Ragil Satihardi digadang-gadang bakal menjadi penerus Taufik Hidayat di dunia bulutangkis, apalagi setelah mewarisi raket andalan yang pernah digunakan Taufik ketika menjuarai Olimpiade. Belakangan, prestasi atlet Pelatnas tunggal putra itu justru merosot tajam. Tekanan dari media sosial pun semakin membuat Ragil menarik diri.
Setelah gagal mewawancarai Susi Susanti, Sheva jurnalis muda di Tabloid Arena ditugasi untuk meliput aktivitas Ragil Satihardi. Harusnya sih tak susah-susah amat, andai saja yang dia hadapi bukan atlet sombong dan menyebalkan macam Ragil yang membuatnya nyaris putus asa.
Kegigihan Sheva dan dedikasinya sebagai jurnalis badminton menjadi tamparan halus bagi Ragil, dan entah mengapa keberadaan gadis itu di pinggir lapangan menunggu kesempatan wawancara menjadi penyemangat baginya untuk mencetak poin.
Dan ketika permainan semakin seru, Ragil dan Sheva dihadapkan pada dua pilihan; meraih satu poin tersisa kemudian menjadi pemenang, atau memberikan kesempatan kepada lawan untuk terus berjuang lalu menjadikan diri sendiri sebagai pecundang. Match point!
Bisa dibilang dulu saya merupakan seorang badminton lovers garis keras. Mulai dari pemain sampai berbagai turnamen bulutangkis saya ikuti perkembangannya. Namun, sudah lima tahun terakhir saya tidak terlalu update lagi tentang dunia bulutangkis. Dan melalui buku ini saya diingatkan kembali kepada badminton lovers. Saya senang ketika ada penulis sekaligus badminton lovers yang menyalurkan dua hobinya itu menjadi sebuah karya, yaitu Match Point. Sampul bukunya pun terlihat artistik dan memikat. Perpaduan gambar seorang wanita yang sedang memegang kamera dan seorang pria yang sedang melakukan jump smash sangat menggambarkan dua tokoh utama dalam novel ini. Ornamen bulutangkis dan pemilihan warna merah putih semakin menguatkan identitas bulutangkis dalam ceritanya. Penempatan judul buku dan nama penulis juga terlihat pas dan ikut menyatu dengan keseluruhan sampul bukunya.
Label young adult pada novel Match Point sudah menegaskan tema ceritanya. Match Point memiliki tema kisah cinta anak muda dengan latar belakang dunia jurnalis dan olahraga. Selain itu, cita-cita dan masa lalu pun turut dibahas dalam novel ini. Di mana ada Sheva yang harus berjuang menggapai cita-citanya, dan ada Ragil yang memiliki masa lalu yang menghambat cita-citanya. Kedua cita-cita tokoh utamanya ini harus mereka perjuangkan melalui berbagai batu sandungan yang mereka lalui. Cara penulis mengemas semua unsur itu terbilang rapi dan baik. Saya sangat menikmati tema ceritanya terutama tentang dunia bulutangkis. Pemain bulutangkis yang ada dalam buku ini pun cukup mencuri perhatian saya, seperti Akane Yamaguchi, Kento Momota, Carolina Marin, dan masih banyak lagi. Semua pemain itu merupakan pemain top dunia saat ini, dan ini menandakan jika penulis memang melakukan riset yang sangat serius.
Tokoh Sheva merupakan seorang mahasiswi rantau yang bekerja magang sebagai wartawan di tabloid olahraga, Arena. Sheva memiliki sifat yang supel, mandiri, dan pekerja keras. Sebagai anak rantau Sheva harus berusaha menghidupi dirinya sendiri di Jakarta. Maka tak heran Sheva memiliki tekad yang kuat dan gigih untuk menggapai cita-citanya. Tokoh Ragil merupakan seorang atlet muda bulutangkis yang prestasinya sedang merosot tajam. Ragil memiliki karakter yang tengil, narsis, dan menyebalkan. Saat Sheva mewawancarinya pun Ragil bersikap angkuh dan sombong, yang membuat Sheva sangat sebal dengan sikapnya itu. Di balik prestasinya yang menurun, Ragil ternyata memiliki masalah keluarga yang cukup serius. Selain dua tokoh utama tersebut terdapat juga tokoh-tokoh lainnya, seperti Arbi yang posesif, Irfan yang konyol, Mba Rosi yang galak, dan masih banyak lagi. Semua tokohnya mendapatkan porsi yang pas dengan karakter yang beragam. Saya sangat menyukai cara penulis dalam menggambarkan karakter para tokohnya yang terkesan sederhana, namun membekas.
Alur cerita Match Point berjalan maju dan lancar. Gaya bercerita penulis sangat nyaman dan mengalir. Gaya bahasanya pun sederhana dan mudah dimengerti. Tidak sulit bagi saya untuk mengikuti alur ceritanya. Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang ketiga melalui tokoh Sheva dan Ragil. Terdapat juga sedikit sudut pandang dari tokoh Arbi dan Farin. Setiap perpindahan sudut pandangnya rapi dan seimbang. Typo yang saya temukan juga hanya sedikit sekali.
