Islam sesungguhnya hadir untuk melindungi umat manusia, bukan sebaliknya. Namun sayang, sebagian pemeluk Islam yang gagap realitas masih menganggap Islam sebagai agama ‘lemah’ yang butuh dilindungi dan dibela. Akibatnya, “perang” antar ormas yang secara angkuh mengaku membela Islam dan atau dengan kelompok-kelompok lain kian memanas. Alhasil, agama terlihat lebih menegangkan daripada menenteramkan.
Buku Islam Santai karya Acep Zamzam Noor ini hadir sebagai oase di tengah pemahaman dan penghayatan keagamaan yang kian gersang. Meski mengaku berprofesi sebagai pelukis dan penulis puisi, pemahaman keislaman Acep juga tidak diragukan. Besar di lingkungan Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Acep paham betul bahwa berislam semestinya membuat seseorang kian ramah, bukan malah mudah marah.
Kendati bermaksud mengemukakan wajah santai dalam beragama, Acep tidak melulu membahas dinamika ajaran Islam dalam buku ini. Pembahasan ditarik ke ranah yang lebih luas, terutama berkenaan dengan pertalian Islam dengan kearifan lokal. Islam tidak mengharuskan kita hidup seragam dalam keberagaman. Sebab perbedaan merupakan suatu keniscayaan, maka menghargai perbedaan pun merupakan suatu kemestian.
Selulus SMA di Pesantren As-Syafi'iyah ia masuk FSRD ITB dan selesai pada 1987. Tahun 1991-1993 ia belajar di Universita' Italiana per Stranieri, Italia, atas beasiswa dari pemerintah Itali.
Selain sebagai pelukis, ia lebih dikenal sebagai penyair. Sajak-sajaknya dipublikasikan di berbagai media sastra Jakarta, Bandung, dan Malaysia. Selain itu, juga dimuat dalam banyak antologi sajak, antara lain Tonggak IV, Dari Kota Hujan, dan Ketika Kata Ketika Warna.
Tahun 1995 ia mengikuti The 2nd ASEAN Writers Conference di Singapura dan Istiqlal International Poetry Reading di Jakarta. Kini ia giat memotori Sanggar Sastra Tasik.