pembaruan. Gerakan ini beranggapan kalau ada beberapa hal tentang Islam yang dipahami dan dianut di desa tersebut selama ini kurang tepat. Karenanya gerakan yang diikuti oleh pemuda-pemuda ini bersemangat untuk membangun masjid mereka sendiri agar bisa menjalankan ibadah sebagaimana yang mereka yakini sekaligus menghindari perselisihan berkepanjangan akibat berbeda paham. Jadilah di Centong terdapat dua masjid yang disebut Masjid Selatan dan Masjid Utara.

Sialnya, kedua orangtua Mif dan Fauzia sama-sama merupakan tokoh yang disegani di masing-masing masjid. Mustahil untuk mereka melewati tembok tinggi tak kasat mata yang telah terbangun sejak lama itu.

Tapi kemudian mereka mengetahui satu hal, tembok tinggi itu bukan masalah utara-selatan yang selama ini mereka yakini, tapi berhubungan dengan rahasia-rahasia masa lalu orangtua mereka. Akar masalahnya justru berawal dari sebuah hubungan baik yang merenggang akibat keadaan.

“Tahu apa kamu tentang kegagalan?”
“Saya cuma tak ingin mengalaminya.”
“Dan, aku, bapakmu, adalah orang yang paling tidak ingin kamu mengalaminya.”


Ketertarikan saya pada buku ini semata-mata karena buku ini merupakan naskah pemenang Sayembara Menulis Novel DKJ 2014. Label tersbeut buat saya menjadi jaminan kalau bukunya akan bagus. Saya pikir karena buku ini merupakan pemenang sayembara menulis tersebut, isinya bakal njelimet dan penuh metafora seperti naskah pemenang di tahun 2012, “Semusim, dan Semusim Lagi”, ternyata sama sekali tidak. Malah gaya tutur penulisnya ringan, mudah dicerna, tidak bertele-tele dan apa adanya. Cuma memang tema yang diangkat yang cukup berat; Islam dengan aliran berbeda.

Alurnya acak tapi tidak membuat pusing. Sudut pandang yang digunakan bercampur antara orang ketiga dan orang pertama, tapi mengalir begitu saja tanpa menimbulkan kesan aneh. Gaya narasi ketika sudut pandang pertama, menggunakan “aku” dari dua karakter berbeda, walaupun gaya narasi tersebut senada, tapi masing-masing “aku” mudah dibedakan.

Hal lain yang saya kagumi adalah buku ini diceritakan apa adanya tanpa terlihat pro aliran ini atau itu. Kadang ada beberapa buku yang mengangkat tema pelik lain yang malah isinya judgy dan pro di satu pihak. Dan hal tersebut tidak ditemukan di buku ini, tidak ada kesan memojokkan satu pihak.

Bagian yang saya suka dari buku ini adalah bagian surat-surat Is dan Moek yang menggunakan ejaan lama dan bahasa mendayu-dayu. Saya juga suka bagian ketika Is dan Moek bertemu lagi yang dituliskan hanya lewat percakapan, tanpa narasi.

Mengutip buku ini “Tidak ada yang salah menjadi berbeda”. Ya, memang tidak ada yang salah dari perbedaan. Berbeda tidak lantas membuat salah satu menjadi salah. Yang paling penting adalah menghargainya. Bukan menghakiminya.

Saya yang awalnya misuh-misuh gara-gara abis beli e-book buku ini dan tak berapa lama malah sang penerbit membagikannya secara gratis di salah satu aplikasi e-book reader *orangnya nggak mau rugi x))*, malah jadi lega beli buku ini. Itung-itung sebagai dukungan buat penulis. Soalnya bukunya saya suka banget! Walau baru satu buku ini tulisan dari penulis yang saya baca saya sudah mengklaim sebagai penggemar Mas Mahfud Ikhwan x))

“Anak memang sering tak mau melibatkan ibunya dalam masalahnya. Mungkin karena si anak tak ingin ibunya ikut susah. Mungkin juga karena si anak tak yakin ibunya bisa membantu. Tapi, Mif, Anakku, seorang ibu tak akan bisa membiarkan anaknya menyelesaikan masalahnya sendirian. Ia selalu ingin ambil bagian. Semampunya. Sebisanya.”

“Dan, apa salahnya berbeda? Tuhan menciptakan makhluk juga berbeda-beda. Manusia juga berbeda-beda; beda rupa, suku, golongan, bahasa. Jadi, tidak ada yang salah menjadi berbeda.”
Profile Image for MAILA.
481 reviews121 followers
February 8, 2017
Ternyata baguuus XD

ini gak sabar mau baca ulang lagi karena suka banget wqwq

***

dulu sering banget lihat ini di gramed. tertarik dengan sampul tapi nggak tau kenapa saya selalu ragu beli. Soalnya kayak, bahas yang islam islam gitu. gataunya ini membahas tentang NU dan muhammadiyah.

