baru sadar pas buka ternyata isinya kumpulan cerita. pilihan diksi dan alur kata demi kata nya keren banget lah. namun lama-lama menjadi terlalu monoton karena hampir diseluruh cerita menceritakan hal yang hampir sama dengan cerita sebelumnya.
Awal membacanya kita suka dengan permainan kata kata Wira yang puitis gombalis kekinian. Malah mungkin lebay hiperbolis. Tapi saya kan hanya pembaca bukan kritikus buku. Justru model penulisan yang beginian membikin nggak bosen membaca dan pikiran kita ikut mencari atau nebak apa sih sebenernya bahasa mudahnya.
Background nya dari suasana hati yg susah move on karena ditinggal menikah oleh pujaan hati yang belum sempet jadian sifatnya sangat universal dan punya rentang waktu yang panjang. Yang punya kisah lama pasti akan mudah terbawa kembali oleh curhatan buku ini. Sampai diakhir buku, nggak ada konflik ataupun alur cerita yang mengalir. Saya merasa pengulangan pengulangan situasi yg berbeda dengan variasi pemilihan kata namun intinya tetap curcol yang sama seperti kita sedang dijadiin tumpahan teman yang terus ngomel dengan alasan yang sama.
Saya rasa jika ada kisah awal tengah dan akhir yang terjalin mungkin akan membuat saya menilai lebih baik lagi.
"menangislah, santaikan, luapkan. terkadang, air mata itu anugerah bagi setiap hati yang patah."
aku sendiri bukan tipikal pembaca buku puisi atau sajak romansa, dan buku berjumlah 144 hlm ini merupakan buku pertama wira nagara yang aku baca, namun buku ini cukup bikin baper membaca beberapa bab nya.
buku ini mengajak pembacanya untuk mentertawakan patah hati guys, jadi yaa menurutku cocok bagi pembaca yang sedang mengalami itu atau sedang mencoba meromantisasi patah hati itu sendiri, bahwa patah hati gak melulu harus ditangisi dan diratapi, kadang itu merupakan anugrah juga yang perlu disyukuri.
"menangislah, santaikan, luapkan. terkadang, air mata itu anugerah bagi setiap hati yang patah."
aku sendiri bukan tipikal pembaca buku puisi atau sajak romansa, dan buku berjumlah 144 hlm ini merupakan buku pertama wira nagara yang aku baca, namun buku ini cukup bikin baper membaca beberapa bab nya.
buku ini mengajak pembacanya untuk mentertawakan patah hati guys, jadi yaa menurutku cocok bagi pembaca yang sedang mengalami itu atau sedang mencoba meromantisasi patah hati itu sendiri, bahwa patah hati gak melulu harus ditangisi dan diratapi, kadang itu merupakan anugrah juga yang perlu disyukuri.
Harusnya cukup Distilasi Alkena saja tempat bersedih dan berkumpulnya kenangan soal mantan, gak perlu lagi hal yang sama ditulis lagi dalam buku ini.
Saya pikir buku ini akan jadi titik balik Wira bercerita soal move on, atau berpindah ke cerita memulai dengan yang lainnya, tapi tidak. Terlalu lama waktumu untuk larut dalam kubangan kenangan yang kau tau itu menyakitkan, dan membuat pembaca sepertiku bosan.
Buku ini berhasil bikin aku nangis sih. Engga tau kenapa, rasa "patah hati"nya lebih kerasa pas nyampe di buku ini.. Padahal, antara buku pertama dan buku kedua kan sama-sama patah hatinya..
Untuk yang pernah atau sedang mencintai seseorang dalam diam, kudu banget baca buku ini. Sorry, kedua bukunya.
Saya tak bisa menyelesaikan buku ini karna isinya memang kebanyakan kata kata yang puitis seorang yang telah patah hati dan ditinggal oleh seseorang, saya membeli buku ini karna orang ini cukup saya kenal sebagai stand up komedian dan akhirnya saya tertarik untuk membelinya. Jadi saya memutuskan untuk tidak lanjut membacanya.
