Tak mengenal sang ayah sudah menjadi beban berat bagi Sofia, terlebih harus kehilangan mamanya. Sepeninggal mama, Sofia melanjutkan kuliah di Jepang bersama paman yang sudah terlebih dahulu tinggal di sana. Dia harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan yang berbeda dari negara asalnya.
Selain kuliah, Sofia juga membantu paman mengurus toko bunga. Isao salah satu pemasok barang di toko paman yang dia sangka bisu dan tuli karena tak pernah mendengarnya berbicara, sampai suatu ketika Sofia mendapatinya menyanyikan lagu Fukai Mori.
Sofia merasa ganjil ketika Isao menghilang dan tiba-tiba undangan pemakamannya tiba. Muncul banyak pertanyaan dalam kepalanya saat tahu Isao bunuh diri. Mengapa Isao melakukannya? Apakah dia tak tahu ke mana harus kembali selain kepada kematian? Atau dia kehilangan poros kehidupan sehingga memutuskan mengakhiri semuanya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkeliaran dalam isi kepala Sofia, hingga gelang cemara, matsuri dan sebuah bintang polaris menjawab kebingungannya.
Penulis asal daerah poci Tegal ini, punya nama lengkap Sinta Yudisia Wisudanti. Penulis pernah kuliah di STAN Jakarta sampai tingkat II, mengaku aktivitas tulis menulisnya sebagai bentuk penyaluran dari hobinya berkorespondensi dan membaca. Tak heran kalau tulisan-tulisan fiksinya sangat beragam mulai melodrama, komedi, science fiction, historical fiction, sampai cerita-cerita perjuangan dengan latar dalam dan luar negeri yang kerap menghiasi berbagai media cetak, terutama majalah Annida.
Setelah membaca Reem, aku jatuh cinta dengan tulisan Kak Sinta. Melalui Polaris Fukuoka, Kak Sinta berbagi isu mengenai "bunuh diri" yang sekarang sering kita dengar secara mengejutkan terjadi pada orang terkenal hingga orang biasa. Kasus yang banyak terjadi terutama di negara-negara maju seperti Jepang atau Korea.
Tema yang cenderung berat, tapi diceritakan dengan gaya menulis yang mengalir dan ringan. Bagaimana seseorang yang memilih jalan bunuh diri itu merasa itulah jalan terbaik yang harus dia pilih. Membaca novel ini tidak ada terkesan menggurui. Kita malah diajak untuk bisa lebih peka dan peduli dengan orang lain.
Seperti kisah Sofia yang terlahir tanpa mengenal sosok sang ayah, harus kehilangan mamanya saat masih remaja dan hidup bersama Om Hanif yang berbeda banyak hal di Fukuoka, Jepang. Kematian Isao karena bunuh diri hingga pertemuannya dengan Nozomi (adik Isao) dan Tatsuo, sahabat Isao.
Novel ini kental aroma persahabatan dan keluarganya. Bagaimana Sofia harus terlibat konflik dengan Om Hanif. Bagaimana Sofia secara tidak langsung dekat dengan Nozomi yang misterius dan kisah persahabatannya dengan teman-temannya yang menyenangkan.
Aku suka dengan ilustrasi yang cantik dalam novel ini, suka dengan setting Fukuoka yang cukup detail dan memasukkan unsur budaya Jepang yang memperkaya pengetahuanku.
Secara keseluruhan, aku menikmati kisah Sofia. Sayangnya, sepertinya novel ini tidak akan berhenti disini. Aku rasa Kak Sinta sedang menyiapkan kejutan bagiku dan pembaca lainnya untuk menunggu kelanjutan kisah Sofia dan Om Hanif. Ah, aku penasaran dengan sosok Ninef juga Tatsuo
Apakah manusia hanya berharga ketika dia lenyap dari hadapan kita? (halaman 96)
"Hanya satu hal yang membuat orang mengambil keputusan mengakhiri hidup, Sofia.
"Neglected. Diabaikan." (Nozomi, halaman 151)
"Jisei yang kukenal adalah ketika ibuku meninggal, aku selalu terhanyut membaca sebuah kalimat: setiap yang berjiwa akan mati. Kalimat yang benar-benar menusuk jantungku. Kupikir, kematian itu seperti daftar absensi. Nyatanya, kematian terjadi secara acak."
(Sofia, menjawab pertanyan Nozomi apakah ada jisei di Islam, saat mereka beristirahat di tengah pendakian Gunung Aso, halaman 236)
Mengapa ada orang hidup yang ingin mati?
Mengapa Mama yang punya keinginan hidup lebih lama, justru pergi?
