Pada suatu malam, ketika keluargaku kebetulan pulang kampung, aku dikagetkan oleh suara keras mereka. Apa mereka bertengkar? Kudengarkan baik-baik. Yang kiri mengatakan dengan lantang bahwa mereka sebenarnya tidak berasal dari kulit sapi yang sama.
“Mana mungkin!” kata yang kanan menegaskan. “Kita berasal dari seekor sapi. Kulitnya yang lebar itu disamak, lalu dipotong-potong dengan mesin untuk membuat kita. Kulit seekor sapi cukup lebar untuk membuat beberapa sepatu, tahu!”
“Ya, tapi bisa saja potongan-potongan itu bercampur sehingga tidak jelas lagi berasal dari kulit sapi yang mana. Kita ini asalnya berbeda. Aku jelas sapi Jerman, kau entah sapi apa, mungkin sapi Prancis.”
Riwayat hidup Masa mudanya dihabiskan di Surakarta. Pada masa ini ia sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sejak tahun 1974 ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun kini telah pensiun. Ia pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar. Pada masa tersebut ia juga menjadi redaktur pada majalah "Horison", "Basis", dan "Kalam".
Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986 SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar.
Karya-karya Sajak-sajak SDD, begitu ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sampai sekarang telah ada delapan kumpulan puisinya yang diterbitkan. Ia tidak saja menulis puisi, tetapi juga menerjemahkan berbagai karya asing, menulis esei, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.
Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD.
Berikut adalah karya-karya SDD (berupa kumpulan puisi), serta beberapa esei.
Kumpulan Puisi/Prosa
* "Duka-Mu Abadi", Bandung (1969) * "Lelaki Tua dan Laut" (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway) * "Mata Pisau" (1974) * "Sepilihan Sajak George Seferis" (1975; terjemahan karya George Seferis) * "Puisi Klasik Cina" (1976; terjemahan) * "Lirik Klasik Parsi" (1977; terjemahan) * "Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak" (1982, Pustaka Jaya) * "Perahu Kertas" (1983) * "Sihir Hujan" (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia) * "Water Color Poems" (1986; translated by J.H. McGlynn) * "Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono" (1988; translated by J.H. McGlynn) * "Afrika yang Resah (1988; terjemahan) * "Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia" (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks) * "Hujan Bulan Juni" (1994) * "Black Magic Rain" (translated by Harry G Aveling) * "Arloji" (1998) * "Ayat-ayat Api" (2000) * "Pengarang Telah Mati" (2001; kumpulan cerpen) * "Mata Jendela" (2002) * "Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?" (2002) * "Membunuh Orang Gila" (2003; kumpulan cerpen) * "Nona Koelit Koetjing :Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an - 1910an)" (2005; salah seorang penyusun) * "Mantra Orang Jawa" (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
Musikalisasi Puisi
Musikalisasi puisi karya SDD sebetulnya bukan karyanya sendiri, tetapi ia terlibat di dalamnya.
* Album "Hujan Bulan Juni" (1990) dari duet Reda dan Ari Malibu. * Album "Hujan Dalam Komposisi" (1996) dari duet Reda dan Ari. * Album "Gadis Kecil" dari duet Dua Ibu * Album "Becoming Dew" (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu * satu lagu dari "Soundtrack Cinta dalam Sepotong Roti", berjudul Aku Ingin, diambil dari sajaknya dengan judul sama, digarap bersama Dwiki Dharmawan dan AGS Arya Dwipayana, dibawakan oleh Ratna Octaviani.
Ananda Sukarlan pada Tahun Baru 2008 juga mengadakan konser kantata "Ars Amatoria" yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi SDD.
Buku
* "Sastra Lisan Indonesia" (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.
Ternyata ini buku kumcer barunya eyang SDD. Pas baru muncul di GD dan pas baru kelarin baca Pada Suatu Hari dan Malam Wabah, ya udah deh sekalian baca buku ini.
Karena separuh dari cerita dalam buku ini sudah ada dalam buku sebelumnya, jadi saya baca judul-judul yang belum dibaca aja. Tambahan favorit adalah cerita Hikayat Ken Arok.
