Jump to ratings and reviews
Rate this book

The Woman Who Dreamt of Three Birds

Rate this book
Surti + Tiga Sawunggaling adalah kisah tentang tiga ekor burung sawunggaling yang tiap malamnya keluar dari kain yang dibatik seorang perempuan bernama, Surti. Tiga burung ini kerap membawa kisah yang senantiasa membuat Surti terhibur. Burung-burung ini kerap membawakan cerita tentang Jen, seorang komandan gerilya, aktivis pergerakan yang mati dibunuh tentara Belanda.

102 pages, Paperback

First published September 17, 2018

1 person is currently reading
92 people want to read

About the author

Goenawan Mohamad

110 books506 followers
Ia seorang jurnalis dan sastrawan yang kritis dan berwawasan luas. Tanpa lelah, ia memperjuangkan kebebasan berbicara dan berpikir melalui berbagai tulisan dan organisasi yang didirikan-nya. Tulisannya banyak mengangkat tema HAM, agama, demokrasi, korupsi, dan sebagainya. Seminggu sekali menulis kolom “Catatan Pinggir” di Majalah Tempo.

Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo kelahiran Karangasem Batang, Pekalongan, Jawa Tengah, 29 Juli 1941, ini pada masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang penyair. Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum.

Ia juga pernah menjadi Nieman fellow di Universitas Harvard dan menerima penghargaan Louis Lyons Award untuk kategori Consience in Journalism dari Nieman Foundation, 1997. Secara teratur, selain menulis kolom Catatan Pinggir, ia juga menulis kolom untuk harian Mainichi Shimbun (Tokyo).

Ia menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Sejak di kelas VI SD, ia mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI. Kemudian, kakaknya yang dokter (Kartono Mohamad, mantan Ketua Umum PB IDI) ketika itu berlangganan majalah Kisah, asuhan H.B. Jassin. “Mbakyu saya juga ada yang menulis, entah di harian apa, di zaman Jepang,” tutur Goenawan.

Pada 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan Majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time. Di sana ia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994.

Goenawan Mohamad kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), asosiasi jurnalis independen pertama di Indonesia. Ia juga turut mendirikan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia. ISAI juga memberikan pelatihan bagi para jurnalis tentang bagaimana membuat surat kabar yang profesional dan berbobot. Goenawan juga melakukan reorientasi terhadap majalah mingguan D&R, dari tabloid menjadi majalah politik.

Ketika Majalah Tempo kembali terbit setelah Pak Harto diturunkan pada 1998, berbagai perubahan dilakukan seperti perubahan jumlah halaman namun tetap mempertahankan mutunya. Tidak lama kemudian, Tempo memperluas usahanya dengan menerbitkan surat kabar harian bernama Koran Tempo.

Setelah terbit beberapa tahun, Koran Tempo menuai masalah. Pertengahan bulan Mei 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum Goenawan Mohamad dan Koran Tempo untuk meminta maaf kepada Tomy Winata, (17/5/2004). Pernyataan Goenawan yang dimuat Koran Tempo pada 12-13 Maret 2003 dinilai telah melakukan pencemaran nama baik bos Arta Graha itu.

Goenawan yang biasa dipanggil Goen, mempelajari psikologi di Universitas Indonesia, mempelajari ilmu politik di Belgia dan menjadi Nieman Fellow di Harvard University, Amerika Serikat. Goenawan menikah dengan Widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak.

Selama kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan menghasilkan berbagai karya yang sudah diterbitkan di antaranya kumpulan puisi dalam Parikesit (1969) dan Interlude (1971), yang diterjemahkan ke bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis. Sebagian eseinya terhimpun dalam Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980), dan Catatan Pinggir (1982).

Hingga kini, Goenawan Mohamad banyak menghadiri konferensi baik sebagai pembicara, narasumber maupun peserta. Salah satunya, ia mengikuti konferensi yang diadakan di Gedung Putih pada 2001 dimana Bill Clinton dan Madeleine Albright menjadi tuan rumah.

