Kumpulan cerita pendek Nukila Amal memuat penggambaran kondisi kemanusiaan yang bergerak diantara situasi keseharian dan yang ekstrim: orang yang berjalan –jalan, rehat di kedai kopi, kejenuhan, cinta pertama, sepi usia tua, hingga kebrutalan perang.
Subyeknya bisa siapa saja atau apa saja: Ibu yang tengah hamil, penari eksentrik, setetes embun, dua tangan yang bercakap, atau seekor buaya kecil yang menyeruak keluar gambar. Cerita bertempat di pesisir Halmahera, gang dan jalanan kota Jakarta, desa di Korsika, galeri di negeri Belanda, sirkus di negeri antah berantah, atau taman ria di dalam mata. Beberapa cerita bertolak dari karya – karya pegrafis M.C.Escher.
Cerita – cerita pendek Nukila, menyeret kita ke ceruk batin manusia yang paling dalam dan misterius. Membacanya adalah sebuah pengalaman kebahasaan yang pelik, menyentuh, indah dan menakjubkan. -- Bambang Sugiharto
Prosa Nukila Amal tidak hanya memuat puisi dalam presisi rima dan diksi; tetapi juga menggunakan metafor yang segar, kerap mengagetkan, cermat dan liris, yang terpadu ke dalam struktur yang ketat bahkan nyaris matematis -- Laksmi Pamuntjak
“Sentuhan Nukila memberi hidup kepada benda – benda, kepada yang kecil dan ‘tak penting’ dunia dalam yang kian ditinggalkan – ketika banyak cerita lebih memilih merayakan kebanalan permukaan hidup. Setiap tapak kata adalah elan vital yang menyempurnakan dan menggenapi pembacanya. Sebuah terobosan alam cara bercerita yang tak mungkin diabaikan oleh siapapun yang serius memikirkan perkembangan sastra Indonesia masa kini.” -- Manneke Budiman
Nukila Amal mendapat perhatian besar di dunia sastra Indonesia setelah menerbitkan novelnya, Cala Ibi (2003), yang masuk lima besar Khatulistiwa Literary Award. Kumpulan cerpennya, Laluba (2005), mendapat penghargaan Karya Sastra Terbaik majalah Tempo. Nukila juga meraih penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2008 melalui cerpennya, "Smokol." Karya terbarunya adalah buku anak Mirah Mini: Hidupmu, Keajaibanmu (2013).
Pada tahun 2006 Nukila diundang sebagai peserta Iowa International Writing Program di Amerika Serikat. Ia pernah menjadi anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta dan menerjemahkan sejumlah kumpulan puisi. Lulusan Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung ini juga mengelola bisnis roti dietetik.
Setelah sukses dan menghentakkan dunia sastra tanah air dengan novel lirisnya "Cala Ibi"(2003), kali ini Nukila Amal mempersembahkan karya terbarunya "Laluba", sebuah kumpulan cerpen yang terdiri dari 15 buah cerpen dimana lima diantaranya pernah dimuat di Majalah Matra, The Jakarta Post, Koran Tempo dan Jurnal Kebudayaan Kalam.
Kelimabelas cerpen dalam buku ini dibagi dalam dua bagian besar. Di bagian pertama "Para Penyelamat dan Para Penari" (5 bh cerpen) terdapat cerpen "Laluba" yang dijadikan judul buku kumpulan cerpen ini. Tidak dijelaskan mengapa cerpen Laluba dijadikan judul buku ini namun jika dilihat dari keseluruhan cerpen yang ada, cerpen Laluba memang yang paling menonjol diantara cerpen-cerpen lainnya. Dalam cerpen Laluba Nukila bertutur mengenai seorang ibu yang berdialog dengan anaknya yang masih berada dalam kandungannya yang dinamainya "Laluba" (lumba-lumba.). Cara bertutur dalam cerpen Laluba ini mengingatkan kita akan Cala Ibi, penuh dengan kalimat-kalimat liris bak puisi, metafor-metafornya terpilih dengan cermat dan kadang mengagetkan.
