Kau sengaja menjebak tubuh mereka di tubuh saya yang berongga. Semuanya di luar akal, kau tega menyuruh mereka saling tikam. Kau malas mencari cara yang lebih beradab dan seperti menganggap ini jalan terakhir menyelesaikan persoalan.
Air mata palsu kauteteskan saat saya masih ingin bersamamu, basah di sepasang pipi keriputmu. Kendati saya rasakan aliran ketidakrelaan, kau tetap ingin saya segera mati terkoyak-koyak, lantas ujungnya siap tak siap saya harus meninggalkan rumah, kenangan, dan segalanya.
Selalu ada lokalitas Sulawesi di setiap cerpennya: nama suku, upacara adat, makanan khas, tradisi perang, kepercayaan. Lalu dari tiap-tiap gambaran lokalitas tadi dibalut dengan konteks cerita. Sayangnya, cerita dan lokalitas Sulawesi yang ingin diketengahkan di setiap cerpennnya tidak membaur sempurna, masih "berjarak". Alhasil, konteks cerita yang mewarnai hal lokalitas tadi terkesan cenderung dipaksakan.
Selain itu, dalam beberapa judul dialognya terkesan monoton dan repetitif. Terlebih pada cerpen "Mayat Hidup dan Bertobat tak Seperti Mengedipkan Mata" yang berjumlah tiga puluhan halaman. Hal ini membuat saya membaca cepat dialog antar tokohnya yang tak memiliki esensi apa-apa. Beberapa kisah juga terkesan preaching, mirip-mirip narasi novel Islami.
Istimewanya memang kumpulan cerepen ini mengangkat budaya Sulawesi yang mungkin jarang orang tahu.
Alfian Dippahatang dengan berani menggunakan sudut pandang orang kedua tersebut di banyak ceritanya. Dalam 17 cerita yang disajikan di dalam “Bertarung dalam Sarung”, ada 6 cerita pendek dengan sudut pandang orang kedua.
Salah satu cerpen dengan menggunakan sudut pandang orang kedua tersebut saya anggap sebagai cerita terbaik dalam buku ini. Judulnya Mayat Hidup dan Bertobat Tak Seperti Mengedipkan Mata. Cerpen ini juga sekaligus menjadi cerpen paling panjang karena memakan 30 halaman buku atau sekitar seperlima jumlah halaman yang ada.
Yang menarik adalah nuansa tradisi dan kekentalan budaya bugis - makassar yg dikandung di dalamnya. Sayangnya di banyak bagian ceritanya langsung bergulir begitu cepat, sehingga aku sebagai pembaca awam yang tidak terlalu paham budaya setempat menjadi terasing dan tertinggal. Pengin baca lagi beberapa cerpen di sini dalam format novela panjang atau novel sekalian, saat karakter2nya lebih diperdalam dan alur ceritanya lebih sabar didederkan.
sekarang penulis-penulis muda banyak sekali berbakat terutama yang berasal daerah timur Indonesia. tulisan/kumcer yang syarat dengan kebudayaan lokal setempat dan kita yang berada di luar daerah tersebut menjadi melek. betapa kultur Indonesia itu kaya-raya selain daripada hasil buminya yang melimpah. setuju?:)
Saya cuma kasih dua bintang. Saya punya ekspektasi besar terhadap kumcer ini karena diterbitkan oleh KPG. Tapi akhirnya jauh dari ekspektasi saya. Entahlah, cuma saya rasa serba nanggung dan standar saja gitu yah.
Suka dengan gaya menulisnya. Terutama saat mengangkat sosial dan budaya seperti Toraja dan Makassar. Ada banyak hal baru yang saya dapat dari kisah pendek dalam buku ini.