Langit berwarna merah pekat. Seorang perempuan orang tua tunggal membaca pertanda alam lewat kartu tarot. Seekor anjing raksasa mati dibunuh dengan cara mengenaskan. Seorang perempuantua yang lebih suka bercakap-cakap dengan arwah anak dan suaminya. Anak gadis berjiwa dewasa terperangkap dalam kekeliruan.
Di Kota Basirah ini semua hal tidak masuk akal bisa terjadi. Mungkin, sesuai arti namanya, kota ini menunjukkan inti perasaan terdalam penghuninya, yang tak selalu seputih kapas, tapi juga sehitam malam.
“Dalam setiap orang itu, seburuk apa pun, pasti ada sisi baiknya.” (hlm. 58)
Tema wanita dan tokoh perempuan selalu lekat dengan karya-karya Yetti A.KA. Tidak terkecuali di novel Basirah ini. Dengan setting yang semi abdurd, penulis mengangkat kisah keluarga kecil yang terjebak dalam takdir mereka sendiri di sebuah kota misterius bernama Basirah. Berkisah tentang keluarga kecil yang terdiri atas ibu dan anak perempuannya serta seekor anjing peliharaan yang dibeir nama Bolok, novel ini mengajak pembacanya merenungi garis nasib yang kadang belum banyak berpihak kepada kaum perempuan di pelosok negeri ini. Dan walau tokoh perempuan begitu mendominasi dalam kisah di buku ini, sayang sekali nasib mereka hanyalah sebagai korban dari dominasi laki-laki. Sebuah ironi. Tidak di masa kini maupun di masa lampau, perempuan selalu diposisikan sebagai korban dominasi dan harus pasrah dengan kondisi tersebut.
Basirah dibuka dengan kematian misterius Bolok, si anjing peliharaan, secara menggenaskan. Dari sudut pandang Imi—si anak perempuan, kita kemudian diajak memandang kondisi keluarga kecil yang muram tersebut. Dari sudut polos anak, penulis menggambarkan sosok Mamanya yang memiliki berbagai sikap ganjil. Selain mampu membaca kartu tarot, Mamanya Imi juga jarang bersosialiasi serta suka mengurung diri di kamar. Sekali waktu wanita itu bisa sangat ganas saat marah, tetapi di kali lain sangat lembut kepada Imi. Puncaknya ketika mengetahui Bolok mati, wanita itu hanya membuang begitu saja bangkai anjing itu ke jurang, bukannya menguburkannya di belakang rumah. Padahal, anjing itu sudah mereka anggap sebagai bagian keluarga. Sangat menarik menilai karakter orang dewasa lewat sudut pandang anak kecil yang polos.
“Kenapa orang dewasa harus bersikap tegang setiap kali ada masalah” (hlm. 101)
Dari sekilas membaca, kita bisa tahu kalau wanita ini punya kisah kelam di masa lalu. Dan lewat bab-bab berikutnya, masa lalu inilah yang coba dikupas pelan-pelan oleh penulis. Kematian Bolok hanyalah awal. Cerita selanjutnya bergulir ke belakang lewat sudut pandang Imi dan tetangganya (yang juga perempuan) bernama Nenek Wu. Lagi-lagi perempuan. Nenek ini konon bisa berbicara dengan hantu-hantu. Maka semakin genap pula keganjilan dari keluarga kecil ini. Bagaimana Imi bisa lahir, mengapa ayah dan neneknya tidak pernah mengunjunginya, lalu tentang Nenek Wu yang ternyata memiliki kisah kelabu di masa lalu. Perjalanan itu sampai bahkan sejauh Batavia di masa penjajahan Belanda. Wanita tua itu ternyata juga pernah memiliki anak perempuan yang mirip dengan Imi. Jalinan takdir ternyata membuat rumit apa yang tadinya adalah pola yang beraturan, termasuk nasib manusia.