Di bagian kedua "Para Penatap dan Para Pencerita" (10 bh cerpen) Nukila menuliskan cerpen-cerpennya yang bertolak dari karya-karya pegrafis legendaris asal Belanda yang karya-karyanya telah mendunia M. C. Escher (1898-1972). Dalam cerpen berjudul "Drama Dua Tangan" dengan menarik Nukila menyajikan cerpennya dalam bentuk dialog drama antara tangan satu dan tangan dua yang saling menggambar dengan asyiknya hingga suatu ketika mereka berselisih siapa yang lebih dulu menggambar tangan, tangan satu bersikukuh dialah yang menggambar tangan dua, sebaliknya tangan dua berpendapat dialah sipembuat tangan pertama dan dialah sang pencipta sementara tangan pertama adalah ciptaannya.
Sebuah karya terkenal M.C. Escher yang bertitel Reptil (1943) mengilhami Nukila untuk membuat cerpen berjudul "Kita Ada di Sini" . Di cerpen ini Nukila mencoba menerjemahkan litograph Escher kedalam rangkaian kata dengan baik sekali bagaimana sketsa seekor buaya kecil tiba-tiba menyeruak keluar dari gambarnya.
Membaca cerita-cerita pendek Nukila dalam "Laluba" memang menarik karena setiap cerpen Nukila akan menyeret kita kedalam ceruk-ceruk batin manusia yang paling dalam dan misterius yang dibingkai dalam keindahan berbahasa yang menakjubkan. Hal ini tentu saja membawa konsekuensi cerpen-cerpen ini menjadi agak sukar dimengerti bagi mereka yang hanya terbiasa membaca cerpen-cerpen ringan. Sedikit kekurangan pada buku ini adalah tak ada satupun juga karya grafis MC Escher yang tercetak pada buku ini. melainkan hanya memuat judul karya dan tahun pembuatan dari karya grafis MC Escher di tiap akhir cerpen. Tentu saja bagi orang yang tak mengenal siapa MC Escher keterangan tersebut tak akan memiliki arti apapun. Jika saja karya pegrafis terkenal ini dimuat di awal atau di akhir setiap cerpen tentunya hal ini akan sangat memudahkan pembaca untuk lebih mengapresiasi setiap cerpen dalam buku ini.
@h_tanzil
Untuk menikmati karya pegrafis MC Escher silahkan kunjungi situsnya di
Saya harus melakukan pengakuan besar, sejatinya saya sudah punya Cala Ibi, novel monumental milik Nukila Amal yang menggegerkan jagat persilatan sastra Indonesia. Namun, lama saya punya bukan jaminan saya telah rampung membacanya. Novel itu mangkrak di rumah. Karena apa? Saya harus akui lantaran "liatnya bahasa" Nukila Amal dengan beragam metafora yang terlalu sempurna. Dan juga yang saya tangkap, karena Nukila Amal mengedepankan bahasa dan capaian linguistik, maka hampir tidak kita rasakan konflik berarti. Meski bukan berarti tanpa konflik, tetapi lamban pace-nya dan bisa-bisa, macam saya yang mudah ngantuk kalau baca novel terlalu tinggi bahasa sastrawinya.
Tetapi kumpulan cerpen ini, tidak seliat Cala Ibi. Meski bahasa Nukila Amal memang demikian. Menempatkan konflik dan penokohan pada urutan kesekian, di belakang bahasa dan capaian lingusitik dalam cerpennya. Tetapi dahsyat! Percayalah!
Cerpen yag dijadikan judul, Laluba (lumba-lumba) memang yang paling aduhai dan menyita perhatian. Dikisahkan seorang ibu yang berkisah kepada bayi dalam perutnya, si Laluba, tentang banyak hal; mulai dari kampung halaman, ayahnya, laut, dll. Dan hangat sih cerpennya.
Tetapi yang paling saya sukai justru adalah di bagian 2. Yakni, interpretasi karya-karya visual MC Escher. Liar bahasa dan imajinasi menambah mistis karya. Dan kayae bagian inilah yang menjadikan buku ini begitu spesial.