Sebelumnya, ibu dan ayah saya juga beda aliran. Kalau tidak salah ayah saya ahmadiyah. Waktu ayah mau menikahi ibu ditentang berat sama kakek saya. Dan ternyata ayah saya mengecewakan karena setelah adik saya lahir malah berpisah dengan ibu dan menikah lagi dengan sahabat baik ibu yang 1 aliran.

membaca ini membuat saya bernostalgia waktu almarhum kakek saya suka menceritakan kisah cinta ibu dan ayah saya. Kebetulan di buku ini juga ''ada cerita di dalam cerita'' jadi saya beneran senyam senyum dan menikmati dengan baik karya ini.

1 agama beda aliran aja ribet begini, apalagi beda agama ya,heuheu

saya tidak membaca semua buku nominasinya sih, tapi saya sepakat dan setuju buku ini dipilih sebagai pemenang 1 Sayembara Menulis Novel DKJ. Jadi penasaran mau membaca karya lain kak Mahfud XD
Profile Image for Fahrul Khakim.
Author 9 books97 followers
January 3, 2016
Tertipu, ini benar-benar menjebak!
Awalnya memang agak bingung baca novel ini, kok kayak novel romance? Tetapi semakin ke dalam, semakin mencekam dalam kerumitan sosio-kuktur berlatar agama masyarakat desa. Ide novel ini yang teramat sederhana sekaligus tak biasa berhasil mencuri minatku untuk menantikan novel ini. Gaya ceritanya dan pemilihan diksi yang kaya membuat pembaca semakin memahami kondisi pelik para tokohnya. Novel ini tak sepenuhnya mirip novel Islami karena dalam novel ini Islam diangkat sebagai gegar budaya. Ini salah satu novel terbaik yang pernah saya baca karena mampu membuatku putus asa sampai klimaks, sekaligus terhenyak pada antiklimaks. Novel ini punya banyak pesan sejarah yang dapat dipahami tanpa menggurui sama sekali. Manis.
Novel ini benar-benar menipu karena ekspektasiku tentang novel-novel pemenang DKJ yang kebanyakan berakhir tragis.
Profile Image for Tezar Yulianto.
391 reviews39 followers
February 20, 2019
Cerita ini bagus sekali. Sangat membumi. Kisah tentang benturan Islam tradisionalis, dan modern, kalau boleh disebut.
Saya sendiri, terlahir dari dua perbedaan keberagaman antara dua kutub keorganisasian terbesar di Indonesia. Keluarga ibu sebagian besar bergabung dengan NU. Salah satu paklik saya pernah membanggakan kartu tanda anggota organisasi NU.
Dari keluarga bapak, sebagian mengikuti organisasi Muhammadiyah. Saya ingat, ketika suatu hari, ketika saya pergin ke Solo, kota asal Bapak, dimana saat itu warga Muhammadiyah sedang merayakan Idul Fithri terlebih dahulu, saya diledek almarhum pakdhe yang aneh ketika saya masih memilih berpuasa saat itu, pemerintah membulatkan jumlah hari puasa menjadi 30 hari karena hilal belum terlihat, dengan omongan sekarang teknologi sudah bisa 'melihat' munculnya bulan. Kebetulan juga pak Dhe waktu masih hidup merupakan dosen fakultas teknik di salah satu perguruan tinggi negeri, jadi memang termasuk paham terkait teknologi. Saatnya tersenyum saja. Meski akhirnya kehidupan saya nggak seribet Mifta dan Fauzia di buku ini. Perbedaan pandangan menjadi bahan yang bisa memecah warga yang berbeda pandangan. Dan realitanya memang terasa sekali di beberapa daerah.
Buku ini, selain 'membumi' bagi saya bisa memperkaya sastra di Indonesia, dimana karya-karya seperti ini rasanya jarang banget muncul diterbitkan penerbit-penerbit di Indonesia.
Profile Image for Dedi Setiadi.
290 reviews24 followers
February 6, 2016
Ga nyangka bakalan sesuka itu sama Kambing & Hujan. :"
Ceritanya bener2 ngalir, enak dibaca dan yang paling penting ga cheesy sebagai cerita roman. Konfliknya Is-Moek juga seru dan believable jadi ga ngebosenin. Bahkan klimaksnya pun mengharukan. :"
Yaa... Sebagai penduduk kampung Bekasi yang kebanyakan ngikutin pemerintah, jadi banyak tau perbedaan antara NU-Muhamadiyah yang sampe segitunya, apalagi di daerah santri yang banyak di Jawa. Menarik!
Profile Image for Dila Maretihaqsari.
11 reviews5 followers
September 7, 2015
Suka baca novel ini. Jadi sebuah penyegaran setelah tiap hari bacanya novel2 roman populer :D.
Sukses dibikin nangis di ending cerita. Suka banget sama romantisme ala Is dan Moek <3
Profile Image for Shanifiction.
221 reviews71 followers
March 10, 2023
Berkisah tentang cinta Miftahul Abrar dan Nurul Fauzia. Walaupun keduanya seagama, hal itu tidak membuat kisah cinta mereka berdua berjalan dengan mulus. Perbedaan latar belakang keduanya mempersulit hubungan mereka. Mif yang tumbuh dari keluarga Islam modern dan Fauzia yang merupakan anak seorang tokoh Islam tradisional. Bisakah keduanya bersatu dengan semua perbedaan yang ada? Atau memilih menyerah?

