Wah, ada cowok baru di kelas Jo Wilisgiri: Izzy. Izzy bukan sekadar cowok, tapi selebriti! Cakep, terkenal, lucu, pokoknya perfect! Semua cewek dibuat “demam” olehnya, termasuk Jo. Masalahnya, Jo nggak boleh “demam” gara-gara cowok lain karena dia sudah punya Rajiv yang ganteng dan baik hati.
Seiring waktu Jo sadar si cowok selebriti itu ternyata jail luar biasa. Sebut saja: menciptakan berbagai olok-olok ajaib sampai mengerek baju renang di tiang bendera. Hmm… awalnya lucu sih, tapi lama-lama kok norak ya. Apalagi kalau kamu yang dikerjain. Please deh, lucunya di mana sih?
Parahnya, Sally—sahabat sejati Jo yang sangat memuja Izzy—justru dikerjai oleh Izzy sampai masa depannya terancam suram. Jo pengin menyelamatkannya, tapi Sally justru marah dan memusuhinya. Nabila, sahabat Jo yang lain, juga dikerjai tapi mati-matian melarang Jo buat mengadu.
Aduh, masalah seolah nggak ada habisnya. Hubungan Jo dengan Rajiv gonjang-ganjing karena Mama melarang Jo pacaran. Selain itu, ada proyek besar semester ini: bikin laporan soal kelestarian sungai. Gawat! Dalam proyek ini Jo sekelompok dengan Izzy dan Sally. Bisa-bisa Jo bakal nggak dapat nilai.
Puncaknya: Rajiv harus kuliah di Amerika.
Wow! Benar-benar semester yang gila untuk Jo. Berantakan, galau, kacau balau, tapi tetap seru, lucu, dan penuh cinta!
Asli, membaca karya-karya Ken Terate selalu mengaduk-aduk perasaan. Kesal, haru, bahagia, sedih, geregetan, semua jadi satu. Di satu bagian saya bisa cekikikan nggak keruan, di bagian lain saya akan mengelus dada sangking ikut terlarut dalam kisahnya.Singkat kata, Ken berhasil mempermainkan emosi saya selama proses pembacaan buku-bukunya. Tak terkecuali novel teenlit terbarunya yang merupakan buku ketiga dari serial Jurnal Jo yang ditulisnya, Jurnal Jo 3: Episode Cinta.
Masih tentang kehidupan Jo di masa pendidikan SMP-nya. Tahun ini ia sudah menjadi siswa kelas delapan dengan segala pernik kehidupan khas ABG tanggung. Jika di buku sebelumnya kehidupan Jo berwarna karena hadirnya gadget dan kehebohan seputar dunia maya, di buku ketiga ini Jo mulai disibukkan dengan urusan hati. Cinta monyet mulai menjangkiti jiwa remajanya. Cinta yang ternyata membuatnya demam dan salah tingkah.
Bagi saya, selain gaya menlisnya yang asyik dan bikin nagih, Ken Terate selalu tampil beda dari segi cerita. Iya, sih, tema anti-bullying memang bukan lagi tema baru. Beberapa novel lokal sudah sering mengangkat isu ini, tapi tetap saja, ini menjadi satu hal menarik yang dibahas sebagai konflik utama dalam novel ini, di luar konflik tentang cinta monyet ala remaja SMP.
Karakterisasi yang kuat membuat saya mudah terhanyut dalam plot yang disusun Ken. Sebagai tokoh utama, sejak awal tentu saja hati saya sudah condong untuk menyukai Jo, tapi dengan keterampilan yang begitu apik, Ken menghidupkan Jo ini dengan segala kelebihan dan kekurangan yang sangat manusiawi, yang terus-menerus membuat saya gemas. Ada kalanya saya sampai mengumpat pelan, memaki Jo "bego" ketika Jo berbuat ini dan itu yang tak sesuai dengan pendapat saya. Misalnya, Jo yang tak melawan langsung ketika ia diganggu Izzy. Atau, ketika Jo masih tetap melunak meskipun Sally atau Nadine mengolok-oloknya. Tapi, lalu saya bertanya pada diri sendiri, "Memangnya, waktu aku SMP aku berani ngelawan balik pas di-bully?" dan saya mengernyitkan dahi sebelum menggeleng kecil. Iya, sepertinya saya pun bersikap seperti Jo. Sebagai korban bullying saya cenderung "keep calm and be a champion". Maksudnya, peduli setan saya diganggu, yang penting saya tetap juara kelas di bidang akademik.
Secara singkat, buku ketiga dari serial Jo ini dibuka dengan konflik soal urusan desiran hatinya pada Rajiv, tetangganya yang kini sudah masuk SMA. Kalau hanya cinta monyet biasa mungkin masalah tak akan jadi rumit, namun cinta pertama Jo ini bukan cinta biasa. Pikiran Jo sudah mesti ruwet karena Rajiv yang berbeda dengan dirinya, beda suku-beda agama. Agak aneh memang, anak SMP sudah berpikir sampai sejauh itu, tapi bisa jadi di zaman seperti ini, kan? Kedewasaan sudah mulai menelusup tiga atau empat tahun lebih cepat dibanding masa remaja saya dulu, sepertinya.
Konflik seputar bullying muncul bersama dengan hadirnya tokoh baru, Izzy--cowok cakep pindahan dari Jakarta yang langsung ngetop tapi hobi bikin onar. Masuknya Izzy ke SMP-nya Jo ini membawa banyak masalah baru, baik di sekolah maupun yang berkaitan dengan hubungan Jo dan teman-teman dekat Jo selama ini. Semua itu dikemas dengan mulus oleh Ken menjadi drama-remaja-SMP yang tak membosankan. Well, pernik-perniknya sih biasa: tugas kelompok yang berantakan, teman yang akhirnya musuhan, campur tangan orang tua, tapi kesemuanya dibuat sedemikian wajar, sehingga enak dibaca.
Dan, saya menyukai pengemasan/layout novel ini. Terdapat subjudul di tiap chapter-nya yang juga membuatnya berbeda dari novel kebanyakan. Feel membaca saya menjadi lebih hidup. Begini contohnya:
Unsur kenikmatan novel ini memang sebagian besar terletak pada gaya menulis Ken yang mengesankan. Diksi oke, hiperbola tak lebai, sindiran yang tepat sasaran, hingga kalimat-kalimat #jleb yang serba ceplas-ceplos. Meskipun demikian, tak jarang saya menyuarakan ketidaksetujuan kepada Ken menggunakan beberapa frasa yang menurut saya terlalu kasar, misalnya ketika Jo menyebut ibunya sendiri "dodol" dan ayahnya "dudul" (hlm 120). Saya sadar ini bukan buku budi pekerti, dan saya pun sadar yang seperti itu bisa saja benar-benar terjadi, tapi menurut pendapat saya yang berpedoman bahwa buku bisa menjadi guru yang mengajarkan hal-hal baik, seyogianya kata-kata menjurus kasar itu diganti dengan yang lebih halus/elegan.
