Jump to ratings and reviews
Rate this book

Perempuan Bersampur Merah

Rate this book
Tragedi tahun 1998 tidak akan pernah hilang dari ingatan Sari. Tak hanya kehilangan bapak yang tertuduh sebagai dukun santet, Sari juga kehilangan paman sekeluarga—yang seketika pergi meninggalkan kampung lantaran mendapat stigma.

Untuk mencari jawaban atas kematian bapaknya, Sari menuliskan daftar nama orang yang ikut mengarak pembantaian bapaknya pada selembar kertas. Karena mengharapkan bantuan, ia bagikan kertas tersebut kepada dua sahabatnya, Rama dan Ahmad.

Pencarian itu rupanya tidak hanya membawa Sari bergabung dalam sanggar tari gandrung yang penuh rahasia, tetapi juga mengubah persahabatan Sari-Rama-Ahmad menjadi kisah cinta yang rumit. Cinta yang akhirnya menuntun mereka bertiga kembali pada tragedi di tahun kelam itu.

216 pages, Paperback

First published January 7, 2019

25 people are currently reading
324 people want to read

About the author

Andaru Intan

9 books18 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
54 (12%)
4 stars
217 (50%)
3 stars
142 (32%)
2 stars
14 (3%)
1 star
5 (1%)
Displaying 1 - 30 of 125 reviews
Profile Image for ucha (enthalpybooks) .
201 reviews3 followers
January 7, 2019
Apa pengalaman kalian ketika tragedi menimpa negri ini sekitaran tahun 1998 ?

Masih teringat jelas dalam ingatan saya bagaimana kami yang duduk di sekolah menengah berasrama di kota kecil Jawa Tengah, beberapa malam harus berjaga-jaga karena desas-desus kerusuhan akan memasuki kota kami dari arah Yogyakarta. Memang tidak semengerikan kerusuhan yang terjadi di Jakarta, tapi rasa takut menyeruak dimana-mana. Sepanjang 1998, teror terus ada terutama isu ninja yang beredar dan banyak pembunuhan terhadap yang dikira dukun santet di daerah Banyuwangi, semua berita beredar lewat tabloid-tabloid baru yang bermunculan kala itu.

Bagaimana cara agar masyarakat tetap mempunyai ingatan kolektif akan tragedi agar tidak berulang lagi. Urvashi Butalia lewat bukunya “Sisi Balik Senyap” menggunakan “oral history” dengan mewancara dalam kurun waktu sepuluh terhadap orang-orang terpinggirkan yang paling terdampak dalam kekacauan besar pemisahan India dan Pakistan. Dokumentasi pada tragedi kemanuasiaan yang berdampak pada jutaan jiwa. Cara lainnya adalah adanya penulis yang mengangkat tragedi kemanusiaan menjadi latar belakang cerita dalam karyanya.

"Perempuan Bersampur Merah" adalah novel terbaru dari Intan Andaru yang mengangkat isu sosial maraknya pembunuhan terhadap yang terduga sebagai dukun santet di Banyuwangi. Kisah mengenai 3 insan utama (Sari, Ahmad dan Rama), di mana masa kecil mereka berubah setelah tragedi di desa dan mempengaruhi kehidupan mereka setelahnya. Cerita yang disajikan dengan teknik alur maju-mundur berdasarkan bab-bab pendek berbeda tahun cukup enak dibaca dan bisa ditamatkan dalam satu hari. Sungguh menarik mengikuti kisah Sri mulai dari cinta masa kecil, duka ayahnya, dendam amarah dan bagaimana berdamai terhadap kehilangan dengan menari Gandrung.

Ini sepertinya novel kedua yang berlatar belakang santet Banyuwangi (setelah Kerudung Santet Gandrung). Salah satu novel penting yang layak dibaca agar jadi pengingat bagaimana “stigma” sudah terlalu lama (mulai dari penyihir zaman abad pertengahan, komunisme, premanisme, dll) jadi alasan manusia untuk menghilangkan nyawa manusia lainnya.

Terima kasih untuk Didiet yang telah mengenalkan novel ini dan juga @sukutangan akan sampul keren ini.

Novel ini terbit resmi hari ini.

Selamat !
Profile Image for Marina.
2,035 reviews359 followers
January 18, 2019
** Books 06 - 2019 **

3,8 dari 5 bintang!

Jujur ini kali pertama aku membaca karya mbak Intan dan jatuh hati sama pemilihan temanya yang tidak biasa dimana membahas tentang kasus dibunuhnya orang yang dicurigai dukun santet dan adanya ninja menyelinap didesa-desa yang berlokasi di Banyuwangi tahun 1998. Biasanya cerita mengambil tema di Jakarta di jaman tragedi semanggi dan trisakti berdarah. Jadi topik yang diambil berbeda dari biasanya dan itu hal yang bagus!

Selain itu menceritakan kebudayaan Banyuwangi yang sebelumnya saya tidak ketahui yaitu tentang tari Gandrung! Habis membaca buku ini saya jadi tertarik akan mencari-cari kesenian Banyuwangi lebih jauh XD

Terimakasih Gramedia Digital Premium!
Profile Image for Fahri Rasihan.
478 reviews123 followers
November 17, 2020
• Judul : Perempuan Bersampur Merah
• Penulis : Intan Andaru
• Penyunting : Dwi Ratih
• Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
• Terbit : 7 Januari 2019
• Harga : Rp 70.000
• Tebal : 216 halaman
• Ukuran : 13.5 × 20 cm
• Cover : Softcover
• ISBN : 9786020621951

"𝒀𝒂, 𝒔𝒐𝒂𝒍𝒏𝒚𝒂 𝒂𝒌𝒖 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒂𝒏𝒂𝒌 𝒌𝒆𝒄𝒊𝒍. 𝑨𝒌𝒖 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒑𝒆𝒓𝒋𝒂𝒌𝒂. 𝑳𝒆𝒍𝒂𝒌𝒊 𝒑𝒆𝒓𝒋𝒂𝒌𝒂 𝒊𝒕𝒖 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒎𝒊𝒍𝒊 𝒈𝒂𝒅𝒊𝒔." (hal. 39)

Tragedi yang terjadi di tahun 1998 tidak akan pernah Sari lupakan. Bagaimana tidak tepat di tahun tersebut bapaknya meninggal dihakimi masa. Bapak Sari dituduh sebagai dukun santet oleh masyarakat sekitar dan diarak keliling desa hingga meregang nyawa. Nyatanya bapak Sari hanya seorang dukun suwuk yang membantu menyembuhkan tetangga-tetangganya yang sedang sakit. Entah ada kabar burung dari mana tuduhan bahwa bapak Sari seorang dukun santet. Tidak hanya menimpa bapak Sari saja, tapi beberapa dukun hingga guru ngaji pun turut menjadi target sasaran "ninja" untuk dilenyapkan. Sari sendiri dihantui trauma atas kematian bapaknya tersebut. Di mana sebelum bapaknya dimakamkan Sari sempat melihat jasadnya yang mengenaskan. Sari bertekad untuk mencari siapa saja pelaku pembunuhan yang mengarak bapaknya. Di antara kerumunan orang-orang itu Sari ingat betul ada beberapa orang tetangga di desanya. Ia pun menuliskan nama-nama tersangka dalam selembar kertas. Sari turut mengajak dua sahabatnya, Ahmad dan Rama, untuk turut serta menyelidiki pembunuh bapaknya.

Nyatanya penyelidikan Sari belum membuahkan hasil. Mau tidak mau Sari harus masuk ke dalam sebuah sanggar tari gandrung yang dimiliki oleh Mak Rebyak. Mak Rebyak merupakan narasumber yang dapat menjadi sumber informasi untuk salah satu tersangka yang Sari curigai. Akan tetapi di sana Sari justru malah mendalami tari gandrung khas Banyuwangi. Sari sendiri harus membayar uang sejumlah dua puluh ribu rupiah setiap bulannya untuk bisa berada di sanggar tari Mak Rebyak. Tari gandrung ternyata menjadi kegiatan yang tak disangka-sangka dinikmati oleh Sari. Sari sendiri dipercaya untuk mengikuti festival tari oleh Mak Rebyak dengan sampur merahnya. Di tengah kegiatan menari dan mencari tersangka pembunuh bapaknya, Sari turut dilanda dilema cinta dengan dua sahabatnya, Ahmad dan Rama. Di satu sisi ada Ahmad yang selalu ada untuk Sari, tapi di sisi lain hati Sari memilih Rama yang pada dasarnya tak mudah dijangkau. Semua intrik tersebut pada akhirnya membawa Sari pada sebuah fakta yang menghubungkan itu semua, yaitu tragedi pembunuhan bapaknya. Siapa pada akhirnya yang akan dipilih oleh Sari? Bisakah Sari menemukan pelaku pembunuhan bapaknya?