Sepatu, istriku, dan aku--kami sama-sama sudah tua. Aku tidak mau membuangnya. Biar saja di tempat sepatu, bertengkar hampir tiap malam tentang asal-usulnya.(hal.6)
Tahun 2014, saya membaca cerpen Pak SDD di Kompas. Dan cerpen tersebut ada dalam buku ini juga. Kesan membaca buku Sepasang Sepatu Tua adalah ketenangan berkisah, cara tutur yang beraneka ragam, dan sebuah kisah tidak biasa, dongeng, dan personifikasi benda keseharian. Sepatu yang berkisah, rumah-rumah yang bergunjing, daun di atas pagar yang bercerita, juga pembangunan beberapa dongeng yang lumrah didengar pembaca Indonesia.
Kesan paling kentara yang saya rasakan saat membaca adalah permainan bahasa. Bahkan ada cerpen yang begitu "sepi-dingin", seperti kesan saat menonton film Totoro.
Beberapa cerpen kesukaan saya: 1. Sepasang Sepatu Tua 2. Rumah-Rumah 3. Membunuh Orang Gila 4. Ketika Gerimis Jatuh (ini aku sukkkkkaaa sekali) 5. Seorang Rekan di Kampus..... Mengusut Apa Sebab Orang Memilih Menjadi Gila 6. Ditunggu Godot (Serasa cerpen luar negeri) 7. Suatu Hari di Bulan Desember (ini memang cerpen koran sekali sih)
Tapi, cara bercerpen Pak SDD memang mengutamakan bahasa dan ketukan yang manis. Sukkaaakkk!!
Sebetulnya saya ini tak paham sastra dan buku Sepasang Sepatu Tua ini termasuk ke dalam buku sastra tingkat tinggi untuk standar saya, hiks, *ngesot ke pojokan*.
Saya sampai bingung sendiri kenapa saya memilih buku ini untuk dipinjam dari perpustakaan diantara sekian banyak buku lainnya. Yaah, mungkin inilah yang namanya jodoh yak, hihihi, *selfkeplak*.
Meskipun banyak tak pahamnya, tapi saya benar-benar terhibur sekaligus tersadarkan (atau mungkin bisa dibilang tertohok, *uhuk*) setelah membaca cerpen-cerpen yang ada di dalam buku ini. *sotoy mode on*.
Somehow, saya juga merasa kalau cerpen-cerpen yang ada di buku ini suram.
At last, cerpen-cerpen favorit saya adalah Sepasang Sepatu Tua, Rumah-rumah dan Jemputan Lebaran. Dan saya beri 3 dari 5 bintang untuk buku ini. I liked it.
Di awal pembacaan aku terkagum akan ide Sapardi yang mengisahkan sepatu yang nimbrung ngobrol dengan pembaca. Tidak kusangka ide seperti ini (bisa juga) dieksekusi di sebuah cerpen. Sembari membaca dan terkagum-kagum dengan cara bercerita beliau di cerpen ini, lantas ku teringat. Pernah membuat sebuah premis cerpen dengan para tokoh barang-barang jualan di toko ku sebagai pembangun cerita. Iya kompor. Panci. Bahkan ketika premis itu ku tulis dan ditemukan oleh ibu. Dengan penuh keheranan ia tanyakan. Apa yang ku tulis. Sontak hanya senyum dan tertawa dalam hati jawabku saat itu. Tidak mungkin kan, ku bilang. Itu adalah ide cerpen yang hendak kutulis. Maksudku adalah membuat cerpen dengan menghidupkan benda mati adalah perkara imajinasi sang penulis, dan Pak Sapardi mampu menghadirkannya dengan baik.
Setelah melahap cerpen pertama, kedua dan selanjutnya yang tersedia, ternyata tak kalah memikat dan membuat saya melahap satu demi satu. Meski tidak cukup panjang seperti kebanyakan cerpen koran. Cara bercerita dan pemakaian kata yang ekonomis ini menuntun saya untuk sampai pada cerpen terakhir. Saya membaca Sepasang Sepatu Tua diselingi oleh buku-buku lain. Namun tetap asyik dan melegakan bisa singgah menikmati cerpen beliau saat kita merasa sedang mood membaca Sapardi.