Jadi simpulan saya, "liat"-nya Nukila Amal tertaklukkan kalau ukurannya enggak panjang-panjang amat. Heeheee. Kalau sudah sepanjang novel, bisa pusiang kepala aing. Cetakan baru ini, menurut saya keren. Covernya sumpah bikin enggak tahan untuk tidak dibeli.
I love this book so much! Walaupun bahasanya puyeng dan diksinya ndakik-ndakik, tapi indahh banget. Asli, ga nyangka banget sanggup namatin buku "berat" ini dalam waktu 2 hari😭😭😭. Favoritku Laluba dan Surat Seorang Seniman Tua kepada Anaknya.
Kumpulan cerpen yang menarik. Nukila Amal memiliki gaya bercerita yang khas, gabungan antara aliran kesadaran (stream of consciousness), diksi yang unik, serta frasa-frasa yang tidak terduga. Prosa beliau dalam mendeskripsikan berbagai benda terasa sangat hidup, bahkan cenderung surreal.
Buku ini terbagi dalam dua bagian, Para Penyelamat dan Para Penari dan Para Penatap dan Para Pencerita.
Bagian pertama mengeksplorasi berbagai topik, tetapi Laluba dan Manekin adalah dua cerita terkuat menurut saya.
Laluba memberikan latar Maluku yang masih jarang saya jumpai dalam sastra Indonesia, menceritakan kisah seorang ibu mengandung dalam pelarian yang berkisah pada anaknya yang belum lahir. Imaji pesisir Maluku dan budayanya sangat kuat di sini, dan akhir ceritanya cukup menusuk.
Manekin mengisahkan seorang pensiunan politisi yang tiba-tiba terobsesi pada sebuah manekin, diceritakan dari sudut pandang asisten rumah tangganya. Deskripsi si politisi ini mengingatkan saya pada salah seorang mantan presiden Indonesia yang kontroversial dan terkenal dengan kegemarannya mengkoleksi artifak-artifak mistis.
Bagian kedua adalah kumpulan respons Nukila Amal terhadap karya-karya M.C. Escher, seorang perupa grafis Belanda yang terkenal dengan karya-karya cetaknya yang kerap mengusung tema matematis dan ilusi optik. Di sini, Nukila Amal seperti mereka ulang setiap karya dengan memberikan cerita sekaligus interpretasi. Terkadang cerita terbaca seperti biografi semi historikal M.C. Escher sendiri, sedangkan di beberapa cerita lain, Nukila Amal bermain-main dengan skenario sureal.
Sebagai perupa grafis, saya sangat menikmati interpretasi karya-karya ini, karena kebetulan cukup dekat dengan apa yang saya kerjakan. Nukila Amal juga berhasil menghadirkan dunia seni grafis (printmaking) yang meyakinkan. Namun, bagi orang-orang yang kurang mengenal karya Escher apalagi berbagai teknik seperti cukil kayu dan litografi, kumpulan cerita ini mungkin akan lebih sulit dibayangkan atau dicerna.
Saya setuju dengan beberapa ulasan di sini bahwa cerita-cerita Nukila Amal terkesan minim konflik. Seringkali cerita berakhir pada titik yang ambigu tanpa kehadiran klimaks, tidak jauh beda dengan kishotenketsu, struktur empat babak tanpa konflik dalam gaya penceritaan Asia Timur. Saya rasa, kumpulan cerita ini kurang cocok bagi pembaca yang mengharapkan konflik dan drama yang sengit. Di sisi lain, pembaca yang menyukai prosa yang unik, gaya aliran kesadaran, dan struktur cerita yang ambigu akan sangat menikmati buku ini.
Saya mengulas Bagian Kedua dari buku cerita pendek ini yang merespon karya-karya seniman grafis M.C. Escher, biografi serta proses kreatifnya [Bagian Kedua: respons terhadap komposisi gambar seniman grafis M.C. Escher].