Beberapa typo masih ditemukan, sebagian cukup mengganggu misalnya: (hlm 174) Kok aku bila lambat banget sih? = bila itu semestinya "bisa". (hlm 232) peritistiwa = peristiwa
Sebagian besar, saya suka semua kalimat-kalimat buatan Ken Terate. Sungguh mencerahkan untuk yang membaca dan makin #jleb lagi karena ini tokohnya SMP hingga menyentil ego saya, "Ini anak SMP lho, masak kamu kalah sama anak SMP, sih."
Ketika Jo mulai gelisah karena perbedaan suku dan agamanya dengan Rajiv, cowok itu menasihatinya soal betapa membosankannya dunia jika semua hal sama (hlm 84):
Coba ya bayangkan kalau semua orang di dunia ini sama. Sama hobinya, sama makanannya, sama rumahnya. Eh, kamu ke Padang makan gudeg, ke China makan gudeg, ke Amerika gudeg lagi. Nggak seru!
Kalimat ini bikin nyesss (hlm 160)
"Karena bila hubungan ini membuatmu sedih, itu bukan cinta," kata Rajiv.
Yang ini juga, di adegan ketika Jo memberikan syal musim dingin untuk Rajiv dan cowok itu begitu bahagia menerimanya (hlm 229)
Betapa memberi ternyata bisa menyenangkan, bahkan bagi yang memberi.
Yang ini bikin saya keki. Kapan saya punya istri yang bisa saya taburi kalimat seromantis ini. Hikz. (hlm 230)
Jo: Dan salju, Raj. Kamu akan melihat salju. Aku hanya bisa melihat salju di freezer. Rajiv: Aku lebih suka melihat salju di freezer, asal bersamamu.
Di bagian lain, Ken juga menyelipkan kalimat-kalimat bernada optimis yang menurut saya sangat bagus untuk memotivasi semua pembaca, tak hanya para remaja yang menjadi target pembaca novel ini. Misalnya tentang memilih tema untuk tugas sekolah yang paling dekat dengan kehidupan sendiri sehingga lebih bisa diresapi (hlm 168) atau soal menjadi pendengar yang baik bagi sahabat (hlm 201) atau kenyataan bahwa setiap manusia memiliki kelebihan-kekurangan dan jalan hidup masing-masing (hlm 215).
Saya selalu mengasosiasikan Jo sebagai seorang pembelajar yang masih banyak 'belum-tahu'nya, bahkan untuk beberapa istilah umum. Sangat manusiawi, menurut saya, toh ia masih SMP, kan? Namun menjadi agak sedikit tak masuk akal ketika ia justru tahu tentang Glee, serial televisi remaja laris Amerika, mengingat Glee sendiri tidak tayang di stasiun televisi Indonesia dan Jo digambarkan memiliki keterbatasan soal akses internet maupun televisi berbayar, jadi saya merasa agak miss di bagian ini (hlm 66).
Pada akhirnya, saya tetap merasa puas banget membaca novel teenlit terbaru Ken ini. Saya yang sudah ngefans gaya menulis Ken sejak novel debutnya tak pernah merasa rugi meluangkan waktu untuk merunut kata demi kata yang dirangkainya. Untuk itu saya sangat merekomendasikan buat para pembaca setia novel teenlit atau yang masih ragu tapi ingin mencoba-baca novel bergenre teenlit untuk mencicipi racikan Ken Terate ini.
Akhirnya selesai baca Jurnal Jo series. Mengikuti kisah Jo dan teman-temannya dari SD sampai SMP mengingatkan memori-memori kala SD-SMP. Kisahnya khas banget dengan masalah-masalah dialami remaja usia segitu sih. Dan hal yang aku sukai dari buku 1 sampai buku 3, mbak Ken selalu masukin isu-isu remaja seperti dibuku 3 ini tentang bullying dikalangan remaja dan bagaimana dampak nya bagi korban dan pelaku, serta penyelesain yang logis. Dan juga ngga ketinggalan persahabatan Jo dan temen-temennya yang ga hanya digambarkan satu sisi dan menurutku paling logis tentang hubungan persahabatan antar remaja sering naik-turun. After all lumayan puas sama cerita-cerita Josephine dkk sampai di episode cinta.
Duh Rajiv bikin melting 🥰 Dari 3 buku di series ini, buku terakhir ini jadi favorit gue. Hubungan Jo dan Rajiv yg manis, menggemaskan, heartwarming, sekaligus bikin patah hati, huhu. Suka banget sama sosok Rajiv yg bijak untuk seumuran dia, engga sok tua, tapi level bijaknya pas.
Di buku ini gue juga menemukan banyak kesamaan2 karakter dengan Jo, beberapa hal yg dia katakan dan putuskan, she's just like me!
Selain mengingatkanku akan masa-masa SMP, baik yang sama dengan Jo (guru olahraga killer, jalan kaki ke toko buku) maupun tidak (oke2 saja tiap hari ke sekolah dibonceng ortu atau melipir ke ruang ortu minta uang saku), Jurnal Jo juga mengingatkanku bahwa kenikmatan membaca sebuah serial akan meningkat jauhhh jika dibaca secara maraton dibanding jika ada jeda sekian tahun lamanya.
Jadi, semoga ada Jurnal Jo 4 dan terbit dalam waktu dekat mumpung barusan banget ini aku selesai baca Jurnal Jo 3 :D Ide dariku untuk seri selanjutnya, gimana kalau Pak Bambang (ayah Jo) dapat giliran tempat arisan yang berarti jrengg~ semua guru SMP Jo akan datang ke rumah Jo dalam satu waktu? Eaa, curcol.
Jurnal Jo. Pemiliknya adalah Josephine Wilisgiri. Dia bukan tipikal tokoh yang populer, punya banyak teman dan musuh, menjadi sorotan sana-sini sehingga memiliki cerita seru untuk dibaca. Dia juga bukan tokoh yang memiliki hidup berat dan dramatis bila dibaca.
Secara karakter, dia tidak menonjol.
She's just an average girl you can meet at school.
Dan, itu kerennya. Betapa hebat Ken Terate dapat membuat tokoh yang sebenarnya biasa saja, memiliki kisah yang menarik untuk diikuti. Well, sangat menarik malah.
1. Saya selalu suka kisah-kisah remaja; cinta pertama, mencoba hal-hal baru, kenakalan remaja, dan pesan moral. Buku ini, jelas, memilikinya.
