Jump to ratings and reviews
Rate this book

Menyusu Celeng

Rate this book
Awalnya hanyalah mengenai lukisan celeng, tapi kemudian buku ini bercerita tentang politik, mental, tingkah laku, kemunafikan, kekejaman, kejahatan, dendam, nafsu, naluri, dan nasib manusia yang laksana celeng. Buku ini bagaikan mengulang kata-kata filsuf Friedrich Nietzsche: binatang buas itu belum mati, dalam peradaban modern ini. binatang buas itu masih hidup, makin hidup, malahan ia diilahikan.

176 pages, Paperback

First published January 1, 1999

7 people are currently reading
82 people want to read

About the author

Sindhunata

55 books92 followers
Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, SJ, or just simply call him Romo Sindu is an Indonesian Catholic priest, also an editor for local culture magazine "Basis". He also worked as journalist for national newspaper, especially for commenting football review and culture issues. His famous work was "Anak Bajang Menggiring Angin".

Bibliography:
* Segelas Beras untuk Berdua, Penerbit Buku Kompas (2006)
* Dari Pulau Buru ke Venesia, Penerbit Buku Kompas (2006)
* Petruk Jadi Guru, Penerbit Buku Kompas (2006)
* Kambing Hitam: Teori Rene Girard (2006)
* Ilmu ngglethek Prabu Minohek(2004)
* Mengasih Maria: 100 tahun Sendangsono (2004) as editor
* Air Kata-kata (2003)
* Jembatan Air Mata: Tragedi Manusia Pengungsi Timor Timur (2003)
* Bola di balik bulan: Catatan sepak bola Sindhunata (2002)
* Long and Winding Road, East Timor (2001)
* Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman: Pilihan Artikel Basis (2001) - as editor
* Membuka Masa Depan Anak-anak kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI (2000)
* Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi (2000) - as editor
* Sumur Kitiran Kencana: Karumpaka ing Sekar Macapat Dening D.F. Sumantri Hadiwiyata (2000)
* Sakitnya Melahirkan Demokrasi (2000)
* Bisikan Daun-daun Sabda (2000)
* Tak Enteni Keplokmu: Tanpa Bunga dan Telegram Duka (2000)
* Bayang-bayang Ratu Adil (1999)
* Menjadi Generasi Pasca-Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya (1999) - as editor
* Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan: Mengenang Y.B. Mangunwijaya (1999) - as editor
* Cikar Bobrok (1998)
* Mata Air Bulan (1998)
* Sayur Lodeh Kehidupan: Teman dalam Kelemahan (1998) - as editor
* Sisi Sepasang Sayap: Wajah-wajah Bruder Jesuit (1998)
* Semar Mencari Raga (1996)
* Aburing kupu-kupu kuning (1995)
* Nderek Sang Dewi ing Ereng-erenging Redi Merapi (1995)
* Hoffen auf den Ratu-Adil: das eschatologische Motiv des "Gerechten Königs" im Bauernprotest auf Java während des 19. und zu Beginn des 20. Jahrhunderts (1992) - disertasi
* Baba Bisa Menjadi Indonesier: Bung Hatta, Liem Koen Hian, dan Sindhunatha, Menyorot Masalah Cina di Indonesia (1988)
* Anak Bajang Menggiring Angin (1983)
* Bola-Bola Nasib: Catatan Sepak Bola Sindhunata

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
16 (16%)
4 stars
32 (32%)
3 stars
41 (41%)
2 stars
10 (10%)
1 star
1 (1%)
Displaying 1 - 19 of 19 reviews
Profile Image for Ipeh Alena.
543 reviews21 followers
June 19, 2019
Lukisan pertama Keretaku Tak Berhenti Lama. Tampak bahwa latar lukisan sekitar tahun 40-an atau 50-an. Dimana pekerja keras masih memanggul pacul dan menggunakan kereta untuk pulang. Di setiap perhentian kereta, selalu ada banyak orang berjubel ingin naik ke kereta. Sementara di dalamnya sudah penuh sesak. Dari penggambaran inilah sang narator mengatakan bahwa Keretaku Tak Berhenti Lama menyiratkan suatu masa dimana kereta menjadi alat transportasi pilihan. Yang mengangkut banyak sekali manusia tak peduli masih muat atau tidak.
Ada lagi lukisan berjudul Susu Raja Celeng. Ketika itu, sang pelukis berusaha melewati genre yang biasa disukainya. Memperdalam pengetahuan bahwa Celeng pada masa itu adalah makluk jelmaan. Mengesankan klenik dan misterius. Namun, setelah digali lagi nyatanya Celeng menjadi makluk simbol kejahatan, ketamakan dan keserakahan. Dalam lukisan tersebut, si narator melihat adanya keegoisan sang Celeng yang tengah menghabiskan susu, sementara perutnya tampak penuh. Ditonton masyarakat yang menyiratkan keinginan untuk menyeruputnya namun tak bisa.
Buku ini berisi penggambaran lukisan yang diterjemahkan oleh seorang narator. Isinya sangat relevan dengan penggambaram masa kini. Membaca buku ini seperti mengajak untuk menelan teka-teki dari sebuah simbol yang terwujud dalam gambar.
Profile Image for Evan Kanigara.
66 reviews20 followers
January 1, 2020
Setelah "Seratus Tahun Kesunyian" di awal tahun ini, akhirnya saya bertemu dengan sastra realisme magis lagi. Kali ini saya berkesempatan membaca "Menyusu Celeng" karya Romo Sindhunata. Keduanya sama-sama memberikan pengalaman membaca yang unik sekaligus aneh.