"𝑩𝒖𝒌𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒓𝒂𝒔𝒂 𝒌𝒆𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒕𝒂𝒌 𝒂𝒅𝒂 𝒐𝒃𝒂𝒕𝒏𝒚𝒂?" (hal. 94)

Mengenang atau belajar tentang sejarah akan jauh lebih menyenangkan jika diselipkan dalam sebuah fiksi. Contohnya seperti Perempuan Bersampur Merah yang dapat mengeksekusi sejarah dan fiksi dengan baik. Jujur saya sendiri baru mengetahui jika pada tahun 1998 ada sebuah tragedi kejadian pembantaian di Banyuwangi. Pembantaian itu mengincar orang-orang yang dicurigai sebagai "dukun santet". Jika tak membaca Perempuan Bersampur Merah mungkin saya sendiri tidak akan pernah tahu akan sejarah yang sangat kelam ini. Perempuan Bersampur Merah selain memiliki daya pikat dalam segi cerita, cover bukunya pun memiliki daya tariknya sendiri. Ilustrasi hasi dari sukutangan terlihat amat apik dan artistik. Sedikit banyak gambar gadis yang terlilit sampur merah sudah mewakili tokoh Sari dengan baik. Ekspresi yang menutup mata memperlihatkan luka dan beban yang Sari tanggung akibat kematian bapaknya. Sampur merah yang melilit leher Sari dibuat secantik mungkin dengan motif yang indah. Latar berwarna biru semakin menguatkan kesedihan yang dirasakan oleh Sari.

Mungkin pada intinya Perempuan Bersampur Merah menitikbertakan ceritanya pada romansa antara Sari, Rama, dan Ahmad. Namun, latar sejarah tentang pembantaian di Banyuwangi pada tahun 1998 menjadi kekuatan dalam novel ini. Kisah Sari yang menyaksikan secara langsung bapaknya meregang nyawa akibat dituduh sebagai dukun santet membuatnya bertekad untuk mencari tersangka di balik pembunuhan tersebut. Berbekal secarik kertas bertuliskan nama-nama orang yang dicurigai sebagai tersangka, Sari memulai penyelidikannya bersama Ahmad dan Rama. Nyatanya Sari malah terlibat dalam sebuah romansa bersama dua sahabatnya tersebut. Intan Andaru memberikan sebuah cerita yang ringkas dan sederhana dengan kekuatan yang luar biasa. Tragedi pembantaian yang terjadi di Banyuwangi menjadi magnet yang kembali mengingatkan kita akan sebuah moralitas yang patut dipertanyakan. Semua unsur dicatat dengan seimbang seusai porsinya, mulai dari sejarah, romansa, hingga budaya. Sebuah kisah romansa berlatar budaya dan sejarah yang patut diperhitungkan.

Sebagai tokoh sentral Sari mempunyai karakter yang bisa dibilang cukup kuat. Bagaimana di usia yang masih sangat muda Sari dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya. Tragedi pembantaian bapaknya serta kondisi ekonominya menjadi pemicu utama Sari cepat beranjak dewasa. Sari merupakan gadis yang mandiri, tangguh, dan palamarta. Walaupun berduka dan susah Sari tetap dapat membantu orang-orang di sekitarnya. Sari juga tergolong anak yang amat sangat berbakti pada orangtua. Sari rela mempertaruhkan masa depannya untuk ibunya dan berusaha mencari keadilan bagi bapaknya. Penulis tidak serta merta membuat Sari bertekad kuat mencari pelaku pembunuhan bapaknya. Tapi, terlebih dahulu menunjukkan intensitas kedekatan Sari dengan bapaknya sehingga timbul perasaan kehilangan dan sakit hati. Tak hanya Sari di sini ada juga Ahmad dan Rama yang merupakan dua sosok sahabat bagi Sari. Ahmad yang sering membantu Sari dan memiliki hobi membaca buku. Serta Rama yang cerdas luar biasa dengan karismanya. Perkembangan tokohnya terlihat stabil dan realistis. Saya suka dengan chemistry dan latar belakang tokohnya yang meskipun ditulis dengan ringkas, tapi sudah terasa cukup kuat.

Novel ini memiliki alur yang tidak kronologis. Di setiap babnya penulis menyertakan tahun saat perkara terjadi. Walaupun tidak kronologis, tapi pembaca tetap bisa memahami dan memaklumi apa yang sedang terjadi. Ceritanya bagi saya berjalan dengan cepat dan ringkas, tapi padat di saat yang sama. Materi sejarah tentang tragedi pembantaian di Banyuwangi tersampaikan dengan apik melalui Sari sebagai anak dari salah satu korban. Sudut pandang orang pertama digunakan untuk menunjukkan bagaimana tragedi pembantaian yang terjadu. Tokoh Sari berhasil menyampaikan setiap potongan tragedi dengan jelas dan ringkas. Gaya bahasanya sangat ringan dan sederhana dengan beberapa dialog bahasa Jawa yang ternyata banyak ragamnya. Saya sendiri sangat menyukai penggunaan beberapa kosakata berdialek seperti ndak karena menimbulkan kesan medok khas orang Jawa. Latar tempat Banyuwangi sangat terasa hidup. Bagaimana suku Using yang menjadi sorotan penulis tergambarkan secara hidup melalui deskripsi budaya, kebiasaan, hingga bahasanya.

Tragedi pembantaian di Banyuwangi merupakan cikal bakal dari konflik yang akan dialami oleh Sari. Bagaimana Sari berusaha berdamai dengan kejadian tersebut dengan cara mencari siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan bapaknya. Sari mencoba untuk mengingat-ingat siapa saja orang-orang di kampungnya yang terlihat saat kejadian. Beberapa orang yang Sari kenal sebagai tetangganya ia tulis dalam selembar kertas. Lewat beberapa nama tersebut Sari mulai menyelidiki kasus yang merenggut nyawa bapaknya. Selain berusaha berdamai dengan masa lalunya melalui investigasi, Sari pun terbelit konflik romansa dengan dua sahabatnya, Ahmad dan Rama. Konflik romansa ini terjadi pun tak lepas dari benang merah yang sama, yaitu tragedi pembantaian di Banyuwangi. Sari yang sejak dini menyukai Rama harus dihadapkan pada kenyataan jika Rama adalah sosok yang sulit untuk dijangkau. Sementara itu Ahmad justru selalu ada dan siap sedia membantu Sari, tapi hati Sari tidak merasakan apa pun terhadap Ahmad. Kedua konflik ini seakan-akan berjalan masing-masing, tapi tetap menjadi satu kesatuan di saat bersamaan.

Perempuan Bersampur Merah berhasil memukau saya dengan sejarah dan budayanya. Intan Andaru menunjukkan jika sejarah yang dibumbui fiksi dapat mengingatkan kembali pada sebuah tragedi yang penuh dengan anomali. Kebudayaan Banyuwangi pun diekspos dengan amat baik. Contohnya seperti tari gandrung dan geredoan. Tari gandrung sendiri di sini seakan menjadi urat nadi bagi jalan ceritanya. Selain itu bahasa Jawa yang diselipkan di setiap percakapannya pun menambah nuansa lokal yang kuat. Saya sendiri seakan-akan dibawa nostalgia kembali ke zaman sembilan puluhan. Penulis mengingatkan kembali hal-hal seperti es orson, mainan bongkar pasang, hingga buku pelajaran RPAL dan RPUL. Saya sendiri suka dengan cara bercerita penulis yang tidak bertele-tele dan ringkas. Meskipun buku ini tipis, tapi semua aspeknya sudah cukup menguatkan jalan ceritanya. Kekurangan yang saya rasakan mungkin hanya penyelesaian konfliknya yang sedikit terburu-buru. Secara keseluruhan Perempuan Bersampur Merah memperlihatkan bagaimana begitu kuatnya kepercayaan masyarakat Indonesia pada hal-hal berbau klenik. Di mana tanpa mencari tahu terlebih dahulu kita sebagai manusia acap kali lebih memilih percaya pada omong kosong belaka.

"𝒀𝒂 𝑮𝒖𝒔𝒕𝒊, 𝒂𝒑𝒂 𝒔𝒆𝒎𝒖𝒂 𝒎𝒂𝒏𝒖𝒔𝒊𝒂 𝒊𝒕𝒖 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒏𝒂𝒓𝒏𝒚𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒏𝒂𝒉 𝒅𝒊𝒑𝒆𝒓𝒍𝒂𝒌𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒂𝒅𝒊𝒍?" (hal. 141)
Profile Image for Alvina.
732 reviews122 followers
January 20, 2019
Ceritanya separuh tentang kisah cinta separuhnya tentang tragedi pembersihan dukun santet di banyuwangi.
Agak nanggung sih latarnya, kisah cintanya juga. Tapi menurutku bukunya lumayan dijadiin bacaan saat senggang.
Profile Image for Sulis Peri Hutan.
1,056 reviews297 followers
February 21, 2019
Review lengkap https://www.kubikelromance.com/2019/0...


Cerita bermula ketika Sari menyadari salah satu sahabat karibnya, Rama, mulai menjauh. Sejak kecil, hubungannya dengan Rama dan Ahmad sangat dekat, mereka banyak melakukan hal bersama, Ahmad yang ceria sedangkan Rama yang pendiam, mereka saling melengkapi satu sama lain. Sari mengetahui Rama mulai berubah ketika dia melihat sebuah kertas yang bertuliskan tangannya di keranjang sampah sekolah, sebuah kertas yang sekarang berbentuk rematan dan sobekan, sebuah rahasia yang seminggu lalu dia percayakan pada Rama dan Ahmad.