2. Sejujurnya, saya lebih suka cerita yang sedih; dramatis tapi tetap alami dan realistis. Buku ini tidak memiliki sisi dramatis. Akan tetapi, buku ini mengikat erat dengan ke-realistis-an, dan itu yang membuat saya sangat menyukainya. Buku ini berlatar di Yogya. Oke, saya memang tidak begitu merasakan nuansa Yogya-nya, tapi itu bukan masalah buat saya, karena there's something more about this story. Yang terpenting adalah penulis benar-benar berhasil menunjukkan, "Begini, lho, kehidupan kebanyakan remaja SMP di Indonesia." Seperti, mama mau tau aja urusan aku, orangtua nggak melek teknologi dan selalu berpikir bahwa hape yang bisa chatting itu nggak penting, anak-anak yang suka ganggu dan jail di kelas, dan banyak lagi yang bikin saya tersenyum geli. Ah, ini pasti pernah dialami banyak remaja.
Buat saya, bagian yang paling menggelitik adalah ketika Jo yang ketakutan banget ketahuan pacaran sampai-sampai memanjat pohon hanya untuk ngobrol dengan Rajiv lewat telepon. Belum lagi, insiden antara Jo dengan mamanya, itu saya bisa relate banget, dan itu yang paling mendefinisikan beberapa keluarga di Indonesia. :))
Oh, dan hal-hal yang saya tulis di poin dua ini hanya secuil dari ceritanya. Ada masih banyak cerita dan konflik yang menarik dalam buku ini.
3. Saya berharap ada Jurnal Jo #4.
4. Saya suka sekali endingnya. Pilihan ending yang saya sukai. It defines 'teenlit'. :)
And, Ken Terate is officially my favourite author now.
---
Setelah baca semua seri Jurnal Jo, saya memutuskan memberinya bintang lima karena, sungguh, tokoh-tokohnya itu tak terlupakan. Sedih sekali ini adalah seri terakhir dari Jurnal Jo. Berharap ada Jurnal Jo: Growing Up, mungkin? Kehidupannya di masa SMA?
Selama saya baca buku ini, saya lebih banyak jejingkrakan dan teriak, "ARGH," ketimbang meresapi kisah Jo, sampai-sampai diteriakin ayah dari lantai bawah. Abis, Rajiv romantisnya nggak nahan banget, sih. Sederhana, sedikit cheesy, tapi sukses bikin cewek klepek-klepek.
"Hai, Jo, seharian mikirin kamu. Nggak bisa ngapa-ngapain. I'm so helpless without you. Kamu bagai udara untuk paru-paruku (dan ini bukan rayuan gombal)." -SMS cinta dari Rajiv, hal. 105.
Sumpah, baca itu bener-bener bikin saya jumpalitan. Klise sih, cheesy sih, tapi every girl who's been in love can relate to this. Buku ini memang sesuai banget sama judulnya, Episode Cinta. Segala aspek dan konflik di buku ini nggak jauh dari cinta-cintaan, khas cinta anak SMP: sederhana.
Tapi saya, makin ke sini makin nggak sreg sama Sally, her actions started to annoy me even more, and become... ugh, unrealistic? Rasanya agak mustahil aja sih, bisa ada anak cewek senyebelin dan sebuta dia, bahkan biarpun dia lagi puber. I'm experiencing it with my bro, bocah puber itu lagi di highest peak of obnoxiousness (and I don't know if that's even a noun).
Saya juga menemukan ini agak nggak masuk akal, waktu Jo nggak tahu apa itu bullying. Maksud saya, plis deh, dia itu udah kelas 2 SMP. Masa bullying aja nggak tau? Tambahan, dia itu (mantan) anak Klub Sastra yang pastinya suka baca.
Nevertheless, saya suka sama buku ini. Bener-bener relatable, lah, sama kehidupan ABG yang lagi kepo-keponya sama dunia.
So here goes the stars: Cover: ★ ★ ★ Lebih prefer Jurnal Jo 1 dan 2. Nuansa pink-nya enough to reflect what this book is all about sih, tapi... yah. Plot: ★ ★ ★ ★ ★ As always, Ken Terate selalu sukses bikin konflik-konflik kecil berbenturan di saat yang pas dan bikin kening berkerut. Writing: ★ ★ ★ ★ Nggak usah ditanya, lah, Ken Terate is one of my favourite teenlite authors ever. Eh tapi, rasa-rasanya rada gimana aja sih gitu, di sini jauh lebih banyak English phrases-nya. Writing voice-nya juga rasanya beda dari yang pertama dan kedua. Apa ini karena jangka waktu kepenulisan yang lumayan panjang? Hmm. Characters: ★ ★ ★ ★ Cinta Rajiv, benci Sally, while Jo rocks.
Masih nggak paham kok bisa-bisanya anak seasyik Jo bisa sahabatan sama anak kayak Sally. Mungkin itu kompensasi buat kualitas tinggi di variabel hidup lainnya alias PUNYA PACAR PERTAMA KAYAK RAJIV NGGAK PAHAM LAGI SIH GIMANA CARA JO MENJAGA STANDAR PASANGAN KE DEPANNYA. Cheesy banget sih parah tapi kalo diinget-inget cowok SMA emang bau banget sih kalo soal romantis-romantisan AHAHAH. Jadi kegombalan Rajiv tuh standar, sementara Rajiv himself tuh A+. Apaan woi jadi bahas Rajiv doang gini padahal sebenernya tema besar bukunya bullying wk.
Terus udah nih ceritanya tamat gini aja? Nggak ada Jurnal Jo 4 dst?? Halo, Mbak Ken??? Halo, GPU???! At least cetak ulang semua buku mbak penulisnya please mau baca semua hhhhh betapa terlambatnya aku.
Empat bintang. Investasi banget deh tiga buku ini buat kalo punya anak di masa depan wgwg. Dan sampul cetak ulangnya juga GGWP banget Orkha Creative you da real MVP✨
Di awal-awal, emang agak bosen bacanya. Perasaan cuma bahas Izzy sama Rijav doang. Muter-muter di antara mereka berdua. Tapi akhirnya kemuter-muteran itu dieksekusi dengan sangat sangat sangaaaatt apik di akhir cerita.
Udah ah, ga terlalu berharap bakal ada lanjutan bukunya. Genrenya aja teenlit, masa iya sampe bahas nikahan mereka. Ya sudah lah ya, pasrah saja.
Terima kasih Mbak Ken sudah menyempatkan waktu untuk menuliskan cerita Jo yang sungguh indah ini. Sukses selalu atas karya-karyanya! ^^
Tidak seperti dua buku sebelumnya, ini adalah kali pertama aku membaca Jurnal Jo 3: Episode Cinta.
Ya ampun, aku berasa jadi kakak imajinernya Jo dan ikutan bersyukur karena dia bisa ketemu dengan orang sebaik dan sesopan Rajiv. Hubungan mereka berdua itu... sangat sehat dan wholesome :") Pacaran yang sangat ideal buat anak remaja SMP, masa ketika kamu mungkin pertama kali belajar caranya mencintai dan dicintai orang lain. Chemistry mereka berdua sangat natural, dan sangat bisa dipercaya kenapa Rajiv dan Jo perlahan saling suka. Tentu ada momen-momen gemes antara mereka berdua, tapi tidak melulu isinya adegan romantis yang diimpor langsung dari drakor. Lebih sering, mereka menghabiskan waktu mereka dengan mengobrol panjang, main bulu tangkis, nongkrong di depat minimarket, dan ngerjain tugas bareng. Sesekali berpegangan tangan. Rasanya yaa kayak dua orang sahabat yang super akrab dan sering main bareng aja gitu.