_________________________________
Awal baca blurb bukunya aku langsung tertarik karena topiknya menurut aku jarang ditemukan. Membahas kisah cinta seagama, tapi karena beda ajaran yang dipahami, jadinya tetap aja sulit.

Dalam perjalananya mewujudkan cinta mereka dalam ikatan suci pernikahan, Mif dan Fauzia menemukan kisah rumit antara kedua orangtua mereka. Dari sinilah aku sadar, bahwa kisah di buku ini bukan tentang Mif dan Fauzia, tapi tentang hubungan kedua orangtua mereka dimasa lalu. Dari seseorang yang merupakan sahabat karib menjadi seorang yang asing dikarenakan perbedaan paham.

Buku ini akan mengajak pembaca ke masa lalu, ke desa Centong yang berlokasi di Jawa Timur. Memperlihatkan kenyataan perbedaan dua paham agama yang terjadi di masyarakat dengan sangat halus dan tanpa condong ke salah satu pihak. Dengan alur maju mundur dan perbedaan sudut pandang membuat buku ini semakin menarik. Penulis juga berhasil membuat nuansa tahun 60an terasa di ceritanya.

Perbedaan paham dalam agama Islam sendiri bukan hal yang baru ditemui, hal ini sudah berlangsung sejak lama. Biasanya perbedaannya semakin terlihat ketika menjelang Idulfitri, karena kedua pihak menetapkan Idulfitri dihari yang berbeda. Ini lah yang menjadi topik utama yang ingin disampaikan penulis lewat kisah ini.

Walaupun di awal aku mengira buku ini akan fokus tentang kisah cinta antara Mif dan Fauzia, aku merasa gak kecewa. Malah puas banget bacanya. Belajar banyak hal di buku ini, mulai dari bagaimana harus menghadapai perbedaan paham dalam agama, cinta, persahabatan dan keluarga.

Ketika mendekati akhir ada part di mana aku beneran terharu dan nyampe berkaca-kaca karena ikut bahagia dengan akhirnya. Aku sendiri gak nyangka sih bakalan menikmati segitunya baca buku ini.

Oh ya, kalau misalkan baca ini aku rasa harus agak fokus bacanya karena pergantian sudut pandang mungkin bakalan membingungkan di awal, tapi nanti juga akan terbiasa.

Aku rekomendasikan buku ini buat kalian yang tertarik dengan buku yang menawarkan sesuatu yang jarang dibahas. Dibalut kisah cinta dan persahabatan yang akan membuat hati pembacanya terasa hangat.
Profile Image for Andita.
308 reviews3 followers
December 5, 2025
Kalau dipikir-pikir perjalanan membacaku itu memang sangat cetek banget ya, masa aku baru baca buku karya Mahfud Ikhwan tahun ini, ke mana aja ya aku. But, Kambing dan Hujan bikin aku menyukai dan membuatku ingin menilik lebih jauh buku-buku Mahfud Ikhwan yang lain.

Membaca Kambing dan Hujan sebenarnya diawali dengan sebuah kondisi yang sama antara Mif & Fauzia dengan kisah asmaraku sendiri, bedanya kita berdua gak serumit itu, kita adalah versi modern dan yaudah cuma beda qunut doang.

Berawal dari situ, aku memutuskan untuk membaca buku ini. Ternyata buku ini lebih dari itu semua, membahas bagaimana perbedaan itu terjadi dengan latar Waktu di zaman dahulu dengan bumbu politik komunisme yang juga mempengaruhi perkembangan Islam di desa Centong. Kemudian, hubungan persahabatan yang ditulis penulis tentang Is dan Moek juga merupakan angin segar. Cara bercerita maju-mundur makin menguatkan cerita yang dibangun, alasan-alasan yang tidak membuat kita menghakimi salah satu tokoh dalam buku ini.

