“Kalau Kakak tidak cinta dia, kenapa Kakak mau kawin sama dia?”
Wajah Halijah terangkat. Gadis cilik berusia empat belas tahun itu menoleh ke arah adiknya. Mata bagusnya menatap Ai dengan tatapan sayang. Di mata bagusnya kini terekam tangan Dus yang bengkak kemerahan dan bilur-bilur kebiruan akibat pukulan sapu lidi Ibu Jawa, Ai yang menangis keras akibat hinaan Mamak Nur karena kedapatan memakai celana dalam bekas Wening, juga mereka sekeluarga yang kerap makan bubur nasi encer yang tak mampu membuat kenyang siapa pun.
Halijah mengerjapkan matanya, berharap bayangan itu segera lenyap dari pikirannya. Tapi, semakin keras ia berusaha, semakin nyata bayangan itu menghantuinya. Maka, dengan nada setenang angin sore itu, Halijah pun menjawab, “Kalau aku bisa membuat kita tidak lapar dengan menikahi laki-laki tua itu, tidak ada yang jelek dengan itu. Sama sekali tidak ada yang jelek.”
Bercerita tentang kehidupan para pendatang di Kota Jayapura, Gadis Pesisir menampilkan keberagaman suku dan budaya masyarakat Indonesia pada awal 1970-an. Latar perkampungan nelayan dipilih sebagai usaha kritiknya atas perekonomian, pendidikan, dan kehidupan sosial masyarakat di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan. Halijah, gadis cilik berdarah Bugis yang merupakan tokoh sentral cerita, menjadi representasi kehidupan anak para nelayan miskin yang tergaris nasibnya dan terbatas pilihannya.
Sebuah kampung nelayan miskin di Kota Jayapura mendadak riuh ketika didatangi seorang polisi. Berita menyebar cepat. Supri, sang polisi berumur 30-an, rupanya sedang mencari calon istri. Para orang tua yang memiliki anak gadis segera menyadari bahwa momen ini adalah kesempatan langka untuk menaikkan taraf hidup mereka. Setidaknya inilah kesempatan mereka mendapat kepastian memperoleh makanan dengan layak setiap hari. Selama ini hidup mereka selalu bergantung kepada hasil laut yang tak pernah cukup untuk mengenyangkan perut seluruh anggota keluarga.
Mamak Nur, seorang istri nelayan yang cukup berada di kampung tersebut, dipercaya untuk mengenalkan para gadis lajang kepada Supri. Namun tak ada satu pun gadis yang menarik perhatian Supri. Ia justru jatuh cinta kepada Halijah, seorang gadis kurus berumur 14 tahun, yang tak sengaja dilihatnya saat terjadi insiden kebakaran di kampung tersebut. Supri mengingat Halijah sebagai gadis bermata indah meski keseluruhan penampakan gadis tersebut bak anak kekurangan gizi.
Sekali lagi kampung nelayan gempar. Bagaimana mungkin dari beberapa kandidat potensial, Supri malah memilih Halijah. Semua orang tahu siapa Halijah. Ia adalah anak tertua dari Bapak Umar, si nelayan miskin asal Ambon. Keluarga Halijah selalu dilanda bencana kelaparan. Hidup mereka hanya bergantung dari hasil laut sang kepala keluarga yang mengandalkan seonggok perahu dengan layar bekas karung goni. Ikan yang berhasil ditangkap hampir tidak pernah banyak, padahal di rumah ada banyak mulut yang harus disuapi. Selain Halijah, masih ada 4 adiknya yang sama kekurangan gizi seperti dirinya. Bahkan Mamak mereka pun sedang hamil lagi pula.
Kelaparan adalah pengalaman yang paling sering dirasakan Halijah dan adik-adiknya. Dus, adik laki-lakinya bahkan sering kedapatan mencuri makanan tetangga karena hampir tidak pernah merasakan sensasi kenyang. Kehidupan miskin inilah, ditambah pandangan remeh para tetangga, yang membuat Halijah bertekad akan mengambil kesempatan pertama, apapun itu, untuk menaikkan taraf hidup keluarganya. Termasuk menerima pinangan Supri yang umurnya dua kali lipat dari dirinya itu.
*
Konon, twitter dipenuhi orang-orang dengan suicidal thought. Ada banyak user twitter yang kepingin mati aja karena, salah satu alasan yang cukup sering terdengar, tumbuh di keluarga abuse. Keberadaan mereka sebagai anak seakan disia-siakan oleh orang tua sendiri padahal manusia mana yang pernah minta dilahirin?