(halaman 246)
***
Hanya selapis inikah hubungan antarmanusia? Mereka bertemu, berteman alakadarnya, suka-suka saat gembira dan sendiri-sendiri saat duka? (halaman 255, saat Nozomi tiba-tiba menghilang dan Tatsuo serta Sofia jadi frustrasi, lalu bertengkar sendiri)
***
Sofia berkuliah di Kitakyushu, salah satu universitas perempuan (josei daigaku) terkemuka di Jepang, dan mengambil program Human Live Development. Agenda periodiknya adalah mengajar anak-anak kelas kindergarten, elementary, dan junior. Ia datang ke Fukuoka setelah ibunya meninggal karena suatu penyakit. Di sana ia menginap di apartemen Paman Hanif. Sebagai gantinya ia membantu di toko bunga atau di toko bahan makanan Asia milik pamannya. Ada indikasi kalau pamannya punya konflik yang cukup serius dengan mama Sofia dan Tantenya, Nanda.
Malam musim semi berhias titik samar gemintang. Tidak terlalu terlihat jelas sebab benderang lampu suppa dan apartemen mengalahkan kerlip mata bidadari di beledu malam. (halaman 28, pasca Sofia menghadiri pemakaman Isao)
Menatap dompet patchwork itu membuatku teringat nasihat Steve Jobs: Hidup itu seperti rangkaian red dots, titik-titik merah yang saling terhubung. Kadang, kita tidak akan tahu mengapa titik-titik itu ada. Namun, ketika polanya sudah terbentuk dalam sejarah hidup ini, barulah kita sadari mengapa titik-titik itu perlu muncul di hari-hari yang lampau. (halaman 30-31)
Mengapa dalam tubuh kekar seseorang tersimpan semangat bayi yang cengeng dan selalu menangis? Mengapa hidup yang dianggap sulit diakhiri dengan bunuh diri, bukannya tindakan sepertiku: tutup telinga?" (halaman 31)
Dalam keheningan seperti itu, Sofia merasakan kepedihan yang tumbuh bagai momiji yang terpaksa menguning. Bukan di musim gugur, melainkan di pucuk-pucuk pohon musim semi. (halaman 62, ketika Sofia bertemu dengan Nozomi di kedai turki wilayah Hakozaki, untuk membicarakan Isao) ***
"Kamu itu keras kepala kayak si Anip! Mama buang ke laut Jepang, ya?! (halaman 42)"
"Kalau saja Tante benar-benar jadi astronaut, kamu ta'ajak dan ta'lempar ke asteroid!" (halaman 44
Pijit kening. Sejak kecil Sofia sudah terbiasa menghadapi ungkapan-ungkapan seperti itu. Gila. Abusif verbal!
***
Dia ingin punya ayah, sebagai hadiah sweet seventeen. Belasan tahun menunggu, apa hadiah itu belum pantas didapatkan? Mengingat ayah membuat dadanya sakit sampai-sampai semua tulang rusuknya terasa menancap di bilik jantung. (halaman 49)
***
"Kematian memang begitu, Sofia, tidak memandang pantas tidak pantas. Banyak orangtua yang masih sehat walaafiat di usia 70, 80, bahkan seratus tahun lebih." (Mama to Sofia, halaman 78)
***
Dasar, manusia! Kalau ibadah mengantuk, giliran selesai shalat kuat menonton televisi, baca komik, juga buka gawai. (halaman 78)
***
"Setan dari api, baru bisa dipadamkan dengan air wudhu. Kalau kamu masih mimpi buruk juga, coba pas mau tidur wudhu dulu."
"Wudhu bisa buat nangkal setan?" Sofia memperjelas.
"Betul. Masa, kamu enggak tahu?"
"Iya, sih... jadi ingat kalau orang marah, yang artinya lagi digoda setan, bisa mereda karena wudhu," Sofia mengingat pelajaran SMA.
"Betul," Paman mengangguk.
"Kalau gitu, Om kurang wudhu, dong...."
"Maksudmu?"
"Om suka marah-marah, sih...."
"Kalau itu beda lagi! Paman monyong. "Itu karena kamu yang bikin kesal!"
(Halaman 94, Sofia dan Paman Hanif. Saat membicarakan omamori pemberian Nozomi yang dilepas oleh Paman Hanif)
***
"Apa kamu tahu filosofi bonsai?"
"Enggak tahu," Sofia menggeleng.
"Aku rasa itulah tanaman yang menggambarkan pribadi Isao. Bonsai jenis tanaman yang kuat menahan derita, mampu hidup dalam lingkungan sempit dan sedikit air, kuat menghadapi perlakuan. Diikat, ditahan, diberi beban."
(Halaman 100, percakapan dengan Nozomi, saat lari pagi bersama di Ohori Kouen)
***
"Tante boleh nginep di apartemen si Anip? Atau, Tante harus cari penginapan murah-murah?" tanya Nanda.
"Di tempat Om Hanif aja, Tan."
"Dia enggak papa?"
"Dia enggak sejahat yang kita kira," kata Sofia.