(from tokohindonesia.com)

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
32 (26%)
4 stars
47 (39%)
3 stars
36 (30%)
2 stars
4 (3%)
1 star
0 (0%)
Displaying 1 - 26 of 26 reviews
Profile Image for Niskala.
94 reviews1 follower
October 4, 2022
Desain fisik buku bagus sangat.
Cara bercerita menarik
Profile Image for Hanif.
110 reviews71 followers
September 27, 2019
One of the most beautiful magical realism stories I've ever read. GM transformed local superstition into a dreamy story. I believe that the set of this book inspired by GM's hometown, Batang & Pekalongan area—which is also my hometown, as he mentioned familiar village names & batik as the medium of the magic itself.
Profile Image for Raf.
221 reviews13 followers
December 28, 2020
✨⭐ 8.75 out of 10 ⭐✨
Mistifying! I read the english version because I will put the review in my blog and the review will be in english. The book is available in Bahasa Indonesia too.

Keywords: novella(?)/ short novel(?) , fantasy (magical realism tho), historical fiction, Indonesian-inspired, Javanese, Dutch collonialism, tragedy

REVIEW
At the gist of it, The Woman Who Dreamt of Three Birds or Surti dan Tiga Sawunggaling is a historical fiction. Surti is a batik artist, her husband is a guerrila captain. Told in the 1940s when Dutch collonialism trying to put Indonesia back to its occupation, the story delved into the topics of war, grief, dreams, and disconnection.

What I like:
- Javanese mysticism and magical realism

The setting is in Java and its cultural aspect and mysticism is quite thick in this book. It's almost borderline horror. There is also Islamic mysticism in it. I like that this story is translated in english so international reader can find it and read more about Indonesian cultures.

- Short but meaningful
It's very short, only 100-ish pages! But it will leave strong impression. There are some underlying messages that I can't really articulate about but I felt it deeply. The mood of the story is bleak and grim, fitting with the tragedies happened throughout the story.

What I really dislike:
- The narration format is confusing

I read the digital version of this book in Gramedia Digital. I don't know if it's just the digital formatting or also occured in physical book, but the format is not really neat. No clear distinction between dialogues and narratives. It can make us confused who talk about what, what happened etc. I don't know whether it was intended by the author or not, but it disturb my immersion to the story.

CONCLUSION
If you can get passed the confusing formatting it's actually a great read and quite recommended!
Profile Image for Dian Hartati.
Author 37 books35 followers
November 10, 2018
Baris per baris seperti tipografi puisi, diawali bahasa puisi, namun sampai ke dalam dan selesai murni bahasa prosa.

Seperti biasa, bahasa GM selalu berhasil memikat(ku).
Profile Image for Putu Sita Witari.
276 reviews8 followers
August 15, 2019
The story, as the blurb suggests, is presented in a free-style prose that I rarely encounter. It was a quick read as well for it only consists of less than 100 pages.

For a reader who appreciates the writer's capability of transferring the written story to become vivid in one's imaginary land, I couldn't resist the beauty of his writing and its plot successfully still attach to my mind days until the day I'm writing this review. Though it doesn't really offer profound meaningful passages about life, however, I appreciate much of the message we can get after reading it from the first sentence to the end. It is literally a beautiful prose from a woman's perspective about sufferings she encounters during post Independence Day. With some exploration about her talent in creating batik, this supposedly adds a particular beauty and authenticity to our Indonesian literature.
Profile Image for Angelina Enny.
Author 12 books8 followers
April 11, 2019
Seperti biasa, kalimat-kalimat GM indah, tetapi buku ini tipis sekali sehingga selesai dalam setengah jam dan kurang mendapat kepenuhan diri.
Profile Image for Fika Nh.
15 reviews
November 20, 2022
"Kepada Anjani aku janjikan warna kulit secang, merah kembang sepatu. Kepada Baira warna tarum, biru Laut Selatan, dan Cawir mungkin ungu" -Hal. 11-

Surti + Tiga Sawunggaling, novel karya Goenawan Mohammad. Hard covernya sungguh menarik hati. Ia istimewa dengan warna hitam pekat dan garis abstrak yg mungkin bermaksud untuk menggambarkan kepakkan sayap ketiga Sawunggaling.