Beberapa bagian di cerpen-cerpen ini mengingatkankan saya dengan buku esai Nirwan Dewanto "Satu Setengah Mata-Mata". Keduanya sama-sama memperkarakan rupa dengan mencampuradukkan ulasan dan fiksi. Dalam Bagian Kedua yang diberi tajuk "Para Penatap dan Para Pencerita" penilaian atas gambar yang diresponnya paling terlihat di cerpen "Tatap Mata 2" dan "Surat Seorang Seniman Tua Kepada Anaknya"[yang berisi sepotong biografi M.C. Escher]
Namun dalam membaca cerpen-cerpen di buku ini, saya cukup terganggu dengan kenyataan bahwa saya baru bisa menikmati cerpen-cerpen tersebut setelah saya melihat sendiri "gambar" yang dimaksud oleh penulisnya. Artinya saya baru bisa menikmati cerpen alihwahana dari gambar M.C. Escher ini setelah saya melihat karya-karya M.C. Escher melalui penelusuran di Google lalu membaca cerpen tersebut di pembacaan yang kedua kali untuk melihat keterkaitan dengan gambar asli yang sedang diresponnya. Hal ini sangat berbeda ketika saya membaca buku Nirwan Dewanto "Satu Setengah Mata-Mata", meski saya belum melihat gambar atau lukisan yang diperkarakannya, saya bisa mengikuti bangunan imaji yang disuguhkan.
Entah apa karena pelabelan "cerpen" di buku ini [sebab ini adalah kumpulan cerpen] membuat saya "dipaksa" untuk keluar dari kerangka selera sebab pula isi cerpennya bukan dalam "pengertian cerpen yang sebenarnya". Yang sejujurnya saya jauh lebih menyukai cerpen yang punya penokohan jelas, lebih membumi, dan alur yang pasti.
Lagipula beberapa cerpen di Bagian Kedua ini rupanya lebih memilih ‘bermain aman’. Ketimbang melakukan penafsiran baru atas gambar Escher, yang disuguhkan hanya berhenti sebatas deskripsi atau penggambaran ulang atas karya yang diresponnya. Hal ini sangat jelas terlihat di cerpen “Galeri Gambar” dan “Kita Ada di Sini”. Nukila semata menggambarkan ulang, nyaris semata peniruan terhadap isi gambar Escher, tak begitu luas penafsirannya.
Baca ini karna rekomendasi seorang teman. Dia bilang "kamu akan suka", dan dia benar. Kumpulan cerpen, tapi keluar dari zona nyaman sebuah cerpen. Buku yang harus dibaca pelan-pelan untuk bisa benar memahami maknanya, tapi itupun mungkin bekum cukup, karna semua kata, diksi dalam buku ini penuh dengan metafora. Buku yang maknanya tidak dipampangkan secara nyata dan cenderung sureal, tapi indah.
Favoritku lebih pada bagian 2 yang bertajuk Para Penatap dan Para Pencerita. Bagaimana menggambarkan, menceritakan sebuah karya seni rupa dengan kata-kata tidaklah mudah. Karna itu kutipan ucapan Da Vinci semakin terasa nyata adanya. "O penulis, dengan huruf-huruf apa dapat kau ungkapkan seluruh bentukan sesempurna yang diberi gambar?" Aku berusaha membayangkannya sendiri di imajiku, lalu mencari karya aslinya, dan... Ah, benar adanya...
Last but not least, cerita favoritku adalah Laluba, Tatap Mata 2, dan Kelak Benda-Benda.
This is THEE book for you language nerds and linguistic girlies!!!! Baca ini seolah ada yang ngebukain pintu buat aku, di balik pintu itu ada gambaran sejauh apa kita bisa bereksperimen dan menciptakan sesuatu yang baru dari bahasa yang kita pakai sehari-hari.
Cerpen-cerpennya seru untuk dibaca dan ditelisik, judul favoritku “Laluba” dan “Rehat Hati 2”. Menurutku, karena gaya bahasanya yang unik dan kreatif ini, penulisnya jadi bisa mengeksplor topik filosofis dan seperti melempar balik pertanyaan-pertanyaan ke pembaca. Cerpen yang ditulis bukan untuk menjawab, tapi untuk mengundang diskusi dan renungan bersama. Buku bagus, mari dibaca!
