Tanpa yang lain saya tidak mempunyai arti, tidak mempunyai fungsi, dan tidak ada.
Fanton Drummond jatuh cinta pada sosok Olenka. Perempuan misterius yang tanpa sengaja dia temui dalam sebuah lift di Apartemen Tulip Tree. Semenjak pertemuan itu, tak henti-hentinya Fanton Drummond mengamati dan menebak-nebak bagaimana kehidupan Olenka sebenarnya.
Semakin dalam Fanton Drummond menelusuri hidup Olenka, semakin liar bayangan Fanton Drummond. Sebagaimana perjalanan menyusuri sebuah peta dunia, yang tak menemukan pangkal pastinya.
Melalui Olenka, Budi Darma sejatinya sedang menyibak rahasia paling kelam dalam jiwa manusia. Karakter-karakter unik dengan kecamuk pikiran dituturkan dengan menarik. Novel dengan capaian bahasa paripurna.
Budi Darma lahir di Rembang, Jawa Tengah, 25 April 1937. Semasa kecil dan remaja ia berpindah-pindah ke berbagai kota di Jawa, mengikuti ayahnya yang bekerja di jawatan pos. Lulus dari SMA di Semarang pada 1957, ia memasuki Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada.
Lulus dari UGM, ia bekerja sebagai dosen pada Jurusan Bahasa Inggris—kini Universitas Negeri Surabaya—sampai kini. Di universitas ini ia pernah memangku jabatan Ketua Jurusan Inggris, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, dan Rektor. Sekarang ia adalah guru besar dalam sastra Inggris di sana. Ia juga mengajar di sejumlah universitas luar negeri.
Budi Darma mulai dikenal luas di kalangan sastra sejak ia menerbitkan sejumlah cerita pendek absurd di majalah sastra Horison pada 1970-an. Jauh kemudian hari sekian banyak cerita pendek ini terbit sebagai Kritikus Adinan (2002).
Budi Darma memperoleh gelar Master of Arts dari English Department, Indiana University, Amerika Serikat pada 1975. Dari universitas yang sama ia meraih Doctor of Philosophy dengan disertasi berjudul “Character and Moral Judgment in Jane Austen’s Novel” pada 1980. Di kota inilah ia menggarap dan merampungkan delapan cerita pendek dalam Orang-orang Bloomington (terbit 1980) dan novel Olenka (terbit 1983, sebelumnya memenangkan hadiah pertama sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 1980).
Ia juga tampil sebagai pengulas sastra. Kumpulan esainya adalah Solilokui (1983), Sejumlah Esai Sastra (1984), dan Harmonium (1995). Setelah Olenka, ia menerbitkan novel-novel Rafilus (1988) dan Ny. Talis (1996). Belakangan, Budi Darma juga menyiarkan cerita di surat kabar, misalnya Kompas; pada 1999 dan 2001 karyanya menjadi cerita pendek terbaik di harian itu. Cerpennya, "Laki-laki Pemanggul Goni," merupakan cerpen terbaik Kompas 2012.
Dalam sebuah wawancara di jurnal Prosa (2003), lelaki yang selalu tampak santun, rapi, dan lembut-tutur-kata ini sekali lagi mengakui, “...saya menulis tanpa saya rencanakan, dan juga tanpa draft. Andaikata menulis dapat disamakan dengan bertempur, saya hanya mengikuti mood, tanpa menggariskan strategi, tanpa pula merinci taktik. Di belakang mood, sementara itu, ada obsesi.”
Entah kenapa aku merasakan perasaan yang hampir sama dengan saat berkenalan dengan Holden Caufield (Catcher in the Rye) , hanya saja dengan yang ini, (Fanton Drummond) aku malah sedikit jijik. Holden lebih membuatku iba.
Tapi tidak seperti dalam buku Catcher in The Rye yang sempat membuatku pusing tujuh keliling akibat sikap maju-mundurnya Holden, aku lebih suka cara berceritanya Budi Darma. bahkan sangat suka sekali.
menurutku Budi Darma adalah salah seorang sastrawan terbesar yang masih Indonesia miliki...menyesal waktu kemarin itu aku ngga bablas maksa ketemu beliau...sudah 2 kali gagal karena urusan keluarga...kalau ada kesempatan lagi TAK AKAN kulewatkan...
ga usah lah review tentang kisahnya, silahkan lihat di review Amang saja kalo mau tau ceritanya...aku hanya ingin bilang ke teman-teman yang membaca review ini, bahwa kalo bisa, selagi masih hidup, sempatkanlah membaca karya Budi Darma...dijamin...kamu akan merasakan nuansa beda, menyegarkan, ibarat rerumputan hijau di tanah gundul, ibarat gado-gado di restoran pizza, maknyuss, top markotop, uedan tenan...
vote untuk tagline dari Seno Gumira Adjidarma: Dalam Olenka, kita memasuki dunia ajaib yang diberikan oleh bahasa
Seringkali ketika aku berkesempatan berada di Toko Buku ( biasanya sih di Gramedia Matraman ), aku menjumpai “ Orang-orang Bloomington ( OOB ) “ di sana, tapi entah mengapa tak tergerak hati ini untuk memilikinya apalagi membacanya. Aku merasa tidak fair dan tidak afdol jika melangkahi Olenka. Lebih enak jika menikmati sesuatu itu secara berjenjang. Terus satu hal lagi alasan ke-enggananku pada OOB adalah karena buku itu sebuah Kumcer, padahal tak seharusnya aku memandang sebelah mata pada Kumcer. Beruntungnya lagi “ Olenka “ termasuk karya sastra yang agak sulit didapat jadi aku beralih pada “ Rafilus “ karya lain Budi Darma tentang anekdot satir potret hidup anak manusia. Beruntung sekali aku memperolehnya sewaktu pesta buku minggu lalu. Sebenarnya ada bedah bukunya juga tetapi aku tidak bisa hadir lantaran ada acara lain yang lebih penting dan membahagiakan.
Kisah Olenka ini diilhami oleh kejadian yang dialami sendiri oleh penulisnya ketika dia tinggal di Bloomington pada akhir tahun 1979 sewaktu masih menjadi mahasiswa di Universitas Indiana. Tokoh utama dalam novel ini bernama Fenton Drummond yang juga bertindak sebagai narator dari kisah ini. Kisah ini bermula ketika Fenton Drummond secara tidak sengaja berjumpa dengan seorang wanita di lift gedung Tulip Tree. Di dalam lift itu telah ada seorang wanita bersama tiga orang anak kecil. Mulanya Fenton mengira wanita itu adalah ibu dari ketiga anak tersebut karena wajah mereka yang hampir mirip. Ternyata dugaan Fenton meleset karen ketiga anak itu turun di lantai yang berbeda. Pertemuan tak terduga itu ternyata meninggalkan jejak yang sangat dalam pada diri Fenton. Lambat laun dia jadi terobsesi dengan wanita itu karena setelah itu terjadi perjumpaan-perjumpaan tidak sengaja lainnya dan yang lebih parah lagi Fenton selalu berhalusinasi tentang keberadaan wanita itu.