"Maksudmu, lebih jahat?" Nanda terkekeh. Sofia tergelak.
(halaman 131)
"Pasangan cinta enggak hanya dinilai dari gantengnya."
"Gitu, ya... berarti calon Tante enggak ganteng?"
"Kamu, tuh, pinter ngomong kayak Anip!"
"Kalau yang jelek-jelek dilekatkan sama Om Hanif, ya? Kasihan Si Om." (halaman 208)
***
Adegan saat Sofia mulai membuat shibori (kayak jumputan gitu, halaman 166)
"Bukannya Nona Kobayashi hanya meminta replika?" tanya Umeko.
"Iya, kamu seperti membuat aslinya," Jie Eun heran berujar.
"Tadinya, aku mau buat yang kecil saja," Sofia menjelaskan. "Tapi, aku khawatir ada yang terlewat. Setelah kejadian buruk tempo hari, sepertinya aku jenis orang yang kurang teliti."
***
"Lagipula, di keluarga kami, perempuannya cantik-cantik. Gen pilihan. DNA-nya terjamin. Tetapi, yang laki-laki, sepertinya kena mutasi."
Umeko tertawa keras. Hanif menoleh kesal. Sofia menyembunyikan wajah ke bahu Umeko yang gempal, sambil menyembunyikan ledakan tawa.
(Sofia, halaman 238. Pasca pendakian Gunung Aso)
***
"Aku melihatnya minum racun. Dia berteriak-teriak, memanggilku dari dalam bathub kamar mandi," Nozomi menegadahkan kepala, mengenang.
Sofia terdiam, menyimak dengan hati bagai musim gugur beralih ke musim dingin yang membekukan.
"Abangku menggelepar, menggapai-gapai. Mulut dan tenggorokannya terbakar. Aku hanya berdiri mematung di tepi pintu. Dia mungkin butuh menggenggam tanganku saat kematian yang menyakitkan menjemput. Matanya...."
Nozomi berhenti sejenak.
"...mata itu seolah menyesali keputusan kematian."
(Cerita Nozomi pada Sofia, pasca ia pingsan di Gunung Aso, halaman 244)
***
"Kamu harus mampu menjelaskan kepada orang lain ketika kamu yakin apa yang kamu lakukan benar. Kebenaran itu bukan untuk ditutupi, tapi disebarluaskan. Kebaikan juga demikian. (Nenek Sofia, halaman 290)
"Kamu jangan mudah percaya atau mudah nolong, ketika orang lain itu menghendaki bantuan kamu sampai-sampai kamu kewalahan!" (Tante Nanda, halaman 296)
***
"Kadang, kita begitu sibuknya kuliah, bekerja, merancang karier. Sampai tidak merasa sesuatu telah mengempis, mengering. Satu entakan tiba-tiba membuat hidup berkeping-keping rasanya. Mati lebih elegan." (Tatsuo, pada Sofia, pasca insiden yang nyaris merenggut Nozomi, halaman 275)
***
Buatku buku ini anomali. Di awal bukunya kisah ini tampak begitu canggung dan agak terbata, aku juga kurang enjoy dengan beberapa istilah Jepang yg bertebaran untuk hal-hal "renik" padahal istilah-istilah itu bisa dengan mudah digantikan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia.
***
TAPI. Nggak lama setelah melewati beberapa adegan awal, aku menemukan diriku terkekeh-kekeh dengan beberapa kejadian konyol seperti saat Sofia menempelkan ofuda di jidat pamannya gara-gara dihantui oleh pemikirannya sendiri. Beberapa dialog bertempo tepat yang terjadi antara Sofia dengan tante dan pamannya juga sungguh renyak dan bikin ngakak. Nggak cuma senyum atau meringis, tapi beneran ngakak.
***
Lalu kutemukan diriku nangis tersedu-sedu sampai mbeler segala, kukira diriku kena flu, waktu adegan pertengkaran antara Sofia dan Pamannya, lalu flashback Sofia yang disudutkan dengan tuduhan mencuri uang tabungan semester oleh almarhum mama dan tantenya. Terutama adegan waktu dia bersitegang dengan Paman Hanif. Untuk suatu alasan aku kena emotional breakdown pas bacanya. Setiap kali Paman Hanif ngebentak Sofia aku merasa ikutan kena bentak. Sosok Paman Hanif yang suka nyinyir dan keras itu mengingatkanku pada beberapa kejadian. That's why I cried hard, sambil mendem perasaan pingin ngelempar Paman Hanif pake guci Tiongkok.
Adegan-adegan itu menggambarkan betapa parahnya ketidakpahaman orang-orang yg harusnya dewasa dalam memahami remaja seperti Sofia dengan segala permasalahan dan kebingungannya dalam menjalani masa tumbuh-kembang. Dan betapa mudahnya orang-orang dewasa itu mengoyak psikis anak-anak mereka hanya karena mereka merasa berhak melampiaskan amarah. Huff...