Konflik yang terjadi dalam Match Point bisa dibilang cukup rumit, tapi ringan. Di satu sisi ada Sheva yang ingin meraih cita-citanya harus dihadapkan dengan Ragil dan Arbi yang menjadi batu sandungannya. Dan di sisi lain juga ada konflik Arbi dengan masa lalu dan lingkungan yang membuat prestasinya sebagai atlet bukutangkis menurun drastis. Kedua konflik itu berbaur menjadi satu membentuk sebuah konflik yang klimaks dan seru untuk dinikmati. Saya suka dengan konflik Ragil sebagai atlet yang memang seringkali dihujat oleh netizen jika prestasi mereka sedang turun. Dan jika menang tak jarang netizen malah diam tak berkomentar. Kesannya jadi atlet ini serba salah, menang nggak dianggap, kalah malah dicibir. Apalagi isu seperti ini memang sedang cukup ramai dibicarakan masyarakat, maka sangat pas diangkat dalam Match Point.
Sebagai novel young adult, Match Point memiliki keunikan tersendiri di dalam ceritanya. Salah satunya adalah unsur bulutangkis yang sangat kental. Apalagi menjelang Asian Games 2018 menurut saya tema seperti ini terbilang tepat untuk diangkat. Masih sangat jarang sekali novel lokal yang mengangkat tema olahraga dalam ceritanya. Satu hal lagi yang saya suka dari Match Point adalah informasi seputar bulutangkis yang sangat update, seperti nama pemain, turnamen, peraturan, dan lain-lain. Ini menunjukkan jika penulis memang meriset ceritanya dengan serius. Sebagai seorang badminton lovers saya sangat dimanjakan dengan cerita yang ada dalam Match Point. Secara keseluruhan Match Point merupakan novel bertema olahraga yang terbilang cerdas dan segar untuk dibaca menjelang Asian Games 2018.
Jadi gini, waktu baca awal-awal bab yang menceritakan Susi Susanti dan Taufik Hidayat, apalagi nama pebulutangkis legendaris itu dikaitkan dengan tokoh utama novel kita--Ragil--sebagai pembaca saya merasa seperti berada di kisah nyata. Jadi penasaran banget kan, apa penulis ini terinspirasi sama kisah nyata seseorang. Tapi enggak ada keterangan yang menyatakan begitu. Namun, kekepoan saya yang paripurna mengantarkan jari ke google buat searching tentang Ragil. Dan... baik, memang yang keluar hanya keterangan tentang novel ini, bukan seorang atlet di dunia nyata. Ini berita baik, artinya penulis berhasil membuat saya berpikir melewati batas fiksi menuju realitas. Penulis seolah tahu banget deh tentang dunia bulutangkis. Ini saya jadi tertarik nanyain resep risetnya. Mana penyampaiannya gak wikipedia loh pengetahuan tentang dunia bulutangkisnya. 😍
Kedua, saya mau komentar tentang kovernya. Pemilihan warna merah putihnya udah ngasih pesen rasa nasionalisme dalam olahraga nih. Suka deh pemilihan warnanya! Memang sih secara gambar, saya kurang sreg sama muka atlet cowok yang mungkin disinyalir sebagai Ragil. Kurang ganteng. Maafkan kelemahan saya terhadap kegantengan 🙏🙏🙏 Tapi ekspresinya oke kok. Memperlihatkan kesungguhan dalam kompetisi. Secara keseluruhan kavernya oke. Sesuai sama topik bulutangkis yang diangkat.
Blurb novelnya juga memancing untuk baca novelnya. Udah paslah pokoknya. Ada konflik yang berpotensi mendebarkan yang disampaikan dalam blurb.
Saya suka banget ketika konflik sudah dibeberkan sejak bab-bab awal. Mulai dari kasus patah hatinya Sheva, sampai alasan di balik kemunduran prestasi Ragil. Karena hal itu enggak disembunyikan lama, dan dibuka sedikit-sedikit, pasti penulis sudah menyediakan konflik lebih tajam menukik dengan klimaks yang seru. Bisa dibilang, novel Match Point ini digerakkan oleh karakter. Karena kerasa banget kekuatan dari para tokohnya. Sifat, sikap, dan impian mereka disampaikan penulis dengan jelas. Sehingga cerita bergerak dari pemikiran dan keputusan mereka.
Kedua tokoh utamanya, Ragil Satihardi dan Sheva, digambarkan sebagai sosok-sosok yang punya ambisi dan impian yang kuat. Cocok jadi role model. Pembaca disuguhkan tokoh yang enggak ngoyo mikirin cinta. Tapi aspek-aspek lain dalam kehidupan. Cinta menjadi penyemangat, bukan sesuatu yang membutakan. Ragil si atlet yang awalnya menjadi tumpuan harapan--bersinar karena prestasi--berubah menjadi atlet underdog seiring kemerosotan prestasinya. Dalam dunia nyata, rasanya banyak kejadian seperti ini. Penulis berhasil mengangkat fenomenanya. Pembaca diajak menyelami 'latar belakang' mengapa hal itu bisa terjadi. Bukan alasan pembenaran, tapi penulis ingin pembaca 'paham' tekanan yang dialami para atlet. Kita tak bisa menihilkan bahwa kehidupan pribadi menjadi 'pemicu' seseorang berprestasi atau tidak. Ada proses yang melibatkan kemampuan, psikologi, mental, dan emosi lingkungan keluarga juga cinta. Tak bisa kita men-judge seorang atlet bermental tempe tanpa melihat perjuangan yang dijalaninya. Tak bisa dinafikan memang bahwa untuk menjadi 'legenda' hasillah yang dilihat. Alih-alih menghakimi, sebaiknya kita memberi support. Apalagi kita tak pernah tahu 'kehidupan seperti apa' yang dijalani seorang atlet. Selain tema bulutangkis dengan segala pernak-pernik dan masalahnya, novel ini juga menyuguhkan dunia jurnalis lewat pekerjaan Sheva yang bekerja di media yang mengangkat sport. Sebagai pembaca saya dapet pengetahuan baru mengenai sepak terjang para jurnalis sport. Apalagi lewat sosok Sheva yang keren ini. Selain kedua tokoh utama itu, karakter-karakter di sekeliling mereka pun lovable dan kuat.
