Diawali dengan banyak kesulitan demi keinginan hidup nyaman, akhirnya Dini berhasil “mapan” di Lerep, di lereng Gunung Ungaran. Berbagai kegiatan dihayati sambil tetap menulis dan bertahan sebagai seniman dan Lansia mandiri. Dini takhentinya bersyukur karena masih di”butuh”kan oleh banyak pihak, lebih-lebih di bidang pendidikan. Ketika istilah ceramah berganti menjadi kuliah umum, Dini tetap melaksanakan perjalanan ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Pada kesempatan itulah dia membagi pengalamannya, menggelar proses kreatifnya di bidang penulisan.
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, Lerep yang semula diharapkan menjadi tempat tinggal hingga akhir hidupnya, ternyata ikut dijarah oleh kepadatan manusia: lingkungan menjadi bising, kekurangan air, dan ketidaknyamanan. Dini “harus” pindah lagi ke tempat Iain yang sekiranya lebih nyaman. Untuk kesekian kalinya, Dini bersyukur karena Tuhan memberikan petunjuk ke mana arah yang akan dituju: secara kebetulan, dia “menemukan” Wisma Iain yang dikelola secara lebih profesional.
Sejalan dengan kondisi penuaan yang tidak bisa dihindari makhluk di bumi ini, Dini terus mengarungi kehidupannya sambil berkarya.
Nh. Dini (Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin) started writing since 1951. In 1953, her short stories can be found in most of national magazines like Kisah, Mimbar Indonesia, and Siasat. She also writes poems, radio play, and novel.
Bibliography: * Padang Ilalang di Belakang Rumah * Dari Parangakik ke Kampuchea * Sebuah Lorong di Kotaku * Jepun Negerinya Hiroko * Langit dan Bumi Sahabat Kami * Namaku Hiroko * Tirai Menurun * Pertemuan Dua Hati * Sekayu * Pada Sebuah Kapal * Kemayoran * Keberangkatan * Kuncup Berseri * Dari Fontenay Ke Magallianes * La Grande Borne
Buku yang rillis di tahun 2018 dan di tahun yang sama beliau meninggal....
NH Dini adalah penulis legendaris dan beliau itu detail banget.
Gunung Ungaran bercerita tentang masa sepuh mendiang pasca gempa Jogja. Akhirnya beliau memutuskan untuk kembali ke Semarang, kota masa keclnya, tapi tepatnya di Ungaran.
Pada masa itu Ungaran masih sejuk dan hening. Beliau bisa tenang hidup di wisma yang dinamai dengan namanya sendiri (karena dibangun oleh istri ex pejabat yang baik hati). Akan tetapi ternyata rumah itu dibangun oleh pemborong dan tukang dengan asal-asalan, dan biaya renovasinya tidak sedikit.
Bu Dini akhirnya pindah ke Wisma Lansia lain, masih di sekitar Semarang juga. Di sana beliau lebih kerasan meski ada beberapa penyesuaian (seperti menu makanan yang kurang cocok, dll).
Karya Bu Dini yang satu ini sangat menyentuh. Di usia senja, beliau masih sangat aktif untuk berkegiatan, mulai dari luar kota sampai luar negeri. Beliau juga masih semangat berkarya.
Secara tidak langsung beliau memotivasi para pembaca untuk semangat menulis.
Aku bakalan kangen serial kenangan Bu Dini. Di usia yang semakin senja semakin sering Bu Dini mengeluhkan mengenai kesehatan, keuangan, serta kesopanan yang kian memudar di masyarakat. Anak keduanya sangat membanggakan hatinya. Terlebih lagi dia sangat gemati. Si sulung menurutku tak kurang sayangnya, namun kayaknya sejak kecil emang Bu Dini suka ga cocok ya sama putri sulungnya. Klo bagi orang yang ga ngerti mungkin dipikir mereka ga akur. Tapi kurasa hal seperti itu lumrah saja di dalam sebuah keluarga.
Saat awal baca aku sempat bolak-balik ngeliat sampul belakang dan agak heran, kenapa penerbitnya bukan Gramedia? Ternyata ada ceritanya pula di dalam buku ini wkwk. Yah kok pundung gitu sih?
Penutup dari perjalanan Ibu Nh. Dini. Buku ini menjadi saksi kisah-kisah bagaimana masa kecil, berkeluarga, dan menghabiskan diri di Semarang. Kita dapat menengok dapur seorang pengarang dari bagaimana gagasan dikumpulkan, mengatur keuangan, hingga kerumitan menghadiri undangan di tengah kondisi masyarakat yang minim apresiasi terhadap literasi. Karya yang pantas sebagai epilog perjalanan hidup. Dalam kalimat terakhirnya Ibu Dini menuliskan, "Matur nuwun, Gusti!"
Buku terbaru dari Nh. Dini. Cerita panjang keseharian beliau di usia lanjutnya. Beberapa kenangan lama yang muncul. Juga perjalanan panjang. Semua diceritakan dengan gaya bahasa khas Nh. Dini. Suatu waktu aku harus menemuinya...
Sungguh ceroboh saya! Buku ini sudah selesai saya baca beberapa waktu yang lalu. Aneka kesibukan plus timbunan yang harus saya babat membuat lupa untuk membuat sekedar catatan.
Kehidupan seorang Dini sungguh menarik untuk disimak. Meski termasuk dalam golongan lansia, tapi sosok Dini adalah seorang lansia yang sangat mandiri. Ia paham sekali akan kondisi dirinya, apa yang merupakan keunggulannya dan mana yang bisa dianggap sebagai kekurangannya. Bagaimana cara beliau bersikap dalam menjalani kehidupan ini sangat layak dijadikan panutan bagi kaum muda.
Pembaca juga akan menemukan banyak uraian mengenai proses kreatif penulisan Karya-karya beliau. Juga peristiwa dalam dunia penulisan dalam dan luar negeri dimana beliau dan beberapa praktisi hebat lainnya terlibat.
Seperti biasa, cara beliau bercerita mampu membuat pembaca merasa berada dalam kisah. Seakan menjadi bayang-bayang tokoh utama, selalu berada dekatnya setiap saat.
beda banget sama serial kenangan masa kecil, ya. pertama kali tahu N.H Dini karena nemu buku serial kenangan masa kecil di perpustakan sekolah. sebuah lorong di kotaku dan padang ilalang di belakang rumah nemu di perpustakaan SMP sedangkan langit dan bumi sahabat kami nemu di perpustakaan SMA. senang sekali mendapatkan cerita seperti dongeng (penyampaian cerita N.H Dini seperti mendongengi cucunya). secara pribadi aku merasa hidup mereka yang mempunyai hubungan erat dengan alam di lingkungan rumah mereka adalah kehidupan yang menyenangkan. . seperti kata orang waktu akan mengubah tragedi menjadi prestasi, atau kalau dalam ceritanya N.H Dini jadi sebuah cerita yang menyenangkan untuk dibaca. . tidak berbeda dengan buku Gunung Ungaran : Lerep di Lerengnya, Banyumanik di Kakinya. masih sama seperti bagaimana N.H Dini menyampaikan cerita kehidupaanya, mendongeng. bedanya sekarang dongengan kehidupan tua beliau, seperti kebanyakan nenek-nenek, sukanya ngomel-ngomel. hehehehe.