Kertas tersebut berisi nama-nama penting yang ingin Sari selidiki. Kini, walau hanya bersama Ahmad, tekad Sari tidak buyar. Dia ingat betul kejadian malam itu, kejadian yang membuatnya ketakutan dan gemetaran. Kejadian yang membuat Sari mengingat wajah-wajah penuh amarah, yang berkoar-koar seakan memiliki misi paling mulia di dunia, membunuh seseorang yang mereka tuduh dukun santet. Sari menulis nama-nama mereka yang menghakimi dan mengadili Bapaknya lewat kematian.
"Bukannya rasa kehilangan tak ada obatnya?"
Sejujurnya, setelah membaca buku ini, saya baru tahu kalau ada tragedi pembantaian Banyuwangi pada tahun 1998, memang nggak setenar dengan tragedi yang satunya kala itu, tapi penting untuk perlu tahu juga. Satu hal positif dulu, karena mengambil genre historical fiction dan dikemas secara sederhana, cocok banget bagi pemula yang ingin baca genre ini, karena nggak terlalu berat dicerna.⁣ Namun, karena nggak detail, ditambah rasa penasaran, saya mencari sendiri informasi cerita aslinya, kronologisnya. Dan setelah baca beberapa artikel tentang informasi tersebut, penulis bisa dibilang mengadaptasi versi asli menjadi fiksi yang runtut walau tidak begitu detail, yang bisa menggambarkan kejadian kala itu lewat anak korban.⁣

Runtut karena ada waktu yang ditekankan penulis, yang memang menjadi puncak pembantaian, pada bulan Agustus, September, Oktober 1998. Ada pula waktu sebelum kejadian tersebut, tahun 1994 dan 1997 di mana orang-orang masih percaya dengan dukun, seperti dukun suwuk dan pawang hujan. Lalu ada pula radiogram, instruksi yang dikeluarkan pemerintah untuk mendata paranormal, dukun pengobatan tradisional atau tukang sihir. Awalnya bertujuan untuk melindungi mereka, karena pembantaian pernah terjadi pada tahun 1991 dan 1996, tidak ingin terulang kembali. Namun, malah disalahgunakan, pembantaian semakin meluas, dan puncaknya pada 1998.⁣ Munculnya teror Ninja, guru ngaji ikut dibunuh, orang gila, aktivis HAM sampai menyelipkan salah satu kebudayaan khas daerah Banyuwangi, tari Gandrung.⁣

Digambarkan juga tentang suku Using, masyarakat asli Banyuwangi yang memang dekat dengan budaya dukun santet, bahkan suku Using percaya ada empat jenis ilmu gaib; ilmu hitam (untuk menyakiti), ilmu putih (untuk menyembuhkan), ilmu kuning (untuk menambah wibawa/melancarkan urusan kerja), dan ilmu merah (atau biasa disebut santet, bisa untuk pengasihan, merekatkan hubungan atau sekaligus menjauhkan hubungan antar manusia). Masyarakat Using mengartikan santet sebagai ilmu gaib yang digunakan untuk pengasihan, sedangkan masyarakat luas beranggapan santet bertujuan mengirim malapetaka kepada orang lain. Padahal, pada mulanya keberadaan mereka tidak memberatkan, bahkan kadang menguntungkan. Misalkan ketika Sari melihat Bapaknya dimintai tolong ketika anak seseorang sedang rewel dan hendak memberikan imbalan, Bapak malah marah, niatnya ingin membantu, bukan untuk materi. Atau ketika Bapak menolak sebagai pawang hujan, karena hujan itu berkah bukan musibah. Lewat nama-nama yang didapat Sari dan apa yang menimpa mereka, bisa ditarik kesimpulan awal mula kejadian bisa karena dendam pribadi lalu menyangkutkan dengan santet yang memiliki konotasi negatif tersebut.

Buku ini terasa emosinya karena diceritakan lewat sosok Sari, anak korban dukun santet yang diadili dengan tidak manusiawi. Dia menceritakan kedekatannya dengan Bapak, bahwa Bapak orang yang baik dan sayang keluarga, dia tak ubahnya dengan orangtua kebanyakan. Bagian Bapak memesankan sepatu but agar bisa mencari kodok bersama di sawah cukup menyayat hati. Ada pula kisah cinta antara Sari dengan Rama dan Ahmad, cinta segitiga dari sahabat jadi cinta. Namun bukan bagian dominan dari cerita ini, hanya bumbu pelengkap.

Bagian tentang tari Gandrung menarik juga, ternyata penari Gandrung dan Gandrung berbeda. Seorang Gandrung sudah pasti juga penari Gandrung, tapi seorang penari Gandrung belum tentu seorang Gandrung. Seorang Gandrung memiliki lebih banyak syarat dan ritual yang harus dilakukan, mereka juga harus bisa menyanyi, selain itu merupakan profesi turunan juga, yang sedikit berbau gaib. Kalian akan paham kenapa judul buku ini ada sampur merahnya, akan ada penjelasan. Tentang modernitas yang mulai menggerus tari tradisional.

Saya cukup menikmati ceritanya dan kisah masa lalu yang coba dikenalkan kepada generasi sekarang, yang mungkin sama tidak tahunya dengan kejadian ini. Tulisannya enak diikuti, sangat saya rekomendasikan untuk pembaca pemula genre historical fiction, banyak unsur sejarah yang diselipkan penulis khususnya untuk kota Banyuwangi. Pesan yang disampaikan pun cukup dalam, lewat anak korban yang kehilangan ayah hanya karena stigma negatif masyarakat, bisa berakibat fatal. Selain kehilangan yang amat dalam padahal tak bersalah, tanpa sadar mereka juga turut 'membunuh' kehidupan anak-istrinya. Mereka kehilangan tulang punggung keluarga, mendapatkan pandangan tercela, nama mereka tercoreng dan selalu dikaitkan dengan dukun santet.

Sekali lagi, jangan lihat orang dari suku, ras, dan agamanya. Lihat lah apa yang dia lakukan untuk orang lain, lihat lah kebaikannya.
Profile Image for Happy Dwi Wardhana.
244 reviews38 followers
January 17, 2019
Usia Ahmad, Rama, dan Sari adalah usiaku. Saat isu ninja dan dukun santet bergejolak di Jawa Timur, saya masih kelas 5 SD. Sama seperti tiga tokoh utama novel ini.

Momen mencekam saat itu adalah ketika saya pulang mengaji, hujan deras, dan lampu padam. Waktu itu guru ngaji ikut menjadi target utama para ninja karena konon banyak dukun santet yang menyaru menjadi ustadz. Rumah guru ngaji saya dijaga puluhan orang. Anak-anak dipulangkan lebih awal karena keadaan dan cuaca yang mengkhawatirkan. Dijemput bapak menggunakan sepeda onthel, kami melaju menembus hujan dan kegelapan. Di tiap perempatan, bapak harus menunjukkan KTP sebagai bukti bahwa dia adalah warga setempat. Teror lainnya adalah ketika pagi-pagi saya berangkat sekolah, saya melewati rumah seorang ustadz yang pagarnya ditandai silang merah dengan cat semprot. Memori-memori mencekam itulah yang disuguhkan Intan Andaru.

Novel ini diceritakan dari sudut pandang orang pertama dimana pada saat terjadinya peristiwa pembantaian "dukun santet", sang pencerita masihlah anak-anak. Jadi, detil kejadian yang seharusnya menjadi inti cerita menjadi berlalu begitu saja. Ekspektasi saya, keseluruhan cerita berkisar pada ninja-ninja itu, bukan berat pada kisah asmara tokoh utama. Lalu, lompatan-lompatan tahun yang cepat, membuat saya kurang menangkap perubahan-perubahan dalam diri tokohnya. Endingnya pun dapat saya tebak. Bahwa si A adalah pelaku utama, si B akan begini, dan si C akan begitu. Sebagai orang yang pernah menetap di Banyuwangi, saya menyayangkan kurangnya eksplorasi setting tempat di kota ini. Paling tidak, membuat pembaca dari luar Jawa Timur penasaran dengan kota Gandrung.

Overall, saya suka buku ini. Terlebih, mengusung tema konflik lokal yang jarang diangkat di permukaan.
Profile Image for Matchanillaaa.
88 reviews2 followers
December 11, 2025
Buku ini berlatar tragedi pembantaian dukun santet (1998-1999) di Banyuwangi masa reformasi. Kasus perdukunan memang pernah mencekam di era 98. Bahkan setiap orang yang bertato dan berambut gondrong turut menjadi ancaman di masa-masa tersebut.

Sari, sebagai anak dari korban yang dituduh dukun santet, membawa dendam dari tragedi tersebut sampai Sari dewasa. Hingga kisah cintanya ikut terhalang hanya karena ia memiliki riwayat anak dari seorang dukun. Padahal itu hanyalah tuduhan politik. Luka sejarah yang membuat ayahnya tewas diarak warga, menjadi awal mula perjalanan Sari.