Jika ada satu hal yang cukup membuatku kurang puas adalah bagaimana penulis menggambarkan Fauzia yang tidak sekuat itu sebagai perempuan modern. Latar belakang Fauzia adalah perempuan yang terdidik dan mandiri, namun Ketika menghadapi masalah percintaannya ini, dia banyak digambarkan hanya menangis dan menangis di kamarnya, aku berharap lebih bahwa dia bisa melakukan lebih dari itu.

Aku juga suka bagaimana peran ibu pada masing-masing keluarga terlihat sangat berbeda namun selalu hadir. Baik ibu Mif maupun Fauzia selalu mengambil Langkah dengan hati-hati untuk menjaga keluarga mereka tetap utuh dan mampu menjadi pendengar yang baik. Salah satu perkataan ibu Mif kepadanya benar-benar membuatku menitikkan air mata, sungguh indah.

"Anak memang sering tak mau melibatkan ibunya dalam masalahnya. Mungkin karena si anak tak ingin ibunya ikut susah. Mungkin juga karena si anak tak yakin ibunya bisa membantu. Tapi, Mif, Anakku, seorang ibu tak akan bisa membiarkan anaknya menyelesaikan masalahnya sendirian. Ia selalu ingin ambil bagian. Semampunya. Sebisanya."

Setelah menyelesaikan buku ini, aku bisa lebih terbuka dan memahami bahwa perbedaan seharusnya bukan masalah untuk tetap berhubungan baik dengan siapa saja. Urusan agama selalu jauh lebih kompleks, namun yang perlu diingat menghargai manusia lain dan tidak menyakiti adalah hal utama lain yang juga harus dijaga.
Profile Image for Vanda Kemala.
233 reviews68 followers
June 22, 2018
I REALLY LOVE THIS BOOK!

Pasca Dawuk, ini buku kedua dari Mahfud Ikhwan yang udah dibaca. Suka caranya yang angkat kearifan lokal, komplit sama narasinya yang detail. Bahasanya ringan, sekaligus gampang dimengerti. Ada guyonan singkat di beberapa titik yang bikin senyum-senyum sendiri.

Mengangkat cerita soal dua anak muda, Fauzia dan Mif, yang saling jatuh cinta, tapi terhalang sama tradisi agama yang dianut masing-masing keluarga. You know lah, gimana perbedaan Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama di Indonesia, dari mulai perkara niat salat sampai cara hitung jatuhnya 1 Syawal. Akhirnya segala macam halangan dan rintangan muncul satu demi satu. Salut, sih, penulis bisa bikin cerita seapik ini dari perbedaan tradisi gitu.

Yang bikin ciamik, penulis bisa runut banget menuliskan cerita masa lalu dari orang tua Mif dan Fauzia. Pergantian alurnya cukup cepat, jadi harus fokus banget yang dibaca itu cerita masa lalu atau sekarang. Setiap bab nunjukkin cerita dari masing-masing tokoh (kebanyakan Fauzia dan Mif bergantian). Ending buku ini apik, soalnya muncul banyak banget kejutan yang nggak terduga.

Pasca baca Dawuk, trus sekarang Kambing dan Hujan, jadi curiga jangan-jangan penulis ini ahli bikin cerita yang angkat "dendam" masa lalu.

5/5 bintang tanpa keraguan!
Profile Image for Muhammad Rajab Al-mukarrom.
Author 1 book28 followers
August 29, 2015
novel ini BAGUS SEKALI. bahkan kalau dibandingkan dengan pemenang Sayembara Menulis Novel DKJ tahun 2012, novel ini jauh terasa cair dan santai dan sangat dekat di hati pembaca. itu adalah kelebihan novel ini. aku terbawa-bawa perasaan setiap kali membaca kisah persahabatan dalam buku ini. indah sekali. seperti sebuah film dengan adegan-adengan persahabatan yang indah tengah muncul dalam benakku ketika membacanya dan bikin senang, juga haru.
sedangkan kisah cintanya terasa pas. seperti cocok dibilang "komedi-romantis-islami", kocak tapi tak kehilangan romansa yang indah kala kedua tokoh utama saling jatuh cinta dan sama-sama memperjuangkan cinta mereka. (dulu aku menemukan kisah komedi-romantis-islami semacam ini di buku Ketika Cinta Bertasbih oleh Habiburrahman El Shirazi, meski sama sekali berbeda ceritanya.) namun, tolong jangan bayangkan novel ini bisa membikin pembacanya perpingkal-pingkal di setiap halamannya. hanya saja acapkali tawaku berderai-derai saat membaca beberapa bagian ataupun adegan ataupun dialog berisi gurauan dalam novel ini.)