Aslii aku norak banget tiap kali Rajiv melakukan sesuatu yang sweet ke Jo HAHAHA. Rasanya tiap menit aku ingin berseru, "ASIIIK bisa aja si Rajiv, si paling smooth," atau "go go Rajiv, petrus jakador!!!" (Maafkan kenorakan saya 🙏.) Sebenernya paling terenyuh itu tiap kali Rajiv nanya consent ke Jo tiap ia mau melakukan sesuatu. Rajiv juga punya kemampuan komunikasi yang bagus banget dan ia selalu berusaha memberikan ruang aman bagi Jo kalau ia mau cerita apapun. Rajiv berulang kali bilang bahwa kalau hubungan ini membuat Jo tidak nyaman, katakan saja, karena berarti ini bukan cinta. Beuh. Rajiv best boy 👍
Mungkin hal favoritku dari "Episode Cinta" di buku ini adalah bagaimana pengalaman pacaran ini jelas sekali adalah proses pendewasaan bagi Jo. Banyak topik yang dieksplorasi, seperti komunikasi jujur, cara menunjukkan kasih sayang yang sehat, perpisahan, hingga... rasisme. (Iya, rasisme.) Dan ajaibnya, semuanya mampu dibawakan secara ringan, menghibur, dan gak terlalu surem haha. Aspek cinta-cintaan di buku ini tidak hanya ditampilkan untuk membuat para pembacanya melting dan salting, tapi juga untuk menunjukkan bahwa hubungan romantis adalah salah satu bagian penting dari proses tumbuh kembang remaja. (Sip, aku berasa habis nulis tugas makalah psikologi perkembangan.)
Oh iya, aku tidak menyangka buku ini juga membahas tentang topik bullying. Dan astaga, semua deskripsinya akurat sekali. Ekosistem senioritas dan toksisitas anak SMP in a nutshell. (Seriously, some middle school kids are among the most vicious creatures in this entire planet 🥲)
Tapi di saat yang bersamaan, penggambaran tukang bully-nya juga digambarkan seimbang. Tentunya perilaku bullying itu salah banget (apalagi yang dilakukan Izzy pada teman sekelasnya, dan terutama pada Sally!!! huh). Tapi kebanyakan anak SMP mungkin hanya membeo apa yang terjadi di lingkungannya, atau melakukan sesuatu karena mereka juga berjuang dengan hal berat lain dan belum mampu untuk mengekspresikan rasa frustrasinya lewat cara yang lebih sehat. Hurt people hurt people, apalagi mereka masih bocah. Yang terpenting, mereka harus langsung diingatkan kalau berbuat salah, dan harapannya mereka bisa dikelilingi oleh pengaruh/panutan yang baik selama proses mereka tumbuh dewasa. Semoga mereka belajar jadi manusia yang lebih baik.
Kritik kecilku untuk buku ini adalah karakter Sally yang rasanya seperti manifestasi apa-yang-seharusnya-tidak-kamu-lakukan-saat-remaja. Aku akui, seringnya ia adalah teman yang buruk untuk Jo. Tapi kasihan banget dah di tiga buku ini, kayaknya dia yang selalu punya arc paling dramatis wkwk. Dan di tiap buku, kayaknya dia mendadak lupa gitu sama kejadian heboh yang terjadi di buku sebelumnya 😂 She'll grow up when she's older, I guess.
---- Secara umum, aku memberi novel ini 5 bintang, karena di atas ekspektasiku. Sayang sekali aku tidak membacanya ketika buku ini baru pertama kali terbit.
Aku harap serial Jurnal Jo ini dibaca oleh lebih banyak anak SMP. Karena meskipun aspek teknologinya sudah sangat outdated, kurasa masih banyak pelajaran yang relevan dan bisa dipetik dari cerita ini, tak peduli kamu anak SMP yang hidup di generasi apa.
(Baca juga ulasanku tentang buku 1 dan buku 2 dari serial Jurnal Jo.)
Josephine Wilisgiri is back. Setelah 4 tahun berlalu, akhirnya Jo kembali. Masih SMP sih dengan jeda waktu 4 tahun hahaha…
Well, meski masih SMP kehidupan dan kesibukan Jo tak kalah dengan para sosialita yang sok sibuk. Bedanya, Jo sibuk beneran. Kesibukan Jo yang pertama tentu dengan hatinya. Setelah Rajiv ‘nembak’ dirinya, Jo sibuk mikir, kira-kira apa ya hubungannya dengan Rajiv sekarang? Apakah mereka resmi pacaran? Atau masih teman tapi mesra? Jo sibuk banget mikir tentang hal ini.
Kesibukan Jo yang kedua adalah kehadiran cowok baru di kelasnya, Izzy. Cowok yang kabarnya model iklan dari Jakarta ini, entah bagaimana tiba-tiba muncul di kelasnya dan membuat para cewek jadi demam. Termasuk Jo. Padahal Jo ngga boleh demam pada cowok lain selain Rajiv kan?😁😁😁
Honestly, this is the best of Jurnal Jo series so far. And, my God, Rajiv is sweet as fvck. [Kapan ya punya pacar kayak Rajiv? :( ]
Ken Terate bener-bener tau gimana caranya memanusiakan karakter fiksi. Gak ada satu pun tokoh yang bikin gw ilang simpati, senyebelin apa pun dia, karena dia punya alasan yang manusiawi DAN MASUK AKAL. (Gak kayak tokoh, ehm, annoying, di novel teenlit lain yang belom lama ini saya baca. *gak mau sebut merk ah*)
Ceritanya oke. Meski judulnya "Episode Cinta" (dan ya, memang dipenuhi cinta penuh dosa yang dilakukan Jo dan Rajiv), tapi novel ini juga ngangkat tema yang lagi nge-hits (dan gw rasa akan selalu hits) yaitu BULLYING. Banyak sih novel yang ngangkat tema ini, tapi gw yakin gak ada yang menyajikannya serapi dan sebrilian ini. Episode Cinta ditulis dengan timeline yang sangat runut dan foreshadow yang apik. Selain itu, kemampuan berbahasa Ken Terate udah gak perlu diragukan lagi, dan itu bikin gw gak mau ngeluh apa pun soal tata paragraf, struktur kalimat, pemilihan kata, ejaan, majas, dll dkk.
Dan, oh ya, jatuh cintanya Jo pada Rajiv juga gak norak sama sekali. Memuja, tapi wajar. Gw betah banget ada di kepalanya Jo ini. Gak bikin pengen kabur. Biasa kalo baca novel akuan (sudut pandang orang pertama), apalagi yang pemikiran dan kelakuannya minta dibuang ke tong sampah, gw gak pernah betah. Jo ini beda, trust me. Jo, sebagai anak SMP, (menurut gw) sangat dewasa dan sangat jujur memandang kehidupan. Ken bener-bener dapet feeling Jo. Enak diikutin, ngalir, polos, bersih.