“Manusia kebanyakan tidak tahan ujian. Tidak mau sedikit bersusah demi mencapai keinginannya.” (hlm 39)
Apa yang awalnya absurb di awal, perlahan mulai terurai menjadi jelas. Imi, mamanya, dan juga Nenek Wu ternyata tidak lebih dari korban penindasan yang dilakukan kaum lelaki terhadap kaum perempuan. Hanya karena masa dan kondisi sosial menempatkan mereka sebagai warga kelas dua, perempuan kemudian menjadi pihak yang selalu dikorbankan. Bahkan ketika mereka tidak menjadi korban secara fisik, mereka harus mengorbankan hatinya (seperti nasib Mamanya Imi dan Layi yang dalam hal cinta pun mereka kembali harus mengalah). Basirah seolah hendak menegaskan kepada pembaca tentang wanita-wanita yang terbelenggu keinginan dan kebebasannya hanya karena mereka terlahir sebagai perempuan di negeri yang sayangnya tidak memihak perempuan.
Sebuah novel yang muram, sarat pekik jerit tertahan dari para karakternya. Tetapi, Basirah ditulis dan disunting dengan bagus. Ceritanya mengalir indah, pelan namun menghanyutkan. Tiba-tiba saja pembaca akan jatuh hati kepada kepolosan Imi, dan kemudian menaruh simpati kepada hampir semua tokoh-tokoh di dalamnya. Saya suka dengan kalimat-kalimatnya yang mirip cerpen koran tetapi tidak kaku. Diksi dan penyampaian amanatnya juga halus sekali, sedikit mengingatkan kita pada karya-karya susastra dari ranah Sumatra. Lebih dari itu, Basirah menyentil kesadaran kita—pria maupun wanita—tentang nasib tidak adil yang pernah atau bahkan masih menjerat banyak perempuan di negeri ini. Laki-laki dan perempuan diciptakan berbeda, tetapi keduanya setara. Sayangnya, masih banyak yang menganggap wanita sebagai mahkluk kelas dua. Mari lawan!
“Hati yang terbuka lebar dapat membuat pemiliknya mudah merasa bahagia.” (hlm. 61)
bingung. mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan kondisiku ketika baca buku ini. di bab 1-3 malas sekali rasanya melanjutkan buku ini, baru memasuki bab 4-6 aku terhanyut oleh isi cerita. novel ini, apa ya, tidak ada dialog, tapi ada(?) karena di novel ini ada percakapan, tapi tidak ada tanda kutip yang menandakan itu sebuah dialog. dialognya hanya muncul ketika flashback di sudut pandang nenek wu. dan aku merasa kasihan sekali sama nenek wu, hidupnya sungguh malang. dan ya... endingnya, aku tidak bisa membayangkan jadi mama imi, ditinggal sebegitu lamanya, tanpa kepastian apakah anaknya masih hidup atau tidak.
buku ini bisa dibaca di ipusnas.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Menjadi seorang anak kecil, tumbuh tanpa mengenal sosok ayah, bukan sebuah masa yang mudah dilewati. Bukan hanya tanpa ayah, tapi juga tanpa nenek, kakek, dan anggota keluarga lain, bagi seorang Imi, tokoh utama dlm cerita Basirah.
Mengambil judul "Basirah", dg ilustrasi kover tubuh wanita, yg di dalamnya bermunculan gambaran gugusan planet, gunung, matahari, bintang, seurai tanaman, serta sebuah gerbang dg latar pemandangan, sedikitnya membuat ekspektasi pembaca ini novel mengaitkan dg dunia di luar manusia. Di luar logika.
Novel ini singkat, kurang dr 200 hlm, dan terdiri dr 6 bagian. Pembukaannya menarik, "Siapa yang menumpahkan cat merah di langit itu?". Dari sini, saya menduga ini akan jd kisah surealis. Menarik.
Sebagai pembaca, saya mulai punya ekspektasi. Diawali dr alur yg dibuat penulis ttg seorang perempuan yg 'berprofesi' sbg pembaca kartu tarot. Tentu saya ingin tahu, bagaimana kehidupan seorang pembaca tarot, dan apa saja yg akan bisa dilakukannya. Ide ini saya rasa cukup unik, dan menarik utk dikembangkan.
Alur masih menarik, hingga tiba2 berhenti pd kejadian : Bolok tiba2 ditemukan mati. Saya berhenti. Di sini saya merasa plotnya lompat. Ada yg terpotong tiba2 dari adegan sebelumnya. Namun, saya coba ikuti kembali alurnya. Berharap akan ada penjelasan dan keterkaitan dg bbrp hal sebelumnya. Saya ingin tahu, apakah akan dihubungkan dg kemampuannya membaca tarot? Ternyata tidak.