novel ini berkisah tentang dua orang yang saling jatuh cinta dan kepengin menikah, cuma... terhalang restu orangtua masing-masing.

ini macam kisah Romeo dan Juliet versi Islami. romantis dan kocak dan bikin geregetan.

si Romeonya bernama Miftahul Abrar, biasa dipanggil Mif, dia anak dari ketua Muhammadiyah di sebuah kampung. sedangkan yang jadi Julietnya adalah Nurul Fauziah, alias Ziah, yang merupakan putri seorang petinggi Nahdlatul Ulama di kampung yang sama.

tidak hanya itu, novel ini juga bercerita banyak tentang masalah politik pada tahun '60-an sampai kepada permasalahan prinsip-prinsip agamanya yang secara kasat mata begitu bertolak belakang.

kisah cinta mereka tidak bisa tidak turut mengingatkanku akan kisah cinta antara Bapak dan Ibu. Bapakku Muhammadiyah, dan Ibuku NU, bahkan pernah dulu beliau ikut HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) ketika berkuliah di IAIN Raden Fatah.

bagaimana mereka saling jatuh cinta dan akhirnya menikah membuatku jadi kepikiran. tapi aku sudah sering dengar ceritanya dari Ibu. mereka menikah lancar saja, tanpa satu pun pihak keluarga yang kelihatan protes atas dasar prinsip agama masing-masing.

cinta adalah cinta. itu adalah takdir Allah SWT. dua orang yang berbeda latar belakang juga bisa menikah dan memiliki anak seganteng aku ini.

ya, baiklah, terima kasih yang sudah repot-repot membaca tulisan ini. ha-ha-ha...
Profile Image for Dhani.
257 reviews17 followers
January 25, 2016
Sebelumnya, sepemahaman saya, perbedaan NU dan Muhamadiyah antara lain tentang doa Qunut, juga tentang Rukyat dan Hisab. Tapi itu ternyata baru sebagian kecil saja. Dan saya tahu sebagian besar yang lain justru dari buku ini. Bukan dari buku nonfiksi, tapi dari sebuah novel roman, Kambing dan Hujan.Sebuah novel yang menjadi pemenang 1 Sayembara Menulis Novel DKJ 2014, karya Mahfud Ikhwan.

Lewat tokoh utama, yakni Miftahul Abrar dan Fauzia, kita diperkenalkan pada kerumitan demi kerumitan yang terjadi, karena kebetulan ayah dari kedua tokoh utama, merupakan loyalis dari NU dan Muhamadiyah. Padahal mereka tinggal satu desa, tidak berjauhan.Dari cerita hubungan yang rumit ini, pembaca diajak melakukan sebuah perjalanan mundur, ke suatu masa di mana ayah Mif dan Fauzia adalah sahabat karib.Mereka tumbuh bersama, sampai kemudian banyak kejadian menjadikan mereka terpisahkan.

Setelah itu, kronologis waktu bergerak maju dan mundur. Memberi pemahaman kepada pembaca tentang masalah yang sebenarnya terjadi.Bagaimana perbedaan perbedaan itu mulai timbul, apakah macam macam perbedaan itu, apakah pengaruh dari perbedaan perbedaan itu terhadap hubungan antar personal di dalam cerita.

Lewat cerita " cinta" antara Mif dan Fauzia, pembaca awam seperti saya mendapatkan banyak pemahaman pemahaman tentang apa itu Muhamadiyah dan NU. Dan istimewanya penulis, hal yang seharusnya berat, disampaikan dengan ringan dan mudah dipahami.Dan sama sekali tidak membosankan.

Kalau boleh mengkritik buku ini, di halaman halaman awal, tak terlalu kentara siapa yang bercerita, Iskandar atau Fauzan. Mungkin lebih sederhana kalau ada keterangan di awal bab.Penulis juga sudah cukup kritis membedakan panggilan saat tokoh ayah ada di dalam cerita dan tokoh ayah di luar cerita. Sayangnya, di beberapa bagian, panggilan itu tertukar, agak bikin bingung.

Apa pun, menurut pendapat saya, novel ini pantas jadi jawara. Nampak sekali kalau novel ini dilandasi oleh riset yang nggak main main. Penulisnya juga cukup fair bersikap, walau nampaknya dia merupakan pengikut salah satu kekuatan besar itu.Uniknya lagi, tak seperti beberapa novel juara yang biasanya terkesan" suram", novel yang ini tidak sama sekali.Ia seperti wajah kita sehari hari yang dipindahkan ke dalam tulisan. Saya ingin memberi 5 bintang buat novel ini. Tapi karena saya berharap di novel berikutnya, penulis akan menyajikan tulisan yang lebih baik lagi, maka bintang 4 saja buat novel kali ini.