Kemudian, untuk romansanya. Porsinya terasa pas. Pembaca tetap diberi porsi menikmati desiran halus di dada, jatuh cinta, dan patah hati, dengan tidak berlebihan. Saya bisa merasakan chemistry antara Ragil-Sheva-Arbi. Ragil ini tengil, dan bisa dibilang rayuannya standar saja. Tapi berhasil membuat saya ikut senyum-senyum sendiri saat membacanya. Tidak bertele-tele dengan pendekatan panjang. Karena konflik terus berjalan sepanjang perubahan hubungan mereka. Dialog antara Ragil dan Sheva terasa hidup, mengalir. Suka banget bagian interaksi mereka. Penulis memakai bahasa yang renyah dan jernih. Dialognya hidup, dengan penyisipan humor yang pas. Bikin saya senyum-senyum sampai ketawa.
Kalimat favorit saya di novel ini: Gil, kepengin punya prestasi yang sama kayak idola memang boleh. Tapi mengubah dirimu sendiri demi menyamai dia, jelas salah. --hal 115
Bisa dibilang buku ini novel remaja yang berbobot. Kental sekali kisah menggapai impiannya. Narasinya juga berisi, pesannya terang tanpa membuat pembaca kesal karena terkesan preachy.
⚠ pendapat pribadi || 3.5 > tapi masih bingung mau rate 3 atau 4, sementara 3 dulu ya *plin-plan * * * Match Point merupakan satu dari sekian novel yang bertajuk olahraga. Ditambah, tajuk olahraga-nya yang lagi panas-panasnya mendadak digemari orang. Yap! Bulu Tangkis! 😆😂
Aku cukup impress sama buku ini. Entah karena aku suka sama tajuk olah raga yang diambil, atau karena gaya menulis penulisnya, atau karena kutipan-kutipan manis di setiap awal bab. Namun sepertinya, ketiga hal itu sudah pasti ikut andil dalam merebut hatiku (?)
Buku ini, menurutku, seru. Suka sama pesan implisitnya, suka sama konfliknya, suka sama penggambaran suasananya. Tapi... kurang suka drama-nya. Kalau begitu, mari aku jabarkan sebagai berikut. *berasa makalah*
• Tokoh Ada tiga tokoh utama yang menjadikan novel ini hidup. Menurutku, penggambaran tokohnya baik sekali. Watak mereka cukup konsisten, meskipun di beberapa titik, rasanya mereka berubah mendadak bak power ranger. Tapi setidaknya, ada sedikit hal yang menjadi latar belakang kenapa mereka begitu. Hanya saja, aku tetap rada gimana gitu.
Aku cukup suka dengan Sheva yang semangat, tapi sarkas. Ragil yang selengean, tapi sebenarnya begitu. Begitu bagaimana? Baca aja. Kalau aku jujur saja, enggak suka kalau itu cowok mendadak begitu. 😂😂
Dan terakhir, tanpa tokoh yang satu ini, mungkin permasalahan novel ini akan biasa saja. Yah, meskipun dengan keberadaan tokoh ini pula, semuanya jadi drama.
Namanya Arbi. Dia adalah laki-laki super(?) Super batu, super ngeselin, super enggak tahu diri :) Kehadirannya membuat semuanya menjadi super... 1000—bukan 500 apalagi 100, soalnya ngeselin parah sih😂
• Penggambaran Suasana Suka banget sama cara Kak Saufina mendeskripsikan kondisi pertandingan. Mulai dari pemain masuk ke lapangan, pertandingan dimulai, kondisi Istora Senayan, emosi pemain, sampai komentatornya. Rasanya berasa nonton pertandingannya secara langsung!
• Alur, Konflik, dan Penyelesaian Alurnya mengalir, sangat mengalir bahkan. Aku rasa hampir tidak ada plot hole di sini, tapi entah deh. Mungkin kamu pas baca lebih jeli, mana tahu nemuin plot hole. Wkwkwk. Intinya, apa yang ingin penulis sampaikan dari awal kisah Sheva, lalu Ragil yang dicemooh, sampai Arbi kurang ajar... semuanya tersampaikan dengan runtut, santai, dan baik.
Konfliknya sederhana, tapi kalau dilihat-lihat itulah yang sering kita temukan. Sebuah hal sepele, tapi sering kali tidak dipedulikan orang-orang. Yep, bullying. Aku juga enggak nyangka kalau novel ini menggandeng cyber bullying juga sebagai teman emosi.
Penggambaran cyber bullying oleh warganet ketika Ragil gagal, mengingatkanku dengan komentar enggak pantas di instagram Anthony Ginting dan Jonatan Christie ketika kalah pertandingan.
Sadis banget itu komentarnya.
Dan, penulis menuliskannya seperti para warganet itu. Sama sadisnya 😂
Penyelesaian perihal cyber bullying sebenarnya terhitung klasik, tapi karena pembawaannya halus dan santai. Rasanya agak berbeda. Untuk masalah romansa-nya, uhm, klasik juga sih. Jujur aja, aku lebih suka penyelesaian antara Ragil sama 'lingkungan'-nya itu. Lebih ngena aja gitu 😂
• Gaya Penulisan Sebagai karya debut, tulisan Kak Sufina luar biasa rapih dan rapih. Enak dibaca karena pemilihan katanya sederhana, tapi tetap baku. Cuma yah, selama membaca beberapa kali nemu typo. Entah tanda baca atau kurang/kelebihan huruf. Bahkan, aku nemu typo nama pemain bulutangkis ganda campuran.