***
Lalu jauh sebelum adegan-adegan di atas, aku menemukan diriku terpaku dengan renungan tentang kematian yang pertama kali dimunculkan lewat kematian tokoh bernama Isao karena bunuh diri. Jangan terkecoh dengan kovernya yang pinky unyu itu. Novel pinky unyu ini banyak sekali membicarakan kematian. Tentang pemikiran dan percobaan bunuh diri yang bisa menimpa siapa saja tanpa pandang apakah orang itu sukses atau tidak, berprestasi atau tidak, berfisik sempurna atau tidak.
Novel yang bisa membuatku merenung dan terbahak-bahak serta tersedu-sedu bersamanya. Itu semua nilai plusnya.
***
Namun, ya itu tadi. Beberapa hal bikin aku galau nentuin rate-nya. Misalnya metafora aneh dan lebay yang digunakan narator untuk menggambarkan perasaan Sofia. Beberapa narasi terkesan terpisah dari kalimat-kalimat sebelumnya. Untaian benang cerita yang agak tersendat kalau boleh kubilang. Fragmen-fragmen adegannya digambarkan cukup realis tapi pada beberapa titik agak ngglambyar buatku. Penggambaran seting Jepangnya juga sering dibuat dengan menyela adegan yang ada. Novel berubah jadi pamflet pariwisata dan budaya Jepang sebelum akhirnya dikembalikan lagi pada adegan dan situasi yang tengah berlangsung.
Begini, aku udah terbiasa menikmati novel yang cara berceritanya linear. Satu tokoh utama punya konflik serius, lalu bertemu tokoh lain dan mereka sama-sama menghadapi masalah serius itu dari awal sampai akhir. Seputar kehidupan mereka terfokus pada masalah utama itu. Misal, kalau ada novel remaja sekolah tentang masalah persahabatan, maka biasanya tokoh nggak digambarkan kebingungan bikin PR atau ngerjain makalah. Kalaupun ada semua itu dibuat agak samar, hanya sebagai pendukung plot menuju penyelesaian konflik utama. Dan di sepanjang cerita, sang tokoh utama akan sering dibuat berinteraksi dengan tokoh-tokoh kunci, lalu lambat laun mengenal sang tokoh kunci dari segala sisi dan aspek.
Tapi pada dunia nyata, skenarionya nggak selinier itu. Seringkali fokus kita akan terpecah karena masalah-masalah baru. Seringkali masalah itu kemudian dibiarkan menggantung tanpa solusi, atau baru diurus lagi setelah lama waktu berselang. Interaksi kita dengan orang lain juga umumnya berpola acak. Kadang kita gak benar-benar mengupas orang-orang yang ada di sekeliling kita. Sehingga seringkali pola kehidupan kita seperti naskah-naskah skenario yang menggantung. Saking realisnya, itu yang terjadi pada novel ini.
***
Kukira konflik utamanya adalah soal kematian Isao karena bunuh diri, misteri di balik penyebabnya, dan bagaimana Nozomi, sang adik, berusaha mengumpulkan barang-barang peninggalan Isao lewat Sofia, sementara kita akan dibuat was-was apakah Nozomi akan menyusul kematian sang kakak dengan cara yang sama. Dengan begitu kukira Nozomi adalah tokoh kunci yang bakal dikupas habis oleh Sofia.
Tapi kemudian Sofia digambarkan kebingungan mencari daun mangga untuk tugas membuat shibori demi keperluan eksebisi kampus. Lalu ada konfliknya dengan Paman Hanif dan Tante Nanda. Semuanya ditonjolkan dengan cara yg sama kuatnya dengan tragedi kematian Isao itu.
Interaksi Sofia dengan Nozomi juga nggak digambarkan terlalu intens. Hanya sepotong-sepotong. Lebih banyak disela dengan banyak peristiwa lain. Sofia nggak sampai tahu seluk-beluk kehidupan keluarga Nozomi dan kehidupan gadis itu secara menyeluruh (kukira mereka akan jadi sahabat, tapi bahkan sampai di novel Sirius Seoul pun Sofia masih gamang untuk menyebut Nozomi sebagai teman). Alasan Isao bunuh diri dan keterkaitannya dengan Sofia masih samar. Samar sekali. Kayaknya aku agak bisa nebak, tapi mau kupastikan lagi abis baca ulang. Mungkin ada yang kulewatkan. Beberapa buku perlu dibaca lebih dari satu kali sebelum kita beneran merasa ngeh.
***
Pada akhirnya inti novel ini berpusat pada Sofia yang yatim piatu dan terpaksa numpang hidup bersama pamannya yang galak di Fukuoka. Juga kerinduannya pada sosok ayah yang meninggalkannya tanpa pernah ia kenal, dan alam bawah sadarnya yang mencari sosok ayah pada diri para laki-laki yang ia temui. Baik dari pamannya, Tatsuo, hingga Isao. Konflik dengan Nozomi yang kukira adalah konflik utama ternyata hanya konflik sampingan yang diparalelkan dengan sensitivitas Sofia terhadap kematian karena mamanya sendiri sudah meninggal.