Profile Image for Nenden Arum.
19 reviews4 followers
January 10, 2016
Membaca novel ini tidak seperti membaca kisah roman picisan, melainkan membaca buku sejarah yang dirangkai dengan sastra, sehingga lebih indah dan tidak membosankan. Tak ragu-ragu saya mengklasifikasikannya sebagai buku bintang lima.

Sebuah roman yang berakhir bahagia. Tentang kisah cinta dua remaja yang hubungannya terhalang oleh keangkuhan masing-masing orangtuanya, tapi akhirnya bisa menjadi sepasang mempelai di pelaminan dan belakangan menjadi penyebab 'kedamaian'.

Kisah utama dari novel ini sebenarnya lebih pada konflik dua orang sahabat, si Moek atau Mat atau Fauzan dan Is atau Kandar atau Iskandar, yang masing-masing merupakan ayah dari Fauzia dan Miftah, dua remaja yang dilanda cinta tersebut.

Kedua sahabat yang saling menyayangi itu lambat laun harus 'terpisah' karena selisih paham atas perbedaan keyakinan tentang ajaran Islam yang 'benar', serta beberapa kejadian lain yang mengiringinya.

Berlatar belakang tentang dinamika kehidupan sosial dan agama di sebuah desa bernama Centong, mengisahkan bagaimana tumbuhnya dua organisasi Islam paling berpengaruh -- Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah -- di desa terpencil itu.

Bagaimana sepak terjang Is, Cak Ali dan kawanannya yang berusaha untuk menegakkan ajaran Islam 'yang benar' hingga terpaksa membuat sebuah 'kelompok' baru di desa tersebut karena berbenturan dengan keyakinan para kelompok tua dan juga sahabatnya Moek.

Hingga akhirnya ada dua kelompok besar yang memisahkan warga desa Centong menjadi dua kubu, yakni kubu masjid selatan untuk NU dan kubu masjid utara untuk Muhammadiyah. Tak jarang, pergesekan-pergesekan terjadi karena perbedaan tersebut --dan ini memang ditemukan secara nyata di masyarakat.

Sebagai orang yang secara tidak langsung dibesarkan dengan cara NU, dan menempuh pendidikan tinggi di perguruan Muhammadiyah, membuat saya merasa dekat dengan latar cerita novel ini, dan merasakan secara langsung bagaimana pergesekan itu muncul, bahkan dalam diri saya sendiri.

Dan, sejak membuka halaman pertama hingga dua ratusan halaman setelahnya, saya masih penasaran bagaimana Kambing dan Hujan bisa menjadi judul yang dipilih oleh Mahfud Ikhwan, dan rasa keingintahuan itu terjawab di halaman 222, saat Fauzan membandingkan Is dan masyarakat 'NU' ibarat kambing dan hujan, sesuatu yang hampir mustahil dipertemukan.
Profile Image for Sri Izzati.
3 reviews130 followers
May 15, 2024
Akhirnya baca Kambing dan Hujan-nya Mahfud Ikhwan, setelah setahun memupuk mental buat baca novel lagi. Taun lalu saya duluan baca Dawuk, novel paling keren sepanjang hidup saya sejauh inih…

Cak Mahfud ini betul-betul pencerita ulung. Belio ini betul-betul mengejawantahkan “storytelling” dalam menulis, karena di Dawuk dan Kambing dan Hujan beliau gak cuma menulis, tapi ya betul-betul bercerita! (Bikin saya merenung, bisa menulis dan bisa bercerita itu dua kemampuan yang beda? Bisa menulis belum tentu terampil bercerita? Bisa bercerita belum tentu pinter menulis?)

Ah, yang pasti, Mahfud Ikhwan luwes betul dalam keduanya. Saya gak henti-hentinya kagum memerhatikan betapa pilihan-pilihan kreatif di novel ini semuanya tepat guna: kenapa ceritanya maju mundur, ganti PoV, ganti narator, dan lain-lain. Semua terasa begitu alami, masuk akal! Sebagai pembaca saya betul-betul betah untuk duduk lebih lama demi kelanjutan cerita. Ini juga yang saya rasakan waktu baca Dawuk.