Secara keseluruhan aku bisa menikmati Sepasang Sepatu Tua dan akan segera menuntaskan "Menghardik Gerimis".
Sejujurnya, saya kesulitan memahami maksud yang terkandung dalam kumpulan cerpen di buku ini. Rasanya buku ini tergolong sastra berat bagi saya.
Namun, entah mengapa saya menikmati juga membacanya karena penceritaannya yang asik dan menyenangkan. Belum lagi, penggunaan tokoh cerita yang unik seperti benda mati yakni sepatu, rumah-rumah, atau kertas maupun hewan seperti kancil.
Banyak juga disuguhkan kisah yang mengangkat cerita rakyat ataupun dongeng yang sering kita dengar. Walau kesulitan memahami makna cerita setiap kali membaca hingga akhir, alurnya tetap membuat saya penasaran dengan apa yang terjadi selanjutnya.
Bila saya terka sendiri maksud dari setiap judul yang saya baca, kisah kisah yang hadir dalam kumpulan cerpen ini terasa kelam dan suram. Secara keseluruhan, saya menikmati pengalaman membaca buku ini.
"Sudahlah, Paman. Aku tahu benar apa yang kurasakan dan kaumaksudkan. Kau tentu tahu bahwa ada banyak hal yang di luar raih rasa dan maksud kita, bukan?" (hal.57)
So good. Aku setengah berharap bakal tertatih-tatih baca buku tipis ini. Nama besar Eyang sangat mengintimidasi, khawatir otakku tidak sampai untuk dapat menikmati bacaan ini. Ternyata aku salah. Aku menikmati banget, karena ternyata gaya bahasanya cukup santai, nggak seperti yang kutakutkan.
Cerpen-cerpennya powerful, banyak makna dan pelajaran yang tersirat di dalamnya meski hanya menceritakan kisah sederhana seperti sepasang sepatu tua. Ya walau harus kuakui aku harus membaca ulang dua tiga judul supaya lebih ngeh.
Yang jelas setelah ini aku bakal mengejar ketertinggalanku akan karya-karya Eyang hahah
"Lewat benda-benda mati yang berkisah itu, manusia seakan diingatkan kembali akan kemanusiaannya."
Salah satu daya tarik utama buku ini adalah personifikasi dari benda-benda sekitar yang dibuat cerita, seperti Rumah-Rumah dan Daun di Atas Pagar. Sejenak merasa memiliki korelasi dengan Eyang Sapardi karena diriku pun kadang suka membayangkan benda-benda mati namun bernyawa haha. Aku suka pengandaian kalau daun pun bisa merasa. Aku suka hal-hal yang puitis seperti itu.
Walaupun begitu, aku merasa beberapa cerita masih berat untuk dicerna.
"Dari mana kau tau kita ditunggu?" "Peduli amat." "Kalau begitu, ditunggu atau tidak ditunggu ya sama saja."
Salah satu petikan dialog dalam cerpen Ditunggu Dogot, cerpen yang terdapat di buku Sepasang Sepatu Tua karya Eyang Sapardi Djoko Damono. Terbit pada 2019 di Gramedia Pustaka Utama. Terdiri dari 19 cerpen yang berhasil buatku mikir lama. Iya, lho, wong beberapa cerpen itu pakai tokoh benda mati. Seperti Ditunggu Dogot yang membuatku, mikir lama-sekarang. Yasudah, biarin. Tapi seru juga pas antar tokoh bilang; peduli amat, sontoloyo!
Sepasang Sepatu Tua juga ada cerpennya. Si Sepatu bicara sama pemiliknya. Tapi pemiliknya? Ada juga Rumah-rumah, di halaman 8. Eh itu Rumah tanya, "Saudara tinggal di rumah juga, bukan? Saudara pasti pernah merindukan rumah, tetapi pernahkah Saudara merasa dirindukan rumah?"
Ada dua cerpen yang mengingatkanku pada sesuatu, cerita dan cerita di kampus. Apa ya? Seorang Rekan di Kampus Menyarankan Agar Aku Mengusut Apa Sebab Orang Memilih Menjadi Gila dan yang satunya di halaman dua-satu.