Selanjutnya Fanton mendapatkan informasi mengenai Olenka dari Wayne Danton yang ternyata adalah suami Olenka. Pernikahan mereka telah dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Steven yang berusia kurang lebih empat tahun. Kehidupan rumah tangga mereka kurang harmonis sehingga jauh dari bahagia. Wayne adalah seorang suami pecundang yang terobsesi untuk menjadi penulis sukses dan terkenal. Obsesinya membuat jiwanya “ sakit “ karena dia tidak mau melakukan pekerjaan lain selain menulis, padahal hanya beberapa saja tulisannya yang berhasil dimuat di media cetak. Idealisme Wayne membuat Olenka sengsara karena dia yang akhirnya harus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya.
Olenka juga sosok yang aneh, sebelum menikahi Wayne dia pernah terlibat hubungan sesama jenis dengan seseorang berjulukan Winifred ( nama seorang tokoh dalam novel The Rainbow karya D.H Lawrence ). Hubungan asmara terlarang itu akhirnya kandas karena memang harus diakhiri. Supaya dianggap normal oleh masyarakat Olenka kemudian menikahi Wayne untuk menutupi masa lalunya. Ternyata kehidupan perkawinannya juga tidak mudah dan kini ia terlibat affair dengan tetangganya bernama Fenton Drummond.
Fenton Drummond bekerja sebagai sutradara pembuat film iklan. Ia mempunyai masa lalu yang kurang membahagiakan. Fenton terlahir sebagai yatim piatu yang kemudian diangkat anak oleh keluarga Drummond. Kebahagiaan Drummond dengan keluarga itu juga tidak lama karena kedua orang tua angkatnya tewas dalam kecelakaan lalu lintas dan Fenton kemudian diasuh oleh Negara. Selepas SMA dia bekerja serabutan untuk membiayai hidupnya dan tak lama kemudian Fenton mendapat beasiswa dari salah satu Universitas untuk melanjutkan pendidikannya. Karena latar belakangnya tersebut Fenton tumbuh menjadi sosok yang kesepian serta kerap bertingkah laku aneh dan berhalusinasi.
Menurut Budi Darma karya sastra yang baik bukanlah tulisan yang kaya tindakan-tindakan jasmani yang menakjubkan, tetapi tulisan yang kaya akan berkelebatnya sekian banyak pemikiran ( digresi ). Jadi pada hakikatnya setiap karya sastra yang baik pada hakikatnya adalah kisah berkecamuknya pikiran dan pandangan orang-orang yang tidak malu-malu mengakui siapa mereka sebenarnya. Jadi itulah mengapa dalm setiap karya Budi Darma kita akan seperti berada dalam maze ( labirin ) dengan banyak pintu dan lorong, banyak kelebatan pemikiran yang kadang kala selaras seirama tetapi lebih sering menimbulkan ambiguitas dan pertentangan.
Aku sedikit “ mabok “ membaca Olenka karena penulisnya banyak memasukkan karya-karya sastra lainnya, buku-buku atau kutipan-kutipan dari koran. Ternyata banyak sekali karya sastra dunia yang terlewat olehku jadi capek harus bolak-balik halaman buku bahkan berselancar di dunia “ Mbah Google “ untuk cari tahu.
Yah… Aku rasa sampai disini ocehanku tentang Olenka dan betapa mahirnya seorang Budi Darma menyajikan pertunjukan yang sangat jujur kepada pembacanya tentang karakter-karekter manusia baik yang baik maupun yang buruk, baik yang elegant maupun yang berantakan. Tidak ada yang sempurna dalam hidup ini karena kesempurnaan hanya milik Allah. Jadi menurut Budi Darma secara tidak langsung mengajak kita untuk mensyukuri apa yang ada dalam diri kita dan mencoba untuk meng-eksplornya menjadi sesuatu yang bersifat positif dan menghasilkan kebaikan untuk diri sendiri maupun orang lain supaya kita tambah dekat dengan Allah. Semoga pendapatku ini tak terlalu berlebihan.
Kadang-kadang saya ingin memperlakukan tubuhnya seperti sebuah peta. Kalau dapat melakukannya demikian, saya akan menggulungnya, kemudian membukanya di atas ranjang, atau di atas meja, atau di atas lantai, atau di atas rerumputan. Kalau perlu saya dapat menggantungkannya di dinding, kemudian menuding-nuding bagian-bagian tubuhnya bagaikan seorang guru ilmu bumi menuding kota-kota di atas peta. Saya akan menelusur jalan yang menghubungkan satu kota dengan kota lain, satu danau dengan danau lain, satu bukit dengan bukit lain, satu hutan dengan hutan lain, satu dataran rendah dengan dataran rendah lain, kemudian berseru, ”Hai, inilah jalan menuju surga!”
Jika Chairil Anwar menggali kata hingga ke putih tulangnya, maka dalam prosa, Budi Darmalah satu-satunya pengarang Indonesia yang berani dan mampu dengan jujur tanpa jaim (jaga image) mengebor jiwa dan hasrat manusia hingga ke putih tulang dan sisi tergelapnya.
Agus R. Sarjono, Penyair, Redaktur Horison
Penulis yang benar-benar penulis menciptakan bahasa. Hal itu dilakukan Budi Darma. Dalam Olenka, kita memasuki dunia ajaib yang diberikan oleh bahasa– yang hanya Budi Darma seorang dapat melukiskannya. Saya bersyukur seorang Budi Darma pernah ada, karena tulisannya memberikan kepada saya sebuah dunia yang dapat – dan telah – saya jelajahi serta manfaatkan pula.
Seno Gumira Ajidarma Sastrawan peraih SEA Write Award dan Katulistiwa Literary Award
olenka, pertama membaca judul novel na, bagi pembaca yang taat mungkin akan mengira cerita utama dalam novel ini adalah olenka. memang. tokoh yang sering disebut di dalam na adalah perempuan ini. namun jika merasakan lebih lanjut isi na... maka sebenar na cerita ini mengisahkan perjalanan setiap tokoh-tokoh yang disebutkan di dalam na. setiap orang pada dasar na masih mencari jati diri yang sebenar na. siapakah saya? pertanyaan itu ada di diri setiap orang yang ga bisa dijawab dengan mudah.
manusia itu tunggal akan tetapi juga tidak tunggal, dua tetapi juga tidak dua. terlihat seperti jiwa dan badan tampak sebagai satu tapi juga tampak sebagai dua....
ada orang yang berhasil menyatakan diri na sebagai apa. tapi benarkah demikian? terkadang itu hanyalah deskripsi menurut diri na saja? cz kadang mereka hanya menipu diri sendiri. seperti terselip dalam tokoh MC. mencoba membuat persepsi yang dia inginkan, sementara hati na berkata lain. atau wayne, yang lebih memilih terkukung dalam penilaian na sendiri. dia menilai diri na seperti itu, ntah apa penilaian orang lain. fanton... seakan menjadi objek cerita. namun mungkin dialah subjek yang sebenar na. mencari jawab akan diri na melalui perjalanan na mengikuti jejak olenka.