"Menyusu Celeng" mengingatkan saya pada dualisme Manichean. Dunia merupakan hasil dari pergulatan abadi dari yang baik dan yang jahat. Dalam "Menyusu Celeng", Sindhunata menggambarkan kejahatan sebagai "celeng". Hewan ini ada dalam berbagai bentuk dan berada di mana-mana, termasuk dalam jiwa manusia itu sendiri. Maka dari itu kita semua adalah celeng, dan celeng tersebutlah yang membuat kita menjadi manusia. Si celeng tak bisa dikalahkan, tapi harus selalu dilawan. "Nilai hidup itu terletak bukan dalam menang-kalah terhadap celeng, tapi dalam keberanian untuk menanggung pergulatan melawan celeng".

Sayangnya, saya merasa begitu lelah membaca "Menyusu Celeng". Meski jauh lebih pendek ketimbang "Seratus Tahun Kesunyian", saya jauh lebih bisa menikmati alur cerita yang dibuat Gabo. Mungkin, "Menyusu Celeng" seharusnya dibuat lebih panjang. Meskipun begitu "Menyusu Celeng" merupakan karya yang membekas bagi saya.

"Ia kalah bukan oleh celeng, tapi karena mengingkari kehidupan yang hakikatnya adalah pergulatan melawan celeng"

Akhir kata, selamat melawan celengmu!
Profile Image for Dion Yulianto.
Author 24 books196 followers
June 25, 2019
Ternyata memang butuh perjuangan untuk membaca buku ini. Ekspektasi awal saya buku ini semacam novel antropologis, yang ternyata novel satire politik, yang ternyata lebih mirip sebuah buku esai atau renungan politis. Untungnya, aroma Jawa-nya lumayan kental jadi lumayan bisa menikmati.

Pada dasarnya--menurut penulis--kita semua adalah celeng. Manusia adalah celeng-celeng di balik topengnya. Dan, celeng paling berbahaya adalah celeng yang mencuri uang rakyat (aka para koruptor) yang tidak malu-malu lagi dengan kecelengannya. Begitu banyak perlambang celeng di buku ini. Manusia dan celeng tidak bisa dipisahkan, celeng sudah melekat dan mengikuti manusia. Mungkin, celeng ini adalah gambaran nafsu yang semua manusia memilikinya.

Yang bikin unik adalah penggambaran perjalanan politik Indonesia pada peralihan era Orba ke Reformasi. Kita bisa menemukan temukan sosok dan sepak terjang Megawati, Amin Rais, dan Gus Dur digambarkan dengan sangat menghibur.

Hingga akhir kisah, si pelukis dalam buku ini tidak mampu mengenyahkan celeng dari dirinya. Kita hanya bisa mengendalikannya, tapi tak bisa menghilangkannya. -
Profile Image for Happy Dwi Wardhana.
244 reviews38 followers
April 19, 2019
Saya suka dengan novel yang sarat filsafat seperti ini, meskipun kebebalan mengharuskan saya untuk berpikir lama. Sempat hampir menyerah di tengah walau tebal novel ini hanya 170 an halaman.

Ini adalah kisah seorang pelukis yang memiliki pergulatan batin baik dalam karya ataupun pribadinya. Karyanya banyak mengandung kritik sosial hingga yang membuat heboh adalah lukisan celeng. Celeng adalah simbol ketamakan, kerakusan, tipu daya, dan kesewenang-wenangan. Ternyata lukisan celengnya ini membuat petaka.