Saya keingetan twitter sewaktu membaca kisah Halijah. Kalau Halijah adalah generasi Z pengguna twitter masa kini, dia bisa jadi bakal punya suicidal thought juga. Frustasi banget pasti dia dengan kemiskinan menahun sementara orangtuanya nggak berhenti memproduksi anak. Sehari-hari orangtuanya cuma sanggup memberi makan kelima anak mereka dengan bubur encer yang lebih banyak airnya ketimbang berasnya. Nasi padat adalah sebuah keistimewaan yang jarang didapat. Lauk ikan juga. Makan telur apalagi. Sudah begitu setiap hari gadis kerempeng hitam legam ini masih dibebankan tugas mencuci pakaian pula. Pun dengan mengurus adik bayinya yang terduga menderita keterbelakangan mental akibat kekurangan gizi semenjak dalam kandungan.
Inilah potret kehidupan orang Indonesia puluhan tahun sejak menyatakan kemerdekaan. Bahkan praktik menolak KB dengan alasan agama seperti yang dikemukakan Bapak Umar, kita ketahui masih banyak dilakukan orang-orang Indonesia jaman sekarang. Di negeri ini pasti banyak Halijah-halijah lain, yang tersia-siakan gara-gara pemahaman sempit orang tua mereka terhadap agama.
Di luar kehidupan keluarga Bapak Umar yang seperti mendapat durian runtuh ketika mendapat lamaran seorang polisi, buku Gadis Pesisir juga mengangkat banyak isu lainnya. Penulisnya yang memang sempat tinggal di Jayapura bercerita pula tentang program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah demi percepatan pembangunan di Irian. Ada kisah Ibu Jawa, si transmigran. Namun ada pula transmigran yang kurang beruntung menjual hasil bumi dari tanah-tanah yang diberikan pemerintah kepada mereka. Kesenjangan sosial tercetak nyata di sudut kampung nelayan miskin itu. Lingkaran setan kemiskinan berputar terus di dalam masyarakat yang belum memahami pentingnya pendidikan. Anak-anak gadis terutama sudah tahu bahwa mereka akan berakhir sebagai istri nelayan miskin yang tak berhenti beranak-pinak.
Buku Gadis Pesisir bukan buku paling bagus yang pernah saya baca. Bahkan bisa dikatakan saya kecewa dengan endingnya yang terkesan terburu-buru. Namun membaca buku ini menggugah selera saya terhadap genre buku. Kalau dulu saya hampir selalu berkutat dengan cerita-cerita masyarakat urban di perkotaan, sekarang saya justru tertarik dengan buku-buku yang mengangkat tema sosial budaya yang sangat lokal. Kisah-kisah begini dekat, dan karenanya sangat nyaman untuk dibaca. Recommended!
Pada awalnya saya suka buku ini.Berkisah tentang kehidupan sebuah keluarga pendatang dari Pulau Seram, yang memutuskan untuk tinggal di Jayapura, demi perbaikan nasib.
Tapi ternyata sepertinya nasib tak berpihak pada keluarga Pak Umar dan 5 anaknya.Sebagai seorang nelayan, pendapatan mereka betul- betul tidak bisa dihatapkan.Banyak hari- hari, dimana yang bisa mereka makan hanyalah bubur encer kebanyakan air dan sup ikan, yang isinya adalah serpih serpih ikan hasil tangkapan tak seberapa.
Anak- anak keluarga ini, khususnya Halijah si sulung yang masih belia( 14 th), harus bekerja keras mengurus keluarga mereka, sementara si ibu sibuk dengan bayi yang' berkelainan" dan kandungannya yang tambah besar dari hari ke hari.Tapi nasib keluarga itu berubah, saat Halija berhasil" menarik perhatian" seorang polisi yang bekerja di sebuah pusdiklat, tak jauh dari kampung nelayan yang mereka tinggali.
Supri, si polisi, yang secara umur lebih pantas jadi paman Halija, berniat menjadikan Halija istri.Hal yang bahkan terpikirkan pun tidak olehnya.Tapi apa yang bisa dia tolak, kalau" imbalannya" adalah kesejahteraan keluarganya? Jadi apakah akhirnya mereka menikah?
