What do you think?
Rate this book


144 pages, Paperback
First published April 8, 2019
“Di ujung gang aku bertabrakan dengan seekor anjing. Aku tak memperhatikannya. Aku terlalu khusyuk berjalan tunduk. Aku dan anjing tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang lebih dulu menabrak. Aku terjatuh, kacamataku terpental, jidatku membentur pagar. Sungguh jalan asu.” (hal.117)
Barangkali senja adalah sebuah firman visual bahwa tak ada sesuatu yang tak berakhir, ketika esok harinya fajar rekah, itu artinya tak ada sesuatu yang tak bisa dimulai kembali.
Dilihat dari sampulnya yang tampak menyiratkan kesendirian dan kesunyian, tidak saya sangka cerita dan tulisan novel Srimenanti ini akan sangat jenaka. Awalnya saya juga mengira gaya penulisan novel pertama Joko Pinurbo ini akan terasa ‘tinggi’ atau nyastra mengingat penulis seorang penyair. Namun, meskipun masih ada kepuitis-puitisan di dalamnya, tulisannya tidak berlebihan dan begitu mudah diterima bahkan oleh pembaca yang awam akan puisi seperti saya. Berkat hal itu pula yang membuat novel ini terkesan lincah, dan menggelitik. Hal tersebut membuat novel ini sangat mungkin dilahap sekali duduk selain karena bukunya tipis.
Di samping tulisannya yang bagus, cerita atau plot Srimenanti ini unik, bahkan saya berpikir bahwa buku ini sesungguhnya tidak memiliki plot. Pembaca akan mengikuti kehidupan dua karakter secara bergantian, satunya seorang penyair, satu lagi seorang pelukis bernama Srimenanti. Apabila mengira ujungnya akan terjadi romansa antara mereka, itu salah besar. Tidak usah kecewa, toh pembaca akan mendapat sesuatu yang kocak dan menghibur dari keseharian mereka yang bergelut dengan profesi ataupun hal remeh-temeh, mengopi di warung dan melayat di kuburan misalnya. Setiap babnya pun singkat. Menganggapnya sebagai cerpen pun sah-sah saja. Pembaca juga akan diganjar hal-hal yang konyol tidak terduga dan membikin senyum-senyum, mulai dari kentut hingga asu.
“Hai, jangan cengeng dong. Hidup ini memang asu, tau?!”
“Nah, buku ini termasuk aliran apa?” meniru gaya salah seorang tokoh, saya bisa menjawab, “Buku ini mengalir saja.” Saya bertaruh Srimenanti akan membuat pembacanya dengan sukarela membolak-balik halaman hingga enggan meletakkannya, tahu-tahu sudah di penghujung. Kemudian, kita akan mengetahui bahwa secara keseluruhan buku ini menceritakan sosok-sosok seniman dan sastrawan yang dipertemukan dan terikat oleh puisi, lukisan, dan Jogja. Oleh karena itulah, dalam perjalanannya, saya merasakan kejutan yang menyenangkan ketika satu per satu bertemu tokoh-tokoh yang familiar di telinga saya, seperti Aan Mansyur, Faisal Odang, dan Yusi Avianto Pareanom. Saya jadi berpikir, “Oh, Jokpin bercerita tentang dirinya dan teman-temannya, toh” (Meskipun saya kurang yakin apakah benar mereka berteman dan apakah si penyair dalam buku ini adalah Jokpin itu sendiri, saya asal menebak saja). Sapardi Djoko Damono turut hadir. Memang Srimenanti terinspirasi dari puisi beliau yang berjudul “Pada Suatu Pagi Hari” dan memang saya merasa cerita ini adalah ekspresi kekaguman dan persembahan manis Joko Pinurbo padanya. Saya pun kena getahnya karena jadi kepengin mencicipi buku-buku puisi.
Srimenanti berunsur realisme magis, kalau saya tidak salah menafsirkan. Bentuknya berupa makhluk halus eltece (LTC, lelaki tanpa celana) korban penyiksaan Orde Baru. Saya bertanya-tanya siapa dia sebenarnya dan sempat mengira bahwa ia ayah Srimenanti. Selain itu, masih ada bagian-bagian yang tidak bisa langsung saya pahami, misalnya kehadiran dan makna burung biru. Kemudian, secuil kekurangan yang saya rasakan adalah kurang jelasnya latar tempat dan waktu serta terasa tidak kronologis sehingga menimbulkan sedikit kebingungan. Namun, bagi saya itu tidak berdampak besar karena tidak menutupi kelebihan yang telah saya sebutkan. Saya pun akan bersenang hati merekomendasikan buku ini bagi siapa saja, terutama yang sedang mencari bacaan yang tipis, singkat, lugas, lucu, indah, dan menyenangkan. Buku ini cocok disantap sambil ditemani secangkir kopi hangat dan pisang goreng pada suatu sore di halaman belakang. Sedap!
Saya pernah bilang kepada Subagus, “Jogja itu mata rindu, bukan mata pencaharian.” “Halah, sok puitis,” timpalnya.