Harusnha 'Tontowi Ahmad' bukan 'Tantowi'.
Sejujurnya, aku agak terganggu sama kata 'Koh' dan 'Cik'. Aku paham kok maksudnya itu panggilan kepada orang yang lebih tua bagi keturunan Tionghoa--because I used that too. Hanya saja, akhiran 'H' dan 'K' itu membuatku risih. Soalnya, biasanya juga hanya 'Ko' atau 'Ci' atau bisa juga 'Ce'.
Agak aneh aja gitu. Hehehe, it was about personal taste.
*
Oke, sekian review ini.
Aku merekomendasikan novel ini kepada kamu yang mungkin perpaduan antara romansa dan olah raga, terutama Bulu Tangkis 😆❤ * * * [22/9/2018] Review maleman ya. Masih euforia sama pendeskripsian penulis tentang pertandingan AG versi novel. Jadi ingat pas AG lalu LOL 😂
Masih dalam suasana hangat-hangatnya Asian Games yang luar biasa memesona............
DUHHH SAYA SUKA BANGET NOVEL INIIIIII~~
Asli bacanya senyum-senyum sendiri dari awal sampai akhir....... gemes banget, sampe secara harfiah keselek makanan saking cheesy-nya, tapi secara umum sungguh pengalaman yang menyenangkan membaca novel ini. People always need a cheesy young adult rom-com in a point of his/her life, right? XDD
Dari tadi saya bilang "cheesy" itu bukan dalam artian buruk. Hubungan Sheva dan Ragil di sini terlalu menggelikan sampai saya gemes segemes-gemesnya, kesenengan sendiri bacanya dan pengin uyel-uyel mereka karena gemessss. Hahaha.
Oke... jadi apa saja yang saya sukai dari buku ini?
1. Pembangunan hubungan kedua tokoh utamanya. Bukan seperti kebanyakan novel romansa yang sering saya baca, kedua tokoh utama di sini--Sheva dan Ragil--sudah jadian di halaman delapan puluhan, dan sisa halaman ke belakangnya diisi dengan masa-masa unyu setelah mereka pacaran (dan tentunya konflik-konflik yang terjadi dalam hubungan mereka). Saya sendiri sangat suka cerita semacam itu karena sekarang-sekarang ini saya nulis cerita model begitu juga. Definisi baru novel romansa bukanlah tarik-ulur beratus halaman dan baru jadian di akhir, melainkan ya bisa juga kayak gini, yang mana bagi saya jauh lebih ngena dan asyik dibaca. Dinamika setelah punya status lebih greget, you know? :p Dan hubungan Sheva-Ragil di sini--sekali lagi saya pakai kata ini--ngegemesin banget. Lucu aja gitu ngeliat mereka saling goda, saling nguatin, saling sayang, tapi juga saling ngambek. Duhhh. Mana Ragil yang tengil kocak banget kalau lagi godain Sheva. Parahlah saya nyengir dari telinga ke telinga sepanjang membaca.
2. Segala hal tentang bulu tangkis. Ragil atlet, dan menurut saya Saufina cukup bisa menggambarkan kehidupan atlet dengan baik di sini, mulai dari kerasnya latihan, ikut pertandingan ini-itu, bully-an netizen nggak sopan di IG, bahkan scene pertandingan juga terasa nyata. Saya juga suka bagaimana Saufina menceritakan adegan pertandingan itu nggak terlalu mendetail tapi "cukup" aja--porsinya pas. Nggak terlalu teknis, nggak berpanjang-panjang, tapi adegannya believable. Dan keren juga bagaimana segala hal tentang bulu tangkis di dunia nyata--pemain-pemain dan turnamen-turnamen kelas dunia--dimasukkan di sini dengan cara yang membangun latar belakang karakter Ragil sebagai atlet Pelatnas, seolah dia bukan cuma fiksi. Top! (Anyway, saya merasa Saufina juga punya bakat cenayang kayak Angga, mengingat dia menulis ini sebelum Asian Games dan ternyata betul Marcus/Kevin ke final ganda putra. :))) Dan saya salut karena dia cukup berani memasukkan event Asian Games 2018 itu ke dalam novel ini, berhubung event-nya beneran dan sangat dekat dengan waktu terbitnya novel. Untungnya bakat cenayang dia nggak segede Angga jadi Indonesia tetap dapat emas tunggal putra lewat Jojo, meski di buku ini Jepang yang dapat hahaha.)
3. Saya lumayan suka konflik-konfliknya--antara Sheva dengan pekerjaan dan kuliahnya, Ragil dengan prestasi atlet dan pencarian motivasi dirinya, dan terutama Arbi si mantan sempurna. Novel ini bergenre utama romansa/drama jadi fokusnya di situ... dan bagi saya ramuan Saufina akan plot novel ini sudah bagus, nggak melebar ke mana-mana. Sudut pandang orang ketiga yang berganti-ganti bikin novel ini cukup kaya dalam menyelami perasaan tokoh-tokohnya sehingga konflik-konflik batin lebih bisa ditonjolkan alih-alih memberikan subplot lain yang mungkin malah bikin nggak relevan.
