Kang Asep Salahudin, melalui buku ini, sedang berupaya mendialogkan hikmah kebaikan yang terdapat dalam tradisi lama kesundaan dan keislaman sambil terus mengupayakan titik temu keduanya lewat penafsiran inklusif dan terbuka. (K.H. Hasan Nur Hidayatullah, Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Barat)
Asep mengundang kita untuk tidak mudah percaya begitu saja terhadap norma dan tradisi. Ia menyerukan untuk merebut kembali tafsir kreatif dan membebaskan terhadap Islam dan Sunda agar keduanya tetap ngindung ka waktu mibapa ka jaman. (Yudi Latif, pemikir agama dan kenegaraan)
Sufisme (tarekat) pesan intinya adalah untuk membangun manusia berakhlak mulia…Bukankah tujuan inti dilahirkannya Kanjeng Nabi adalah mewujudkan akhlak mulia. Di titik akhlak ini, sufisme dan Sunda menemukan irisannya yang sama. Buku Asep Salahudin mengajak kita untuk memikirkan kembali kesamaan-kesamaan itu. (H. Iwan R. Prawiranata, M.A., Ph.D., Rektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya)
Few scholars have been able to so convincingly provide what Kang Asep gives us in this book: a conception of West Java as an Islamic community that allocates substantive meanings to the spiritual and cultural legacies of the Sundanese nation… Kang Asep is a true salik in the Sundanese tradition: always searching for the essence in new and exciting directions, never content to let an inspiration fade before it can be expressed with the pen. (Associate Professor Julian Millie, Monash University)
sayapun yang dari USA (Urang Sunda Asli) agak sedikit kebingungan dengan beberapa guguritan atau puisi yang penuh dengan simbolik ini. Tetapi secara maknawi agak paham sih apa yang disampaikan oleh kang Asep ini. Jika kita melihat secara substansi, Islam di manapun sama, namun yang menjadi pembeda biasanya adalah nilai kultural atau budaya yang melekat dalam Islam itu sendiri.
Atas dasar inilah Kang Asep fokus bagaimana Islam tepatnya di masyarakat Pasundan secara kultural, kadang tak sedikit pula sindiran-sindiran terhadap fenomena yang terjadi dewasa ini, seperti aksi 212 yang akhir-akhir ini terjadi. Masyarakaat Jawa Barat menjadi sumbangan besar terhadap aksi tersebut. Agama dianut dengan semangat aksi namun miskin Epistemologi. Tetapi pada akhirnya kang asep dengan gaya tulisan yang logis dan bernalar, mampu mengembalikan pandangan Islam dalam masyarakat sunda secara Essensial.
Memang karya kang Asep ini lebih tepat di baca oleh masyarakat lokal karna penuh dengan Filsafat Kesunda’an berikut dengan legenda dan di kisah-kisahnya yang tersohor dalam masyarakat sunda. Seperti si kabayan, sangkuriang yang kemudian ditinjau secara filosofis dari sisi spiritualnya.
Tetapi bagi para pengkaji dan ilmuwan budaya, ini buku bagus, bahkan sering dijadikan seminar bedah buku di beberapa Universitas sebagai bukti bahwa Sufisme Sunda ini layak menjadi “Great Book” dalam dunia akademis. Kang Asep juga meluruskan asumsi-asumsi yang kurang tepat seperti “Islam teh Sunda dan Sunda teh Islam” padahal secara historis Islam dulu baru Sunda dengan kata lain, Islam yang menjadi fondasi serta menunutun budaya sunda agar menjadi sunda yang benar-benar Ngindung ka Waktu, Mibapa ka Zaman.