Isu pembantaian dukun memberikan insight sejarah dan politik tipis-tipis. Walaupun tidak dikupas secara mendalam, pengemasan sejarah dalam cerita fiksi menjadi lebih segar dan menarik.

Ada 3 bagian dalam cerita ini, yaitu pembantaian dukun, budaya tari Gandrung, dan kisah cinta segitiga antara Sari-Rama-Ahmad yang menurutku masing-masing punya porsi lumayan oke. Sayangnya porsi romansanya lebih banyak, jadi nuansa sejarah hanya menjadi latar masa lalu. Menurutku bacaan ini sangat ringan. Mungkin jika riset sejarahnya ditambah lagi, buku ini akan semakin menarik.
Profile Image for Pauline Destinugrainy.
Author 1 book265 followers
February 7, 2019
Kasus santet di Banyuwangi pada tahun 1998 tidak bisa dilepaskan dari sejarah kelam bangsa ini. Dalam kurun waktu Februari hingga September 1998, terjadi pembunuhan terhadap orang yang diduga melakukan ilmu hitam atau santet. Salah satu yang menjadi sasaran adalah Suku Using yang menjadi penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Banyuwangi.

Kejadian inilah yang menjadi latar belakang dalam novel Perempuan Bersampur Merah. Adalah Ayu atau Sari yang mencari informasi tentang orang-orang yang membunuh bapaknya. Bapaknya Ayu sebenarnya seorang dukun suwuk (penyembuh). Entah kabar darimana yang berhembus hingga akhirnya ada ninja dan beberapa warga yang kemudian menjadikan Bapaknya Ayu menjadi salah satu korban.

Ayu yang di kemudian hari berganti nama menjadi Sari, mengingat dengan jelas peristiwa pembunuhan ayahnya. Dia bahkan menuliskan beberapa nama yang dikenalnya di selembar kertas. Ayu mengajak Ahmad dan Rama, sahabatnya, untuk menyelediki orang-orang tersebut. Namun kemudian Rama mengundurkan diri dengan alasan ingin fokus pada ujian sekolah. Belakangan Ayu dan Ahmad tahu kalau Rama dimarahin ayahnya bergaul dengan Ayu.

Penelusuran Sari membawanya bertemu dengan Mak Rebyak. Supaya bisa mengorek informasi, dia menjadi murid tari Mak Rebyak. Di sana dia berkenalan dengan Mbak Nena yang kemudian memberikan sampur berwarna merah untuknya. Sari sadar, kemampuan ekonomi ibunya hanya bisa menyekolahkannya sampai SMA. Mungkin menari bisa menjadi pilihan hidup selanjutnya.

Kentalnya budaya Banyuwangi dalam novel ini menjadi nilai tambah, selain konflik pembunuhan dukun santet di tahun 1998. Novel ini sendiri disajikan dengan alur campuran, dimana setiap bab-nya diberikan keterangan tahun kejadian. Dan tahun ini juga melompat-lompat tidak beraturan. Pembaca harus jeli mengikuti urutan kejadian.

Sebenarnya ada banyak ruang yang terasa tidak terbahas tuntas. Misalnya tentang pengalaman menari Sari. Tidak diceritakan dengan jelas nasib Sari sebagai penari setelah menerima sampur merah yang dianggap punya "isi" itu. Sekilas hanya digambarkan Sari mengikuti beberapa lomba menari dan mengisi pentas seni di beberapa acara. Padahal sempur merah menjadi judul novel ini. Di sampulnya (yang didesain dengan bagus oleh @Sukutangan) juga menggambarkan seorang perempuan dalam belitan sampur, yang membuat saya berpikir ada yang istimewa dengan kisah sampur merah ini.

Novel ini juga dilengkapi dengan romansa antara Sari-Ahmad-Rama. Sari menyimpan rasa sukanya pada Rama, tapi Sari tahu orangtua Rama tidak menyukainya. Sementara Ahmad juga sebenarnya menyukai Sari. Namun jangan berharap ada romansa yang menggebu-gebu atau penuh intrik. Harus saya bilang bagian romansanya terasa datar hingga akhir.

Novel ini adalah karya perdana dari Andaru Intan yang saya baca, namun sebenarnya sudah ada beberapa novel yang dituliskan oleh Intan sebelumnya, misalnya 33 Senja di Halmahera yang juga mengangkat tema budaya. Boleh dicoba deh kapan-kapan.
Profile Image for Szasza.
246 reviews20 followers
May 8, 2021
Buku ini menceritakan mengenai Ayu seorang gadis kecil yang kemudian berganti nama menjadi Sari, ia menyelidiki mengenai tersangka yang bertanggung jawab atas kematian bapaknya yang dituduh sebagai dukun santet.

Buku ini banyak mengulik tentang mitos dan kepercayaan, tentang beragam peristiwa yang terjadi di Banyuwangi pada tahun 1998.

Penulis mencoba menguraikan tentang sisi manusia yang buruk, yang dengan mudah menyalahkan sesuatu, dan penulis juga menceritakan bagaimana proses selama Sari mempelajari orang-orang yang di anggap sebagai tersangka ternyata memiliki sisi lain yang tidak kita lihat, penulis seakan memanusiakan mereka. Dan begitulah manusia, makhluk yang sangat kompleks.

Ceritanya mengalir begitu saja dan tiba-tiba saja sudah sampai di halaman terakhir. Selain membahas tragedi keluarga sari, buku ini juga menceritakan kisah cinta antara Rama & Sari begitu tulus dan menyenangkan.

Ini novel karya Intan yang pertama saya baca, dan saya suka sama writing style nya. Terlihat sederhana dan dapat mudah di mengerti namun penuh pesan mendalam.
Profile Image for Natsume Natsuki.
109 reviews23 followers
November 22, 2020
Buku ini berlatar kerusuhan di tahun 1998, tepatnya di sebuah desa di Banyuwangi. Saat itu marak sekali isu-isu tentang ninja dan pembunuhan bagi yang dianggap dukun santet. Tak terkecuali keluarga Sari yang menjadi korban dari kerusuhan tersebut dan mencari kebenaran atas terbunuhnya Bapaknya.

Cerita ini berfokus pada kehidupan Sari pasca terbunuhnya Bapaknya yang dituduh dukun santet dengan bantuan 2 sahabatnya, yaitu Ahmad dan Rama. Juga tentang tari Gandrung dan Rama yang mampu menguatkan Sari di tengah kesedihannya.

Alur cerita maju-mundur dan bahasa yang ringan membuat buku ini selesai dalam sekali duduk. Terdapat pula beberapa kalimat dalam bahasa Jawa, tetapi penulis menambahkan terjemahannya di footnote sehingga pembaca tidak menjadi kebingungan.
Profile Image for Wahyu Novian.
333 reviews45 followers
February 6, 2019
Ketertarikan sama buku ini awalnya karena judulnya yang memakai sampur alih-alih selendang. Terdengar sangat cantik (dan sangat personal karena dulu suka juga menari tradisional dan selalu tertarik dengan sampur.) Seperti judulnya, pemilihan diksi isinya juga apik sekali. Dipadukan dengan bahasa daerah dan sesederhana menggunakan nelangsa alih-alih sedih, Bahasa Indonesia memang sebagus itu.

Omong-omong tentang nelangsa, novel ini betulan miris. Saya ternyata sangat buta dengan kisah di tahun 1998. Sampai beberapa tahun kemarin, tahun itu sekadar penggulingan kekuasaan dari rezim yang terlalu lama berkuasa. Banyak membaca, ternyata mengerikan sekali bagi akar rumput pun. Korban-korban hanya karena desas-desus. Berbahaya sekali gosip di negeri ini.

Intan Andaru pintar sekali menuliskan cerita. Di awal, saya merasa sedang membaca buku harian anak perempuan yang masih kecil. Bahkan sampai karakternya SMA pun masih terasa seperti itu. Tapi kemudian saya sadar, karakter kita adalah gadis polos dari daerah. Yang bersahaja dan mengutamakan unggah-ungguh hasil didikan keluarga yang sederhana. Pas sekali.

Novel ini juga mengenalkan Banyuwangi, Suku Using, dan Gandrung yang bikin saya google kesemua itu. Saya suka sekali ceritanya. Dan akhirnya pun—meski bikin agak sakit hati—terasa pas.
Profile Image for Khansaa.
171 reviews214 followers
August 3, 2020
Latar cerita tentang tragedi pembersihan dukun santet di Banyuwangi kurang digali lebih dalam, rasanya hanya sebagai pelengkap. Apresiasi utk penulis karena biasanya kisah tentang 1998 berlatar di Jakarta.
Profile Image for zaawithbooks.
57 reviews6 followers
March 23, 2022
"Bagaimana aku bisa sembuh? Bukannya rasa kehilangan tak ada obatnya?"
-Sari pada halaman 94

Aku baru aja selesai baca buku Perempuan Bersampur Merah. Awalnya baca ini karena terpincut sama judulnya, dan mumpung sisa satu copy di ipusnas, jadi langsung kupinjam hari itu juga.