bisa jadi bukan olenka lah yang ingin dia temukan, tapi diri na sendiri cz dia sendiri masih rancu akan keberadaan na. bukan menjadi mesin, tapi seperti mesin. kehidupan mengalir begitu saja tanpa tau ingin menjadi apa. keinginan liar memang kadang berkelebat, namun sebatas demikian...
dan segala rutinitas yang tampak sebagai kekangan itu musnah (kalo bisa dikatakan demikian) ketika dia menemukan olenka. karena itu... pencarian fanton terhadap olenka bisa jadi merupakan pencarian akan diri na sendiri yang sebenar na. 'manusia yang tampak bebas namun terkekang'
keputusan-keputusan yang dibuat fanton berdasarkan kehendak bebas na selalu diawali oleh alasan-alasan yang mengisyaratkan kekangan yang ada dalam diri na. seperti keputusan dia hampir meminang MC untuk ketiga kali na dan akhir na dia batalkan. sungguh... dia berhasil mempertahankan kehendak bebas itu.
terlepas dari semua alur, kisah dan penokohan, dari novel ni rhe mengenal nama-nama baru, ntah sebagai judul maupun nama tokoh, mengingat buku ini ada sebelum rhe ada sebagai jasmani. serasa disajikan, diperlihatkan... jaman sebelum rhe ada itu seperti apa...
nb: bahkan tiket bioskop jaman dulu cuma 1500 rupiah. ga kebayang, klo di-kurs-kan ke nilai uang sekarang jadi berapa yaks?
Di akhir buku ini, Budi Darma menulis asal-muasal Olenka lahir. Terdapat satu potongan paragraf yang sangat menarik perhatian saya. Isinya begini
“Saya juga sudah beberapa kali menyatakan bahwa tema yang saya garap adalah kepahitan. Cerita-cerita saya adalah serangkaian jatuh bangunnya para individu dalam usaha mereka untuk mengenal diri mereka masing-masing. Sadar atau tidak, setiap individu pada akhirnya harus mengakui bahwa hidupnya hanyalah serangkaian kekosongan.”
Sebelum paragraf tersebut muncul, Budi Darma menguraikan serangkaian “kebetulan”, dalam istilahnya, yang kemudian bermuara pada proses penggarapan Olenka.
Melaui dua hal di atas, saya sontak memahami dengan sangat jelas mengapa saya, sepanjang membaca buku ini, merasakan ikatan personal yang begitu kuat dengan Fanton Drummond: ialah karena Budi Darma menuangkan pandangan—nyaris—nihilistiknya pada tokoh tersebut. Mungkin karena kebetulan juga, saya cenderung melihat diri saya sebagaimana yang Drummond lakukan di sepanjang buku.
Selebihnya, ikatan emosional dan personal saya dengan buku ini juga dijalin melalui penguraian emosi Drummond terhadap Olenka. Emosi-emosi tersebut begitu instingtif, tidak praktis, sangat abstrak. Sampai di titik di mana terkadang saya bertanya-tanya apakah Drummond ini hanya jatuh cinta pada ide yang ia konstruksi sendiri tentang Olenka? Saya merasakan sensasi meditatif tiap kali Drummond mulai membicarakan Olenka. Dia seperti membicarakan sesuatu di batas nyata dan tidak nyata, nyaris seperti hantu.
Buku ini pula tidak memberi uraian panjang banyak tentang aksi fisik. Kita lebih seperti menyelam dalam jiwa masing-masing tokohnya dibanding mengawasi mereka seharian dari jendela kamarnya.
Akhir kata, seperti yang Budi Darma katakan sendiri bahwa ceritanya adalah rangkaian jatuh bangun individu dalam pencarian dirinya sendiri, saya rasa Olenka adalah buku yang akan mengajak pembacanya untuk bertanya kembali pada dirinya mengenai eksistensinya.
Saya menemukan buku ini di perpustakaan kampus, cetakan pertama, tapi masih seperti baru dan dari cap tertulis 2014. Saya mengambil novel ini, hanya karena tokohnya namanya O. Saya suka huruf O. Oke, salah fokus. Saya tidak berpikir lagi untuk memberi lima bintang. Ini bukan hanya cerita tentang Fanton, tapi saya pikir ini juga tentang Olenka dan Wayne dan mungkin M.C. Tentang kasih yang tak sampai mungkin, tentang pencarian hidup. Wayne yang berambisi menjadi penulis, Olenka yang berbakat melukis namun dia tak berambisi seperti Wayne, dan Fanton, saya pikir dia manusia yang kebingungan dan terombang-ombang di dunia ini. Kadang saya pikir ketika tokoh tersebut punya gangguan psikologis, namun saya berpendapat tidak ada manusia yang benar-benar normal di dunia. Dan karena itu saya suka.
ada beberapa kalimat yang saya suka, sebab saya pun meyakini ini dalam hidup. Seperti... "saya juga merasa bahwa sesungguhnya saya tidak mempunayi hak untuk ada. Tidak seharusnya alam semesta memiliki saya sebagai benda yang berada di dalamnya Akan tetapi sekaligus saya juga berpendapat, saya tidak mempunyai hak untuk meniadakan diri saya. Saya sudah terlanjur ada tanpa saya minta, dan bukan sayalah yang mempunyai hal untuk meniadakan diri saya" (pg. 212)
Sekilas chapter demi chapter terlihat tidak nyambung. Barulah di bab-bab akhir saya mulai memahami plot cerita. Saya salut akan keberanian penulis untuk mengangkat topik serta gaya kepenulisan yang berbeda dengan karya-karya sastra Indonesia yang terbit pada masanya.
Seandainya bisa mengenal Olenka tanpa harus terkekang sudut pandang Fanton Drummond yang bikin kepengen ninju tembok terdekat. Menurutku kehidupan dan karakter Olenka sendiri adalah poin paling menarik di cerita ini. Tapi, di sisi lain aku paham kenapa kita dijebak di garis mata milik Drummond; ngeri sekali gimana laki-laki bisa mengaku "mencintai" seorang perempuan kemudian menghabiskan 400 halaman gambarin perempuan tsb hanya sebagai objek yang ingin dia miliki dan kendalikan. Sedikit ngingetin sama Richard Papen dan obsesinya terhadap Camilla Macaulay wkwk. I think Budi Darma might've invented manic pixie dream girl decades before it became popular. Dari situ, pikirku surat terakhir kiriman Olenka jadi penting sekali karena ngasih kita POV langsung dari Olenka, bukan persepsi yang difilter melalui rose-tinted glasses milik Drummond.