Sayangnya, aku baca kumcer ini terhenti lama. Beli Mei 2019 itu hanya kubaca beberapa cerpen dan kembali kubaca lagi pada Juli-Agustus awal ditahun 2020. Lama juga. Parah sekali. Kebiasaan buruk, jangan ditiru.
Lagi-lagi aku menyesal, beberapa cerpen harusnya sudah kubaca sebelum lebaran tiba. Sayang, aku membacanya usai lebaran semua. Tapi semoga bisa belajar. Aamiin. Bingkisan Lebaran. "Sesudah pensiun, ia semakin ingin mengetahui apa sebenarnya lebaran. Lebaran, setahunya, berarti selesai. Dan mulai." (Hlm: 87).
Sudah, ya, aku tutup dengan Daun di Atas Pagar. Ingat masih ada tiga-belas cerpen yang belum kusebut judulnya. Daun-daun jeruk purut itu berbicara pada pemiliknya di malam hari. Apa gerangan? Di halaman 49. Ia selama ini percaya setulus-tulusnya kepada apa saja yang sering dibincangkan daun-daun jeruk purut yang suka menyentuh-nyentuh jendela kamar tidurnya.
"setiap kali merindukannya aku pun pergi tidur agar ia muncul di hadapanku
ah, andaikata tahu itu mimpi belaka takkan mau aku kembali terjaga"
Patahan puisi di atas aku rasa jadi titik di mana aku benar-benar menikmati buku ini. Kalau boleh mengaku, ini pertama kali aku membaca buku Cerita Pendek (cerpen) sejak sekian tahun lamanya. Terakhir kali aku membaca buku cerpen adalah di kelas 6 SD, tepat sebelum Ujian Nasional (UN) aku ingat sekali, dan buku itu pun bukan perihal hal-hal yang membuat sakit hati (baca: romansa serta asmara).
Kembali ke buku ini. Sepasang Sepatu Tua memiliki 19 cerpen yang dengan padat memenuhi 112 halaman di dalamnya (tanpa profil penulis, cover, dan pemanis lainnya). Isinya? berhasil membuat aku, yang sudah hampir lima tahun lamanya tidak pernah membaca sebuah buku dari awal sampai akhir, secara khatam. Isinya memang tidak selalu perihal asmara remaja yang diakhiri dengan bunuh diri atau hidup bersama. Lebih dari itu, almarhum Sapardi berhasil mengajak saya untuk berpetualang secara liar di alam pikiran saya, karena beberapa cerpen yang dimuat di dalam buku ini ditulis secara sengaja (asumsiku sih ya) tanpa akhiran cerita yang jelas. Ada dua kemungkinan yang aku tangkap dari hal tersebut. Pertama, aku yang terlampau bodoh untuk tidak menyadari bahwa cerita tersebut pada hakikatnya sudah memiliki makna yang jelas dan akhir cerita yang tertulis. Kedua, almarhum Sapardi yang tidak ingin membuat cerita tersebut, yang kemudian, ia limpahkan misteri lanjutan cerita tersebut di kepala kita. Cukup banyak cerita yang membuat aku geleng-geleng kepala kebingungan, sampai yang mengundang gelak tawa. Akhir kata, terima kasih kepada almarhum Sapardi dan beberapa penulis lainnya yang tulisannya juga dimuat di dalam tulisan ini, karena sudah mengisi masa patah hatiku di bulan ini. Semoga almarhum menemukan kedamaian yang ia impikan.
Di awal pembacaan saya sudah terkagum dengan ide Pak Sapardi Djoko Damono yg menjadikan benda-benda dapat berbicara satu sama lain, sepasang sepatu tua misalnya. Mereka saling berbicara dan hanya dapat didengar oleh si empunya.
Seketika saya teringat dengan anak-anak yang sering berdialog kepada 'mainan kesayangan' mereka, seakan mainan tersebut mengajaknya berdiskusi, bercanda, menjadi teman yg harus disayangi bagaimanapun bentuk bendanya.