Menceritakan Ayu (Sari) yang bapaknya menjadi salah satu korban dari tragedi Banyuwangi 1998. Tragedi yang menewaskan lebih dari seratus orang dengan tuduhan 'dukun santet'.

Sari ini akhirnya mencari informasi siapa orang yang paling bertanggung jawab dalam tragedi tersebut hingga masuk ke sebuah sanggar tari grandrung milik seorang gandrung lama bernama Mak Rebyak.

Menurutku, plot twistnya dapat. Ternyata orang paling bertanggung jawab atas tragedi tersebut di dalam novel ini adalah orang yang tidak pernah terlintas di dalam pikiranku selama membaca.

Fokusnya pada kasus tragedi dengan isu 'dukun santet' di Banyuwangi tahun 1998, tapi karena sudah dikemas ulang dengan fiksi, terselip juga bumbu asmara antara Sari dan salah satu teman bermainnya (Rama) di dalamnya.

"Ini bukan sampur sembarangan lho, Sar"
-Mbak Nena pada halaman 125

Membahas perjalanan Sari bersama sanggar tari gandrung, ia mengenal Mbak Nena di sanggar (seorang gadis yang sudah menjadi salah satu penari gandrung terbaik di sanggar Mak Rebyak).

Sari mendapatkan sampur merah dari Mbak Nena yang katanya sampur tersebut adalah bukan sampur sembarangbyang memilih pemiliknya sendiri.

Aku pikir, aku akan bosan baca buku ini. Karena berlatar peristiwa penting yang masuk ke dalam sejarah Indonesia. Ternyata aku justru candu, ingin terus membacanya karena teknik penulisannya yang tidak membosankan, dan karakteristik Sari yang kuat di dalam buku ini, juga penceritaan latar tempat yang begitu apik sehingga aku seperti ikut berada di dalam buku.

Buku ini tidak terlalu heboh dibicarakan orang, bahkan banyak dari teman-temanku yang belum tahu kalau buku ini worth to read.

Aku rekomendasikan buku ini pada kalian semua yang membaca, sangat bagus.
Profile Image for Agie Soegiono.
30 reviews9 followers
February 4, 2019
Saya mengenal penulis secara pribadi sejak masih duduk di bangku perkuliahan. Kebetulan, kami berdua bergabung di organisasi mahasiswa yang sama walaupun berasal dari fakultas berbeda. Tercatat sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran, Mbak Intan memiliki rasa ketertarikan tinggi di isu sosial dan kebudayaan. Aktivitasnya di berbagai forum sospol yang banyak membahas isu-isu sensitif saya yakini banyak memengaruhi beliau dalam menulis buku terbarunya, #PerempuanBersampurMerah.

Buku ini mengangkat salah satu peristiwa pelanggaran HAM terkelam di Indonesia, yakni pembantaian Banyuwangi 1998 sebagai isu sentral (seandainya Anda belum pernah mendengarnya, silakan mengentrinya di mesin pencari). Penceritaan buku ini mengambil sudut pandang keluarga korban, dengan tokoh utama Sari sebagai anak yang Bapaknya dituduh sebagai dukun santet dan kemudian dibantai secara massal oleh warga kampungnya sendiri. Novel ini dengan apik menceritakan bagaimana detik-detik peristiwa itu terjadi dan menggambarkan bagaimana sesudahnya kejadian keji tersebut dilupakan begitu saja oleh masyarakat dan aparat setempat. Buku ini mengingatkan saya pada film “Senyap” karya Joshua Oppenheimer yang menceritakan perasaan keluarga korban yang anggota keluarganya dibunuh dan dihilangkan karena dituduh sebagai anggota/simpatisan Partai Komunis. Bedanya, dengan lihai Mbak Intan menyisipkan roman di sela-sela kepelikan keluarga korban.

Secara umum, buku ini layak dibaca untuk khalayak umum sebagai perlawanan untuk menolak lupa. Cerita terkait pelanggaran HAM yang ditulis dalam format novel saya kira adalah media kampanye yang bagus untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan berbagai sejarah kelam bangsa ini sehingga kita bisa memetik pelajaran darinya. Besar harapan saya bagi buku ini untuk difilmkan sehingga pesan penulis dapat disampaikan dengan lebih luas.
Profile Image for aynsrtn.
487 reviews13 followers
March 19, 2025
❝Aku bahkan masih ingat betapa mereka tak gentar pada apa pun, bagai prajurit yang membela negaranya. Mereka tak bimbang sama sekali bagai utusan Gusti Allah untuk menghakimi para pembangkang. Seperti malaikat-malaikat yang menggiring manusia pendosa ke neraka.❞ -p. 71

Sari harus kehilangan ayahnya di tahun 1998 dengan cara yang tragis dan mengenaskan karena tindakan main hakim sendiri—dibunuh—sebagai terduga dukun santet oleh para warga kampungnya. Demi menguak ketidakadilan yang dialami oleh ayahnya, Sari pun mencari tahu dari daftar nama orang-orang yang malam itu ikut membantai ayahnya. Dan hal itu membawa Sari menjadi penari tari gandrung khas Banyuwangi dengan sampur merahnya.

Kisah dengan latar belakang kasus pembantaian dukun santet di Banyuwangi tahun 1998-1999 serta menyajikan seni dan budaya Banyuwangi—khususnya tari gandrung—menjadi hal utama dalam novel ini. Membuatku jadi lebih banyak mengetahui apa yang terjadi di Banyuwangi di tahun 1998 dan dampaknya terutama bagi anak dan keluarga korban pembantaian.

Buku ini hanya 216 halaman. Dapat dibaca sekali duduk. Namun, karena pendek, jadi aku seolah merasa semua cerita bagaikan cerita pendek yang kadang saling linier, kadang selesai begitu saja, dan kadang tidak diceritakan di tengah-tengah, lalu ada lagi di menuju akhir. Pas awal ada Ahmad dan Rama. Di tengah menghilang, ada Mbak Nena. Lalu, diceritakan lagi Ahmad dan Rama saat Sari sudah akhir SMA. Jadi, kesinambungannya lompat-lompat. Mungkin agar terfokus di setiap tahunnya karena ada sub-plot yang berbeda di tahun tersebut. Plot twist-nya cukup bisa ditebak. Meskipun, ending-nya ... i need proper closure between Sari and [redacted], huhu.

Direkomendasikan bagi penyuka fiksi sejarah—dengan sedikit bumbu romansa.

Profile Image for N.  Jay.
241 reviews9 followers
February 2, 2019
Saya mungkin pernah tahu atau tidak pernah sama sekali tahu peristiwa pembantaian sekian dukun yang rupa-rupanya dituduh melakukan praktik santet terhadap orang-orang, saya hanya tahu peristiwa Sambit (yang waktu saya SMP videonya banyak tersebar entah bersumber dari mana)

Oke, apa yang diangkat buku ini memang menarik dan bisa menambah keberagaman sastra terutama yang bersifat historis. Hanya saja, sekalipun penulis melakukan riset, nyatanya, kisah seputar peristiwa itu terasa singkat saja dan bahkan, menurut saya berjarak, harusnya si tokoh utama yang bapaknya termasuk korban harusnya bisa lebih memperlihatkan unsur psikologis dan jalan peristiwa dengan lebih rinci (mungkin ini karena pengaruh Ronggeng Dukuh Paruk yang pernah saya baca, karena unsur budaya daerah dan peristiwa sejarah serta pengaruh terhadap orang-orang sekitar peristiwa di tempat itu yang diperlihatkan)

Memang ini mengecewakan, meski saya tetap menikmati sambil ngedumel, nanggung bacanya seperti jahitan kain perca yang kurang rapi.
Profile Image for Nike Andaru.
1,637 reviews111 followers
January 15, 2019
18 - 2019

Jujur, saya nyomot buku ini di Gramedia Digital hanya karena nama belakang penulisnya sama kayak saya. Intan Andaru, saya malah baru baca bukunya pertama kali, dan ternyata mengesankan.

Bercerita tentang Ayu atau Sari sebagai anak seorang yang disebut dukun santet oleh para warga desa di Banyuwangi. Tahun 1998 ada kejadian di mana semua orang yang dianggap dukun santet dibunuh, begitu juga dengan bapaknya Sari. Banyak dari kita adalah seorang anak yang harus hidup dibawah label orangtua, meskipun itu terkadang tak benar. Keturunan dukun santet lah, keturunan aktivis partai terlarang lah. Itu yang dialami Sari, Ahmad dan Rama. Ketiga teman sejak kecil lalu ada cerita asmara diantara mereka.

Isu budaya Banyuwangi juga kental diangkat dalam buku ini terutama tari gandrung dan penggunaan sampur merah.