Satu pujian lagi, banyak bagian dari novel ini yang bikin gw ngakak banget. Paling ngakak sih perihal 'perahu bebek sialan' (hal 229). =))
Tappiiii........kenapa gak lima bintang? Karena, entahlah, ada sesuatu yang kurang saat gw menutup buku ini. Sesuatu itu, gimana ya, kayak makan sop yang enaaakk banget, tapi, lu ngerasa, di lidah lu itu kurang garam. Enak sih. Enak banget, malah. Tapi ya, tidak sempurna. I'm sorry, Josephine. (Hey, I love your name! XD)
Tahun ajaran baru telah menyongsong dan membawa warna baru untuk Jo. Kini ia duduk di kelas 8. Sahabatnya Sally berada satu kelas dengannya. Tidak hanya itu, seorang murid baru masuk ke kelas mereka. Namanya Izzy, ia berasal dari kota. Awalnya jo tidak percaya cowok itu adalah bintang iklan dan model. Baru sebentar pindah sekolah Izzy langsung disukai cewek". Bahkan Sally naksir berat padanya..
Jo tidak berniat untuk mengakrabkan diri dengan Izzy. Baru menatapnya saja sudah membuat jantungnnya tdk karuan.
Jo yg kini sudah berpacaran dg Rajiv merasa berdosa krn merasakan hal yang tidak seharusnya pd Izzy. Apalagi Rajvi adlh cowok yg sangat baik. Jo masih tidak percaya bahwa dirinya kini berpacaran. Utusan cinta monyet ini sangat baru di kehidupan Jo.
Kemunculan Izzy makin membuat onar. Banyak anak si bully olehnya, karena hal-hal sepele yang Izzy anggap kuno dan tidak seharusnya. Jo pun jadi bahan olok-olokan Izzy dan teman-temannya. Tapi Jo tidak melawan. Bagaimana pun mereka saling berhubungan dan tugas sekolah terus berjalan.
***
Aku tidak menyangka serial Jo berakhir di buku ketiga ini. Sejak SMP aku sudah menyenangi kisah Jo dan gaya menulis Ken. Beberapa anak tumbuh dan bergerak bersama karya teelit Esti Kinasih, tapi aku memfavoritkan Ken sebagai penulis teelit.
Buku terakhir ini, Jo dihadapkan pada pengalaman pertamanya berpacaran. Rajiv adalah cinta pertamanya, semua terasa serba salah ketika jatuh cinta.
Walaupun ini adalah kisah anak SMP tapi Jo sudah mulai berpikir dewasa tentang hubungannya dengan Rajiv. Apalagi mereka berdua berasal dari suku, adat dan agama yg berbeda.
Tidak hanya masalah percintaan, Jo juga harus berurusan dengan Izzy dan kawan-kawannya yang kerap mengolok-oloknya.
Aku sangat salut dengan sikap Jo. Walaupun dia adalah tokoh utama dan sudut pandang pertama darinya, Ken membentuk karakternya sealami mungkin. Ia punya kelebihan dan kekurangan. Jo adalah sindiran yang menyentil hati. Setiap orang sangat diharuskan belajar dari sudut pandangnya.
Akhirnya nemu juga! Hehehe. Sejujurnya, akhir-akhir ini susah banget buat merasa relate tiap baca teenlit. Ya konfliknya gitu-gitu aja lah, nggak cocok sama ceritanya, dan sebagainya. Pokoknya selalu ada yang kurang (kecuali yang udah pernah saya baca). Tapi kali ini saya suka banget. Entah karena ada faktor nostalgic juga mungkin. Emang dari dulu Jurnal Jo ini bagus banget, sih. Ringan, relatable, dan sesuai sama yang dihadapi anak seusia saya waktu itu (sekarang juga masih seusia kok...). Up to date gitu lah. Dari zaman awal-awal masuk SMP, terus facebook, dan sekarang, bullying. Recommended! Apalagi fenomena sekarang ini kan batas antara bullying (khususnya secara verbal) dan "berpendapat" agak bias, ya, bagi sebagian orang, dengan semakin bebasnya akses untuk menyampaikan hal tersebut, bahkan sama yang nggak dikenal sama sekali. Dan walaupun judulnya Episode Cinta, isinya nggak menye-menye, malah gemes. Ada beberapa SMS-an Jo dan Rajiv yang bikin geli sih sebenernya hahaha tapi nggak masalah juga. Jo polos bangetttt. Duh, Rajiv <3
Oh ya, saya masih nggak suka Sally. Ngeyel banget anaknya :)) Tapi ya itu tadi, karena merasa been there, done that sama kehidupan Jo dkk, saya nggak akan protes sama karakternya. Manusiawi. Karena pada kenyataannya emang umur segitu susah bener dikasih tau, most of the time, we messed up and had to learn our lessons the hard way :p *uhuk* sampe sekarang sih *uhuk*
Saya cuma menyayangkan font dan ilustrasi covernya, bikin terasa kurang hidup aja. But it's nice to finally 'meet' Jo, Sally, Nadine, and (of course) Rajiv again!
Sayang sekali aku sudah memutuskan enggak lagi mengasih bintang, seandainya keputusan belum dibikin aku akan kasih bintang 4.
Oke, lah, seandainya cerita ini lebih diringkaspadatkan dan titik beratnya sesuai judul -- dan atau di-mix blend supaya pekat sempurna (meski tanpa meninggalkan gaya bercerita remeh temeh -- dalam artian baik) -- antara cinta (sesuai dengan judul: Edisi Cinta), dan permasalahan remaja SMP karena di sini penekanannya agak campur baur. Tapi, sudahlah. Itu hanya kelemahan tipis. Karena, cerita secara keseluruhan sudah bagus.
Santai, lucu, menyenangkan, dan mengangkat realita yang berlapis-lapis. Cinta backstreet, beda agama, rasis, dan yang paling penting bullying atau perundungan << pada bagian ini yang aku bilang sebaiknya bisa diringkaspadatkan. Semisal tema tugas mengenai perundungan ini sudah dibicarakan di awal kayaknya lebih terfokus dan lebih ciamik.
Tapi, after all (aku ikut-ikutan mencampur bahasa karena tokoh-tokohnya ada yang begitu, hehe), ini bagus!
Ini adalah seri ketiga dari trilogy Jurnal Jo. gw udah baca dari buku pertama nya dari jaman SMA. di buku ke tiga ini Jo udah kelas 8 (2 SMP) dan mulai mengenal cinta (jieeh...)
let's started from the cover. gw ga sukaaa cover design nyaaa! gambar nya kurang 'pas' aja. kalo dibandingin sama cover buku pertama nya yg baguuuus banget.
kalo cerita nya typical Ken Terate, selalu ringan, alur nya tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat dan mudah di mengerti. makanya dalam beberapa jam aja udah selesai baca buku ini.
bercerita tentang Jo dan konflik pertemanan di sekolah nya. berawal dari anak baru bernama Izzy yang suka mem-bully. juga konflik Jo dengan sahabat nya Sally.
