What do you think?
Rate this book


232 pages, Paperback
First published July 1, 2018
Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris? merupakan buku yang disusun dari kumpulan tulisan Ivan Lanin tentang kebahasaan yang pernah dimuat di dalam laman pribadinya. Sebagaimana judulnya, penulis menyoroti fenomena-fenomena nginggris dalam berbahasa mayoritas masyarakat Indonesia. Pandangan superior terhadap bahasa Inggris lantas membuatnya prihatin. Melalui buku setebal 232 halaman ini, penulis memberikan, menawarkan, meluruskan, dan menginformasikan banyak hal tentang bahasa Indonesia yang mungkin belum diketahui pembaca. Tujuan mulia penciptaan karya ini adalah agar masyarakat terlebih dahulu memahami kemudian memiliki kemauan untuk membiasakan diri menggunakan kosakata bahasa Indonesia secara mangkus, alih-alih menyisipkan kosakata bahasa Inggris.
Kalau dari praktik penggunaan sehari-hari saja kita tidak menggunakan bahasa Indonesia, kata Ivan, bagaimana mungkin kita berharap bahasa Indonesia bakal berkembang?
Bahasa bagiku adalah hal yang selalu menarik, terlebih lagi bahasa ibu sendiri. Itulah mengapa aku tanpa ragu membaca buku ini secara digital melalui iPusnas. Bukunya tipis, tetapi memuat banyak bahasan. Setiap bahasan ditulis singkat, padat, dan jelas. Namun, tulisan ringkas tersebut mengandung berbagai wawasan tentang bahasa Indonesia. Banyak sekali kosakata baru yang kudapat dari buku ini, misalnya peneroka, milis, bestari, dan lain-lain. Selain itu, buku ini berisi trivia-trivia yang menarik dan menggelitik, salah satunya adalah alasan mengapa kata olahraga ditulis serangkai (baca sendiri untuk menemukan jawabannya). Buku ini juga menyadarkanku bahwa kata yang terdengar nginggris dalam bahasa Indonesia tidak melulu diserap dari bahasa Inggris. Banyak sekali ternyata kosakata kita yang justru diserap dari bahasa Belanda, alih-alih bahasa Inggris. Penulis pun piawai merangkai bahasa menjadi penjelasan yang enak sekali untuk dipahami.
Suatu kata yang belum ada di dalam kamus tidak serta-merta haram untuk dipakai. Selama pengirim dan penerima pesan memahami dan menyepakati arti kata tersebut, pakai saja. Bahasa itu milik semua penutur, kok. Bukan hanya milik otoritas bahasa.
Berangkat dari keprihatinan akan masih minimnya penggunaan beberapa kosakata dalam proses komunikasi, penulis—baik dari dirinya pribadi maupun tokoh lain atau milis bahasa—menawarkan banyak sekali usulan kata untuk memadankan kosakata asing yang telah lumrah digunakan masyarakat, sebut saja swakriya, sarwaga, tikatas, tikalas, tagar, dan tanja. Karena tulisan-tulisannya ditulis dalam waktu yang berbeda-beda, pembaca dapat melihat kontribusi penulis dan para sejawat terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Banyak dari usulan kata tersebut yang telah resmi disahkan menjadi bahasa Indonesia dalam KBBI, ada pula yang belum.
Buku ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama berisi xenoglosofilia dan padanan-padanan kata. Bagian kedua tentang tanya jawab yang mayoritas berisi kesalahan-kesalahan berbahasa. Bagian terakhir tentang kata baku dan tidak baku. Mengingat judulnya, menurutku buku ini cukup berhenti pada bagian pertama. Keasyikan rasanya sedikit berkurang ketika membaca sisa bagian. Membaca dua bagian terakhir seolah membaca buku PUEBI yang menjelaskan penulisan tanda baca, huruf kapital, singkatan, akronim, kata baku, kata tidak baku, struktur kalimat, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, dua bab tersebut agak melenceng dari judul. Terlepas ditulis dengan gaya yang masih renyah dan singkat, kebosanan tidak dapat dimungkiri. Akan lebih baik bila penulis menambah bahasan baru mengenai xenoglosofilia terkini (tentunya dalam konteks sebelum buku ini terbit).
Yang terpenting, kita harus selalu mengupayakan untuk memadankan istilah asing sebelum telanjur populer.
Aku pun rasanya ingin menggarisbawahi bahwa kosakata dari bahasa daerah, bahasi Kawi, bahasa Jawa Kuno, ataupun bahasa Sansekerta, terdengar lebih indah, mudah dilafalkan, dan lebih cocok dengan jati diri bangsa Timur. Alih-alih mencari padanan atau terjemahan kata dengan sekadar mengubah penulisan atau pelafalan, misalnya fashion menjadi fesyen dan privilege menjadi privelese, sebaiknya menilik dari ratusan bahasa daerah yang dimiliki Indonesia. Metode tersebut terkesan lebih kreatif dan tidak malas. Harapanku, semoga bahasa Indonesia makin banyak melahirkan kosakata baru yang makin mempermudah proses komunikasi, terutama dengan menyerap kata yang berasal dari bahasa yang sesuai dengan identitas bangsa ini.
Terlepas dari kekurangannya, buku ini mengasyikkan. Buku ini layak dibaca siapa saja. Dengan membaca buku ini, pembaca akan diajak menyadari bahwa bahasa Indonesia tidaklah inferior bila dibandingkan bahasa lainnya. Pembaca akan diajak sedikit demi sedikit berbenah dalam memilih kata. Kita toh telah punya padanan kata untuk sebagian besar kata asing yang umum digunakan dalam komunikasi, lantas mengapa kita masih menggunakan kata asing? Witing tresno jalaran soko kulino. Dengan membiasakan diri, kata atau padanan kata yang masih terdengar aneh di telinga lambat laun akan membaik, bahkan pengguna bahasa menyadari keindahannya. Yuk, bersama-sama memajukan dan mengembangkan bahasa Indonesia!
Makin ajeknya sistem bahasa kita dan makin pahamnya para penutur terhadap kaidah kebahasaan, mudah-mudahan akan mengikis sifat-sifat negatif dalam berbahasa Indonesia. Kita pun bisa mantap untuk bangga berbahasa Indonesia, seperti dicontohkan oleh anutan kita.