Ini pertama kali membaca tulisan Nukila Amal. Aku ngga menyangka kalau penggunaan bahasanya akan begitu rumit, padat namun sangat indah. Butuh waktu hampir tiga minggu untuk menyelesaikan buku ini, karena membacanya bikin pusing, namun seru dan kaya akan imajinasi. Jadi, ketika akhirnya sekarang selesai membacanya tuh langsung berasa deg-degan sekaligus lega. Deg-degan karena kaget kok bisa aku nyelesain karya sastra seindah, sepadat dan serumit ini. Lega karena akhirnya selesai dan bisa mengulang membaca lagi, entah kapan.
Laluba adalah semesta metafora Nukila Amal yang bisa jadi membuatmu puyeng. Puyeng tapi indah. Cerpen favorit saya tiga: Laluba, Manekin, dan Kembang Api.
Terdapat komposisi gambar karya M.C Escher yang dijadikan sebuah cerita tetapi sayang, gambarnya tidak ditampilkan.
Aku suka banget sama diksi indahnya. Tapi kadang, untuk memaknai diksi indah milik Nukila ini, haru aku lakukan sampai dua kali baca. Huhu. Mangkannya ak ga berani kasih bintang 4 karena aku sendiri agak sulit memaknai kumpulan cerpen ini. Sebenarnya gak semua, hamya ketika saya sampai di bagian penggambaran lukisan menjadi sebuah cerita. Untuk Laluba, singgah di sirkus, rehat hatidan rehat hati 2 sama manekin jadi favoritku.
Prosa dan imajinasi Nukila Amal memang tidak biasa! Buku kumpulan Cerpen ini membuktikan itu. Tambahan lagi, meski ini buku kumuplan Cerpen, Cerpen satu dan lainnya saling terkait. Tidak kalah dibandingkan dengan Cala Ibi.
Sebagai kumpulan Cerpen, buku ini membuat lebih mudah untuk menikmati imajinasi yang disusun dalam prosa Nukila Amal. Bisa dibaca saat padat kerja, dengan nafas pendek. Bisa satu bab istirahat, dan menyambungnya kembali di lain waktu.
Tentang sumber ceritanya, Nukila menceritakan seperti ini: "Half of the stories in my second book, Laluba, were inspired by the works and life of the Dutch graphic artist M.C. Escher, whose works I admire, disorienting and mind-boggling as they are. My other story of a circus dancer who can spin faster than her own shadow, came from a poster of a blurred ballerina dressed in red." Mengenai imajinasi yang penuangannya dalam prosa menjadi sedemikian unik (kata ini mungkin terlalu sederhana, namun begitu lah kesan saya), Nukila di kalimat selanjutnya menuangkan, "I also find exotic sounds inspiring, such as the name of a city or village, archaic words, or words in the local languages that strike my ears delightfully or roll nicely off the tongue. Indonesia has more than 500 languages and dialects with different distinctive traits, even alphabet systems. This richness in vocabulary becomes a fertile ground as well as a challenge for me to take these languages from the margins into the center, the lingua franca. The titles of my two books are not even Indonesian words." (Sumber: http://www.uiowa.edu/~iwp/EVEN/docume...).
Saya begitu memperhatikan kalimat ini, "a challenge for me to take these languages from the margins into the center, the lingua franca." Dia meng-Indonesia-kan demikian demikian banyak bahasa daerah. Bahasa Indonesia adalah gado-gado yang sambal kacang, tauge, kol, dan sayurannya adalah khasanah bahasa di kepulauan ini.
Imajinasinya dan resep yang demikian "ciamik" itu membuat saya hanya ingin bilang, mungkin Nukila bisa gitu karena banyak makan surabi NHI kali yah? Sumber inspirasi dari beragam bahasa di Indonesia, seperti beragam rasa surabi NHI. hehehe Enggak dink, cuma mau bilang, bacaan perlu ketika tiap hari isinya bacaan textbook dan jurnal!
nukila amal, is one of talented, if not genius writer. i wish she writes more or talks more in public. but i think that's the part of being a writer; you have to keep your life private and leave a room for your readers to wonder.
pada dasarnya saya memang bukan pembaca yang baik buat buku jenis kumpulan cerpen. tapi saya beri 3 bintang karena belum tentu saya sendiri bisa buat tulisan sejenis buku ini.