Ah, terakhir kali aku baca novel Pulau Sae yang gayanya kayak gini. Bedanya Pulau Sae membagi satu bab panjangnya ke dalam beberapa babak sebelum akhirnya berpindah ke bab lain dengan cerita dan konflik yang benar-benar baru meski masih nyambung dengan bab sebelumnya, seperti episode film berseri di TV. Sedangkan di novel ini macam dibuat langsung jadi satu.
***
Kadang dibuat bingung karena adegan masa kini dan flashbacknya seolah nggak ada jeda sama sekali. Makanya buatku pribadi awalan novel ini agak kagok. Tapi semakin cerita berjalan, jalinan narasi dan dialognya terasa lebih lancar dalam menyajikan jalan ceritanya.
"Kekagokan" itu seingatku nggak kurasakan sama sekali waktu membaca novel-novel Mbak Sinta yang berjudul Reinkarnasi, Bulan Nararya, dan Rose, yang notabene konflik dan sasaran pembacanya lebih dewasa. Pada novel ini buatku terasa kalau Mbak Sinta seolah masih meraba-raba untuk menyentuh kembali kisah kehidupan remaja bagi pembaca remaja. Dulu sekali Mbak Sinta memang banyak menulis buku fiksi remaja (seperti Pink, Sofia and Pink, lalu juga Double J yang ceritanya bikin kepingkel-pingkel itu), sebelum akhirnya lebih fokus pada genre drama cerita dewasa (bukan dewasa yg ehem-ehem loh maksudnya!), epic sejarah (historical fiction), dan buku-buku psikologi pernikahan serta parenting. Iyup. Kayaknya buku ini semacam novel comeback-nya Mbak Sinta di dunia fiksi remaja dan young adult.
Untungnya, buku ini jauh lebih baik daripada Sofia and Pink. Yup. Sofia and Pink adalah prekuel langsung dari Polaris Fukuoka. Tapi tanpa membaca Sofia and Pink pun Polaris Fukuoka bisa tetap dinikmati dengan lancar. Kuharap suatu saat Sofia and Pink bisa diremake total untuk melengkapi suguhan kisah Sofia bagi pembaca masa kini.
***
Jadi kesimpulannya buku ini recommeded, nggak? Buatku iya. Kalau nggak tertarik, buku ini bakal langsung kutinggal selingkuh sama buku lain hhahah. Nyatanya aku bisa cukup fokus membaca Polaris Fukuoka dari awal-akhir tanpa melirik buku lain. Dan kalau bukunya nggak bagus nggak mungkin aku langsung lanjut maraton ke Sirius Seoul, kan.
Saranku sih, kalau kamu tertarik mencicipi buku ini, belinya sekalian langsung ama Sirius Seoul. Biar afdhal dan tuntas. Ending Polaris Fukuoka ini langsung nyambung ke persoalan Ninef dan mantan istri Paman Hanif yang akan jadi sorotan utama dalam buku Sirius Seoul. Kisah-kisah Sofia ini formatnya aja yang kayak novel stand-alone. Nyatanya ini serial.
***
"Kalau kamu tertarik dengan seseorang (...) Dia harus seorang Polaris."
"Apa hebatnya orang Polaris?"
"Dia selalu bersinar terang, menjadi pemandu, dan menunggumu di satu titik. Tidak berpindah-pindah ke arah langit yang lain."
ini buku kedua mba Sinta yang kubaca yang tema nya "agak"berat. pantesan waktu baca Existere, aku bertanya-tanya kenapa mba Sinta bikin endingnya seperti itu. dan aku sadar sekarang, setelah membaca cerita ini.
Kalau Existere bertema poligami (kalau ngga salah), tema yang diangkat mba sinta ini adalah Suicide. well, ini salah satu temanya yg bikin aku tertarik membaca.
Sejak kenal manga dan anime, Jepang selalu jadi negara yg menggoda. Alamnya, kebudayaan, cara hidupnya. Tapi seperti mata koin, ada sisi buruknya.
Salah satunya tingkat bunuh diri yang cukup membuat pemerintah Jepang waspada. Jepang memiliki masyarakat yg tidak terlalu mengenal agama sehingga ini disinyalir kenapa orang Jepang banyak yg bunuh diri.
Kasihan ya, ketika sistemnya maju atau muamalahnya bagus tapi hubungan personal dengan Tuhan terasa datar, bunuh diri bisa jadi jalan bagi seseorang yg tidak kuat menghadapi cobaan.