Sangat suka penggunaan bahasa Jawa seperti "sampean" atau "plarak-plirik" yang terkesan out-of-place di latar Amerika Serikat. Seneng juga sama referensi puisi-puisi Chairil Anwar di sini, kayak tiap aku ketemu satu kalimat familier yang ada footnote-nya nih langsung nunjuk layar sambil bilang CHAIRIL MENTIONED!
Sejak pertama kali membaca cerita pendek Budi Darma, saya merasa ada sedikit jarak antara saya sebagai pembaca dan beliau sebagai penulis yang tidak berhasil saya seberangi. Mungkin pemahaman saya saja yang tidak sampai. Atau mungkin juga hanya masalah selera. Tetapi secara utuh dan objektif saya paham benar dan mengakui kalau karya-karya Budi Darma adalah karya matang dengan teknik penceritaan yang luar biasa, yang pantas dibahas tuntas di kelas-kelas sastra di universitas, maupun di diskusi sastra di mana saja.
Menjadi tamu kehormatan di ASEAN Literary Festival tahun ini, Budi Darma kembali menjadi sorotan. Saya merasa memiliki kewajiban untuk memberi kesempatan kembali pada karya-karya Budi Darma untuk merebut hati saya. Seorang teman memberi saran, saya harus mencoba membaca novelnya. Di situ kekuatan Budi Darma yang sebenarnya. Saya menurut dan mencoba mulai mencari Olenka ini, yang ternyata cukup langka dan sulit didapat. Bermodal meminjam dari seorang teman yang baik hati, saya pun mulai membangun jembatan antara pemahaman saya dan maksud penceritaan Budi Darma, untuk menimbun jarak yang terbentang. Tapi sepertinya masih sulit. I am sure it is not you, it is me!
Meskipun saya dan karya-karya Budi Darma belum berhasil tersinkornisasi dengan sempurna, namun terdapat beberapa hal di novel Olenka ini yang benar-benar menarik perhatian saya. Pertama, adalah konsep Kesatuan Afinitas. Di novel ini dijelaskan bahwa sang tokoh utama, Fanton Drummond memiliki Kesatuan Afinitas dengan Olenka. Tanpa dapat dijelaskan dengan logis, kedua tokoh ini sering tertarik pada hal-hal yang sama, dipertemukan secara tidak sengaja di tempat yang tak terduga, atau mengalami kejadian-kejadian yang entah bagaimana bisa saling berhubungan. Mungkin bagi sebagian orang, konsep ini terlalu mengada-ada, atau lebih mudah disederhanakan sebagai ‘kebetulan’ semata. Tetapi, entah bagaimana, saya percaya konsep ini bisa terjadi. Dua orang dengan Kesatuan Afinitas bisa secara ajaib terhubung meskipun berjauhan, dengan ‘kebetulan-kebetulan’ yang paling tidak masuk akal sekalipun.
Hal selanjutnya yang menarik perhatian saya di novel ini adalah banyaknya digresi, atau bagian yang tidak langsung bertalian dengan tema dan alur karya sastra di karya ini. Budi Darma banyak mengutip karya sastra lain, berita di koran, maupun fakta-fakta yang menarik, tapi tampak menyimpang dari cerita yang sedang dibangun. Tapi jika sedikit dianalisis dan diberi penafsiran, mungkin pembelokan ini sengaja dilakukan untuk mendukung cerita. Namun bedanya, jika biasanya di novel lain kita dituntun atau dibiarkan berjalan sedikit memutar, di novel ini kita seperti dianjurkan untuk melakukan lompatan. Kita harus memberikan usaha lebih untuk menghubungkan jejak-jejak samar yang ditinggalkan oleh penulis.
Terakhir, dengan latar belakang tempat yang jauh dari nusantara, dan dengan tokoh-tokoh yang bukan merupakan warga negara Indonesia, secara ajaib, Olenka tetap kental terasa sebagai bagian dari Sastra Indonesia karena penggunaan Bahasa Indonesianya yang luar biasa. Hal ini membuktikan bahwa sastra adalah bahasa, terlepas dari cerita, maksud, dan makna yang ingin disampaikannya.
Buku ke-19 tahun ini dan buku ke-15 di 2016 Reading Challenge: A Classic from 20th Century
Kalau Pak Budi Darma seorang perempuan dan feminis mungkin dia adalah Ayu Utami hahaha .... Saya pernah baca kalau tidak salah Ayu Atami mengagumi karya Budi Darma atapun pernah menulis sesuatu (pengantar?) pada tulisan beliau. Saya sebenarnya pernah membaca Larung dan Saman dulu. Saya melihat kemiripan tulisan Ayu Utami dengan tulisan beliau. Tulisan yang membutuhkan pembacaan dan pemahaman interteks, referensi dari kondisi sosial historis, filosofi dan budaya (tentu saja sesuai masanya), tapi entahlah mungkin saya salah :).
Saya merasa Pak Budi Darma seorang yang jeli dalam mengamati karakter manusia, ia menciptakan karakter yang manusiawi dengan segala kelebihan dan kekurangan. Ia mengeksplorasi karater kejiwaan ciptaanya, mereka semua bukanlah orang yang suci, hitam-putih, tapi seorang yang pada satu waktu telah berbuat salah, terpentok – pentok dinding, sadar ataupun marah. Mereka adalah manusia – manusia yang dilihat dalam kerangka mereka sebagai manusia atau paling tidak dalam imajinasi kita mereka ini manusia. Tapi karakternya adalah karakter yang bisa kita lihat kedalaman jiwanya, ketika mereka berinstrospeksi.
Dalam kehidupan nyata manusia seringkali bukanlah makhluk yang logis. Saya merasa bahwa kelebatan – kelebatan pemikiran yang terdapat dalam jiwa manusia dapat ditangkap oleh beliau. Mungkin beberapa kelebatan dalam buku ini, sebagianya adalah pemikiran abstrak beliau, konon kalau seorang pelukis ini merupakan suatu tahap yang disebut ‘pra-konsepsi’ dimana pemikiran kita menghubungkan peristiwa – peristiwa dan benda – benda secara abstrak untuk menghubungkan atau mengasosiasikan dengan peristiwa, benda dalam alam realitas kita sebagai suatu imajinasi. Walaupun kadang – kadang orang neurotis juga melakukannya :D , tapi perbedaanya adalah mereka menjadikanya sebagai pijakan realitas yang real sedangkan para seniman mungkin tidak, setidaknya itu anggapan saya :D . Itu yang mungkin dalam sastra disebut pemahaman interteks atau microgenesis dalam pandangan psikologi atau seperti yang ditulis pak Budi Darma, “kekuatan intuisi yang transendental, [...] kekuatan common sense atau akal sehat tanpa penggunaan seperangkat teori dalam pengertian yang formal”.