Juga tentang cinta pertama Jo dengan Rajiv yang berbeda agama dan pada akhirnya mereka harus berpisah karena Rajiv harus melanjutkan studi ke Amerika.
apakah ada lagi novel kelanjutan cerita dari Jurnal Jo?
Niatnya sih mau di-review di blog, eh tetiba bukunya ilang aja gitu di ipusnas, nggak bisa dipinjem ulang deh -_-
Episode Cinta ngingetin saya lagi kenapa dulu saya suka banget sama seri Jurnal Jo. Katanya ini buku terakhir ya? Saya harap sih masih bakalan ada lanjutannya, saya belum siap harus berpisah sama seri ini.
Novel teenlit Jurnal Jo 3: Episode Cinta ini merupakan lanjutan dan novel terakhir dari trilogi Jurnal Jo (yang pertama Jurnal Jo, yang kedua Jurnal Jo: Online). Novel ini ditulis oleh Ken Terate pada tahun 2014 dan diterbitkan oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Novel ini menceritakan saat di kelas Jo ada murid baru, artis dari Jakarta yang bernama Izzy. Izzy ini cakep, terkenal, lucu, dan membuat cewek-cewek tertarik padanya, termasuk Jo. Namun, Jo segera sadar bahwa dia sudah pacaran (backstreet) dengan Rajiv, teman laki-laki India nya. Lama-lama, Izzy ini mengesalkan karena jail luar biasa, satu per satu murid di kelas Jo menjadi korban kejahilan Izzy, termasuk Jo juga. Parahnya adalah Sally menyukai Izzy, sampai suatu ketika Sally juga menjadi korban kekesalan dan kejahilan Izzy, dan Sally malah menyalahkan dan mendiamkan Jo. Masalah muncul ketika Jo satu kelompok dengan Izzy dan Sally untuk Problem Based Learning Project. Selain itu, hubungan Jo dan Rajiv juga ga stabil karena Mama melarang Jo pacaran, perbedaan agama antara Jo dan Rajiv, juga Rajiv yang akan pergi ke Amerika untuk kuliah.
Yang lucu dan menarik dari novel ini adalah Jo tidak tahu pada awalnya kalau dia jatuh cinta dan bingung dengan status hubungannya dengan Rajiv, sehingga bertanya pada Sally dan Sally menyebutkan ciri-ciri jatuh cinta (tentunya dari majalah yang dia baca) yang ternyata semua ciri itu dialami oleh Jo.
Oh iya, ciri-ciri jatuh cinta yang dipaparkan dalam novel ini adalah ketika bertemu dengan seseorang lawan jenis itu, kamu akan merasakan deg-degan, badan tiba-tiba merasa panas atau dingin, giginya gemeletuk, kepala nyut-nyutan, perut terasa mual, otak macet (tak bisa berpikir). Saat membaca bagian ini, aku juga jadi ingat pernah merasakan muka merah dan deg-degan saat berpapasan/bertemu seseorang yang aku suka pas masih SMP (seusia Jo), lalu sampai temanku bilang "mukamu merah seperti kepiting rebus". Wkwkwk.
Di dalam novel ini juga ada penjelasan tentang bullying (penindasan) dengan berbagai macam jenis, mulai dari pakai kata-kata yang menyakitkan, ejekan, julukan tidak menyenangkan, psikologi, fisik, dan seterusnya. Korban bullying juga bisa mengalami trauma. Malah ada yang awalnya korban bullying menjadi pelaku bullying karena kesal akan masa lalunya, bisa juga karena di keluarga merasa tertekan, dll. Saat membaca bagian ini, aku teringat masa SMP dan SMA ku yang pernah menjadi korban bullying di kelas, entah apa sebabnya, tapi yang jelas aku bisa berprestasi dan membuat mereka yang pelaku bullying itu terdiam.
Novel ini cocok dibaca remaja, anak SMP atau SMA begitu. Gaya bahasanya gaul tapi tidak terlalu gaul, jadi enak dibaca dan mudah dipahami. Buat kalian yang suka genre school life, slice of life, dan teenlit, novel ini aku rekomendasikan.
Setelah membaca 2 novel Jurnal Jo sebelumnya, yang ketiga ini tetap menyenangkan untuk dibaca. Jo masih terus sibuk di kelas 8 dengan klubnya yang baru, yaitu klub fotografi (seleramu bagus benar Jo, sebagai anak SMP), dan hubungan dia dengan Rajiv lebih banyak porsi. Gemes gemes unchhhh hahahaha, Rajiv lembut sekali! Ga bisa membayangkan Rajiv seperti aktor-aktor Bollywood, entah kenapa, mungkin karena referensi saya yang sudah lebih berumur seperti Shah Rukh Khan dkk dan belum ada aktor muda usia SMA yang berkesan eaaaa. Dilema-dilema kecil khas remaja juga bermunculan di sini, bikin teringat betapa polosnya masa SMP. Bukan yang polos-polos amat, tapi ada saat-saat tertentu yang memang situasinya cukup baru dan asing saja. Seperti waktu Jo diejek-ejek Izzy soal pacar Indianya dan teman-teman sekelasnya ikut tertawa, Jo serta-merta langsung pengen putus dengan Rajiv. Wkwkwk padahal dia bisa saja bersikap bodo amat, tapi bisa jadi karena itu pengalaman pertamanya, dia jadi tidak punya banyak referensi sikap yang bisa diambil.
Selain itu, persahabatan Jo dan Sally yang seperti love-hate friendship. Bentar-bentar akrab, bentar-bentar musuhan. Dan lebih sering Sally yang membuat runyam situasi. Belum lagi Izzy yang duhhhh anak ini kok menjengkelkan yaaaa, rada korslet memang. Senang juga Bu Ken mengangkat isu perundungan di novel ini.
Secara keseluruhan, Jurnal Jo nyenengin! Meski bacanya ketinggalan jauh (wkwkwk bertahun-tahuuuuun jarak waktunya sejak awal terbit), tetap bisa dinikmati di masa sekarang sambil bernostalgiaaaa ^^
akhirnya! kelar aku namatin seri jurnal jo. seruu dan roller coaster, rasanya aku kayak masuk ke dalam cerita ini. di buku ketiga ini, ceritanya lebih kompleks dari buku buku sebelumnya.
di jurnal jo 3, ada pembahasan mengenai suatu hal yang cukup banyak terjadi lingkungan sekolah: bullying atau perundungan. jurnal jo 3 ini merambah juga ke hubungan percintaan anak remaja.
aku betah baca buku ini lama lama. narasinya enak banget diikutin. kayaknya cocok banget deh dibaca kalau lagi kena reading slump. sifat jo juga.. patut diacungi jempol. jo tau apa yang dia mau. dia nggak akan berhenti hanya karena teman dekatnya nggak melakukan hal yang sama.
jo tau kapan harus mendengar, kapan harus berbicara tentang dirinya sendiri. aku suka sama sikap jo yang seperti ini. ada memang saatnya jo goyah, tapi mungkin itu karena dia masih remaja.