Menarik dan membuat saya pengen baca buku Intan Andaru yang lainnya.
Profile Image for tata.
109 reviews5 followers
April 23, 2022
Aku nangis dan baper baca buku ini! Niat awalnya pengin baca yang nyantai aja, tapi di buku ini justru banyak hal emosional yang bener-bener nguras air mata. Mengangkat persoalan tragedi 1998 (terutama di Banyuwangi sesuai latar cerita) bikin cerita ini hidup banget. Rasanya jadi kilas balik ketika di waktu-waktu itu, lidah lebih tajam daripada pisau. Orang saling tuduh dan bunuh tanpa bukti, hanya berdasar keegoisan mereka sendiri. Plotnya cantik meski buatku rada lambat (padahal bukunya pun enggak tebel). Aku lagi-lagi jatuh cinta sama cowok fiksi (baca: Rama) yang meski dari awal sempet aku raguin, wether it’s pity or love, but I know he’s the one for Sari.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Bunga ✿.
184 reviews10 followers
September 30, 2022
(mendengarkan audiobook-nya via aplikasi Storytel)

Suka dengan gaya penulisannya yang mengalir dengan lancar sehingga membawa pembaca ke dalam dunia Sari si penari gandrung, kehidupan sehari-hari pasca traumanya setelah ditinggal oleh Bapak, serta kehidupan asramanya yang cukup rumit.

Menurut saya, buku ini sepertinya lebih baik dibaca dalam format buku fisik daripada didengarkan audiobooknya sehingga pembaca bisa lebih hanyut lagi dalam kehidupan Sari
Profile Image for Aiko.
55 reviews23 followers
April 20, 2020
I honestly don't know how to feel about this one. It was easy and enjoyable to read, complicated enough to keep from being boring, and made me cry a couple of times which would usually merit 5 stars... But... I finished it and just kinda went "okay, what?" and not really in a good way. So yeah, I don't know...
Profile Image for Maya Murti.
205 reviews8 followers
September 18, 2023
Ceritanya simpel, tentang seorang anak yang kehilangan ayah karena fitnah. Sejak kecil, Ayu berusaha mencari pelaku pembunuhan ayahnya. Namun karena tak kunjung menemukan, akhirnya ia mengalihkan perhatiannya terhadap kesenian tari gandrung. Seiring Ayu--yang berubah nama jadi Sari--tumbuh dewasa, ia menemukan fakta bahwa ayahnya adalah korban dari sebuah dendam dalam situasi politik. (Minor spoiler) Celakanya, pelakunya terkait dengan hubungan asmara Sari yang sedang ia jalani.

Saya suka cara penulis bercerita: sederhana, fokus pada alam pikir Ayu/Sari sebagai gadis yang hidupnya hanya berkisar dalam kampung. Plot ceritanya juga simpel, tapi cukup membuat saya terdistraksi dengan tumbuh kembangnya Ayu yang menyayangi ayah-ibunya, mengasihi kawan-kawannya, dan giat menari gandrung.
Profile Image for Clavis Horti.
125 reviews1 follower
March 14, 2024
Di Banyuwangi, di antara remang bayang, Sari meratapi tragedi tahun 1998 yang menghantui jiwanya hingga kini. Dalam gulita ingatnya, terpatri duka yang teramat mendalam.

Ayahnya, hanyalah korban dusta, dicap sebagai dalang ilmu hitam tanpa sebab yang jelas, sementara sang paman tercinta, terpaksa mengembara jauh, mengungsi dari tanah kelahiran demi menyudahi lakon miring yang mengharu-biru.

Namun, bara keadilan yang menyala di sanubari Sari membakar apinya yang tak pernah redup. Dalam perjalanan yang penuh liku dan petualangan, ia beriringan dengan Rama dan Ahmad, sahabat setianya, terjerembab dalam belantara rahasia yang menyelimuti tarian gandrung.

Tak hanya berhadapan dengan misteri-misteri yang mengelilingi mereka, tetapi juga dengan peredam yang rumit dari masa lalu yang tak kunjung sirna. Dalam cobaan tanpa henti, persahabatan mereka harus berlari, melewati lorong-lorong gelap yang dipenuhi dengan angin lalu tragedi yang berduri.

Dalam pangkal perjalanan Sari mencari kepingan keadilan di Banyuwangi, apakah ia akan menemukan benderang yang dicari, ataukah terperosok dalam jurang kelam masa lalu yang terus menariknya tanpa henti?


Kurasa orang-orang dewasa terlalu sulit dipahami. Mereka membuat aturan-aturan yang kadang tak adil sama sekali. Bagaimana bisa, kami yang lahir secara utuh membawa badan dan pikiran kami sendiri selalu dinilai sebagai jelmaan orangtua kami. Kami tidak pernah sama dengan orangtua kami. Kami manusia baru yang punya kehidupan baru dan pilihan baru. Kami tidak lahir membawa dosa ataupun kesalahan mereka di masa lalu. Seharusnya, kami tak dihakimi atas apa yang pernah mereka lakukan. Tapi, kami ini bisa apa?



Dalam kegelapan yang menghantui dan merangkul ingatan, Perempuan Bersampur Merah karya Intan Andaru membelah ruang dan waktu dengan tajam. Dengan pemilihan sampul yang memikat karya sakutangan, pembaca segera diseret ke dalam alur cerita yang mengiris, memunculkan lapisan-lapisan kebudayaan, mengungkap permasalahan sosial yang tersembunyi, dan bahkan membawa kita merenung pada catatan sejarah yang tak terlupakan, menjelajahi luka-luka yang terpendam di bawah permukaan.

Melalui cerita yang sederhana namun mendalam, buku ini menghadirkan gambaran yang menggetarkan tentang praktik pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai dukun santet. Sebuah tragedi yang telah terukir dalam lembaran hitam sejarah Indonesia, yang diwarnai dengan penuh tragedi dan ketidakadilan.

Selama berabad-abad hingga era modern ini, mereka yang menelusuri jejak ilmu pengobatan tradisional, ramalan, atau keahlian supranatural sering kali tersesat dalam belantara stigma sebagai “orang pintar” dalam dinamika masyarakat. Namun, di balik khazanah pengetahuan yang mereka miliki, kekuatan yang mereka genggam juga menjadi senjata bermata dua yang menusuk, menanam benih ketakutan dan kecurigaan di hati kaum awam.

Seperti alur yang terangkum dalam lembaran buku ini, cerita Perempuan Bersampur Merah mencerminkan peristiwa nyata yang mengguncang Banyuwangi pada tahun 1998. Masyarakat diseret dalam gemuruh kehebohan oleh rangkaian pembunuhan yang menghantam mereka yang dituduh sebagai dukun santet. Di tengah gelombang kekejaman, kelompok-kelompok yang mengenakan pakaian hitam pekat, dikenal sebagai ninja, diduga menjadi dalangnya. Dengan gerak-gerik yang terkoordinasi dan sistematis, mereka menorehkan luka ketakutan yang tak terlupakan di benak warga sepanjang peristiwa mencekam ini.

Semuanya berawal dari kejadian-kejadian tak lazim, kematian yang mengejutkan dan mengundang pertanyaan, mendorong masyarakat mencari jawaban dan tanggung jawab, dengan mudah menuding individu-individu yang terkait dengan dunia supranatural sebagai kambing hitam. Hasilnya, mereka yang dicurigai memakai kekuatan ilmu hitam menjadi sasaran tuduhan dan kecurigaan, bahkan berujung pada kematian tragis dengan cara yang keji. Tragedi ini menggores luka yang mendalam dalam sejarah Banyuwangi, serta menciptakan bayangan yang kelam atas kota tersebut, dipenuhi dengan praktik-praktik ilmu hitam.

Demikian juga, dalam rimba sejarah Indonesia yang diwarnai oleh perangkat konflik sosial, politik, dan ekonomi, amarah pembunuhan terhadap mereka yang dianggap berkekuatan supranatural sering tersirat dalam lipatan motif politik, persaingan kekuasaan, atau permusuhan di antara kelompok-kelompok.

Penuduhan terhadap sosok-sosok yang dipercayai memiliki anugerah gaib sering kali menjadi senjata ampuh bagi mereka yang menghendaki menundukkan musuh politik atau merusak stabilitas politik pemerintah. Sosok-sosok yang berpengaruh di tengah masyarakat atau dianggap dapat menguatkan pihak lawan seringkali terjebak dalam pusaran tuduhan palsu ini. Dengan cara begitu, praktik ini menjadi instrumen bagi penguasa untuk mempertahankan hegemoni mereka.

Meski upaya penyelidikan telah dilakukan, bayang-bayang dalang di balik peristiwa pembantaian masih belum sepenuhnya terungkap. Dilansir dari beberapa sumber, pada tahun 2015, tim ad hoc Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menguak kembali tragedi itu, menegaskan kekejaman pelanggaran hak asasi manusia yang menghantui, menyebabkan ratusan nyawa terkubur dalam kegelapan. Namun, meski upaya penyelidikan bergulir, keadilan bagi korban dan keluarga tetap mengendap di ujung perjuangan yang menyisakan luka. Sementara itu, keturunan korban enggan melangkah lebih jauh, takut akan stigma mewarisi ilmu hitam yang mengembara tetap mengikat dengan kuat hingga akhir hayat.