4. Gaya bahasanya ringan, nggak berbunga-bunga tapi mudah bikin terhanyut. Dialog-dialognya juga seru.
5. Endingnya bikin gemes hahaha.
***
Ini tipikal novel yang menyenangkan banget dibaca. Selesai dengan cepat, lalu langsung dibaca ulang lagi. XD Barangkali preferensi pribadi juga karena saya memang suka tipe yang begini, apalagi latar belakang tokohnya nggak biasa--atlet. Saya terlalu lemah sama cerita-cerita yang mengisahkan sisi lain orang tenar haha.
Bacanya nggak terlalu mikir, nikmati aja ceritanya, tenggelam dalam senyam-senyum bahagia. Sungguh hiburan yang menyenangkan, padanan pas untuk mengatasi rindu pada euforia Asian Games yang baru selesai. :')
Terima kasih Saufina sudah menulis Match Point! Ditunggu novel-novel selanjutnya yang serenyah dan segemes ini~
"Winning or losing is a dynamic process of being a world class champion. Winning is an attitude and keeping it is a commitment." .
Match Point merupakan novel debut Saufina. Novel yang mengangkat tema olahraga bulutangkis ini cukup menarik untuk diikuti.
Saufina mencoba mengangkat sisi lain dari seorang atlet bulutangkis. Seorang atlet yang dulunya pernah mengalami masa kejayaan, dan akhir-akhir ini prestasinya sedang menurun drastis. .
Disinilah Saufina mengajak kita untuk bisa lebih peka dan tidak asal menghakimi. Bagaimana pun atlet juga manusia. Mereka juga pasti merasakan kekecewaan terhadap dirinya sendiri. Mereka juga pasti menginginkan kemenangan, setelah latihan demi latihan yang mereka jalani.
Aku suka bagaimana Saufina mengolah tema olahraga bulutangkis ini dipadukan dengan romansa Ragil-Sheva dan masalah keluarga Ragil.
Yang aku suka dunia bulutangkis diceritakan dengan cukup detail. Aku yakin Saufina merupakan salah satu badminton lovers nih 😍
Secara keseluruhan, novel ini mengajarkan kita untuk terus berjuang meraih impian. Kalah dan menang itu bukan yang utama, tetapi proses itu yang terpenting. Itulah yang namanya juara sejati
Sebagai pecinta bulu tangkis, Match Point terasa dekat. Terima kasih Saufina, yang berhasil membuat saya berkaca-kaca saat scene pertandingan Ragil. Terasa sekali euforia, ketakutan, kepasrahan, semangat, grogi, dan lengkap dengan suasana yang membungkusnya, membuat saya trenyuh. Ya, Allah... betapa berat beban seorang atlet untuk meraih kemenangan demi membawa harum nama bangsa. Benar, setiap menonton pertandingan saya memang seperti ini. Penuh harap. Selalu berzikir. Ikut memohon agar tim Indonesia diberi kemudahan atau keajaiban. Toh, meskipun hasilnya kalah, saya akan tetap menyebut para atlet sebagai pemenang. Pemenang untuk mengalahkan diri sendiri.
Yang saya sukai dari novel ini adalah interaksi para tokohnya. Ragil dan Irfan, favorit. Gila, mereka pasti akan membuat saya ngakak otomatis kalau sudah ngobrol. Celetukan mereka alami dan nggak dipaksa lucu, tapi malah lucu. Ah, apa saya yang receh ya? Interaksi Ragil dan Sheva juga banyak bikin senyum-senyum nggak jelas. Apalagi saat di Kedai Kopi Paste, saat Ragil nembak Sheva. Allahuakbar!
Namun, agak cepat sih menurut saya rasa suka (atau kasihan) Sheva di awal-awal, hingga demi Ragil berani mempertaruhkan kariernya yang sangat dia cintai dan salah satu mimpinya. Terkadang, saya juga agak bingung dengan lompatan waktu tiap scene. Ah, meski begitu, MATCH POINT akan tetap menjadi salah satu novel favorit saya.
**Warning: this text may contain spoilers** I feel sorry because of 2 stars.
Mungkin karena saya udah berekspektasi berlebihan makanya saya kecewa pas ternyata bukunya gak sesuai ekspektasi. Sebenarnya letak kesalahan bukan pada novelnya, sih, tapi letak kesalahan memang murni ada di saya. Mungkin karena saya udah lama juga gak baca cerita begini (keseringan baca fantasy) makanya rada awkward pas baca ini.
Jadi saya mulai dari kabar baik ajalaya:
1. Premisnya menarik lah lumayan. Pasangan yang sama-sama punya impian dan berusaha buat mencapai impianya.
2. Detail-detail tentang bulutangkisnya cukup dalam, juga detail tentang pekerjaan jurnalisnya lumayanlah.
3. Untuk novel debut, saya tetep acungi jempol karena walaupun baru novel pertama, detail-detail pekerjaan yang perlu riset, disampaikan dengan baik.
4. Saya suka endingnya yang nunjukin perubahan karakter Ragil. Good Job, beibs.
Dan sekarang kabar buruknya. Ini karena selera saya udah beda si sebenernya, dan saya juga pernah baca tentang cerita atlet badminton, dan gila sih seru banget. Heuheu
1. Jujur, saya kurang suka cara penulis menyampaikan ceritanya. Waktu awal-awal rada menikmati, makin lama makin lama kerasa ada yang janggal.
2. Ada beberapa scene yang buat saya gak nyaman, terlalu cheesy sih menurut saya. Misalnya cara godain Ragil tuh norak menurut saya, terus cara Sheva bujuk Ragil pun bikin saya meringis. Contohnya waktu Ragil marah karena dicuekin Sheva, terus Sheva nya pegang pipi Ragil, bilang sayang, dan entah hal cheesy apalagi yang Sheva lakuin. Like, meh, ku gak kuat baca.