Banyak sekali metafora dalam novel ini yang mungkin Romo Sindhu sengaja membuatnya untuk ditafsirkan sendiri oleh pembaca. Saya baru tahu juga, novel ini sebelumnya berjudul Tak Enteni Keplokmu, Tanpa Bunga dan Telegram Duka.
Profile Image for Anisa Yuli Cahyanti.
2 reviews
January 21, 2021
Buku Menyusu Celeng bukan kali pertama bertemakan kritik sosial dalam kehidupan manusia, namun sudah beberapa kali dibahas oleh pengarang, beliau ialah Sindhunata. Jujur saya mencoba membaca karyanya yaitu Menyusu Celeng karena judulnya yang unik serta ketidaktahuan akan "celeng" kata celeng tidak banyak digunakan pada sekarang ini. Pada akhirnya saya paham betul maksud pengarang akan novel ini yaitu mengenai ketamakan akan kedudukan yang ada pada tiap tubuh manusia. Bahkan saya ini pun yang hanya membaca novel tersebut merasa bahwa saya juga celeng. Saya mengira pada awalnya ini adalah novel ringan karena selain tebalnya tidak banyak juga bahasanya tidak berat meskipun perumpamaan celeng membingungkan saya pada mulanya. Namun novel ini memperi pelajaran akan apa-apa saja mengenai manusia sosial
Profile Image for Wahyu Novian.
333 reviews46 followers
May 8, 2019
Terlalu banyak celeng. Terlalu banyak kiasan. Terlalu banyak bikin menebak-nebak tokoh siapa dan kisah yang mana yang sedang diperumpamakan. Banyak yang mudah tertebak. Tapi memang yang paling gemas yang saya alami langsung (dan mengerti) zamannya. Celeng betul!
Profile Image for Mira.
46 reviews1 follower
November 6, 2025
Eyang Sindhunata nulis dengan gaya simbolik yang padat makna seperti pada "Anak Bajang Menggiring Angin" dan "Ratu Adil" yang sempat aku baca, kali ini beliau ngomongin soal kekacauan sosial dan moral yang seolah udah jadi bagian dari keseharian bangsa ini. Tapi yang bikin menarik untukku, kekacauan itu nggak dihadirkan dengan marah-marah.. tetapi lewat refleksi, lewat kisah dan renungan yang bikin sepanjang baca mikir: sebenarnya siapa yang salah, dan siapa yang diam?

“Menyusu Celeng” nunjukin gimana kekuasaan, jabatan, dan kepentingan bisa menumpuk jadi struktur yang hirarkis, sampai akhirnya rakyat kecil yang ngerasa paling menderita. Tapi di sisi lain, aku seolah diajak juga untuk sadar kalo perubahan nggak bisa cuma diserahkan ke “atas”. Kesadaran harus tumbuh dari tiap individu, dari cara kita menjalankan peran masing-masing, sekecil apa pun.. Se-kelihatan gak penting kayak gimana pun.

Banyak pesan moral yang kuat soal keadilan, empati, dan tanggung jawab. Rasanya jadi berefleksi ulang bahwa kekacauan (masih) bisa diminimalisir kalau kita tetap pakai nurani, meskipun sistem sering terasa rumit :")

Karya ini awalnya terbit dengan judul Tak Enteni Keplokmu: Tanpa Bunga dan Telegram Duka (2000), dan dicetak ulang oleh Gramedia. Dan lewat buku ini juga aku baru tahu tentang sosok legendaris Djokopekik, pelukis yang jadi inspirasi besar buat Sindhunata.

Buku yang berat (walau tipiiis) tapi penting. Nggak cuma buat penikmat sastra, tapi juga buat siapa pun yang masih percaya kalau kejujuran dan empati itu fondasi paling dasar dari sebuah negara.
161 reviews
October 5, 2023
It's very interesting story, but sometimes there are repetitions and it made me feel bored. Maybe it'll better if it just 100 pages book
Profile Image for Anton.
157 reviews10 followers
December 26, 2011
Menggunakan metafora celeng alias babi hutan, Sindhunata ternyata nyentil banyak hal dalam buku ini. Tak hanya tentang karut marut situasi Indonesia saat ini tapi juga tentang perilaku manusia sehari-hari. Dalam buku setebal 175 halaman ini, Pemimpin Redaksi Majalah Basis ini tak henti-henti menghadirkan satire yang membuat saya ketawa ngakak selama baca buku ini.

Cerita dalam buku ini memang surealis. Melabrak batas antara fiksi dan non-fiksi. Antara mustahil tapi bisa saja terjadi. Cerita tentang lukisan celeng karya Djokopekik ini bisa sambung menyambung dengan gaya kepemimpinan Soeharto zaman Orde Baru, serakahnya anak-anak Soeharto, sampai ontran-ontran politik 1997-1998. Semuanya ditulis dengan gaya jenaka dan tokoh fiktif namun amat jelas mengarah pada siapa.

Karena itu, struktur ceritanya juga agak sejalan dengan situasi politik Indonesia. Sejak zaman 1965 hingga pada fase yang biasa disebut Orde Reformasi ini. Sindhunata menggambarkannya dengan satire lewat personifikasi pelukis, celeng, desa, ataupun pameran lukisan.

