Saking spesialnya buku puisi ini sampai saya jadikan paper untuk studi master of Cultural Studies saya. Metafora yang digunakan ketat dan konsisten sepanjang buku. Sebuah refleksi diri yang sangat peka dengan ketimpangan kelas dan generasi, dan bagaimana berada di antaranya, berjalan bolak-balik tanpa pernah benar-benar merasa nyaman. Relate banget dengan kegusarannya dan ikutan meringis di petikan petikan patah hatinya.
Saya tak bisa menikmati satu pun puisi dalam buku ini. Entahlah, penggunaan kata-katanya, trus saya gak nangkep apa yg hendak sampaikan penulis dalam puisi-puisi di buku ini.
update di 2022 Baca lagi dan memang sulit ternyata buat saya untuk memahami puisi-puisi dalam buku ini, saya kembali mengulang baca dan memang masih saja tidak mudah. Kumpulan puisi ini tipe yang mengajak untuk mikir, apa sebenarnya yang dipikirkan penulis, apakah ini maksudnya? apakah begitu? Walau begitu, saya menemukan judul yang menurut saya bisa saya coba artikan sendiri, yaitu: Merogoh Keramaian.
Hampir tertipu dengan warna salem terang yang menghiasi sampul buku. Dikira buku ini akan menawarkan puisi menye-menye yang membikin hati berbunga-bunga. Rupanya pembaca dibuat jatuh cinta dengan cara bertutur Farhanah yang sarkas apa adanya!
Masuk Toko Keluar di Tokyo menyuguhkan 80 halaman berisi cerita-cerita, hiruk pikuk, ketimpangan kelas, fenomena sosial, keresahan akan hal-hal yang terjadi di sekitar, serta misuh-misuh estetis yang dibalut dalam bentuk bait puisi. Permainan metafora di sepanjang pengalaman membaca sungguh melatih kita untuk lebih kritis ketika berasosiasi sana-sini. Saat dibaca memang cukup menantang, tapi aku merasa buku ini spesial dan punya kekhasan yang nggak ditemui di buku-buku puisi lain. Penyair jadi dirinya apa adanya. No jaim-jaim. No mleyot-mleyot.
Predikat favorit aku sematkan ke 5 puisi ini: 1. Trackpad Ini Berminyak 2. Perjanjian Setan 3. Ngontrak 4. Semangkuk Sup 5. Sepertinya
Membaca buku ini mungkin nggak bisa diburu-buru. Boleh dibaca ulang bila ragu dan merasa perlu. Yang pasti, isi buku puisi ini nggak mengada-ngada. Rasanya, pembaca bisa menemukan ceritanya sendiri-sendiri di sebagian puisi Farhanah.
Salah satu buku puisi yang tidak cukup dibaca sekali karena kecantikan isinya jauh dari kata membosankan, dangkal, dan kosong. Masuk Toko Keluar di Tokyo seperti bangun tidur, melakukan pekerjaan sehari-hari, berangkat tidur lagi sambil membayangkan perasaan-perasaan berat bisa diringkas ke dalam bait puisi. Berharap jadi sesuatu yang lebih mudah dipahami kadang juga jenaka. Misalnya seperti puisi berjudul Ulat Lapar. Seorang penulis agaknya terkena kebuntuan menulis. Ia bayangkan dirinya sebagai seekor ulat tiba-tiba tak lagi bisa memasak lalu menangis karena gagal dalam mencobanya.
Puisi tidak melulu tentang mengandaikan keindahan tanpa kehilangan kecantikannya.
Fani membuktikan bahwa puisi-puisi bermakna cengeng bisa dituturkan dengan pilihan kata yang sebaliknya. Bersampul merah muda pastel yang romantis, kumpulan puisi ini bukan membawakan perasaan-perasaan yang berbunga-bunga nan bahagia bagai pink rose. Puisi-puisi begitu gagah berdiri dan tanpa tedeng aling-aling menghajar setiap insan yang membacanya. Kau tidak akan tahu bahwa mereka diciptakan oleh seorang perempuan bilamana buku ini tidak mencantumkan nama pengarangnya.
Buku yang penting untuk merayakan kesepian, kekecewaan, kebodohan, dan keangkuhan dengan cara gagah berani dan penuh sarkasme! Suka!
P.S. Aku masih bertanya-tanya siapa Waldo yang Fani rujuk dalam "Cangkir Bocor" pada halaman 6. Memoriku merujuk pada satu episode Black Mirror yang berjudul "The Waldo Moment". Apakah itu dia?
Kita semua sedang diam-diam Takut-takut memusuhi kesendirian Yang meleleh di jok samping kita Di atas taksi yang kita naiki menuju pinggir kota
Luar biasa, Farhanah. Puisi-puisimu penuh dengan sarkasme. Keresahannya menyerang secara tiba-tiba. Aku bisa membayangkan puisi-puisimu ini merekam seluruh kegiatanmu dari bangun tidur hingga terlelap lagi di suatu hari.
Beberapa yang jadi kesukaanku: - Berbau Koloni - Kaus Kaki Basah - Satu Inci dan Dua Gigabytes Lebih Muram - Trackpad Ini Berminyak - I'm Not That Deep I'm A Well
Nggak bisa bilang apa-apa soal yang selain dari lima itu tapi aku pikir Kak Farhanah suka bubur dan ulat kelaparan, dan benci daun seledri.
Sudah baca ini sejak 24 Agustus 2019. Kemarin tahun baru kubaca ulang, just to remind me a memory with somebody that I used to know. The rest is so painful and traumatic. The scar is forever. Thus, I give it 2 stars to compensate the pain this book inflicted to me. Sorry.
Saya tidak pernah beli buku puisi, sekalinya pengen beli karena liat bookstagramer yang saya follow di IG memoto halaman buku ini. Puisinya nyentrik-nyentrik, kata-kata yang dipakai sebagian besar benda-benda disekitar kita dan saya merasa ga nyesel beli buku puisi ini buat pertama kali. Menurut saya, buku ini sangat bisa dinikmati untuk ukuran saya yang tidak pernah punya buku puisi