Sementara senja memayungi Banyuwangi dengan warna jingga yang merona, bayang-bayang tragedi meresap dalam hening desa, menyatu dengan aroma mencekam yang menguar. Namun, semangat kebenaran tetap berkobar, menyalakan nyala harapan baru untuk Banyuwangi. Banyuwangi, dengan sejarah hitam yang melingkupinya, membangkitkan keinginan untuk menghindari kisah tragis yang berulang, memperkuat pagar pencegahan dan rekonsiliasi.

Maka, perlawanan terhadap gelapnya peradaban haruslah padat dan kokoh seperti simpul yang terikat. Hanya dengan langkah bersama, pemerintah dan masyarakat, kita dapat merajut kembali benang kemanusiaan, memastikan setiap jiwa di bumi ini tegak berdiri tanpa rasa takut, tanpa tuduhan palsu yang dapat merenggut nyawa kapan saja.

Bukankah indah, bahwa dalam perenungan akan lembaran sejarah kelam, kita juga disuguhi kearifan budaya yang tak ternilai? Melalui karya Perempuan Bersampur Merah, Intan Andaru melampaui batas-batas waktu, membawa kita ke dalam lapisan-lapisan kehidupan yang penuh warna. Tidak sekadar menyorot praktik pembunuhan yang menimpa orang-orang yang dituduh sebagai dukun santet, Intan Andaru juga menembus ke dalam gerak-gerik penari Gandrung dan kekuatan magis yang mengitarinya. Dalam alur yang khas, penulis membawa kita melalui lautan narasi yang hidup, memastikan kita terus terhanyut dalam cerita yang tak pernah membosankan.

Dengan kepandaian yang menawan, Intan Andaru mempersembahkan isu romansa dalam karya ini tanpa mengandalkan paksaan, melainkan dengan kelembutan yang mengalir begitu alami namun tak pernah kehilangan kesan. Dalam beberapa bagian cerita yang mengangkat kisah kekeluargaan, kita disuguhkan dengan kehangatan yang mengalir begitu meresap, seolah-olah membawa kita ke dalam pelukan lembut keluarga itu sendiri. Terpandang jelas dalam setiap jalinan kata adalah betapa pentingnya ikatan keluarga, bagaimana cinta dan kasih sayang melintas di antara anggota keluarga, mengisi setiap sudut dengan kehangatan yang menyentuh hati.

Tak sekadar merenungkan kisah percintaan yang teramat manis, tapi juga melalui jalur ini, Intan Andaru memberikan kita cerminan yang jernih tentang nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, serta penghargaan terhadap warisan sejarah dan kebudayaan kita melalui alur cerita ini. Dengan piawai, bak seorang penenun yang ulung, Intan Andaru menenun benang merah di antara hamparan persoalan-persoalan yang kompleks. Ia menghubungkan setiap cabang cerita, mengurai kemisteriusan sejarah, dan merajut kehangatan keluarga menjadi kain yang kuat dan indah.

Dengan demikian, bagi para pecinta sejarah yang ingin mengintip dan belajar dari masa kelam Indonesia dulu, serta bagi mereka yang merindukan narasi yang memperkaya jiwa dengan bebau kebudayaan, Perempuan Bersampur Merah karya Intan Andaru adalah suatu keharusan. Dalam alirannya yang mengalir begitu indah, ia tak hanya mengungkap tragedi-tragedi masa lalu, tetapi juga menghadirkan kehangatan budaya yang tak ternilai harganya. Sebuah perjalanan yang memperkaya pikiran dan jiwa, menggugah kesadaran, dan merajut benang merah yang mengikat kita dengan sejarah leluhur.
Profile Image for wrtnbytata.
204 reviews3 followers
February 16, 2023
4.5⭐️✨

“[…] Bagaimana aku bisa sembuh? Bukannya rasa kehilangan tak ada obatnya?”

Emosional • sebuah cerita tentang kehilangan orang terkasih, hubungan antara keluarga sedarah dan dengan teman yang saking dekatnya sudah menjadi seperti keluarga.

Intan Andaru mengambil tema peristiwa pembersihan dukun santet tahun 1998 di Banyuwangi. Tokoh utama yang diceritakan adalah anggota keluarga korban peristiwa ini yang telah dituduh dan dihilangkan nyawanya. Lalu nasib mereka setelah peristiwa tersebut serta perjuangan mereka untuk melawan stigma masyarakat. Buku ini akan membawa kita mengikuti perjalanan untuk menyembuhkan luka akibat kehilangan dan pengkhianatan.

“[…] dan apa pun yang telah Bapak lakukan kepada kami. Aku belum memeluknya. Aku belum menciumnya. Bapak tak boleh meninggal. Bapak tak boleh seperti ini, terbunuh bagai hewan tak berguna.”

“Rupanya, tidak semua yang indah dilihat itu memiliki hati yang indah juga.”

“Ya Gusti, apa semua manusia itu sebenarnya pernah diperlakukan tidak adil?”

Bagian awal buku ini penuh dengan penggambaran penderitaan yang penuh air mata dari sang karakter utama, Sari. Ia yang menyaksikan peristiwa penuduhan ayahnya sampai saat ayahnya pulang tak bernyawa. Pada bagian ini, kita dibawa menyusuri memori Sari bersama ayahnya yang penuh perasaan rindu, sedih, dan penyesalan. Kita juga diperlihatkan keinginan besar Sari untuk menemukan pihak yang menuduh ayahnya sampai kehilangan nyawa.

Bukti-bukti orang yang mungkin terlibat mengarahkan Sari ke babak selanjutnya dalam hidupnya—seorang penari Gandrung. Babak baru hidupnya ini juga membawa kita untuk mengenal lebih dalam mengenai kesenian asal Banyuwangi, Jawa Timur dan juga beberapa tradisi lokal suku Osing, seperti Geredoan.

Di babak ini juga Sari mengenal cinta. Cinta yang dialami oleh kawan baru di sanggar tari yang ia selamatkan setelah dihamili lalu ditinggal pergi pacarnya. Juga cinta yang muncul di antara dirinya dan kawan kecilnya, Rama dan Ahmad.

“Mungkin tiap orang memang selalu memiliki luka. Hanya saja beberapa dari mereka pandai menyembunyikannya.”

Di tahap ini Sari mencoba menyembunyikan kesedihan dan traumanya setiap mengingat kebrutalan peristiwa yang menimpa ayahnya. Ia yang mencoba untuk tetap tegar supaya Ibunya tidak khawatir, tetapi ia tidak bisa menghindari pandangan publik yang merendahkan keberadaan mereka. Hal ini juga yang akan mendasari konflik asmara Sari dan Rama—meskipun tidak terlalu ditekankan dalam cerita (childhood friends to strangers to lovers vibe)

“[…] perempuan yang memilih sampur merah sebagai pelarian untuk sembuh dari ingatan menakutkan di masa lalu.”
Profile Image for Ann.
87 reviews17 followers
May 5, 2020
Premis tentang tragedi Pembantaian Banyuwangi 1998 terhadap orang Using sontak langsung menarik minat saya untuk membaca buku ini. Judul Perempuan Bersampur Merah yang lekat dengan seni tari, dan seni tari di Banyuwangi adalah Tari Gandrung, tak kalah menariknya.

Harapan saya membumbung tinggi mengira bahwa ini adalah another good historical-fiction Indonesian book. Mengharapkan kisah tentang kaitan antara Pembantaian Banyuwangi 1988 dengan misteri sampur merah seorang Gandrung. Mengharapkan redemption arc dari pemeran utama. Mengharapkan ini dan itu. Ternyata setelah dibaca, Pembantaian Banyuwangi 1998 terasa hanya sekadar latar belakang cerita. Tari Gandrung dan sampur merahnya pun hanya sekadar sebagai hobi dari pemeran utama. Selebihnya adalah kisah romansa antar sahabat.

Sebenarnya premis dan properti cerita ini sangatlah menarik, hanya saja eksekusi tulisannya memang kurang ciamik.

Lesson learned: don't set your hope higher because the back cover tells you a promising premises.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for MyA.
22 reviews1 follower
January 12, 2025
Pelik merupakan deskripsi yang aku berikan untuk novel ini. Genre history fiction yang aku suka karena dia membawa suasana mencekam di Banyuwangi terhadap pembantaian dukun santet ditambah budaya yang kental. Sejujurnya aku berfokus pada budaya dan sejarah yang diangkat.

Terdapat semi romance yang tidak aku sangka namun tidak mengganggu cerita yang ada. Permainan plotnya menarik. Kukira inti cerita trauma tentang bapaknya akan sirna seiring halaman berlalu kubaca tapi nyatanya gong di akhir. Meskipun sampai saat ini dalang pembantaian aslinya masih belum ketauan..
Profile Image for fara.
280 reviews42 followers
April 8, 2024
"Bukannya rasa kehilangan tak ada obatnya?" (halaman 94).

