“Kenapa sekarang ini manusia menjadi sangat pemarah?”
Pertanyaan yang dilontarkan Emha Ainun Nadjib di atas tampaknya mewakili banyak orang di negeri ini. Kita semua menjadi sering marah pada hal-hal yang justru sebelumnya bisa kita tertawakan bersama. Belakangan, kita juga cepat marah pada perbedaan pendapat, termasuk dalam menentukan “siapa yang paling pantas menjadi pemimpin”.
Setiap orang pasti memilih pemimpin yang bisa dipercaya.Namun, percaya membabi buta kepada pemimpin tersebut justru bisa menjadi persoalan. Berprasangka baik memang perbuatan yang dianjurkan. Namun, selalu berprasangka baik tanpa sedikit pun meletakkan sikap kritis malah membahayakan.
Melalui Pemimpin yang "Tuhan", sekali lagi Emha mengajak kita untuk mawas diri. Tidak hanya kepada pemimpin yang lalim, tetapi juga berhati-hati agar jangan sampai terjebak menjadi rakyat yang lalim.
Budayawan Emha Ainun Nadjib, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini seorang pelayan. Suami Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik KiaiKanjeng, yang dipanggil akrab Cak Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Semua kegiatan pelayannya ingin menumbuhkan potensialitas rakyat.
Bersama Grup Musik KiaiKanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah,” katanya.
Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik KiaiKanjeng di taman budaya, masjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. “Itu hanya bentuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal,” ujarnya.
Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. “Ada apa dengan pluralisme?” katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme. “Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,” ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” tutur budayawan intelektual itu.
Sebanyak 82 tulisan Cak Nun dalam rubrik "Khasanah" di CakNun.com dikumpulkan ke dalam buku ini. Sebelumnya, puluhan tulisan di rubrik yang sama juga dibukukan dengan judul "Kiai Hologram." Tulisan Mbah Nun dalam rubrik "Khasanah" seringkali terkait atau menyentuh isu yang aktual di masyarakat. Belasan tulisan tentang Pancasila, belasan tulisan dengan tema "Bedhol Negoro", tentang "Khilafah", juga utamanya tentang sosial masyarakat, kepemimpinan serta pengelolaan negara, beberapa tulisan juga kental dengan sindiran-sindiran. Tulisan di rubrik "Khasanah" adalah jenis tulisan yang "lebih siap dikonsumsi" ketimbang tulisan Si Mbah di rubrik "Daur" yang "berupa pelok (biji), yang tumbuhnya bergantung jenis tanah, pupuk, dan sebagainya." "Pemimpin yang 'Tuhan'" juga membahas beberapa tema atau pointer khas yang biasa dibahas di Maiyahan pun diselipkan, seperti Evolusi Enam Masa, Talbis, tentang evolusi Tin, Zaitun, Tursina, dan al-Balad al-Amin, lalu konsep kepemimpinan berdasarkan Surat Al-Hasyr ayat 22-23 atau berdasarkan Surat An-Naas, serta pointer lain seperti "beda negara dengan pemerintah", atau "kok republik?" dan lain sebagainya. Kumpulan tulisan ini menjadi alternatif bagi mereka yang ingin menggali ilmu dari tiap Maiyahan atau Sinau Bareng namun tidak bisa hadir, meski tentu berbeda suasananya, namun tema yang dibahas di Maiyahan cukup termuat dan bahkan kadang dibahas lebih dalam melalui tulisan-tulisan. Apa yang Mbah Nun lakukan adalah sekadar "sedekah, nyicil-nyicil", atau seperti yang beliau tulis, "Niat saya cuma jangan sampai dimarahi oleh Tuhan. In lam takun 'alayyaghodlobun fala ubali."
Jujur, ini buku karya Cak Nun yang pertama kali saya baca.. Bahasa yang beliau gunakan sangat nyeleneh, penuh dengan nuansa satire. Butuh kelapangan hati supaya bisa menyelesaikan buku ini, hehe.
Sesuai judulnya, buku ini sangat relevan dengan kehidupan berpolitik belakangan ini. Sehingga mampu menuntun kita untuk bagaimana kita bersikap. Atau dengan kata lain, buku ini bisa dijadikan “buku panduan” untuk memilih seorang pemimpin untuk negeri tercinta ini. Sayangnya, saya baru baca buku ini pasca Pilpres 2019.
Banyak sekali khazanah yang saya dapat dari buku ini selain aspek politik. Yakni aspek-aspek lain seperti bahasa/sastra Jawa, sejarah Jawa, dll. Sangat rekomendasi, monggo ;)
Ini buku kedua Mbah Nun yang saya baca. Di buku yg terbit September 2018 ini, isu-isu (terutama politik) sangat relevan dengan peristiwa tahun-tahun belakangan. Selain itu terdapat juga muatan-muatan tentang khilafah dan pancasila. Walaupun tak mau disebut sebagai intelektual, cendekiawan, ilmuwan apalagi ulama, pembahasan mengenai suatu topik dalam buku ini selalu mendalam dan kaya akan sudut pandang dan timbang-menimbang sehingga tidak mengakibatkan fanatisme dari satu sisi. Buku ini setidaknya bisa mengobati kerinduan saya pada maiyah, setelah sekian lama karena alasan tempat dan waktu yang tidak mendukung.
Kumpulan esai dari Cak Nun yang sangat bernas dan membuat saya jadi merenungi makna di dalamnya. Salah satu yang dijelaskan di dalam buku ini dan yang menjadi perhatian saya adalah tentang makna Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Cak Nun mengkritik bahwa para pejabat atau tokoh politik di negara ini memang sangat jauh dari nilai-nilai yang ada di Pancasila. Mereka hanya menuruti nafsu kekuasaan pribadi tanpa memikirkan rakyatnya.
Bagi yang ingin menambah wawasan tentang sosial, politik, dan budaya dengan gaya tulisan Cak Nun, buku ini sangat cocok untuk itu.