Mba sinta memperkenalkan Sophia sebagai gadis indonesia yg sedang belajar di kota Fukuoka. Lewat serangkaian kegiatan, Sophia mengenal sisi kelam bunuh diri.
Selain tema Suicide, tema family diangkat dan mendominasi sebagian cerita.
aku suka dengan settingan mba Sinta, Sophia yg ditinggal ayahnya dan ibunya tapi memiliki tanta Nanda, adik ibunya yg galak tapi sangat dekat dg Sophia.
ada paman Hanif yg temperamennya meledak ledak tapi membantu Sophia dg menyediakan tempat tinggal selama Sophia kuliah di Fukuoka.
konflik keluarga antara Sophia-tante nanda-om hanif menyegarkan kondisi keluarga yg broken home tapi masing-masing dari mereka saling berkaca untuk memperbaiki kesalahan.
untuk Sophia, kita mengenal dirinya sebagai gadis ceroboh yg suka menolong. Sophia juga mengalami tumbuh kembang karakter lewat serangkaian kejadian di novel ini.
membaca cerita ini kita disajikan kebudayaan dan tempat-tempat menarik di Jepang. Tentunya dengan bantuan om Google. setidaknya ciri khas mba Sinta yg detail dalam deskripsi tempat masih melekat dalam karyanya.
"Kalau kamu tertarik dengan seseorang..." "Dia harus seorang Polaris" "Apa hebatnya orang Polaris?" (Hal.340) . Sosok ayah yang tidak dikenalnya sejak kecil, tinggal bersama paman di Jepang dan membantu mengurus toko milik pamannya, sampai pertemuannya dengan Isao yang memantik pertanyaan ketika terdengar kabar pemuda tersebut mengakhiri hidup... "Apakah dia kehilangan poros kehidupan sehingga memutuskan mengakhiri semuanya?"
⭐️ Sampul kawaii namun isinya mungkin lebih mendung karena tokoh utama yg bukan hanya tidk mengenal figur ayah, harus tinggal di negeri sakura bersama pamannya yg mengesalkan, sampai pertanyaan yg terpantik krn kabar kematian seorang Isao yg memilih mengakhiri hidup.... Kembali membaca beberapa bagian dari novel ini sembari berusaha mengingat alasan memutuskan tuk membaca karya bu Sinta Yudisia ini bahkan tanpa membaca ulasan terkait buku ini. Sependek yg saya ingat, pertanyaan Sofia terkait kemungkinan hilangny poros kehidupan membuat seseorang memutuskan untuk mengakhiri hidup menjadi salah dua alasan membeli buku ini.
⭐️ Isao dan keputusan menjemput kematiannya a.k.a bundir yang rasanya masih cukup tipis, tetapi seingat saya, ini yg kemudian membawa Sofia melangkah dan semacam berkenalan orang selain pamanny. Kematian Isao secara tak langsung mengenalkan Sofia dgn sosok lain di negara Sakura.
⭐️ Misteri bukan hanya datang dari kematian Isao, tetapi juga dari sosok pamanny yang menurut Sofia mengesalkan, seperti menjaga jarak dgn nenekny, dan barangkali..., ada kesedihan dan kesendirian yg dipendam pamannya sendirian.
⭐️ Sepanjang membaca, dulu, saya ingat bagaimana cerita ini terasa bergerak perlahan namun menghanyutkan krn ditulis dgn indah menurut saya. Selain itu, saya menikmati proses seorang Sofia berproses dgn semua 'misteri' dalam hidupny. Sofia yg menjadi seorang muslimah tdk lantas membuat buku ini menekankan keyakinan tertentu, melainkan justru melebur sehingga rasanya kepercayaan tertentu di negara yg punya budayanya sendiri dapat berdampingan. Tentang Polaris, entah sosok Isao atau sosok lainnya yg menjadi polaris dalam kisah Sofia ini? Iqro, yuk hehe🤭
⭐️Novel yg indah dan cukup filosofis, menguatkan namun tdk mengusik keyakinan tertentu. Bagi saya pribadi, hal ini membuat saya menyukai novel ini, secara spesifik, karya bu Sinta Yudisia.