Entah apapun itu dia berhasil dalam merangkainya, menjadi suatu yang utuh, setiap karakter dalam buku ini kalau mau jujur mungkin salah satu sifat-sifatnya dapat mewakili seseorang atau tidak seseorangpun, diri kita sendiri ataupun orang lain. Dalam hal ini saya merasa bahwa ‘Fanton Drummond’ pada beberapa waktu, dalam buku ini adalah Budi Darma yang sedang melayap kemana – mana, menjelajahi Bloomington, Indiana.
Sebuah novel yang refleksif dan kaya akan perenungan eksistensial.
Absurditas para tokoh dalam novel Olenka ini sama seperti pada Orang-Orang Bloomington. Ngelantur. Ruwet. Namun, Budi Darma dan kecerdasannya dalam melahirkan karya-karya yang unik selalu memberi pengalaman membaca yang tiada duanya bagi saya. Paruh pertama cerita saya lahap dengan cepat. Saya amat menikmati gaya bahasa Fanton Drummond dalam mendeskripsikan isi pikirannya dan segala sesuatu di sekitarnya. Hubungan antara Fanton, Olenka, dan Wayne yang "nyeleneh" juga membuat saya penasaran. Pada paruh kedua sayangnya saya kehilangan minat, sehingga perlu lebih dari sebulan untuk menamatkan novel ini. Entahlah, jalan pikir Fanton makin ruwet untuk diikuti.
Saya juga suka bagaimana Budi Darma melibatkan hal-hal kecil yang ia amati dan alami selama tinggal di Amerika dalam buku ini. Ada banyak kutipan karya sastra dari penulis lain beserta catatan kaki yang ia selipkan. Ada pula satu bab di akhir cerita di mana Budi Darma bercerita tentang proses kreatifnya dalam penciptaan novel ini. Saya berdecak ketika tahu ternyata "Olenka" cuma butuh waktu kurang dari tiga minggu untuk dirampungkan. Wah. Akhir kata, "Olenka" patut jadi salah satu novel sastra Indonesia yang harus dibaca setidaknya sekali seumur hidup.
Buku ini untuk menyelesaikan Tsundoku Books Challenge 2021
3,2 dari 5 bintang!
aku gak sengaja membeli buku ini ketika mumpung ada promo di aplikasi Rakata dan untuk tribute kepergian beliau aku akhirnya memutuskan untuk membaca buku ini bareng dengan temanku hehe.
Buku ini menceritakan kisah Fanton yang diam-diam mencintai sosok Olenka yang merupakan istri dari Steve. Akankah Fanton bisa menggapai cintanya kepada Olenka? Buku ini lebih pencarian Fanton kepada sosok Olenka yang diam-diam mengisi hatinya hingga sampai Olenka pergi ia tidak mampu menghapuskan rasa cintanya itu meski sudah mendengar hal-hal yang buruk mengenai Olenka.
Intinya ini isi sebuku ceritanya tentang bulol Fanton kepada Olenka. Emang namanya cinta buta semuanya aja jadi manis keliatannya :')
judulnya mungkin Olenka, tapi tokoh utama dan bertindak sekaligus sebagai pencerita namanya Fanton Drummond. bener-bener ada emosi dan ekspresi campur aduk ketika saya baca buku ini. tapi lama-kelamaan saya menyadari kalo saya tenggelam makin dalam ke dalam petualangan Fanton Drummond.
cerita berawal dari pertemuan Fanton dan Olenka secara tidak sengaja, lanjut teruuuuus, ternyata muncullah sebentuk ikatan batin diantara mereka. Olenka mencintai Fanton dan Fanton mencintai Olenka. cerita makin kompleks pas Fanton ketemu Wayne, suami Olenka (inget suami, belum cerai) dan Steven (anaknya Wayne sama Olenka). Wayne itu penulis. autis. tapi sekalinya nulis kayaknya menohok. Fanton akhirnya semakin kenal sama Wayne, ditambah lagi Olenka juga suka nyeritain macem-macem tentang Wayne ke Fanton. sampai akhirnya, si Olenka ini memutuskan buat meninggalkan Fanton selamanya (nggak meninggal sih, cuma mundur dari kehidupan Fanton aja). dan si Fantonnya, entah saking cintanya atau saking kuatnya ikatan batin mereka, pergilah mencari si Olenka. sampai di sebuah kota, Fanton ketemu sama dua sahabat yang inisialnya MB dan MC. mereka nginep di penginapan yang sama, berhari-hari. sampai akhirnya, Fanton mengira dia jatuh cinta sama MC. bahkan Fanton sempet meminang si MC.
ending novel ini bisa dibilang menggantung, dan sayang sekali nggak ada sekuel buat novel ini. endingnya, para pembaca dibiarin bertanya-tanya, apakah akhirnya Fanton ketemu lagi sama Olenka? Olenkanya kemana? apa kabar Wayne dan Steven? apa kerjaan Fanton selankutnya? endingnya cuma sepenggal kalimat yang diambil dari puisi 'Doa' nya Chairil Anwar.
walaupun asyik menghayati buku ini, masih ada kesan lucu aja pas mbaca ini buku (padahal sampul depannya ada embel-embel-nya 'sastra' loh). lucunya terletak pada si penulis, Budi Darma yang menggunakan kata 'Sampean' instead of 'Anda' atau 'Kamu' padahal settingnya di Bloomingtown, United States. di luar itu, kayaknya nggak ada lagi yang perlu dikritik, karena ini emang novel yang bagus, dan pembaca beneran bisa dengan mudah kenal sama tokoh-tokoh (baik utama maupun sampingan) yang ada di novel
p.s: the author used to teach my mum in language department, IKIP (now: UNESA)
Satu hal yang saya kagumi dari Pak Budi Darma adalah, ketajamannya membuat deskripsi dan narasi yang sangat detail tentang manusia. Train of thoughts nya penuh kejutan. Beliau begitu lihai, observant dalam "memanusiakan" karakter-karaternya yang multidemensi, dan yang sering berperang dengan jalan pikiran2nya sendiri. Meski setting dan tokohnya di Amerika — yang sifatnya hanya lahiriah– , novel ini masih terasa Indonesia. Beberapa kali saya menemukan kata sampean, gendeng, plirak-plirik , tentu saja ini membawa ramuan humor sendiri buat saya.
Wajib dibaca buat yang gemar dengan sastra, filsafat, seni, dunia kepengarangan dan studi karakter. Banyak referensi novel-novel klasik abad ke-19 dan 20, film-film jadul, juga kliping koran, dan potret Bloomington AS pada tahun 70an yang rupanya menjadi inspirasi beliau dalam mengarang. Olenka adalah novel yang ajaib!
Oh, baiklah. Akhirnya bertambah lagi novel pemenang DKJ yang pernah kubaca. Dan novel ini adalah pemenang utama DKJ tahun 1980. Beberapa bulan lalu aku mengetahui kabar bahwa terjemahan dari Orang-Orang Bloomingtoon yang dikerjakan oleh Tiffany Tsao menjadi finalis 2023 PEN Translation Prize. Aku lalu membaca blog Tiffany Tsao dan dari situlah aku tahu novel Olenka. Karena penasaran, aku pun mencari novel itu di iPusnas.