Membaca kisah yang bersetting di tahun tahun awal " kemerdekaan" Papua, adalah seperti merasakan perih yang bertubi tubi hinggap, lewat kacamata seorang gadis belia.Cerita yang lentur dan renyah, enak dibaca, tapi dengan ending yang betul betul bikin tanda tanya besar dan terus terang tidak memuaskan saya sebagai pembacanya.Saya seperti mendapatkan sebuah kotak makanan yang isinya saya bayangkan enak, tapi ternyata, isi di dalamnya meleset jauh dari perkiraan.Tanpa ada penjelasan dari sang pemberi.Sayang sekali..
This entire review has been hidden because of spoilers.
Aku kasih bintang tiga soalnya aku kurang suka sama endingnya, terkesan buru2 untuk cepet berakhir, padahal pengenalan kampung dan karakter tiap orangnya aku suka walaupun terkesan lambat karena kita bisa pelan2 membayangkan bagaimana padatnya penduduk di sana dan ketimpangan kesenjangan ekonomi. Mayoritas nelayan, kita akan bertemu dg tokoh utama yg dikenalkan setelah beberapa karakter lainnya. Halijah, gadis berumur empat belas tahun yg kerempeng, hitam dan dari keluarga miskin. Dia sulung dengan empat adik : Aisyah, Dus, Syamsiah dan si bayi. Sang ibu pun masih dalam keadaan mengandung adik kelimanya. Kita akan dibikin jengkel tentang pemahaman si bapaknya Halijah kalau setiap anak punya rejeki masing2, istrinya tidak boleh KB. Uda miskin tapi suka gak mikir untuk makan saja harus jadi bubur dg banyak air, belum lagi si Dus yg terkenal sbg pencuri. Kita akan liat betapa patriarkinya si bapak Halijah. Setiap kampung, pasti ada Si Kaya (di buku ini adl Ibu Jawa), si paling sok berpengaruh tapi juga karena kaya (di buku ini Mamak Nur). Halijah selalu dipandang sebelah mata, tak cantik, tak kaya. Lalu ada seorang laki2, tentara, bernama Supri, mencari calon istri, berumur tiga puluhan, dan pilihannya jatuh ke Halijah. Kenapa? Katanya karena suka dg matanya. Bisakah Halijah menerima pinangan sang tentara ini? Baru dilirik saja hidupnya lumayan dianggap ada oleh orang2 kampung, bagaimana kalau dia sampai jd istri tentara ini? Halijah bisa merasakan nasi, lauk2 dan adik2nya bisa makan dg layak. Tapi oh tapi, Endingnya dibikin hah hah hah karena tiba2 saja begitu pernikahan mereka. Baca deh, biar kalian tau :)
Novel bertema kritik sosial selalu menggugah jiwa saya untuk membelinya. Pada akhirnya memang saya membelinya. Sang penulis menyajikan cerita tentang Halijah, gadis cilik berumur 14 tahun dari keluarga nelayan miskin yang mempunyai banyak adik. Bapaknya menolak program KB. Merupakan pendatang di kota Jayapura. Novel ini menampilkan keberagaman suku dan budaya masyarakat Indonesia pada awal tahun 1970-an.
Suka sama karakter Halijah yang baik hati dan sangat dewasa untuk seusianya. Sebagai pembaca aku dibuat memiliki harapan yang tinggi untuk nasib Lijah kedepannya, tidak menyangka plot twistnya. Hanya saja sangat disayangkan banyak bagian yang kurang penting justru dibuat lebih detail dibandingkan endingnya yang justru menurutku butuh lebih penjelasan. Overall aku sangat menikmati membaca buku ini.
buku ini tidak hanya membahas tentang adat istiadat dan budaya masyarakat irian, isu sosial dan ekonomi pada masa itu juga dikemas begitu unik. bagi saya, buku ini cukup menarik walaupun dengan perkembangan karakter yang cukup lambat.
Satu yang tidak akan pernah saya lupakan dari buku ini, bagaimana penulis dengan detail dan blak-blakannya, menceritakan tentang sebuah keluarga dengan lima anak yang sulit untuk sekedar makan satu kali sehari dengan kenyang dan layak. Wajah kemiskinan ekstrim yang membuat saya gagu dan sama sekali kehilangan kata-kata ketika diperhadapkan pada kisahnya.
Di balik itu, ada cerita tentang kesenjangan sosial-ekonomi pula yang sangat sulit untuk dijembatani, antara "yang bisa makan kenyang, layak (dan bahkan berkelimpahan)" dengan yang tak bisa makan kenyang dan layak.
Membuat saya bertanya-tanya pula, ada berapa keluarga yang mengalami hal demikian di seluruh tanah pusaka Indonesia kita, khususnya di tengah krisis ekonomi dalam pandemi panjang ini? :((