Buku ini tidak memiliki deskripsi di bagian belakang covernya. Aku pun langsung menuju ke profil penulis seperti kebiasaanku saat pertama membuka plastik pembungkus buku.

Dalam profil penulis, dituliskan buku ini memiliki latar tempat di sebuah kota fiktif di Pantai Utara Jawa Tengah. Lalu memiliki latar waktu pd Juli, 1947. Artinya, akan ada sejarah yg diceritakan.

Surti, tokoh utama dalam novel ini adalah seorang istri, ibu, sekaligus pembatik. Alih-alih membatik untuk mencari nafkah, Surti juga melakukannya untuk menghibur hati setelah kepergian putri semata wayangnya.

Suami Surti, Jen, adalah seorang gerilyawan yg menentang penjajahan. Latar waktu pd 1947 menunjukkan saat Indonesia sedang menghadapi agresi militer Belanda. Jen pun menjadi salah satu poros perjuangan di daerahnya. Banyak luka yg menerpa Jen, pun banyak beban yg dilaluinya. Menyaksikan rekan-rekannya tertembak peluru Belanda sudah biasa bagi Jen. Ia juga terluka. Namun, ia berkata pd Surti, bahwa lukanya hanya luka, ia belum mati.

Surti yg cemas ditemani oleh tiga Sawunggaling yg ia batik sendiri di kain mori. Surti memberi nama Anjani, Baira, dan Cawir untuk ketiga Sawunggalingnya. Ada sebuah cerita magis di dalam novel ini, ketiga Sawunggaling Surti dapat terbang pada malam hari untuk mencari keberadaan Jen dan mengamati perang apa yg sedang berkecamuk di sekitar rumah Surti.

---
Mau bilang ini novel ringan, tapi nyatanya tidak. Perlu pemahaman walau hanya 101 halaman. Ada banyak pengetahuan yg dapat diambil, tentang batik, penjajahan, perjuangan, dan kemagisan dalam novel ini 🌻
Profile Image for Febritri.
62 reviews
September 8, 2025
BOOK REVIEW
Surti dan Tiga Sawunggaling karya Goenawan Mohamad

Surti sedang membatik sebuah kain mori, agak mori tersebut mejadi sebuah kain batik dengan nilai budaya dan nilai jual tinggi. Motifnya adalah Burung Sawunggaling. Sesuatu yang ajaib terjadi tiap malam, burung yang digores oleh Surti ke atas kain mori polo situ bisa “bebas” dari kain dan terbang seperti burung sesungguhnya. Tiga jumlahnya, masing-masing Burung Sawunggaling berkelana ke berbagai arah melihat apapun yang terjadi malam itu.
Termasuk salah satunya, melihat suami Surti pergi ke sebuah makam kuno. Katanya untuk mendapatkan mimpi. Suami Surti adalah komandan pasukan gerilya wilayah itu. Tapi, pergerakan pasukan gerilya agak tersendat dan mengalami kebuntuan. Burung-burung Sawunggaling menjadi saksi atas aktifitas yang dilakukan suami Surti dan orang lain. Kehidupan malam warga desa yang sebagian menjadi gerilyawan sebagian menjadi manusia biasa.