Oh ya, semua cerita itu bersumber memang pada lukisan celeng. Namun, celeng ini ternyata bisa hidup. Menjelma pada diri pelukis. Pada diri penguasa tamak. Pada anak-anaknya. Pada ketua partai. Pada anak-anak. Pada penonton wayang. Pada kita semua. Kita semua serupa celeng yang rakus dan suka pura-pura.

Dengan amat satire, Sindhunata menutup buku ini: Maka semuanya pun menjadi celeng. Itu juga yang membuat saya heran, kenapa buku ini tak berjudul Celeng saja ya? :)
Profile Image for Selvi Tamae.
47 reviews
July 8, 2022
Judul Buku: Menyusu Celeng
Penulis: Sindhunata
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 9786020628318 (digital)

Celeng, yang dikenal juga dengan babi hutan, menjadi tokoh sentral dalam buku setebal 181 halaman ini. Berkisah tentang seorang pelukis yang menyuarakan aspirasinya melalui goresan kuas.

Tema-tema sosial, penderitaan dan perlawanan rakyat, serta ketidakadilan pemerintahan yang korup, diangkat oleh sang pelukis.
Dengan gaya seolah bernarasi bak menjawab wawancara, sang pelukis menceritakan filosofi lukisan-lukisan celeng yang dibuatnya.Cerpen yang berjudul “Susu Raja Celeng” menceritakan seekor celeng yang serakah, ngawur, dan mengenyangkan perutnya sendiri.

Uniknya, cara bercerita dalam cerpen tersebut di atas, justru menampilkan sisi-sisi buruk sifat celeng. Bukan untuk menampilkan keburukan semata, tetapi (menurut tokoh pelukis) justru dengan masyarakat mengetahui sebuah kebatilan, maka akan dapat membedakan sebuah kebenaran.

Dari bab awal hingga akhir, pembaca akan disuguhi berbagai macam kisah celeng dan romantikanya. Unsur sosial politik beberapa tahun lalu, sangat tergambar nyata. Kritikan disampaikan melalui karya dalam karya (lukisan dalam cerpen).

Membaca kumpulan kisah pemilik nama lengkap Dr. Gabriel Possenti Sindhunata SJ ini, seperti membaca sebuah kejujuran dari sudut pandang rakyat. Penindasan dan kesengsaraan rakyat melawan kekuasaan yang seolah absolut terlihat meradang. Namun, memang demikian salah satu fungsi sebuah karya: menyuarakan sebuah kebenaran, dan menyuarakan suara hati yang perlu digaungkan
Profile Image for cindy.
1,981 reviews156 followers
April 8, 2019
Kisahnya yg membingkai adalah ttg seorang pelukis yang memperoleh kejayaan karena melukis celeng. Namun seiring jalannya cerita, semuanya menjadi metafora perjalanan sejarah dan sosio-budaya plus macam-macam perenungan sana-sini. Awalnya sih masih enak menikmati satirenya, tapi lama-lama kekenyangan sampai nek dengan celeng dan celeng dan celeng dan celeng lagi. Mampus dah celeng. Tanpa bunga dan telegram duka! ;)
1 review
September 9, 2019
Rating orang memang tidak menjamin kualitas. Bagi saya buku ini luar biasa. Kritik sosial yang terkandung dalam buku ini ditulis dengan tajam dan bahasa yang "nyastra". Jarang ada penulis "nyastra" di era sekarang. Dan yang paling penting adalah buku ini mudah dipahami.

Pak Sindhunata memang keren 👍
Profile Image for Yanuar.
8 reviews2 followers
April 8, 2010
Satir yang tersembunyi dalam keindahan artistik memang tak akan habis dieksplorasi. Seni memangku anonimitas, sehingga aspirasi bebas melibas.
Profile Image for Denmas Hendi.
2 reviews1 follower
Read
August 24, 2012
hi all..g punya 2 buku ini ada yg minat?bisa barter dgn buku" yang laen :)
Profile Image for Boen Mada.
8 reviews1 follower
April 30, 2013
Sindhunata tentang lukisan celeng-nya Joko Pekik. Jadi ingat bis (keluarga) beliau yang juga bergambar celeng. Wah bening dah, cool!
Profile Image for Andy Wijaya.
73 reviews7 followers
July 17, 2019
I was really enjoying the wayang show part, with those dancing children who are only wearing underwear.

A truly good satire novel about Indonesian Government.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Martinus Danang.
9 reviews3 followers
October 6, 2019
Cerita yang akan tetap relevan hingga sekarang patut dibaca untuk para politisi Indonesia
Displaying 1 - 19 of 19 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.