Begitu juga sepatu tua yg diceritakan Pak SDD. Walaupun bentuknya norak, harga tidak seberapa, dan terlihat tua di mata orang lain namun si empunya menyayanginya. Sepatu itu membuatnya jatuh hati dengan cara yg sederhana. Pak SDD jg menggambarkan bahwa soal selera ialah rasa dan itu muncul dari hati.
Masih banyak lagi makna yg dapat ditemukan dalam buku ini. Isinya terdiri dari 19 cerpen, beberapa cerpen favorit saya: 1. Sepasang sepatu tua 2. Rumah-rumah 3. Ketika gerimis jatuh 4. Ditunggu Dogot 5. Suatu hari di bulan Desember 6. Jemputan lebaran 7. Nonton Kethoprak Sampek-Kentaek di Solo 1950
Sepasang Sepatu Tua gubahan Sapardi Djoko Damono adalah karya pendek bergenre realisme magis kedua yang pernah saya baca. Kumpulan cerpen ini memiliki ciri khas yang menarik berupa penggunaan perangkat sastra personifikasi dalam penyampaian pesan, entah dalam bentuk sepatu, burung, atau prajurit kertas. Sejujurnya walaupun tulisan Sapardi indah — dengan pemilihan kata yang cerdik, cerita yang mengesankan, dan analogi yang orisinil, genre realisme magis ini tampaknya memang bukan selera saya. Penyampaian pesan melalui majas personifikasi ini memiliki kelemahan yaitu ketergantungan pada karikatur, atau stereotip satu dimensi, sehingga tokoh cerita tidak memiliki kedalaman psikologis seperti yang saya gemari dari bacaan saya selama ini. Yah, mungkin itu bukan orientasi Pak Sapardi juga ketika menulis cerpen-cerpen ini. Akhir kata, saya lumayan suka dengan tulisan beliau, prosa tapi berdiksi hampir serupa puisi. Mungkin nanti saya akan mencoba trilogi Hujan Bulan Juni untuk menjajal karya Sapardi lebih lanjut.
This book holds a special place in my memory. To share a little story, I received it as a gift from someone, and to this day, I cherish it deeply.
It took me a long time to fully understand the contents of this short story anthology, due to its complex language and heavy themes. Even when I lent it to a few people, most of them couldn’t grasp the flow of the stories—they said it was too dense.
I admit, I was still new to reading anthologies at the time. Only a few stories—like Rumah-Rumah and Seorang Rekan di Kampus Menyarankan Agar Mengusut Apa Sebab Orang Menjadi Gila—were ones I could truly understand. That’s how challenging it was. In fact, there were many stories I only managed to comprehend a year later, after rereading them multiple times.
Even so, this book remains the one that brought me to where I am today. It taught me how to tell stories from different perspectives, how to build unique characters, and how to set narratives in imaginative and unexpected settings I had never considered before.
Seingat saya, tak lama setelah buku ini diluncurkan, saya sudah membuat semacam ulasan. Tapi di blog saya ternyata tidak ada. Di sini juga tak ada. Aneh!
Baiknya kita baca ulang saja. Terdapat 19 kisah dalam buku ini. Mulai dari Sepsang Sepatu Tua; Arak-arakan Kertas; Seorang Rekan di Kampus Menyarankan Agar Aku Mengusut Apa Sebab Orang Memilih Menjadi Gila; Crenggi; Bingkisan Lebaran; Suatu Hari di Bulan Desember; hingga Wartawan Itu Menunggu Pengadilan terakhir.
Tiap kisah menawarkan suatu hal yang berbeda dengan yang lainnya. Bisa dikatakan tiap kisah mengusung unsur Sapardi sengan cara yang unik. Kisah Crenggi dibuat dengan bernuansa wayang, tentang sosok Parikesit cucu Arjuna. Demikian juga dengan kisah Hikayat Ken Arok.
Sungguh, saya pernah membuat ulasan tentang buku ini. Buktinya saya menemukan selembar catatan di halaman 112. Isinya berisikan pointpoint menarik yang perlu diangkat dari buku ini.