Cerita Kambing dan Hujan ini punya premis yang sebenarnya umum saja, ada dua sejoli menjalin cinta tapi mereka terhalang untuk menikah. Di sini, dua sejoli itu berasal dari dua klan/organisasi keagamaan yang berbeda, jadi mereka putar otak cari cara demi bisa bersatu. Premis ini jadi jalan masuk buat pembaca mencerna informasi kontekstual secara sukarela bahkan penasaran, yang biasanya konteks-konteks umum kayak gini di cerpen/novel tuh rawan terkemas jadi paragraf panjang yang datar, bak baca ensiklopedia atau berita. Tapi penceritaannya Mahfud Ikhwan terampil sekali. Saya membaca karena ingin tahu, dan nggak jadi malas, karena nggak berasa dicekoki informasi apalagi digurui.

Terakhir, untuk ukuran cerita panjang, yah ibarat lari jarak jauh lah (si paling lari) Mahfud Ikhwan ini piawai sekali mengatur ritme bab-babnya, kalo bahasa runner sih pace yah. Sebagai orang yang culun baik dalam lari jarak jauh maupun baca cerita panjang, saya sangat menikmati perjalanan dengan buku ini.
Profile Image for Nike Andaru.
1,628 reviews111 followers
April 10, 2019
91 - 2019

Siapa bilang menikah seagama itu bakal lebih mudah? Buktinya Mif dan Fauzia melewati rintangan sebesar tembok, padahal sama-sama Islam.

Ya, saya memang telat banget baru baca buku ini sekarang, tapi tema yang diusung masih relevan sekali sama saat ini. Tentang NU dan Muhammadiyah, tentang Utara dan Selatan.

Seperti judulnya, ini memang cerita roman, tapi tenang justru romantika Mif dan Fauzia tidak begitu banyak dalam buku ini, romantika orangtua zaman dulu lah yang lebih banyak. Terus terang, tema ini menarik banget buat saya yg minim pengetahuan tentang bagaimana latar belakang keduanya. Karena buku ini, saya jadi ingat pernah bertanya pada sepupu yang lebih tua soal Islam yang mana kami ini.

Ini memang kisah fiksi tapi jelas saya bisa menebak kisah ini mungkin saja benar-benar ada walau dibalut dengan tambahan cerita fiktif. Saya pernah mendengar juga desa yang diceritakan Mahfud dalam buku ini. Menarik, ini mengapa saya tunda dulu baca Dawuk, saya pikir harus menyelesaikan baca buku ini dulu.

Mahfud dengan mudah membuat buku ini menjadi favorit banyak orang. Ceritanya mengalir dengan begitu saja, sangat enak dinikmati dan saya harus bilang saya suka berceritanya dan juga cerita yang diangkat.

Review lebih panjang akan ditulis di blog.
Profile Image for ULa.
296 reviews13 followers
October 7, 2016
Bookmate #1 berganti ke fisik.



* Gaya bahasanya lumayan tingkat tinggi.



* Saya kurang mengerti maksud kalimat2 ini ---->
1. "Kekaca di matanya pecah jadi air mata."
2. "Mengangguk pelan, genangan kekaca di mata disekanya."
3. Tentang semakin banyaknya anak-anak yang sekolahnya lumayan.


Novel ini mengingatkanku akan perbedaan yang ada dikeluargaku. Aku biasa mengikuti Muhammadiyah, sedangkan bapak dan ibuku ikut NU. Kalau puasa Ramadhan mulainya berbeda biasanya aku puasa terlebih dulu, sedangkan ibu bapak masih belum berpuasa. Begitu juga dengan hari Aidil fitri yang berbeda, aku dan bapak sudah makan tapi ibu masih berpuasa :)
Dan ada beberapa pandangan yang berbeda antara kami menyangkut permasalan agama, tetapi itu tidak pernah menjadi masalah antara kami.
Profile Image for raafi.
926 reviews448 followers
September 5, 2015
Butuh waktu lama untuk menyelesaikan buku ini. Memang bahasan yang diangkat berat dan berani, tapi diramu dengan indah.

[EDIT]

Istilah "kambing dan hujan" baru aku tahu. Buku ini menjelaskan maksudnya. Kambing tidak suka air, apalagi dengan hujan yang merupakan laskar air. Itu berarti kambing dan hujan tidak bakal bersatu. Keduanya hampir mustahil dipertemukan.

Selengkapnya: http://bibliough.blogspot.co.id/2015/...
Profile Image for Marina.
2,035 reviews359 followers
September 27, 2015
** Books 268 - 2015 **

Buku ini untuk memenuhi tantangan New Author Reading Challenge 2015

3,4 dari 5 bintang!

"Dan, apa salahnya berbeda? Tuhan menciptakan makhluk juga berbeda-beda. Manusia juga berbeda-beda; beda rupa, suku, golongan, bahasa. Jadi, tidak ada yang salah menjadi berbeda."


