Di Jakarta yang gemerlapan ini Sulaeman akhirnya memilih pekerjaan atau profesi sebagai pemilik dan sekaligus pekerja reparasi sepeda. Waktu itu belum ada sepeda bermotor, kalau pun ada yang memilikinya masih jarang sekali dan bagi bengkel sepeda Sulaeman adalah langka memperbaiki ban sepeda motor. Sulaeman cuma menguasai mekanik sepeda termasuk menambal ban, mengganti jeruji dan sesekali mengecet sepeda tua untuk dijadikan seperti baru sehingga dapat dijual dengan harga yang baik.
Penghasilan sehari-hari Sulaeman yang pas-pasan itu tidak dapat mewujudkan mimpinya untuk menjadi orang berharta tapi itu bukanlah tujuan utama Sulaeman. Ia lebih suka menjadi orang biasa yang terkenal dan dikenal semua orang di Jakarta ini. Sulaeman pun mulai mencoba jalannya orang bisa jadi terkenal yakni mengarang atau menjadi pengarang. Buku-buku karangannya yang dicetak ribuan jumlahnya tampilkan namanya sehingga bisa membuatnya dikenal luas oleh orang-orang yang membaca karangannya.
Pramoedya Ananta Toer was an Indonesian author of novels, short stories, essays, polemics, and histories of his homeland and its people. A well-regarded writer in the West, Pramoedya's outspoken and often politically charged writings faced censorship in his native land during the pre-reformation era. For opposing the policies of both founding president Sukarno, as well as those of its successor, the New Order regime of Suharto, he faced extrajudicial punishment. During the many years in which he suffered imprisonment and house arrest, he became a cause célèbre for advocates of freedom of expression and human rights.
Bibliography: * Kranji-Bekasi Jatuh (1947) * Perburuan (The Fugitive) (1950) * Keluarga Gerilya (1950) * Bukan Pasarmalam (1951) * Cerita dari Blora (1952) * Gulat di Jakarta (1953) * Korupsi (Corruption) (1954) * Midah - Si Manis Bergigi Emas (1954) * Cerita Calon Arang (The King, the Witch, and the Priest) (1957) * Hoakiau di Indonesia (1960) * Panggil Aku Kartini Saja I & II (1962) * The Buru Quartet o Bumi Manusia (This Earth of Mankind) (1980) o Anak Semua Bangsa (Child of All Nations) (1980) o Jejak Langkah (Footsteps) (1985) o Rumah Kaca (House of Glass) (1988) * Gadis Pantai (The Girl from the Coast) (1982) * Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (A Mute's Soliloquy) (1995) * Arus Balik (1995) * Arok Dedes (1999) * Mangir (1999) * Larasati (2000)
A bit abrupt the ending wasn't it? It was like, 'I'm going to end this now so all must die now'. But I learnt something about the life in Jakarta during this era. It's about survival but in the same time I think the writer was trying to show how and why playing it fair is possible despite the difficulties.
Like his style of writing. Definitely going to look for more.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Berkisar dari penghijrahan untuk meningkatkan taraf hidup, kejujuran dan kerja keras yang membawa kejayaan sehinggalah dendam yang memusnahkan segala-galanya.
Gulat Di Jakarta seolah membayangkan, melakukan kebaikan tidak mempunyai saingan. Namun kejahatan yang sedikit boleh menjurus kepada kehancuran. Hidup harus waspada dan kesempurnaan tidak selamanya.
Semoga penulisan sebegini akan terus hidup sepanjang zaman.
Sebuah kisah sederhana tentang perjuangan di kota besar yang membuka mata, menerangkan pikiran, dan menambah syukur. Dikemas apik dalam halaman yang sedikit namun memberikan pesan mendalam. Sebuah karya khas Pram era 1950-an yang penuh dengan pergulatan hidup.
Mengisahkan bagaimana seorang sulaiman yang harus pergi meninggalkan keluarganya dengan berbekal seringgit uang dan harus berdiri sendiri di kakinya untuk hidup. Bagaimana di desa ia sudah menjadi cari dan harus berpaling ke Jakarta karna kerusuhan dengan bermodal kain sebungkus dan uang yang cukup untuk tida bulan.
Dari novel ini saya belajar bagaimana kesederhanaan hidup dan bagaimana kerja keras serta kejujuran yang akan membuat semuanya baik. Walau tetap ada kejahatan yang menghancurkan, jadi tetaplah harus waspada. Dan bagaimana Mina sang istri tetap berada disamping suaminya dalam keadaan bagaimanapun. Keterbukaan dan komunikasi yang harus tetap berjalan, dan bagaimana persahabatan semesrinya saling mendukung satu sama lain.
Pram menguji tulisannya dalam bentuk cerita yang sederhana. Soal berjuanh hidup. Jangan lupa, cerita ini berlatar tahun 70-an, jadi psiko-demografinya dalam teks bisa dijadikan dokumentasi yang berharga.
Apa kosmologi kaum perantau saat itu? Pram menjelujurnya dengan nada berapi-api....
Jangan bandingkan dengan magnum opus-nya, Bumi Manusia dengan tetraloginya. Ini kisah sederhana, singkat, tapi bila teliti setelah halaman 12, maka kita akan menemukan gairah sekelas Old Man and the Sea-nya Ernest.