Sambil masih mencari apa arti Basirah yg diangkat sbg judul, saya meneliti bagian2 selanjutnya. Ternyata alur dibawa lebih fokus pd perasaan dan suasana batin seorang anak kecil : Imi. Banyak bagian yg menceritakan situasi di sekeliling Imi, orang2 yg dikenalnya, serta bagaimana ia berusaha 'tangguh' menghadapi kenyataan. Pd bagian ini, saya merasa alurnya berbeda dr yg disajikan di awal.
Bagian tengah, menceritakan ttg latar belakang tokoh lain -- yg tentu punya hubungan dg Imi. Pada 1 bagian ini, hanya fokus menceritakan detail ttg itu. Sempat membuat saya bertanya, apa perlu diceritakan sedetail itu? Mungkin bagi penulis perlu, krn antara Imi dg sang tokoh ada kaitan erat. Namun jika membaca secara utuh, koneksi yg terbangun dlm narasi belum mampu sekuat yg diharapkan.
Hingga sampai akhir, alurnya berbeda sama sekali. Tidak ada kaitan dg tarot, fokus pada konflik Imi, meski memang tetap berada dalam nuansa surealis. Ini...bisa juga dianggap karena saya punya ekspektasi pribadi. Sehingga tidak berjalannya alur sesuai ekspektasi saya pun, sebenarnya bukan sebuah kesalahan atau kekurangan.
Kekuatan novel ini ada pada setting. Mbak Yettiaka dalam bberapa kali membuat gambaran situasi di luar tokoh tampak menarik. Seolah pembaca diajak berkelana ke suatu tempat, diajak melihat sendiri sekitar, dan dikenalkan dg sentuhan lokal yg tidak banyak dibahas.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Kesan saya setelah membaca novel ini justru melelahkan. Alasannya karena penggunaan kalimat tidak langsung membuat pembaca butuh ekstra perhatian untuk memahami narasinya. Ditambah setiap paragrafnya lumayan panjang-panjang. Selain itu, novel ini terbilang 'unik yang berat' karena dua hal. Satu, penggambaran situasi Kota Basirah yang sepi dan menyeramkan. Lumayan susah dibayangkan karakter kotanya. Dua, tokoh-tokoh yang menonjol punya keunikan yang tidak umum. Mama berprofesi pembaca kartu tarot, Imi yang pikirannya liar tidak sesuai umurnya, Paman Pohon yang penolong tapi tidak jelas gambaran besar kehidupannya, Nenek Wu yang memilih menjadi pendiam dan punya ciri seperti nenek sihir, dan Bolok, anjing peliharaan yang berbadan besar yang setelah kematiannya suka muncul di benak Imi sebagai hantu.
Basirah adalah novel pertama karya Yetti A.KA yang tuntas saya 'lahap'. Rasanya melankolis dengan jerit tertekan kaum perempuan, baik fisik maupun batin. Awal cerita sangat absurd dengan sudut pandang anak kecil dengan pikiran polos dan kejadian janggal yang melingkupi. Pertengahan cerita, benang-benang kusut perlahan diurai dengan kilas balik masa lampau. Kisah kelam para perempuan, korban kebangsatan para lelaki hadir mendominasi. Yah, bisa dibilang bias gender. Novel ini seakan menyentil kesadaran kita tentang nasib tidak adil yang pernah atau bahkan masih menjerat banyak perempuan di negeri ini. Akhir ceritanya pas, dan 'bumbu-bumbu' surealis yang terselip memberikan sensasi tersendiri.
ANEH... BINGUNG... aku gatau harus gimana deskripsiinnya... I LOVEEEEE the writer's writing style so MUCH. found this book accidentally on an indie bazaar book in my little hometown. aku jatuh cinta banget sama cover dan sinopsis di belakang buku. kayak ke sihir, aku ambil dan beli tanpa pikir panjang. and it turns out, it's really worth my 25k t_____t
membaca buku ini sedikit menbuat sesak di dada, ketika membaca masa lampau dari para karakternya. malang nasib para karakter perempuan di buku ini tertulis dengan apik, sehingga saya bisa merasakan sesak saat membaca ini.
i'm waiting for my chance to read more from this author!!! <3 thank you for this amazing masterpiece!!