3. Karakternya. Ampun deh, saya gak suka semuanya. Satu, Sheva. Ya bok ya kalo ngerasa Ragil itu hambatan buat kamu ya jangan salahin dia, rang kamu sendiri yang jadiin Ragil patokan dan dia ini fix tipe orang yang suka nyalah-nyalahin gak jelas. Arbi, meh. Cowok yang gak mau nerima kekalahan dan mikir kalo pernikahan itu bisa nyelesain semua, no darls, you wrong. Ragil... Oke, mungkin karakter dia yang paling masuk akal, posesif karena liat pacar bareng mantan pacar? Jelas kesel lah. Bahkan saya gak suka ama supporting characters disini. Si Fany? Fia? Entah saya lupa namanya. Dia itu sok dewasa menurutku. Sama aja kayak Sheva, nyalahin orang gak jelas. Angga. Ampun dah maaaaas, situ beneran cenayang atau apa sih? Ngeri amat.
4. Ada yang bikin saya frustasi berat waktu Arbi cium bibir Sheva, Shevanya nangis, Arbi cium lagi buat kedua kalinya, Sheva nerima. Terus mereka kepergok temennya Arbi, terus mereka lepas ciuman, Sheva nampar Arbi. Haaar, bo ya kalo kamu kesel gak usah nerima pas si Arbi cium kedua kalinya keles :(
5. Terus ada bagian-bagian akhir yang jelasin peraihan skor Ragil, jujur kek artikel sih. Padahal pas Ragil tanding tuh bisa dibikin kalau pembaca ngerasain perasaan Ragil. Tapi ini enggak. Ku pernah baca cerita soal pemain badminton juga dan penulisnya nulisin pas waktu dilapangan, pas tanding, dan gila itu udah kerasa bener banget sih.
But over all, ku maklum karena ini debut, semoga buku selanjutnya bisa lebih baik lagi yash.
Salam kecup dari aku buat Angga :*
This entire review has been hidden because of spoilers.
Jadi atlet itu gak gampang, apalagi di era media sosial jaman sekarang. Udah banyak atlet yang jadi korban jari netizen (seperti Ihsan Maulana, Bayu, Jauza Sugiarto, Fitriani, even sekelas Marcus Gideon dan Kevin Sanjaya yang ranking 1 dunia pernah jadi korban pas mereka gugur di babak awal All England dan World Championship 2019). Masalah itu yang diangkat sama penulis di novel ini karena Ragil digambarkan sebagai sosok atlet yang sedang tidak memiliki prestasi yang baik sejak naik ke kelas utama karena masalah pribadi dan sering bermasalah juga dengan netizen di media sosial. Kisah Ragil ini kemudian diangkat oleh Sheva, seorang jurnalis olahraga magang dan surprisingly, terjadi ketertarikan asmara di antara mereka.
I did enjoy reading this, tetapi gua kurang suka konflik segitiga antara Sheva-Ragil-Arbi (mantan pacar Sheva) yang sebenarnya gak penting banget. interaksi Arbi-Sheva juga gak penting (in short, adanya Arbi sebagai konflik tambahan itu sama sekali tidak berfaedah). Dalam beberapa bab, penulis juga bercerita dari sudut pandang Ragil (walaupun tidak secara detail) dan sebenarnya cukup menarik sehingga gua berharap kalo novel ini ditulis dengan menggunakan dua POV (Sheva dan Ragil) secara bergantian sehingga bisa dieksplor lebih dalam lagi apa yang jadi masalah Ragil menjadi stagnan (walaupun disebutkan tapi gak terlalu mendalam juga)
But for a debut work, this is not that bad at all :)
Tema menarik (+), tokoh-tokoh yang konsisten (+), alur rapi tanpa kebetulan-kebetulan yang mengganggu (+), dan timing terbit yang pas (+). Sayangnya lompatan waktu antar adegannya kadang membingungkan (-), juga penyelesaian masalah dibuat gampang dan agak terburu-buru (-).
Review panjang sedang diketik dalam bayangan. Semoga segera diberi hidayah untuk mengetik sungguhan.
Awalnya, tadi sore memutuskan baca ini karena takut ga waras kalau melanjutkan Veronica pas lagi nggak baik-baik saja. Ternyata page turner juga. Review ngoceh menyusul~
14th reading for reading curcol: #txtdariremaja hosted by Midnight Reading Club.
"Taklukan dirimu sendiri dahulu sebelum berhasrat menumbangkan orang lain."
yoooo, buku ini nyeritain seorang jurnalis muda, sheva yg biasanya nulis berita2 olahraga. sampe suatu hari dia diminta atasannya buat ngeliput salah satu atlet tunggal putra, ragil, yg performanya lagi down untuk dijadiin berita. ternyataaaa, dari situlah hubungan mereka semakin akrab~
diceritain dgn gaya bahasa yg ringan, menurutku cukup enak dibaca sih meskipun pake sapaan gue-elo. terus jg yg seru bisa belajar soal badminton jg (buat yg blm tahu), krn penulis jg ngasih bbrp fakta2 menarik yg diselipin di percakapan antartokoh. sebut aja nama oma gill, taufik hidayat, minions gak bakal asing deh! :D
selain itu, konflik yg ada di buku ini pun jg konflik ala remaja: diri sendiri, percintaan, dan mimpi. but menurutku percintaan agak over ya makanya kukasih bintang tiga buat buku ini krn koflik cinta segitiganya sheva-ragil-arbi.
kehidupan atlet jg digambarin baik sama penulis. gimana mereka ngehadepin komentar2 jahat netijen dan BL indo, terkadang itu relate bgt aseli HAHAHAHAHA. trs jg gw suka bgt sm tokoh coach hendrik yg selalu ngasih kata2 semangat dan percaya sm anak2 di pelatnas. yap, krn kadang tanpa disadari musuh terjahat bukan org lain tp diri kita sendiri.
