Di muara kudengar langkah waktu sayup-sayup sampai Rumpun bakau menjelma ruang yang memantulkan gema Ketika angin kemarau berkejaran dengan gulungan ombak Di pantai. Aku tertinggal jauh di luar batas kesementaraan
Sekalipun yang tampak di hadapan tinggal kabut semata Tentu ada yang masih bisa diteroka. Aku membaca lambang Merenungi bagaimana langit merendah dan bumi meninggi Namun bukan sedang mengulurkan benang basah ke udara
Pengembaraan adalah detik-detik yang mengalir dari gunung Diteruskan sungai ke muara. Sedang penghayatan ibarat pasir Yang butir-butir halusnya mengembara ke tengah samudra
Pelan-pelan aku menyaksikan senja berubah menjadi panggung Sebuah resital cahaya mulai dipentaskan cakrawala. Di kejauhan Gugusan pulau menggelepar-gelepar bagaikan para penari latar
Selulus SMA di Pesantren As-Syafi'iyah ia masuk FSRD ITB dan selesai pada 1987. Tahun 1991-1993 ia belajar di Universita' Italiana per Stranieri, Italia, atas beasiswa dari pemerintah Itali.
Selain sebagai pelukis, ia lebih dikenal sebagai penyair. Sajak-sajaknya dipublikasikan di berbagai media sastra Jakarta, Bandung, dan Malaysia. Selain itu, juga dimuat dalam banyak antologi sajak, antara lain Tonggak IV, Dari Kota Hujan, dan Ketika Kata Ketika Warna.
Tahun 1995 ia mengikuti The 2nd ASEAN Writers Conference di Singapura dan Istiqlal International Poetry Reading di Jakarta. Kini ia giat memotori Sanggar Sastra Tasik.
Sejujurnya saya kurang suka dengan puisi dengan gaya post-card (ini istilah saya ya). Puisi yang menghadirkan aneka rupa lokasi yang eksotis, seperti dalam buku ini. Bedugul, Bintan, Tanjungpinang, dll. Nggak apa-apa, tetapi saya memang suka yang memotret kejadian dan keseharian. Bukan jelek, tapi lebih ke selera pribadi.
Saya suka ya puisi pendek dalam buku ini
N Y E P I
Malam adalah ujung lipatan waktu Pagi adalah awal berlangsungnya rindu
Selamat membaca dan diajak berkeliling lewat puisi ini.
"Kematian yang seksi menyelinap ke balik sunyi. seperti burung dengan sayap-sayap besi seperti kawat yang mengalirkan berahi
Kisahmu tinggal percikan air pada pasir. Usia hanya balon udara yang pecah menjadi rahasia."
(Hml.23)
Entah kenapa aku merasa cocok dengan puisi-puisi di dalam buku ini. Gaya nulisnya asyik banget menurutku, dan bunyinya, aduh, enak. Puisi yang pendek-pendek bagus, puisi yang panjang-panjangnya juga dalem. Dan membaca buku ini, jadi berasa jalan-jalan, menikmati alam, ketenangan, dan tentu, kesunyian.
Selain itu, puisi-puisi dalam buku Membaca Lambang karya Acep Zamzam Noor ini juga menyentuh hati dan terasa dekat, seperti kutipan ini, "Kehilangan merupakan bentuk lain dari penyerahan". Oh, aku suka sekali. Rasanya aku ingin membacakan beberapa puisi dalam buku ini di youtubeku, dan ingin membaca karya-karya beliau yang lain. Huaaaa 💙
Selain kabut, aku tak bisa menebak Keluasan langit dengan warna kemerahannya Darah bulan menggenangi lereng bukit yang tua Sambil mendaki kusongsong topan untuk mengengalkan Kenangan. Doa-doaku menyelinap di antara Keremangan yang matang oleh harum belerang
Aku tuliskan kerinduanku pada sisa terang lampu Yang dikedipkan pulau-pulau di kejauhan Lalu malam menyalakan mega yang terpendak Di jantungku bergolak seribu kawah gunung berapi Tapi hanya pada kabut, aku serahkan semua kata Persembahan kudus yang hangus menjadi asap dupa
2008
Puisi di atas adalah puisi favorit saya, adapun untuk puisi yang lainnya saya suka rima dan metaforanya. Cantik, misterius, syahdu, jadi satu. Meski begitu, ada juga beberapa yang saya rasa kurang bisa dimengerti maknanya (yah, walau puisi pun kadang-kadang ditulis bukan untuk diahami maknanya).
Pertama kali baca karya Acep Zamzam Noor dan merasa terpikat.
Puisi-puisinya dalam buku ini diberi judul dengan nama-nama tempat seperti Tanjung Pinang, Riau, Bintan, Donggala dan masih banyak lagi pelabuhan, dermaga, laut yang disebutkan. Sungguh terasa Indonesia sekali, tapi ada pula tempat-tempat di Jepang sih.
Favorit saya yang berjudul Arah Ke Donggala, Benteng Kalamata dan Nyepi.
Nyepi
Malam adalah ujung lipatan waktu Pagi adalah awal berlangsungnya rindu
Bagus banget. Acep Zamzam Noor tidak pernah mengecewakan untuk urusan menyajikan puisi yang romantis sekaligus magis. Personifikasi yang dia mainkan dalam ungkapan-ungkapannya adalah sesuatu yang luar biasa.
Suka banget dengan bagaimana dua - tiga bunyi bisa berulang dalam satu baris puisi. Temanya juga unik, seperti sebuah perjalanan mengelilingi Nusantara untuk memanen puisi.
Saya kali pertama membaca puisi2 Acep, dan rasanya perlu dibaca berulang ulang biar bisa paham maknanya. Saya hanya menikmati puisi ini tanpa tahu apa maknanya, dan saya suka.