Inti ceritanya sih Fanton Drummond jatuh cinta pada perempuan bersuami yang bernama Olenka Danton. Dia jatuh cinta setelah bertemu Olenka di lift bersama tiga anak lelaki yang semua wajahnya mirip Olenka. Tapi Olenka menyanggah kalau mereka adalah anak-anaknya.
Suami Olenka adalah seorang penulis pemalas bernama Wayne Danton. Saat berkenalan dengan Fanton, Wayne baru menerbitkan satu cerpen saja. Cerpen itu berjudul Olenka dan ceritanya berdasarkan tragedi keluarga Olenka. Wayne ini bisa dibilang tengik sekali. Dia tak suka bekerja dan membebankan keharusan mencari uang pada Olenka. Dia tahu Fanton menyukai istrinya dan mengejek kenyataan itu. Dia bahkan menganggap Olenka sebagai abdinya. Dasar sinting. Wayne juga suka mengejek lukisan buatan Olenka, padahal wanita itulah yang menyangga hidupnya. Kurang busuk apa coba?
Tapi anehnya Olenka tak mau bercerai dengan Wayne meski dia selingkuh dengan Fanton. Alasannya karena tanpa dia Wayne nggak bisa hidup. Dan putranya sendiri, Steven, terikat pada Wayne. Mbulet ae kah. Olenka ini akhirnya memutuskan menghilang baik dari hidup Wayne maupun Fanton.
Fanton yang terobsesi pada Olenka sampai pindah ke beberapa negara bagian untuk mencari wanita itu. Tapi dia akhirnya malah bertemu Mary Carson dan jatuh cinta pada perempuan itu. Hanya saja lamarannya ditolak karena Mary tahu jika Fanton menyukai perempuan lain. Mary lalu naik pesawat yang akhirnya jatuh. Fanton pun kembali didera rasa kehilangan perempuan yang ia kasihi sekali lagi.
Cara bercerita Pak Budi Darma memang sangat mengalir. Meski ceritanya ngalor-ngidul, aku masih bisa mengikuti alirannya dengan lancar. Aku heran kenapa beliau memilih menggunakan istilah-istilah Jawa dalam dialog dan monolog hati para tokoh yang orang-orang Amerika ini. Sungguh janggal ketika para tokohnya menggunakan "sampean" untuk menggantikan kata "kamu". Bahkan Fanton pun misuhnya pakai bahasa Jawa. Dan yang dipisuhi bilang, "Mbok ya jangan begitu." Lalu ada ungkapan "wassalam" juga. Uniknya Fanton meski bukan Islam mempercayai Qur'an dan mengutip beberapa ayat Qur'an. Qur'an juga yang membuatnya tak makan babi meski tak bisa menghentikannya dari berselingkuh dan bergaul bebas dengan Mary Carson.
Daripada asal mula ide cerita ini, aku lebih tertarik untuk tahu mengapa percakapan orang-orang Amerika ini begitu njawani, deh. Sayangnya penjelasan itu tidak ada.
Menginjak pertengahan buku ini aku mulai tidak menikmatinya. Ini karena sebagian besar adegannya terjadi di dalam kepala Fanton. Penuh narasi monolog dan pemikiran yang berisi referensi buku-buku sastra yang pernah dibaca Olenka. Bukan berupa adegan aksi yang menggerakkan cerita secara aktif. Apa memang buku sastra itu sukanya melambaikan narasi penuh digresi, lanturan, sana-sini, dan penyelesaiannya sering menggantung, ya?
Bukan sejenis buku yang bikin aku nagih, tapi lumayan "tersangkut" sama ceritanya. Mau bilang makasih sama Budi Darma yang karena beliau aku lebih kurang memahami jalan pikir pria seperti Fanton. Sebenarnya, dia (dan hampir semua karakter di sini) adalah karakter yg sulit untuk dipahami, sih. Budi Darma menulis dengan terlalu liar dan ngelantur kemana-mana, tapi lanturannya cerdas.
Sebenarnya saya bingung mau kasih berapa. Mungkin tepatnya 2,5 ya. Daripada saya malah "digresi", kayak yang dibilang Budi Darma pada lompatan-lompatan yang dia lakukan dalam Olenka, maka sepertinya akan baik kalau saya perincikan dalam poin-poin saja, biar jelas.
1. Ada bagian-bagian yang saya suka. Saya suka saat sebuah kejadian dalam cerita kadang-kadang jadi aneh dan lucu, kayak Olenka ditaruh di atas lemari; Olenka gonta-ganti manggilnya, kadang Fanton kadang Drummond; dan lain-lain. Lalu, ini sepertinya bisa diperdebatkan oleh diri-saya-di-masa-depan, tapi sebenarnya saya suka dengan "prompt" kalau mereka bisa saling lihat diri mereka satu sama lain berkelebat. Caranya Budi Darma menceritakan soal itu mengonstruksi pikiran saya dan jadinya saya berpikir, "Oh, ternyata perasaan kasih keduanya nyata."
2. Novel ini terlalu panjang. Saya nggak keberatan dengan digresi/lanturan yang dilakukan Budi Darma, sebetulnya, soalnya saya bisa belajar banyak dari lanturan-lanturan itu, walaupun tentu saja bukan itu yang saya cari di novel ini.
3. Intinya Fanton Drummond itu simping ... :,,) Sekalipun dia dan Olenka bisa sama-sama lihat kelebatan masing-masing dari mereka (kayak yang saya jelaskan di poin satu), tapi saya nggak bisa mencegah diri saya berpikir kalau Fanton Drummond nggak mencintai Olenka sebagai manusia, melainkan sebagai konsep. Bukti yang paling kuat itu ketika Fanton Drummond meminang M.C. di hadapan ibu dan adiknya, dia berkali-kali maju-mundur soal pinangannya dengan berpikir, "Ah, Olenka nggak akan memperlakukan aku seperti yang dilakukan oleh M.C." Kepercayaan diri itu tentu salah tempat ketika Olenka terang-terangan bilang bahwa dia tidak mau bertemu Fanton Drummond lagi, dan ketika Olenka sangat sayang kepada anaknya, Steven.
4. Saya hendak bahas bagian terakhir buku ini, yakni bagian "Asal-Usul Olenka" yang diceritakan oleh Budi Darma. Pada bab tersebut, Budi Darma bilang begini: Tokoh-tokoh dalam Olenka tergencet antara keinginan mereka untuk menentukan diri mereka sendiri dan ketidakberdayaan mereka. Seperti juga halnya para tokoh dalam karya-karya sastra yang saya kagumi, tokoh-tokoh dalam Olenka terpaksa mengakui bahwa mereka bukanlah arsitek jiwa dan raga mereka.