Nah, jadi aku tertarik baca buku ini setelah lihat feed goodreads, kalau buku ini lagi masuk currently reading-nya Mbak Desty. Trus kebetulan juga selama di Jepang aku ikutan main badminton sama anak-anak PPI walaupun nggak bisa-bisa amat. Palingan cuma buat saling pukul kok, biar gerak dan olahraga tipis-tipis sekalian sebagai ajang silaturahim sesama pelajar Indonesia di rantauan negeri sakura.
Tentang buku ini: ceritanya bagus. Baru kali ini baca Young-adult Gramedia, sih. Lebih sering baca teenlit, dan aku udah paham pakemnya teenlit. Young-adult ini ngasih kesegaran baru di tipe bacaanku. Masih ada kesan remajanya kalau dilihat dari interaksi para tokohnya, seperti gaya pacaran yang agak-agak genit, tapi juga nggak se-lebay remaja karena umumnya para karakter nggak pendendam.
Konfliknya seputar kesalahpahaman. Ada juga seputar kegalauan memahami jalan hidup yang dipilih. Pas banget untuk orang-orang seusia karakter yang diceritakan.
Karakternya secara umum nggak ada yang kubenci banget dan kusukai banget. Biasa aja, khas orang-orang umur segitu, manusiawi dan bisa dimaklumi kegalauannya. Kalau senang dengan bulutangkis tapi yang nggak serius-serius amat, buku ini cocok dibaca. Ringan dan nggak terlalu banyak mikir, tapi tetep berkesan.
Penggambaran game-nya keren banget, lho! Terasa banget keseruan dan ketegangannya. Penulis benar-benar melakukan riset yang mendalam. Atau mungkin juga ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi. Apapun itu, fiksi ini menyenangkan untuk dibaca.
Oiya, cuma satu typo yang kutemukan yaitu penulisan coffe shop kurang huruf e satu. Trus juga aku agak heran dengan nama Ragil. Dalam bahasa Jawa, Ragil artinya anak bungsu, tapi di cerita dia anak tunggal. Padahal penggambaran sifatnya cocok banget sama namanya, Ragil. Tapi bisa jadi kakaknya meninggal sebelum dia lahir, trus ibunya mengalami komplikasi sehingga dia menjadi anak pertama sekaligus terakhir. Hadeh, mulai dah si Hani mengkhayal yang tidak-tidak... 😂
Kayaknya ini pertama kalinya saya membaca buku berlatar belakang seorang atlet yang berlomba-lomba dalam menghadapi kompetisi besar, dalam hal ini ruang lingkupnya bulu tangkis. jadi teringat waktu ngelayap ke GBK abis liputan buat nonton APG. *eh!
Suka sama settingannya, kelihatan banget penulis mengamati betul soal bulu tangkis, sehingga bisa menceritakan sedemikian rupa. jadi nggak kayak cuma risetan tempel aja.
Saya juga bisa merasakan bagaimana enjoynya penulis dalam menuturkan tiap adegan, baik mengulik romensnya Sheva-Ragil maupun konflik pendukung di belakangnya. Meski sering kali menyisakan tanda tanya besar; 'ini serius YA? bukannya teenlit?' setiap kali dihadapkan dengan percakapan dan emosi para tokoh yang menurut saya kurang sesuai pada posisi masing-masing. terlebih, pas pertemuan pertama antara Sheva dan Ragil membuat saya cukup membelalakan mata, "serius ini Sheva ngadepin narsum kayak gini? Ragil juga? serius dia public figur? Dan itu, Mbak Rosi... apa nggak kejauhan intervensinya?"
okeh, kebanyakan pertanyaan serius di sini. XD
Tapi balik lagi, mungkin saya berharap mereka berdua berlaku selayaknya dewasa muda dalam menghadapi masalah hidup. bukan yang mempermasalahkan masalah sepele seperti sakit hati ketika dilamar, padahal si pacar cuma pengin ngelamar, nikahnya mah ntar pas lulus. Daaan, alasan sakit hati adalah karena ada impian yang belum dicapai. Kan jadi bingung, kenapa mestik sakit hati?
setelah liat di goodreads, ternyata ini novel debutnya Sajidah! selamaat! semoga semakin semangat berkaryaa
Ketika aku baca Match Point, aku bisa merasakan penulisnya benar benar menyukai badminton, penjelasannya jelas dan mudah dipahami. Aku ngerti, inti dari Match Point lebih kearah melatih mental dan tekad dalam hati atlet, memperlihatkan sisi atlet dari kacamata lain (plus pov pemain muda).
Tapi, mungkin ekspetasiku agak ketinggian karena aku agaknya berpikir ini adalah cerita kolaborasi atlet dan reporter— lebih dalam dari yang ada dibukunya, eh tapi lebih ke romance dan jujur romancenya dangkal banget eksekusi, plot dan orang ketiga arc nya haduhh
Untungnya banters Sheva dan Ragil sangat menyenangkan buat dibaca, walau kadang i feel it a little jumpy juga. Jadi, kayanya this is not for me though, i like the finale.