⭐️ Ending dari novel ini membuat saya lekas mencari informasi tentang Sirius Seoul🤭🙏
Pertama kali membaca novel karya kak Sinta, langsung jatuh cinta. Bikin baper dan bikin tertarik buat membaca karyanya yang lain . . Di Polaris Fukuoka ini kita diajak untuk mengenal bunuh diri yang sekarang ini banyak banget terjadi di lingkungan sekitar kita. Tak hanya orang biasa, orang terkenal pun juga kita kerap mendengar kasus bunuh diri. Tak hanya di negara kita saja, di Jepang dan Korea pun juga ada. Seperti yang terjadu baru-baru ini, Blink-blink pergi. Kakak Princess sedih, selalu kagum sama suaranya. Jatuh cinta semenjak nonton konsernya di NY via Youtube sih nontonnya. Boleh minjem bahu paman ganteng nggak, biar bisa nangis? . . Agak kaget sih sebenarnya dengan tema yang ditulis oleh kak Sinta. Berat juga yaa temanya. Tapi, menjadi tak berat karena diceritakan dengan ringan dan dengan bahasa yang mudah dipahami. Di novel ini pun kita tidak diberikan pemahaman yang menggurui, melainkan kita diajak untuk lebih peka, lebih peduli pada sesama, pada lingkungan sekitar, lebih merangkul juga. Jangan sampai orang-orang di sekitar kita itu merasa sendirian . . Kita bisa belajar melalui kisah Sofia juga lho. Dimana dia lahir tanpa tahu siapa ayahnya, dan dia menjadi yatim piatu saat remaja karena kehilangan mamanya. Kemudian dia harus tinggal sama paman ganteng. Baru menyesuaikan diri di Fukuoka, ehh, dia mendapat kabar tentang kepergian Isao hingga dia bertemu dengan Nozomi dan Tatsuo . . Mengambil cerita tentang keluarga, persahabatan dan bagaimana hidup di negeri orang. Kemudian tatkala Sofia mendapat masalah dengan paman ganteng, dan penasaran akan sosok Nozomi. Wuih, bener-bener deh, bikin kangen sahabat kalau kayak gini. Mana ini buku cantik pula dari covernya, ilustrasi di dalam novel ini hingga setting di Fukuoka itu sendiri . . So, kalau kamu mencari kisah persahabatan dan keluarga bersetting Jepang, kamu kudu baca novel ini karena ada kejutan yang sepertinya sedang disiapkan sama kakak Sinta yaaa.
Setelah ibunya meninggal, Sofia melanjutkan studinya ke Jepang dan tinggal bersama sang paman. Dalam menjalani kehidupanya di Jepang ini, Sofia bertemu dengan berbagai macam orang, salah satunya adalah Isao, pemuda yang kerap mengantarkan pesanan ke toko milik pamannya. Satu hari Sofia mendapat undangan yang ternyata adalah pemakaman Isao yang meninggal karena bunuh diri. Saat hadir di pemakamannya ini, Sofia berkenalan dengan Nozomi, adik Isao. Nozomi yang merasa terguncang atas kematian kakaknya kemudian kerap menghubungi Sofia untuk membicarakan Isao. Kematian Isao sendiri membuat Sofia teringat pada ibunya yang meninggal karena kanker. Ia pun berusaha menjadi teman yang baik bagi Nozomi.
Selain berkisah tentang hubungan Sofia dengan Nozomi, novel ini juga berkisah tentang hubungan Sofia dengan teman-teman kuliahnya yang seru, hubungan dengan sang paman yang kerap memarahinya. Satu hal yang yang agak mengganjal bagi saya adalah bagaimana mbak sinta membuat akhir cerita yang terasa agak terburu-buru. Tiba-tiba saja cerita berakhir pada satu kesimpulan namun masih menyisakan beberapa kisah yang menggantung.
Begini, sebenarnya sinopsi buku ini menarik. Entah ide siapa untuk memasukan cerita sedih sofia mengenai ditinggalkan orang-orang yang disayanginya dan bertahan hidup di tengah perbedaan budaya di negara orang, saya tidak tahu (dan tidak peduli juga).
Satu pertanyaan saya, apa sih inti dari buku ini?
Sejak membaca bab pertama, saya sudah dibuat bingung karena kehadiran dan kematian Isao yang saya nilai terlalu cepat. Belum ada setengah buku, eh Isao udah dibuat meninggal. Kirain buku ini bakal mengupas tuntas mengenai masa lalu Isao dan dampak signifikan dari keputusannya untuk mengakhiri hidup terhadap Sofia. Eh, gak taunya malah banyak sekali basa basi mengenai kehidupan keluarga dan teman-teman sofia. Malah kadang tau-tau lagi ngebahas budaya Jepang aja. Ya boleh sih, gak ada yang ngelarang, tapi alurnya jadi ngelantur gara-gara itu.
Sampe di akhir buku pun, pertanyaan mengenai kematian Isao belum terjawab. Masalah Nozomi aja belom kelar, eh ditambah lagi cerita masa lalu pamannya Sofia. Hadeh, makin dibuat muak saya bacanya.
Jadi, sampai saat ini saya masih bertanya-tanya, inti dari si penulis membuat novel ini tuh apa?
“Setiap yang berjiwa akan mati. Kupikir, kematian itu seperti daftar absensi. Nyatanya, kematian terjadi secara acak.” — page 237
“Kamu harus mampu menjelaskan pada orang lain, ketika kamu merasa yakin apa yang kamu lakukan benar. Kebenaran itu bukan untuk ditutupi, tapi disebarluaskan. Kebaikan juga demikian.” — page 290
•••
Buku ini bikin aku terjaga tengah malem. Aku nyelesain buku ini jam 1 dini hari. Suka banget sama gaya bahasanya dan alur ceritanya yang terasa mengalir.