Ketika saya membaca kalimat itu, saya mengiyakannya. Oke, mungkin Budi Darma bermaksud untuk menggambarkan Fanton Drummond sebagai "orang biasa", atau setidaknya "tokoh utama yang tidak memenuhi 'syarat' sebagai tokoh utama", atau apa pun itu sebutannya. Saya secara personal suka dengan gagasan ini. Saya suka dengan cerita yang "membosankan". Seperti Budi Darma, saya juga tidak setuju dengan pernyataan E.M. Foster, "The books and talk that would describe it as interesting are obliged to exaggerate." Tapi, saya berpendapat kalau maksud tersebut tidak ditunjukkan secara kuat dalam tokoh-tokoh Olenka. Jadi, saya malah baru tahu ketika baca penjelasannya Budi Darma sendiri ...
5. Tapi, saya suka bagaimana cerita ini tamat. Bagus, menurut saya.
Buku ini dipinjamkan seorang teman baik. Dia mengirimkan buku tersebut melalui pos.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Saya pernah baca Olenka pada sekitar tahun 2008 atau 2009, lupa kapan tepatnya. Waktu itu saya beli edisi terbitan ulang Balai Pustaka dengan sampul berwarna kuning keemasan dan terdapat siluet seseorang yang terlihat mencolok. Dengan sampul seperti itu dan desain buku yang menurut saya agak payah secara estetik, saya membaca Olenka dengan pengetahuan bahwa novel ini adalah novel penting karya Budi Darma.
Entah kenapa pembacaan saya atas Olenka yang pertama itu kurang meninggalkan kesan bagi saya. Bisa jadi bahwa saya sudah hilang minat duluan karena penampilan fisik bukunya yang kurang bagus, atau mungkin karena saya memang kurang bisa memahami cerita novelnya. Waktu itu sebenarnya saya sudah baca kumpulan cerpen Orang-orang Bloomington lebih dulu, dan saya suka dengan cerita-ceritanya. Namun saat membaca Olenka, antusiasme saya saat baca Orang-orang Bloomington rasanya menjadi luntur dan saya tidak memiliki kesan dan tidak ingat apapun tentang cerita yang ada di Olenka.
Beberapa bulan yang lalu saya memutuskan untuk beli lagi novel Olenka yang diterbitkan ulang oleh penerbit Noura dengan gambar sampul yang meskipun tidak sepenuhnya sesuai selera saya, tetapi menurut saya jauh lebih baik dari sampul edisi sebelumnya yang saya punya. Saya berniat membacanya ulang untuk memahami dan mendapatkan apa yang saya tidak dapatkan pada saat saya membaca pertama kali.
Setelah sekarang selesai baca ulang, saya baru paham mengapa novel ini adalah novel yang sangat baik. Dengan gaya bahasa sederhana cenderung kaku khas tulisan Budi Darma, cerita Olenka menunjukkan kerumitan jiwa manusia yang pada dasarnya tidak pernah stabil, sehingga hubungan antar-manusia juga sebenarnya tidak pernah dalam keadaan yang baik, tulus, atau pun normal. Tokoh-tokoh dalam Olenka selalu memiliki pikiran tidak wajar. Sifat mereka pada dasarnya egois dan kurang ajar. Pada akhirnya mereka bertahan hidup hanya karena mereka merasa bahwa tanpa mereka kehendaki, mereka ada di dunia ini, dan mau tidak mau waktu terus berjalan dan mereka harus berbuat sesuatu dalam rangka menipu diri sendiri untuk melupakan betapa dunia adalah tempat yang sangat buruk.
Saya menyesalkan buruknya penyuntingan di edisi baru ini dengan banyaknya salah ketik dan ada kata-kata yang hilang saat saya bandingkan dengan edisi yang lama. Novel sebagus ini dari penulis sebesar Budi Darma tidak seharusnya diperlakukan dengan cara asal-asalan seperti itu.
Saya sangat menikmati membaca novel pertama dan satu-satunya karya Budi Darma. Cuma ada sedikit ketidaksempurnaan pada logika cerita, di sini sy melihat dan merasakan Budi Darma bukan tokih2 sentralnya,
Fanton Drummond bertemu seorang wanita yang belakangan diketahui bernama Olenka di lift apartemen Tulip Tree. Pertemuan itu membuatnya tak dapat melenyapkan bayangan Olenka dari pikirannya. Fanton selalu membayangkan bisa memiliki Olenka. Sejak itu, bayangan Olenka tidak mau lepas dari Fanton Drummond dan ia pun jatuh cinta kepada Olenka. Sayangnya, Olenka sudah mempunyai suami (Wayne Danton) dan anak (Steve). Fanton Drummond senang mengetahui bahwa perkawinan Olenka dan Wayne Danton di ambang kehancuran. Mereka hidup dengan dunianya sendiri. Olenka adalah seorang pelukis yang berbakat dan mampu membuat lukisannya seperti hidup. Wayne Danton adalah orang terobsesi untuk menjadi pengarang. Olenka menikah dengan Wayne Danton karena ia tertarik pada kepengarangan Wayne Danton. Cerpennya masuk dalam antologi tahunan cerpen Hadiah O’Henry dan dimuat di The Kanyon Review. Cerpen tersebut merupakan cerpen satu-satunya yang dapat terbit. Menurut Olenka, Wayne Danton primitive dan cerdas dari segi tertentu meskipun Wayne Danton juga orang yang bodoh, selalu bingung, rendah diri, dan korban pertentangan antara intuisi dan logikanya. Suatu ketika, Fanton berkenalan dengan seorang lelaki yang dilihatnya selalu bersama anak lelaki di sekitar Tulip Tree. Lelaki itu bernama Wayne Danton, seorang pengarang cerpen berjudul Olenka. Steve, anak lelaki yang bersamanya rupanya buah pernikahan Wayne dengan Olenka. Kenyataan itu tak membuat keinginan Fanton jadi surut. Ia bahkan ingin merampok Olenka dalam cerpen Wayne dan Olenka istri pengarang itu. Selepas badai yang menerjang kota Bloomington, Fanton bertemu Olenka yang sedang melukis di hutan kota. Sejak itu, mereka sering bertemu. Namun, meski keduanya saling tertarik, mereka sama-sama tak ingin menikahi satu sama lain. Bahkan, baik Olenka maupun Fanton sering mengatakan, “Pada saatnya kita harus berpisah.” Memang akhirnya Olenka menghilang meninggalkan Fanton tanpa pesan. Dalam berhubungan dengan Olenka, Fanton Drummond merasa sebagai objek. Meskipun demikian, mereka tetap saling mencintai. Mereka berjanji pada suatu waktu mereka harus berpisah. Ketika berpisah dengan Olenka, ternyata bayangan Olenka tidak bisa lepas dari Fanton Drummond. Ia berusaha mencari jejak Olenka ke Indiana, Kentucky, dan kembali ke Illinois. Di Chicago, Fanton berkenalan dengan Mary Carson di Hotel La Salle. la mencintai dan meminang Mary. Namun, pinangannya ditolak dengan halus. Mary