Gak jauh beda sama buku pertama. But this is better than before. Lebih ada greget buat ngetawain patah hati. Seenggaknya lebih merasa hidup karena meski patah hati itu tentang kesengsaraan, tapi kadang juga perlu diketawain. Rangkaian babnya juga berasa lebih rapi dan terkonsep. Kemajuann👌
pas baca buku ini.. ga dapet feelnya.. mungkin karena aku sendiri belum ikhlas.. masih belum bisa menyelesaikan urusan hati yang ternyata belum usai.. tapi setelah aku berada diposisi untuk melepaskan dan mengikhlaskan.. aku mengerti apa yang tertulis
Kalimat yg kekinian nan apik menghantar pembaca lebih mudah mencerna dan sangat dekat dgn keseharian. Semoga kita dapat merayakan kesedihan dan semua perasaan kebingungan dgn cara masing masing. "Cepat sembuh dan ceria kembali", pesan ku.
Aku suka sebenarnya pilihan diksinya banyak yang keren tapi ceritanya kek diulang-ulang menurutku jadi monoton.
Tapi apalah daya, ini buku kek curhatan penulis yang cintanya terpatri terlalu dalam yang ujung-ujungnya hanya jadi tempat transit semata bukan tujuan akhir si pujaan hati yang didamba
Pemilihan kata agar menjadi ber-rima mangaburkan apa yg mau di utarakan. Makin lama seperti dipaksakan. Apa harus patah hati dulu membaca ini agar paham?
Buku pertama dari Wira Nagara yang saya beli dan langsung membuat saya jatuh cinta setelah membaca sajak-sajak yang ditulis oleh beliau. cuman bisa bilang KEREN hahah
sama seperti buku yang sebelumnya, pengalaman dan cerita yang tertulis menggunakan susunan kalimat yang lucu dan menggelikan, banyak juga diksi-diksi indah yang tak kukenali. namun tetap saja, buku ini memang tidak ditujukan untuk pembaca sepertiku, karna aku mudah merasa bosan ketika membaca halaman demi halamannya..?
Disforia Inersia by Wira Nagara is a poetic and introspective exploration of the human condition, delving into the themes of existential anxiety, longing, and the struggle to find meaning in a rapidly changing world. Known for his lyrical and evocative prose, Wira Nagara once again captivates readers with his ability to convey deep emotions and complex thoughts through beautifully crafted language.
The title, Disforia Inersia, captures the essence of the novel’s thematic focus—dysphoria, a sense of unease or dissatisfaction, and inertia, the resistance to change. These concepts are intricately woven into the narrative, reflecting the internal conflicts faced by the characters as they navigate their lives. Wira Nagara uses these themes to explore the tension between the desire for change and the fear of the unknown, creating a story that resonates with readers on both an emotional and intellectual level.
Wira Nagara’s writing is, as always, rich in metaphor and symbolism. His ability to create vivid imagery and draw readers into the emotional landscapes of his characters is one of the novel’s strongest points. The narrative is deeply introspective, focusing on the characters’ inner worlds and their struggles with identity, purpose, and belonging. This focus on internal experiences makes the novel a reflective and often poignant read.
The characters in Disforia Inersia are complex and multifaceted, each grappling with their own form of dysphoria and inertia. Wira Nagara skillfully portrays their internal battles, making their struggles feel authentic and relatable. The novel doesn’t shy away from exploring darker themes, but it does so with a sense of empathy and understanding that invites readers to engage with the characters’ journeys on a personal level.
However, the novel’s abstract and metaphorical approach may not appeal to all readers. The prose, while beautifully written, can be dense and challenging at times, requiring readers to actively interpret and engage with the text. Additionally, the narrative’s focus on introspection and internal conflict means that the pacing can be slow, with less emphasis on plot-driven action.
Despite these potential challenges, Disforia Inersia is a rewarding read for those who appreciate literature that delves into the complexities of the human experience. Wira Nagara’s ability to blend poetic language with profound philosophical insights makes this novel a thought-provoking exploration of existential themes.
Overall, Disforia Inersia is a beautifully crafted and emotionally resonant novel that will appeal to readers who enjoy introspective and symbolic storytelling. Wira Nagara’s unique voice and lyrical style make this book a standout in contemporary Indonesian literature, offering a deep and reflective exploration of the struggles we all face in finding meaning and purpose in life. It’s a novel that invites readers to look inward and consider their own experiences with change, longing, and the pursuit of self-understanding.