------------------------------------------------------------------------------

Surti dan Tiga Sawunggaling adalah novel pendek dan ringkas. Namun, topik yang diangkat lumayan bagus. Cara nya bertutur dalam buku ini cukup menarik dan simpel, tidak neko-neko. Sasyangnya, karena buku ini sangat singkat, menurutku bukunya kurang detail di beberap titik cerita. Bikin pembaca penasaran karena memang tidak ada penjelasannya. Secara garis besar, buku ini cukup bagus.
Profile Image for Inggita.
Author 1 book21 followers
November 12, 2023
This book tells the story from a lesser-known part of Indonesia's history in which people from the same village and social background were torn apart by politics and war. The thin book is deceivingly light, but the story pack a punch and touch you to the core. Secrets, betrayal, confusion, and disappointment are aired, even to God (printed in all lower cap, maybe intended maybe not).
4 reviews
August 3, 2025
Satu hal yang perlu aku yakinkan ketika membaca buku ini adalah, ini merupakan buku sastra. Buku yang dibumbui dengan latar belakang tahun '65, buku ini mengisahkan tentang duka dan rindu. Awalnya saya kesulitan memahami isinya, tapi itulah sastra, tak perlu dipahami atau dimaknai. Kamu hanya perlu menikmatinya. Dan aku menikmati buku ini.
Profile Image for Rizky Ayu Nabila.
242 reviews30 followers
January 18, 2019
Hasil baca OTS di gramedia.

Bukunya unik. Sampul hardcover dan hanya berisikan 98 halaman. Penulisan novelnya juga unik.

Kisahnya menceritakan tentang Surti dan Jen dengan Tiga Sawunggaling mereka.
Profile Image for Prosopagnosia-sia.
11 reviews1 follower
May 12, 2019
Novel ini bisa habis dibaca dalam sekali duduk, tetapi sensasi yang tertinggal jauh lebih lama dari yang saya kira.
Profile Image for Vanda Deosar.
68 reviews4 followers
December 12, 2019
Dari covernya aja udah menyenangkan <3 setiap barisnya, literally INDAH :")
Profile Image for Indah Threez Lestari.
13.4k reviews270 followers
June 9, 2020
383 - 2020

Entah bagaimana... aku malah sudah lebih dulu baca versi bahasa inggrisnya duluan tahun lalu. Baru sekarang baca versi aslinya... gegara diskonan Gramedia.com kemarin.
Profile Image for its granger.
32 reviews
Read
January 2, 2022
Someday I need to re-read this book. I don't get the meaning of this book
Profile Image for Belle.
19 reviews
January 13, 2023
Such a great book. I don't know how to explain but it feels like a fantasy story but also feel near with us. Mind-blowing.
Profile Image for Eva Siagian.
432 reviews6 followers
March 1, 2024
Menarik. Kesan yang biasa didapatkan saat membaca fiksi bersetting awal kemerdekaan dapet. Saya juga menambah pustaka kosa kata pribadi saya.
Profile Image for Eka Situmorang-Sir.
169 reviews26 followers
March 11, 2024
Terbuai dengan jalinan kalimat Opa GM. Suka sekali karena membawa ke masa lalu sekaligus menjelajah fantasi
Profile Image for Ali.
12 reviews
March 11, 2024
Ku kira kisah tentang mereka yang bebas. Ternyata kisah tentang culas dan kemunafikan manusia.
1 review
Read
January 25, 2025
Buku yang amat cantik nan kharismatik. Entah itu dari sampul atau isinya
Profile Image for Rian Hendriana.
38 reviews
August 28, 2025
Cerita sederhana yg bisa dibaca sekali duduk dengan mengambil latar waktu tahun 1947an. Tragedi, perang & keyakinan menjadi tema dalam buku ini.
Profile Image for filireads.
7 reviews
January 8, 2023
Gemuruh perang berhasil disajikan Goen dalam melankolisnya substansi novel. Pun, nuansa kelam tak luput dari perhatian saya selama membaca buku ini. Tiap baitnya punya kesan magis tersendiri.
Profile Image for Ryan.
Author 2 books17 followers
November 30, 2018
Bukan GM namanya kalo tak berhasil memukau pembaca, baik dari segi penceritaan maupun dari segi bahasa.
Displaying 1 - 26 of 26 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.