⚠️ spoiler cerita yang tadinya berpusat di persahabatan, melebar ke percintaan. jo dan rajiv berpacaran! sally tau hal ini dan bukannya merahasiakan malah mengumbarnya.
lalu ada izzy si anak baru yang tengil dan jahil. di bayanganku izzy ini seperti tukang bully. memang sih kita nggak tau latar belakangnya, tapi di mataku izzy nih ngeselin banget 😤
ada sally, sahabat jo dari lahir. semakin lama, sifat sally berubah. jo nggak lagi kenal dengan sally yang sekarang. tapi yah, sepertinya sulit bagi jo dan sally untuk bermusuhan lama lama.
bacaan yang cukup ringan dan menyenangkan. beda juga dari teenlit teenlit yang dulu aku baca.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Kalauuuu saja saya baca Jurnal Jo series ini pas saya masih di bangku sekolah, yang mana permasalahannya pastinya nyambung sekali di jaman itu, which are: diam-diaman sama sahabat sampai berbulan-bulan, saling olok-mengolok teman di kelas yang bahkan menjerumus ke arah bullying atau perundungan (dalam bahasa Indonesia), mengalami cinta pertama, patah hati pertama, saling pamer barang baru ke teman-teman, dsb, dll) pastilah saya akan sukarela ngasih 5 bintang. Tapi karena saat ini saya bukan lagi anak sekolahan, maka yang bisa saya lakukan saat membaca ini hanya mengenang semua kejadian manis-pahit semasa sekolah itu. Kadang mengangguk-angguk setuju, kadang tersenyum-senyum sendiri karena semua yang ditulis Ken Kerate di sini benarlah adanya. Setidaknya untuk anak sekolah (SMP-SMA) pada umumnya. Ah iya, pesan-pesan moral buku ini untuk para remaja juga sangat bermanfaat. Jadi, setelah ini, saya tidak akan ragu untuk mencomot (dan membayar) ke kasir kalau besok-besok jalan ke toko atau pameran buku nemu tulisannya lagi. A very recommended book for teenagers!
Ada anak baru di kelas Jo, namanya Izzy dan katanya dia juga seorang selebriti. Langsung saja menjadi idola para cewek, khususnya sahabatnya, Sally. Bicara tentang Sally, dia sudah baikan dengan Nadine, cewek blasteran Jerman, mereka pernah musuhan gara-gara Sally berbohong kalau ayahnya pengusaha, tapi nggak yakin bakalan awet karena mereka sering memperebutkan Izzy. Sedangkan menurut pendapat Jo, tetep cakep Rajiv, tetangganya yang baik hati, walau kadang Izzy juga membuatnya sedikit 'demam'. Hubungan mereka juga semakin dekat, bahkan Jo mengidap gejala jatuh cinta! Rajiv terang-terangan nembak Jo di lapangan bulu tangkis. Namun, apakah hubungan mereka akan disetujui mama Jo? Selain itu, Rajiv juga akan kuliah ke Amerika. Jo beneran galau menyikapi perasaannya. Sesuatu yang baru di usianya yang beranjak dewasa.
Kalau di kelas tujuh Jo mengikuti ekstrakulikuler Klub Sastra, di kelas delapan ini dia memilih Fotografi dalam program pengayaan minat dan bakat. Tadinya mau ikut cheerleader, tapi ditolak mentah-mentah. Dia satu klub dengan Sally, Nadine dan Izzy, mereka juga punya ritual yang disebut 'ngupi-ngupi'. Di kelas ini juga mereka mendapat tugas yang diberi nama 'Problem Based Learning', mereka diminta menemukan, mempelajari dan mencari solusi dari masalah yang ada di sekitar. Mereka mendapat tema tentang Kerusakan Ekosistem Sungai, dan Jo langsung ditarik di kelompok Sally dan Nadine, yang tentu ada Izzy-nya.
Semakin lama Jo menyadari kalau Izzy tidaklah keren, mulai dari suka merokok, mengganggu adik kelas, memanggil nama sembarangan, mengolok-olok teman sekelas, sampai bolos saat mereka harus melakukan roleplay. Puncaknya, perbuatan yang dia lakukan pada Nabila ketika mengerjakan tugas kelompok di sungai dan pada Sally benar-benar tidak bisa dimaafkan. Kata Rajiv, teman Jo itu sakit mental, tindakannya sudah termasuk sebagai pelaku bullying. Dia juga berkata kalau biasanya pelaku bullying itu juga korban. Jo pun mendapat ide setelah keluar dari kelompok, dia akan membuat tugas dengan tema sikap yang membuat nggak nyaman di sekolah, tentang bullying. Cinta nggak seharusnya membuat kita murung dan resah. "Dan lihat, Jo, bullying itu ternyata ada banyak jenisnya mulai dari penindasan verbal -pakai kata-kata yang menyakitkan, ejekan, atau julukan yang nggak menyenangkan- psikologis, fisik, dan seterusnya. Jadi, bahkan dipanggil Paijo pun kamu udah termasuk di-bully." Di buku ketiga ini, selain Jo sudah mulai menerima transisinya sebagai cewek remaja, topik yang dibahas pun mulai sedikit berat. Kalau di dua buku sebelumnya isinya gado-gado, banyak hal yang disisipkan seperti rasanya beranjak dewasa, di Jurnal Jo 3 yang bertajuk Episode Cinta lebih dipadatkan dan fokus akan dua hal: cinta monyet Jo dan bullying.
Porsi Rajiv cukup besar, tadinya dia tampil kalau dibutuhkan Jo saja. Dia masih bijaksana, masih sering memberi solusi akan permasalahan yang dialami Jo, dan ternyata dia gombal banget, hahaha. Tiap baca bagian Jo dan Rajiv adanya senyum-senyum, dan waktu Jo harus naik pohon sawo waktu nerima telepon dari Rajiv bikin auto ngakak. Kisah cinta mereka memang cukup konyol, tapi ada topik yang berat juga di sana, yaitu perbedaan suku, ras dan agama.
Tema bullying di sini terasa ringan disimak, penulis mengambil contoh keseharian di sekolah. Apa sih yang membuat para pelajar tidak suka sekolah? Dari yang paling sederhana seperti mengolok-olok, memanggil nama sembarangan, sampai main fisik. Jo sebagai korban dan juga melihat perilaku yang tidak menyenangkan tersebut ternyata sangatlah banyak di sekitar, tersulut, bahwa bullying tidak boleh dibiarkan saja, dan cara dia melawan 'perundungan' wajib banget kalian baca sendiri.