Dari petang sampai malam saya fikirkan apa tema yang cuba disampaikan melalui novela ini… tapi akhirnya saya buat kesimpulan kisahnya terlalu pendek dan tak cukup tajam untuk memberi kesan. Sebagai pembaca saya lalui kegulatan Sulaiman bersama isterinya Mina membina hidup yang lebih baik untuk anak-anak mereka, tapi selain daripada konflik antara mereka berdua mempersoalkan keadilan bilamana Sulaiman berniat menukar bengkel sepedanya daripada milik peribadi kepada cooperative enterprise (dikongsi sama rata bersama dua orang pekerjanya yang jujur, rajin dan setia), saya tak dapat meneka apa lagi tema yang lebih dalam untuk ditangkap pembaca. Adakah Mina terlalu kapitalis? Atau Sulaiman terlalu idealis? Atau adakah Mina ibu yang pragmatis yang cuma mahukan sedikit kelebihan untuk anak-anaknya dan keluarganya?
Pokoknya pada penghujung cerita saya terfikir betapa susahnya untuk orang miskin berjaya dalam hidup (dan perniagaan). Terutamanya si miskin yang jujur dan murah hati berkongsi keuntungan. It's true that you don't get to become a rich businessman without exploiting your workers at least a little bit. To become a billionaire? You must exploit a lot more.
Sebagai buku Pram pertama saya, Gulat Di Jakarta berhasil membuka mata dan hati tentang cara memaknai hidup dengan sederhana. Berulang kali Pram menegaskan kejujuran sebagai nilai yang menjadi landasan manusia menjalani kehidupan. Bukan hanya sekadar untuk hidup, melainkan untuk mencapai ketenangan jiwa dan raga itu sendiri. Pram membawakan buku ini dengan narasi yang ringan ditambah latar yang lekat dengan realitas. Tak kalah penting, Pram sukses mengajak saya untuk melebur ke dalam dunia Sulaiman dan Mina yang serat akan pesan moral yang berharga.
Ini merupakan karya dari Pramoedya Ananta Toer juga. Atas desakan kemiskinan, Sulaiman dipaksa meninggalkan keluarga dan hidup diatas kaki sendiri. Dengan berat hati dia meninggalkan kampung berbekalkan wang seringgit untuk memulakan hidupnya; sebagai seorang lelaki dewasa. Sulaiman kemudian bertemu jodoh dengan Mina dan beberapa ketika kemudian mereka dikurniakan tiga orang anak. Namun kerana peperangan pada waktu itu dua anaknya terkorban dan dia membuat keputusan untuk berhijrah ke Jakarta bersama isteri dan satu-satunya anak mereka, Mira. Penghijrahan ke tempat baru bermakna harus memulakan hidup yang baru. Namun semangatnya untuk kehidupan yang lebih baik tidak pernah padam. Dia memulakan hidup di kota sebagai seorang pekerja sebuah bengkel. Kerana kerajinan dan ketekunannya, bengkel itu semakin hari semakin maju. Dan dia menjadi kesayangan majikannya. Setelah dirasakan cukup ilmu didada, dia mula memulakan perniagaannya sendiri. Bengkelnya sendiri. Mula dari kecil. Perlahan-lahan perniagaannya bertambah maju dan maju. Ekonomi keluarganya bertambah mantap. Atas sikapnya sebagai seorang majikan yang pemurah dan menghargai pekerjanya, dia dihormati dan disayangi pekerja-pekerjanya. Sebalik hubungan majikan-pekerja terjalin sebuah persahabatan yang kuat antara Sulaiman, Dul dan Mijo. Dul dan Mijo membantu menguruskan perniagaan disaat dia sakit dan Mijo sendiri terkorban kerana menyelamatkannya dari pencuri.
Buku ini mengisahkan mengenai sepasang suami isteri Sulaiman dan Mina yang merantau ke Jakarta. Keduanya telah kehilangan dua orang anak kerana ditembak perompak di kampung mereka. Rumah mereka juga telah dibakar.
Di Jakarta, Sulaiman meneruskan hidup dengan kepercayaan yang ditanam orang tuanya - mereka harus mencari jalan kesenangan hidup.
Yang menarik adalah rentetan kehidupan Sulaiman, walaupun diceritakan secara ringkas, tetapi berakhir dengan kepercayaannya bahawa bekerja bukan sekadar untuk diri sendiri, tetapi untuk manusia keseluruhannya.
Ada nada sosialis dalam buku Pramoedya, dan jadi tak hairan kalau dulu pernah bertemu esei-esei kesusasteraan yang membincangkan hal ini.
Novel ini mengungkapkan kepentingan berbagi-bagi dalam hidup dan perjuangan pada manusia adalah untuk generasinya dengan bersandarkan sudah tentu dalam pandangan alam sosialis yang tipis. Pada watak Sulaiman yang teguh untuk mengubah kedudukannya dengan pengetahuan yang serba sedikit, kita dibawa kepada pengertian hidup yang dialami oleh bangsa Indonesia dan kejahatan yang tidak pernah berhenti. Bagaimanapun, persoalan berbagi sukar untuk diterima seperti yang digambarkan pada watak Mina tetapi realitinya ia tetap memberi manfaat kepada keluarga Sulaiman dan Mina.