Review to be continued. XD
Profile Image for Karlina.
Author 1 book1 follower
July 24, 2015
Sebuah cerita cinta populer yang dibalut dengan isu-isu sosial yang disajikan dengan runtut dan mendalam. Sangat berisi tapi tetap terasa cair dan mudah dicerna. Bahasanya tidak berbunga-bunga, tapi tetap terasa sastrawi.
Profile Image for Ilham Rusdiana.
157 reviews1 follower
January 20, 2021
Buku Mahfud Ikhwan pertama yang saya baca. Sudah lama tidak membaca novel Indonesia sebagus ini.
Profile Image for Haifa Chairania.
158 reviews8 followers
June 18, 2025
Waktu kecil, aku hampir kebablasan sujud saat jamaah lain baca qunut. Kalau shalat selalu diawali ushali. Tarawih cuma delapan rakaat, lanjut witir tiga rakaat. Lebaran nunggu sidang isbat. Tak ayal, aku selalu krisis identitas tiap ditanya, “Jadi kamu NU atau Muhammadiyah?”

Lingkunganku sendiri tergolong adem ayem terhadap campur aduk praktik ibadah ini. lain cerita dengan kaum muslim di Kampung Centong yang justru sibuk adu teriak, “AKU HAMBA TUHAN PALING BENAR!” 

Sebelum membaca Kambing dan Hujan, tidak terpikir bahwa realita sosial seagama-tapi-beda-masjid ternyata bisa jadi persoalan kompleks begini (tapi karena yang nulis Mahfud Ikhwan, alhamdulillah gaya penceritaannya tetap gayeng dan seru buat dijogetin). Ibarat Romeo dan Juliet berlatar daerah Tegal, cinta Mif dan Fauzia bukan saja tersandung perbedaan aliran agama, melainkan juga hubungan friends-to-enemies yang terjalin di antara bapak mereka; Iskandar dan Fauzan.

Perihal asmara lampau kena telikung, kompetisi membangun masjid dan madrasah bak perebutan umat, pun dengan luka yang terkubur dan maaf yang tersangkut gengsi. Wassalam, bromance akhi greget dan gemas nian. Lah kok aku malah lebih baper dengan hubungan dua bapak jenggotan ini?

Alur maju-mundur ciamik berpadu dengan nuansa perkampungan dan tokoh-tokoh yang membuatku membatin “masya allah, religius” tapi juga tergoda misuh “pengin tak hihhh”. Ini menyadarkanku bahwa … ya beginilah sastra Indonesia. Bukan saja dihidupkan dari kepiawaian bahasa, melainkan juga bagaimana penulis mendokumentasikan sekelumit realita autentik kita–kendati ndeso, penuh jambak-jambakan, tapi juga membumi.

Ketika kebanyakan novel DKJ lain bikin mikir keras, novel ini menyodorkan cerita sederhana nan mengenyangkan yang justru mengajakku lebih mengenal sisi NU dan Muhammadiyah tanpa digurui mana yang paling benar.  Pada intinya, Kambing dan Hujan (seperti judulnya yang tidak nyambung) adalah tentang perbedaan. Juga bagaimana cinta dan keputusan legowo untuk menurunkan ego bisa melunakkan tatanan sosial njelimet. Ketika dua insan tak mempermasalahkan perbedaan, bukankanh sah-sah saja bagi mereka untuk bahagia? 

Kalaupun mustahil disatukan, bukan berarti kambing dan hujan tidak bisa saling berdampingan. Iya toh?
Profile Image for Arfan Putra.
139 reviews3 followers
June 18, 2018
Kisah sepasang kekasih melawan kemustahilan; terpilin dalam rajutan sejarah, hubungan sosial dan persaingan agama.
Profile Image for fawz.
119 reviews13 followers
May 1, 2021
Kisah ini tak lebih dari kisah hidup manusia sehari hari yg tidak bisa terlepas dari perselisihan, namun pada akhirnya akan selalu menemukan celah untuk mendekap kebahagiaan
46 reviews
December 24, 2025
Dibanding Dawuk, karya Cak Mahfud satu ini lebih menghiburku. Mungkin karena temanya lebih dekat denganku dan ada bumbu romansanya. Secara teknik, Kambing dan Hujan tak jauh beda dari Dawuk, yakni cerita berlapis. Namun, menurutku teknik pada Kambing dan Hujan lebih kompleks karena ada beberapa tokoh yang bercerita sebagai narator. Dan tentu, itu menciptakan efek tertentu.
Displaying 1 - 30 of 239 reviews

Join the discussion

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.