Satu-satunya olahraga yang gue ngerti dan follow perkembangannya adalah bulu tangkis, gue juga main beberapa kali, bisa, enggak clumsy kayak main bola atau basket, gak pernah dikasih operan 😂lol... coz mainnya cupu sih hehehe.... Jadi novel ini lumayan lah dari segi cerita cukup lah ya, yang bikin aku enjoy bacanya adalah interaksi tokoh-tokohnya yang manusiawi sekali. Tokoh-tokoh cowoknya gak ada yang bagus. Untungnya ada Sheva yaitu main character ceweknya, patut dicontoh sih, yang tough, independent, plus cakep👍👍👍
Seru abis! Karena latar waktu di endingnya Olimpiade Tokyo, jadi pass banget momennya. Selain itu, banyak menyinggung tentang Asian Games 2018 yang super seru itu (karena tuan rumahnya Indonesia)😁🤩, dan juga event-event bulutangkis lainnya. Jadi ceritanya terasa lebih real dan terasa banget atmosfirnya. Keren! Kekurangannya cuma satu, yaitu desktipsinya terlalu panjang. Tapi itu sangat tertolong dengan deskripsi yang cukup seru dan informatif, jadi kalau melewatkan sesi deskripsinya jadi nggak paham deh sama alur selanjutnya.
Sebagai pendukung Liverpool, saya ucapkan terima kasih kepada penulis karena sudah menyertakan quote Bill Shankly di buku ini.
Buku ini temanya gak klise, jurnalis sama pemain bulu tangkis yang sedang jatuh permainannya..untuk karakter bisa dibilang Sheva, Ragil dan Arbi ini kayak anak smp, masih kekanak-kanakan, hampir saya berhenti baca karena gak tahan sama sikap mereka yang childish..tapi yang balik bikin seru adalah adegan adegan bulutangkis-nya..harusnya penulis perbanyak adegan turnamen aja daripada cerita menjurus cinta segitiga.
Sorry banget, tapi saya tidak bisa konek dengan ceritanya. Saya berusaha baca beberapa kali, tapi selalu terasa mentok dan akhirnya tersalip buku lain.
Memutuskan untuk membaca akhir ceritanya saja, sehingga bisa dibilang kalau buku ini masuk di daftar dnf.
Digadang-gadang jadi atlet top, prestasi Ragil malah mandek, bahkan menurun terus. Sheva pun ditugaskan buat ngulik kisahnya. Salah satu contoh kisah jurnalis-atlet yang berakhir bahagia *nengok ke 2521*
Waaah ini penjabaran profesi tokohnya keren. Complete banget rasanya. Riset penulis ttg profesi atlet bulu tangkis dan seluk-beluk di dalamnya patut di acungi jempol nihh. Nggak main-main. Apalagi karakter tokohnya, perkembangan karakternya dari awal sampai akhir cerita mengalami perubahan yang baik.
Pemilihan tema yang cukup unik dan saya jarang membaca novel tentang bulutangkis. Bulutangkis sepertinya sudah menjadi bagian dari hidup penulis dan banyak memberikan detail informasi melalui cerita yang dibangun. Namun demikian, dari segi cerita biasa saja. Konflik yang diciptakan juga standar. Saya bahkan tidak menemukan klimaks cerita. mungkin pada saat titik balik naiknya prestasi Ragil sebagai tokoh utama, namun masih kurang greget.
Ragil adalah atlit muda bulutangkis yang sudah lama tidak ada kabar kemenangannya. Bukan hanya itu, dia sering kalah di babak awal turnamen. Tampangnya yang bak model tidak cukup menyelamatkannya dari hujatan para netizen.
Sheva, seorang jurnalis magang di tabloid olahraga Arena diminta untuk mewawancarai dan membuat tulisan tentang Ragil. Apa yang membuat atlit itu terpuruk? Tapi ketengilan Ragil malah membuat Sheva kesal. Berkali-kali dia harus mengganti jadwal wawancara karena dibatalkan sepihak oleh Ragil.
Ternyata Ragil sengaja membuat Sheva kesal. Gadis itu sudah menarik perhatiannya sejak awal. Usahanya berhasil. Sheva mampu membangkitkan semangatnya, dan dia bisa menceritakan alasan kejatuhannya pada Sheva. Sheva sendiri bertekad membuat tulisan tentang Ragil karena dia yakin pria itu akan bangkit lagi.
Baca buku ini pas Indonesian Master 2022 berlangsung di Istora. Saya bukan BL, tapi akhir-akhir ini sering mengikuti berita dan menonton pertandingan bulutangkis dari atlit Indonesia. Ada beberapa nama atlit Indonesia dan luar negeri yang disebut-sebut dalam novel ini. Dan penjelasan terkait teknis perbulutangkisan juga cukup detail.
Yang menarik adalah bagaimana seorang Ragil harus memilih untuk tetap berada di dalam posisinya yang terpuruk atau mencoba bangkit kembali. Saya teringat seorang atlit bulutangkis tunggal putra yang pernah mengalami kondisi seperti Ragil (terlepas dari alasan penyebab keterpurukannya). Menjadi seorang atlit tidak mudah. Saat kalah, bukannya mendapat dukungan malah semakin disudutkan. Padahal atlit juga tidak ingin kalah. Seorang pelatih di Pelatnas menyebutkan bahwa faktor pikiran adalah yang terpenting bagi seorang atlit. Dia harus bisa menyelesaikan masalah di dalam dirinya terlebih dahulu baru bisa menata langkahnya.