Perempuan Bersampur Merah bercerita soal satu dari deretan kasus pelanggaran HAM di tanah air, tragedi pembantaian terduga dukun santet di Banyuwangi pada tahun 1998. Dengan Sari sebagai tokoh utama, narasinya terasa vokal dan dekat dengan pembaca. Pengambilan sudut pandang ini bagi saya terasa cerdas karena perasaan-perasaan Sari (dulunya Ayu) dapat tertuang dengan gamblang dan leluasa. Bapak Sari yang merupakan dukun suwuk (penyembuh) justru dituding menggunakan ilmu hitam untuk menyantet orang. Suasana mencekam akibat saling tuduh begitu terasa. Dengan latar belakang di desa, kisah masa kecil Sari, Ahmad, dan Rama menjadi fokus utama pengembangan plotnya.

Setelah kematian Sang Bapak, Sari berusaha menyelidiki soal daftar nama yang dipegangnya bersama Ahmad. Akan tetapi pencarian itu justru membawanya pada sanggar tari Mak Rebyak (awalnya untuk mencari tahu soal Pak Sotar). Cerita bergulir pada kehidupan sehari-hari Sari mulai dari masa kecilnya, tumbuh menjadi remaja, hingga gadis muda yang kerap dituntut ibunya untuk segera menikah. Secara garis besar, saya menyorot soal trauma antargenerasi akibat konflik politik (seperti kisah Mbah-nya Ahmad yang ternyata dahulunya adalah simpatisan Partai Komunis sehingga ia nggak bisa menjadi tentara). Kurang lebihnya, warisan trauma tersebut sama seperti Sari yang menyimpan sakit hati selama bertahun-tahun atas apa yang terjadi pada Bapaknya.

Kurasa orang-orang dewasa terlalu sulit dipahami. Mereka membuat aturan-aturan yang kadang tak adil sama sekali. Bagaimana bisa, kami yang lahir secara utuh membawa badan dan pikiran kami sendiri selalu dinilai sebagai jelmaan orangtua kami. Kami tidak pernah sama dengan orangtua kami. Kami manusia baru yang punya kehidupan baru dan pilihan baru. Kami tidak lahir membawa dosa ataupun kesalahan mereka di masa lalu. Seharusnya, kami tak dihakimi atas apa yang pernah mereka lakukan. Tapi, kami ini bisa apa? (halaman 154).

Banyak unsur lokalitas yang membawa saya pada pengetahuan baru seperti tari gandrung (dan juga gandrung yang ternyata berbeda dengan penari gandrung), gredoan, dan koloan. Nggak tahu kenapa, Perempuan Bersampur Merah terkesan seperti terburu-buru sekali diakhiri, padahal apabila potongan-potongan 'pemicu' seperti pembunuhan oleh ninja, sejarah dan latar belakang gandrung, hingga sampur merah yang dipercaya ada 'isi'nya dapat dikembangkan lebih jauh lagi. Dengan sekian halaman yang sudah ada, masih bisa memungkinkan untuk diperpanjang lagi agar judulnya lebih terasa. Toh, potongan tiap babnya juga pendek-pendek sehingga pergantian bab nggak terasa menjenuhkan. Potensinya jelas terlihat kalau saya mengamati pilihan diksi dan tulisannya yang mengalir.

Bahkan saya berharap di akhir ada semacam usaha rekonsiliasi antara pemerintah dengan pihak korban (tapi apa daya yang disajikan justru kegamangan yang membuat Sari dan ibunya memutuskan untuk pergi dari desa mereka). Hubungan romansa Sari dan Rama juga sebenarnya manis. Namun, lagi-lagi sepertinya penulis memang gemar meninggalkan sesuatu tak pada tempatnya. Rasanya, segalanya terasa serba nanggung di sini. Banyak hal yang nggak selesai (tapi bukan tipikal 'nggak selesai seperti novel open ending, ya). Ini seperti selesai disengaja tetapi justru menjadikannya kurang secara keseluruhan. Disayangkan, sih, sebenarnya.
Profile Image for cindy.
1,981 reviews156 followers
June 4, 2020
Ingatanku terhadap peristiwa pembantaian Banyuwangi yang terjadi di tahun 1998 ini amat minim. Ini mengejutkan karena di saat itu sebenarnya aku sudah cukup umur untuk mengingat, tapi yg teringat dari tahun 1998 hanyalah tragedi Mei dan lengsernya kekuasaan. Oleh sebab itu, latar belakang novel ini membuatku sangat ingin membacanya, setelah sebelumnya keingintahuanku akan peristiwa ini dipicu sebuah adegan dalam novel Bilangan Fu.

Tokoh kisah ini adalah Ayu alias Sari yang masih bocah saat bapaknya diambil dan dihabisi saat peristiwa pembantaian sedang puncaknya. Beberapa tahun selang, Sari meminta bantuan dua teman baiknya, Ahmad dan Rama untuk menyelidiki beberapa orang yang ia lihat saat mereka menyeret bapaknya. Sekumpulan nama yang tampaknya tidak pernah berhubungan dengan keluarga mereka. Anehnya, setelah saat itu, Rama tiba-tiba menjauh dan enggan berkawan lagi. Keluarga Rama memang tidak pernah menyukai Sari, sehingga akhirnya Sari merelakan persahabatannya dengan Rama berakhir.

Dalam penyelidikan nama-nama tersebut, pembaca diajak melihat sekilas kondisi sosial budaya masyarakat Banyuwangi, khususnya suku Using, yang memang dekat dengan penggunaan ilmu supranatural dan santet ini, meskipun yang namanya santet telah beralih arti dari makna sesungguhnya. Selain itu, pembaca juga didekatkan dengan kesenian Tari Gandrung yang timbul tenggelam bersama riak zaman, kadang populer dan laris manis, kadang sepi dan seret, bahkan nyaris punah.

Di akhir kisah, Sari, Ahmad dan Rama harus berkonflik sekali lagi untuk mengurai simpul-simpul masa lalu mereka. Dendam antar keluarga yang membawa duka berkepanjangan bagi seorang bocah, dan rasa bersalah tak henti pada bocah yang lain.

***

Aku cukup suka aliran ceritanya, namun untuk sekian banyak ide dan pesan sponsor yang dijalinkan kepadanya, semuanya jadi berasa tanggung, kurang mendalam dan kurang runcing konfliknya. Penyelesaiannya juga sedikit memaksa untuk happy ending. Jatuhnya jadi kelewat ringan untuk sebuah hisfic, semua terasa baik-baik saja, tanpa ada penggambaran adegan ngilu, emosi yang kelam atau gedoran moral yang tak terlupakan, seperti yang didapat dari Laut Bercerita atau Tiba Sebelum Berangkat atau Amba: Sebuah Novel. Kalau kubilang, ini adalah cerita romans dengan latar belakang sejarah, dengan titik beratnya pada romans. Bagus, tapi kurang menggigit.

#GF
Profile Image for nana.
69 reviews9 followers
August 9, 2023
⭐4.3/5

Buku ini bercerita mengenai Sari, anak dari korban pembantaian dukun santet di Banyuwangi pada tahun 1998. Sari yang pada saat itu masih sangat kecil menyaksikan bagaimana sang ayah yang merupakan dukun suwuk diseret dan diarak warga sampai meninggal secara mengenaskan. Bersama kedua sahabatnya, Ahmad dan Rama, Sari bertekad untuk mencari tahu nama-nama yang tertulis di selembaran kertas yang diduga sebagai pelaku pembunuhan sang ayah.

Saya sendiri sangat mengapresiasi bagaimana penulis menjadikan kisah pembataian dukun santet di Banyuwangi dan suku Using sebagai latar cerita─karena sepertinya ini pertama kali bagi saya menemui cerita yang latarnya demikian. Selain itu, penulis juga memasukan mengenai kebudayaan tari gandrung yang saya baru tahu ternyata asal muasalnya dari Banyuwangi. Penulis juga menaruh perhatian lebih terhadap bukunya yang menjadi sentilan kepada kita semua mengenai modernitas yang kian menggerus budaya dan tradisi, khususnya mengenai Tari Gandrung.

Melalui buku ini, saya bisa merasakan emosi yang dialami oleh Sari sebagai korban. Bagaimana keadaan dan perjuangan para korban untuk hidup dan pulih setelahnya di tengah masyarakat yang seakan bersikap normal, biasa saja, dan merasa tak pernah terjadi apa pun.

Hanya saja, saya menyayangkan bagaimana latar mengenai pembantaian dukun santet di Banyuwangi ini tidak dikulik secara dalam. Sebab, di dalam buku ini rasanya lebih banyak porsi mengenai romansa antara Sari, Rama, dan Ahmad, yang terlibat perasaan dari kecil hingga dewasa.

Tapi perlu diapresiasi bagaimana penulis meracik tulisannya melalui sudut pandang pertama (Sari) karena selama membaca seperti mengalir dan hanyut di dalamnya dan tak terasa tiba-tiba saja sudah berada di akhir cerita. Cerita dikemas dengan begitu padat dengan alur waktu yang jelas meskipun kisah yang diangkat cukup kompleks.

Saya sangat merekomendasikan buku ini untuk pembaca yang suka genre historical-fiction, terutama banyak kebudayaan Banyuwangi yang disisipkan di dalamnya. Ada banyak pesan moral yang juga disampaikan oleh penulis terutama mengenai kemanusiaan.
Displaying 1 - 30 of 125 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.