Carson dipanggil pulang oleh ibunya. Hal ini membuat Fanton mengalami kekosongan hidup. Untuk mengisinya, ia menulis surat untuk Mary; tidak dikirimkan, tetapi disimpan beberapa hari, kemudian dibaca sendiri. Ia juga bertindak sebagai Mary yang membalas suratnya sendiri, disimpan beberapa saat, kemudian dibaca sendiri, demikian seterusnya untuk beberapa kali. Beberapa saat kemudian, Fanton menerima surat panjang dari Olenka. Isinya menceritakan asal usulnya, dia yang kasihan terhadap Wayne, cintanya kepada Fanton sejak dia bertemu dengannya. Ia bercerita tentang pernikahannya dengan Wayne yang hanya karena Olenka ingin keluar dari kehidupannya sebagai lesbian. Sayangnya, anaknya (Steven) lahir bukan dari rasa kasih sayang. Itulah sebabnya, hubungannya dengan Steven biasa-biasa saja. Untuk melupakan bayangan Olenka yang kembali mengikutinya, Fanton mencoba berkeliling Bloomington dengan pesawat ringan. Fanton malah mendapat surat kilat dari M.C., wanita yang pernah menolak pinangannya. Dari surat itu, Fanton mendapat kesan kalau M.C. mengalami kecacatan. Ia segera terbang menemui M.C. di Aliquippa, Pittsburgh. Rupanya M.C. mengalami kecelakaan pesawat hingga mengakibatkan ia harus menghabiskan hidup di kursi roda. Mungkin tergerak karena kasihan atau cinta, Fanton meminang M.C. untuk kedua kali. Namun, M.C. malah menanyakan wanita lain yang ada di hati Fanton. Saat itulah, Fanton tiba-tiba kehilangan keinginannya untuk meminang M.C. dan pergi meninggalkannya. Fanton merasa kasihan kepada Mary dan bemiat memperbaiki pinangannya. Setelah bertemu dengan Mary, ternyata ia cacat karena kecelakaan pesawat terbang. Fanton tetap melamarnya. Meskipun mencintai Fanton, ia menolaknya, karena ia menganggap bahwa ia hanya sebagai pengganti Olenka bagi Fanton. Ketika hendak kembali ke Bloomington, di bandara Pittsburgh Fanton membaca di surat kabar berita tentang pemalsuan lukisan yang dilakukan oleh Olenka Danton. Ia ditemukan pingsan di kamar hotelnya. Banyak yang menduga kalau dia pingsan karena menelan obat tidur dalam jumlah yang banyak. Polisi membawa Olenka ke rumah sakit. Sepulangnya dari Mary, Fanton membaca berita tentang pemalsuan lukisan yang dilakukan oleh Olenka. Fanton ingin menemui Olenka yang dirawat di rumah sakit karena terlalu banyak minum obat tidur. la tidak berhasil menemui Olenka karena Olenka sudah pergi seperempatjam yang lalu. Gairah Fanton terhadap Olenka sudah lenyap. Kini dia merenungi dirinya. la mengakui berbeda dengan Wayne, yang selalu sadar siapa dirinya. Setiap detik hidup Wayne tidak pernah melepaskan diri dari kepengarangannya. Sebaliknya, Fanton tidak tahu siapa dirinya. Setiap tindakannya belum tentu berjalan ke arah tujuannya karena tujuannya sendiri tidak jelas. Ini karena ia terlalu bebas. Kini semuanya diserahkan kepada Tuhan.” Fanton pergi ke rumah sakit tempat Olenka dirawat. Namun, ketika sampai di sana, ternyata Olenka telah meninggalkan rumah sakit. Fanton tidak merasa menyesal dan kecewa. Ia hanya merasakan kekosongan dalam dirinya. Dalam kekosongan itu ia menyadari bahwa Tuhan memiliki kekuasaan penuh atas segalanya. Maka dalam usaha untuk menjadi pemeluk teguh, Fanton meggumam, “Tuhanku, dalam termangu, aku ingin menyebut nama-Mu.” . pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis. Novel ini ditulis berdasarkan pengalaman pengarang, yaitu Budi Darma saat berkeliling dunia. Salah satunya America Serikat. Novel Olenka ditulis pada akhir tahun 1979. Menjelang akhir 1979, volume pekerjaannya di Indiana University, Bloomington, Amerika Serikat semakin menipis. Sehabis bepergian, sewaktu Budi Darma mendekati gedung Tulip Tree, dan saat itu pula salju sedang turun. Di dalam lift gedung tersebut, Budi Darma bertemu dengan seorang wanita dan tiga anak laki-laki berpakaian kotor. Perempuan itu menarik perhatian pengarang, dan saat itu pula Budi Darma langsung mengetik dan menuangkannya lewat cerita. Lokasi-lokasi yang dituangkan dalam novel Olenka sudah pernah dilewati oleh pengarang. Dengan bahasa yang mudah dimengerti, lincah, dan segar novel ini menampilkan cerita yang ciamik dan tidak membosankan
Ketika bilang saya baru akan baca Olenka sekarang-sekarang ini, seorang kawan bilang barangkali perasaan yang saya dapatkan akan sangat berbeda dengan apabila saya baca novel ini bertahun-tahun yang lalu.
Bisa jadi.
Karena dari segi cerita, sudah lumrah. Tapi deskripsinya memang juara. Bukan deskripsi yang komplit, runut, teratur melainkan padat dan konflik batinnya sangat terasa. Cara Budi Darma menceritakan tentang Olenka dan dosa itu lho, ya ampun sedih.
Plus, lumayan bikin mikir tentang cinta dan pernikahan. Pernikahan Olenka-Wayne. Keinginan Fanton menikahi Olenka, juga keinginan Fanton menikahi M.C.
Masing-masing tokohnya unik. Dan ada bahasan mengenai afinitas alias ikatan batin (di hubungan Fanton-Olenka) semakin menambah ironi.
The first time I read this novel, it was beyond my understanding. It is a story of how a man, named Fanton, stuck in his same old life before finding something deemed otherworldly, of what I understood based on Fanton's way of expressing his new obsession, Olenka, and before finally losing the grasp of her.
I read this in Bahasa Indonesia and I don't know if there's any translation in any language.
I guess it's just not my kind of book. Beberapa orang merekomendasikannya dengan menggebu-gebu, beberapa orang yang saya hormati selera sastranya. Tapi saya ngga pernah berhasil membaca lebih dari beberapa halaman pertama. Entah mengapa...
Saya rasa Budi Darma adalah pengarang dengan ketengilan paling oke. Dan Olenka membuktikannya. Dan masih tetap membuat manusia dalam buku ini sebagaimana manusia pada umumnya. Baik dan buruk selalu ada dalam satu pribadi manusia. Kece sekali laaah
Bila diminta menyusun rating sepuluh novel Indonesia terbaik, "Olenka" akan menduduki posisi terbaik versi saya. Novel ini benar-benar dahsyat. Sepenuhnya unik, memukau dari awal sampai akhir.