Salah satu hal yang konsisten dari gaya penulisan Sapardi Djoko Damono adalah penggunaan diksi yang indah nan cerkas. Semuanya menarik untuk dinikmati bahkan ketika bercampur dengan tatanan bahasa yang tidak baku. Dengan cerita yang sederhana, SDD selalu bisa memberi makna dari setiap narasi. Penggunaan benda mati sebagai narator pun cukup menarik. Hanya saja secara keseluruhan, kumpulan cerpen ini seperti sudah bukan lagi masuk ke dalam ruang lingkup selera saya. Terkesan biasa dan mudah dilupakan.
Terlepas dari itu semua, berikut saya rangkum beberapa judul cerpen yang saya sukai dari buku ini: 1) Sepasang Sepatu Tua 2) Seorang Rekan di Kampus Menyarankan Agar Aku Mengusut Apa Sebab Orang Memilih Menjadi Gila 3) Hikayat Ken Arok 4) Crenggi
Sisanya seperti cerita yang mudah dilupakan. ⭐️60/100
Menarik juga rupanya membaca kumcer pertama dari seorang Pak Sapardi yg lebih terkenal akan puisi-puisinya, meski, kalau boleh jujur ya nyaris sebagian besarnya terasa hambar.
Betul, saya tidak salah ngomong, saya sendiri tidak tahu kenapa bisa terasa begitu dari membaca setiap cerpennya, hanya sedikit saja dari keseluruhan cerpennya yg punya 'rasa', hal itu diwakili Jemputan Lebaran, Sepasang Sepatu Tua dan Rumah-rumah.
Dari segi ide cukup menarik melihat dia mengolah bahkan mengobrak-abrik khasanah cerita klasik dan bahkan kisah Maryam, tapi memang saya sebatas merasa suka saja ketika membacanya, entah bagaimana dengan pembaca lainnya.
Selain Hujan Bulan Juni, ini kumpulan cerpen kedua dari Sapardi yang kubaca -setelah sebelum-sebelumnya larut membaca kumpulan puisi dan sajaknya. Membaca kumcer ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan membaca buku-buku Sapardi yang lain. Diksi yang digunakan mirip-mirip dengan gaya bahasa yang serupa. Bedanya -karena ini cerpen, maka narasi yang digambarkan terasa lebih mengalir dan mudah dipahami ketimbang puisi maupun sajak. Rupanya, Sapardi juga menggunakan bahasa-bahasa gaul kekinian, lho! Bisa ditemukan di beberapa bagian dialog tokoh di sini.
Aku sendiri suka cerpen-cerpen yang ngena kritik sosialnya. Metaforanya ngga bertele tele, tapi maknanya ngena banget!
Ini bukan review sih sebenarnya, lebih ke curhat aja. Berhubung saya beli buku ini di toko buku online, saya gak bisa ngecek isinya dulu (mungkin bisa tanya sih sebenarnya). Ternyata sebagian besar ceritanya sudah pernah saya baca di buku kumcer Pada Suatu Hari Nanti dan Malam Wabah terbitan Bentang Pustaka. Buat yang pengin koleksi bukunya Eyang Sapardi, sah-sah aja sih kalau mau beli lagi. Jadi, selamat menikmati 😊
This entire review has been hidden because of spoilers.
Berhasil menyelesaikan sepilihan cerpen karya eyang Sapardi Djoko Damono.
Tentu saja buku milik eyang ini punya tema yang unik dalam setiap judul cerpennya. Aku merasa, cerpen di dalamnya mengandung isi yang kompleks dan perlu keseriusan dalam membacanya.
Beberapa judul kesukaanku antara lain; Hikayat Ken Arok, Bingkisan Lebaran, dan Suatu Hari Dibulan Desember.
Aku suka banget bagian-bagian di mana benda bisa membagikan pikirannya. Dan tidak cuma satu cerita yang seperti itu. Tapi, semuanya keren kok. Seperti tipikal tulisannya Kakek Sapardi, semuanya apik dan menyiratkan banyak makna.
Ada beberapa cerpen yang endingnya terasa menggantung. Ada cerita tentang pewayangannya juga. Seru sih, harusnya bisa habis sekali duduk tapi aku butuh beberapa hari karena sedang malas baca :')