Bagian film dokumenter itu salah satu bagian yang saya sukai di buku ini, selain itu ada satu lagi, waktu tahu Izzy tidak bisa naik sepeda. Jo langsung memotong teman-teman yang hendak menghina, dia langsung bilang akan mengajari dan dia sendiri juga tidak bisa berenang. Contoh sederhana inilah yang sepertinya sepele tapi perlu dibiasakan. Menghargai kelemahan orang lain, tapi juga memberi solusi, jangan mengejek atau meremehkan. Bentuk apa pun, bullying kalau dibiarkan bisa berakibat fatal.
Sebagai penutup (sebenarnya berharap akan ada lanjutannya lagi), serial Jurnal Jo ini cukup memuaskan. Kalau diminta rekomendasi buku remaja apa yang harus dibaca, otomatis masuk dalam daftar. Ceritanya ringan dan sangat berhubungan dengan keseharian kita, lebih mudah dipahami dan diterima, selain itu selalu ada tema khusus yang disisipkan penulis, yang bisa dipakai untuk pembelajaran di keseharian kita, misalkan tema bullying ini. Yuk mulai dari diri sendiri, hargai orang lain dan hilangkan sikap mengolok-olok, mulai dari yang ringan dulu, yakin akan berefek besar nantinya.
buku terakhir. Jo sudah kelas 8. harusnya jaraknya nggak berasa jauh, ya. buku pertama, Jo kelas 7 semester 1. buku kedua, Jo masih kelas 7, semester 2. buku ketiga, Jo kelas 8. tapi dari segi trend kehidupannya, lumayan juga lompatannya. jadi berasa waktu hidupnya agak melompat gitu (bingung nggak sih sama maksud aku?)
intinya sih, mungkin karena jeda antara buku pertama sampai ketiga agak jauh, jadi trend di sekeliling Jo berubah dengan cepat. padahal, kan, kalau dipikir-pikir, cerita Jo ini cuma berlangsung dua tahun.
oke, terlepas dari trend yang berasa 'lompat', aku tetep suka banget sama kisah hidup Jo dan kawannya.
sempet kesel banget sih sama Izzy. ya ampun ngeselin banget deh tuh anak. tetapi penulis cukup adil membuat tokoh Izzy nggak semuanya jelek. karena setiap orang pasti punya sisi baik dan buruk, kan?
aku juga sebel sama Sally. tapi ngerti banget dengan posisinya Jo sebagai sahabat Sally sejak kecil.
dan aku suka banget sama Rajiv. aku suka banget Rajiv dan Jo. ah, seneng banget pasti punya pacar anak SMA yang dewasa dan bijaksana saat kamu masih kelas 2 SMP. :D
Not my favorite in the series, tapi seneng banget bisa terjun ke dunianya Jo lagi! Mungkin, lagi-lagi, kalo aku baca ini mendekati usia Jo kayak Jurnal Jo yang pertama, aku bakal jungkir balik saking sukanya. Tapi aku cukup senang dengan mengintip dunia anak SMP dari usiaku yang sekarang. Jadi lucu! Udah gitu, pertama kali baca Jurnal Jo yang pertama, aku ya masih seumuran Jo. Baru masuk SMP kelas 1. Sekarang aku udah kuliah liat Jo (yang masih anak SMP, gila, aku tua sendirian) ngomongin cinta-cintaan tuh rasanya kayak aduh anak kecil udah pacar-pacaran aja. Belajaaaaaar!!! (Lho, jadi kayak mamanya Jo.)
Edisi tiga dari seri Jurnal Jo banyak bicara tentang bullying dan... cowok, tapi cerita dinamika pergaulan di SMP juga tetep ada dan penuh. Aku selalu suka gaya cerita Jo yang masih kerasa anak kecilnya, jadi tonenya ringan walaupun temanya bisa dibilang berat kayak bullying. Apalagi karakternya Jo ya emang begitu, lucu banget. Enjoy banget. Banget. Props to Mbak Ken Terate! Mbak, aku padamu banget!
Seru banget melihat bagaimana mbak Ken menggambarkan perilaku para remaja ABG yang baru mengenal serunya dunia remaja di kisah Jo ini. Lewat sosok-sosok "dangkal" seperti Sally dan Izzy, penulis menunjukkan gejala para remaja ABG yang hanya mau enaknya saja tapi nggak mau bagian tanggung jawabnya. Fenomena ini yang sering terlihat pada sebagian remaja zaman sekarang. Menjadi remaja memang setingkat lebih bebas ketimbang menjadi anak-anak. Tetapi, bersama kebebasan baru itu ada tanggung jawab baru dan konsekuensi yang lebih berat. Mengajarkan "ilmu kehidupan" kayak gini pastinya akan lebih "sampai" jika dilakukan lewat kisah yang mampu menggambarkan dunia keseharian remaja seperti Jurnal Jo karya Mbak Ken ini. Terima kasih Mbak, kisahnya.
Seru! Udah sampe novel ketiga aja tetep asyik buat dibaca, padahal novel Jurnal Jo yang pertama aku baca pas masih kelas 1 SMP wkwkwk.
Ini cerita yang bener-bener anak SMP banget, nggak ada cinta-cintaan yang cringe, rebutan cowok sama sahabat, drama-drama di sekolah yang lebay dan lain-lain. Pure anak SMP yang banyak ngerjain tugas kelompok lol, ketemu teman seleb yang songong dan tentang perkembangan karakter Jo yang beranjak remaja dan menghadapi segala hal pelik (( pada masanya )) yang kalo sekarang dipikirin mah padahal nggak pelik-pelik amat lol. Tema tentang bullying yang diangkat juga relate sama cerita anak SMP menurut aku. Hal-hal "candaan" yang keterlaluan padahal sebenarnya itu udah bisa disebut bullying juga, dan aku suka gimana cara Jo menghadapi itu semua termasuk defend temannya supaya nggak ada lagi kejadian kayak gitu.
Wah, akhirnya aku menyelesaikan baca Jurnal Jo Series! Untuk tiga bukunya, menurutku buku terakhir ini paling bikin emosi sih. Topik mengenai minimnya awareness tentang bentuk-bentuk bullying jadi membuat aku sadar bahwa walaupun kasus bullying ini sering diperbincangkan, tapi masih banyak orang juga yang nggak mengenalinya langsung. Jujur, aku gedeg banget sama Sally yang kok dari buku pertama sampai ketiga nih ada aja deh tingkahnya😩 aku takjub sih Jo mau memanggilnya sahabat setelah banyak kejadian yang tidak menguntungkan bagi Jo.
Selain itu, Rajiv is the walking green flag! Dia benar-benar jadi teman yang sangat baik bagi Jo. Aku juga suka dengan perkembangan karakter Jo yang selalu positif! Reading this series been giving me some flashback to my middle school time and I have great time while reading this series💕