Cuma pada bab awal, aku ngerasa agak mogok ngelanjutin, karena satu bab itu panjanggg banget. Dan, agak terburu-buru.
Oiya, baca ini tuh bikin ngerasa kita lagi ngejelajah Jepang, karena detail latarnya bener-bener detail banget! Buat yang penasaran sensasinya, coba baca ini!
Intinya membahas masalah mental health dan bunuh diri. Hanya saja ..., disini kayaknya terlalu banyak masalah yang tumpang-tindih dan terlalu buru-buru.
Semoga di Sirius Seoul aku nemuin jawaban yang belum dipecahkan disini!
Bercerita tentang Sofia di Negeri Matahari Terbit. Menuntut ilmu, menyambung silaturahim, menerima pembelajaran tentang hidup dan semakin memahami makna kematian dan kehilangan. Berlawanan dengan cover novel ini yang manis dengan warna pastel yang lembut, tema yang dibawa ternyata cukup berat, yaitu tentang kematian dan hidup. Awalnya saya agak apa ya? Terbata-bata mungkin ya membacanya, agak sulit untuk mengikuti cara bercerita penulis di bab awal, sehingga saya sempat menunda membacanya. Tapi kemudian setelah saya bersemangat kembali, bab-bab selanjutnya, cara bercerita penulis lebih mengalir dan saya pun jadi terbawa dengan cerita sehingga tidak terasa novelnya selesai dibaca dalam waktu cukup cepat. Dan, saya suka 😁
Sofia, gadis Indonesia yang merantau ke Jepang dan tinggal bersama pamannya, tiba-tiba mendapat undangan kematian Isao, pemasok barang di toko sang paman. Masalah demi masalah kemudian datang silih berganti menghampiri gadis itu.
***
Awalnya cukup excited saat membaca blurb-nya. Tapi kemudian agak kecewa dengan alur cerita yang agak berputar-putar. Seolah kehilangan arah. Setting Jepang-nya memang kental dan detail, tapi dialog antar tokoh terutama tokoh Jepang terasa Indonesia sekali. Bukan karena nyaris seluruhnya menggunakan bahasa Indonesia, tapi kosa kata yang dipilih terasa kurang cocok. Tiga bintang.
kalo diliat dari sampulnya, kukira ini bakal bergenre romance. aku beranggapan juga buku ini bakal membosankan dan pasti menye-menye, ternyata enggak.
konflik yang ditimbulkan sebenernya santai sih cuman pembaca juga diajak berpikir dengan teka-teki yang dialami. tapi jujur aku masih bingung genre apa sebenernya buku ini? aku nemuin beberapa part horor, adventure. aku juga dibikin kesel sama tokoh Om Hanif yang bener bener pinter dalam menjawab omongan orang.
tapi aku masih bingung dengan tujuan cerita ini, alurnya jalannya kemana dan aku juga gatau.. kenapa pada akhirnya kayak beda cerita?
Bukunya renyah, enak dibaca dan perlu( kayak iklan yaa).Berkisah tentang jatuh bangunnya Sofia beradaptasi dengan kehidupan barunya sebagai seorang mahasiswi di Jepang, tepatnya di Fukuoka.Menyelipkan nilai nilai.Islami, tapi.disampaikan secara halus dan menghibur.
Entah sejak kapan jatuh cinta sama jejepangan, yang jelas begitu melihat penampakan sampul pink pastel dengan background pohon sakura ini, saya nggak mau melewatkan untuk menikmat isinya. Dari judulnya sudah menarik dan berhasil membuat saya penasaran. Terlebih ilustrasi utama menampilkan perempuan berjilbab, saya mulai menerka bahwa ada unsur religi dan budaya di dalamnya.
Polaris Fukuoka adalah novel yang layak dibaca karena deskripsi tentang kehidupan Jepangnya sangat kuat, meskipun saya sempat dibuat gemas juga dengan flashback kehidupan Sofia ketika masih tinggal di Indonesia. Konflik dan perdebatan dalam novel ini selalu ditutup dengan kalimat-kalimat bijak dan filosofi luar biasa. Hanya saja epilog yang menurut saya sedikit gantung ini mungkin tidak memberi kepuasan bagi pembaca. Tapi kalau saya pribadi suka dengan ending yang gantung.
Rate: 3.7/5. Kisah yang gak muluk-muluk dan realistis tentang kehidupan Sofia, tapi banyak yang bisa diambil. Sayangnya, tragedi Isao terlalu dramatik untuk dijadikan side-story, jadi saya terlalu tertarik ke situ dan ternyata ga ada penyelesaiannya. Padahal, cerita ini memang tentang Sofia, sih.