SEBUAH LEDAKAN. Dekat dan nyaring. Sebuah letusan. Dekat dan nyaring. Suara letupan. Dekat dan nyaring. Suara genta. Dekat dan nyaring. Lonceng warung berdentang. Dekat dan nyaring.
Dekat dan Nyaring menceritakan satu hari dalam kehidupan penghuni Gang Patos, sebuah kampung berbatas sungai dengan legenda menggentarkan—semisal salah seorang penghuni lamanya adalah laki-laki bernama Beni Satria yang mencangkok kepalanya sendiri dengan roda gigi sehingga otaknya dapat berputar jauh lebih lancar ketimbang manusia biasa.
Gang Patos sudah ditinggalkan oleh hampir semua penghuninya. Mereka yang tersisa adalah Edi, pemilik warung yang menjual apa saja yang bisa menghasilkan uang, mulai daging ular asap sampai rajangan ganja palsu; Nisbi, janda seorang polisi, yang menyimpan cerita masa lalu yang selalu ia rahasiakan dari anak tunggalnya; Wak Eli, yang pada masa mudanya pernah menjadi figuran film Balada Cewek Jagoan dan menyaksikan Cok Simbara berkelahi, dan pada masa senjanya mesti mengasuh Aziz, anak semata wayangnya yang kecerdasan mentalnya tertinggal sepuluh tahun dari usia sebenarnya; Idris, penjual regulator tabung gas yang selalu menguarkan aroma lavender; Kina, istri Idris, yang memiliki alasan tersembunyi tinggal di sana, alasan yang hanya diketahui penghubungnya dengan dunia luar: seorang pengendara motor bermulut sengak bernama Dea Anugrah.
Sabda Armandio Alif. Menulis dan menerjemahkan cerita pendek. Novel pertamanya: Kamu (Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya) diterbitkan di awal tahun 2015. Novel keduanya, '24 Jam Bersama Gaspar: Sebuah Cerita Detektif' (Penerbit Mojok) terbit tahun 2017. Saat ini bekerja sebagai Manager Multimedia di Tirto.id.
Anggapan ini terbukti ketika saya menemukan bahwa buku ini bisa dibaca dengan berbagai sudut pandang. Inilah alasan terbesar saya untuk memberi bintang lima. Armandio seakan-akan mengajak pembacanya untuk bereksperimen dengan gaya membacanya sendiri.
Ada banyak hal yang tidak terdefinisikan. Sebagai contoh, Anak Baik ini sebenarnya laki-laki atau perempuan. Bantal ini sebenarnya makhluk hidup atau bukan. Pekerjaan Edi ini sebenarnya apa. Terkadang hal-hal seperti itu (mungkin saja) tidak perlu kita ketahui. Biarkan mengalir saja mengikuti imajinasi pembaca tanpa perlu dieksplisitkan oleh penulis buku.
Secara personal, sebagai pembaca pun saya ingin mengeksplorasi gaya membaca saya sendiri. Hal ini berhasil disuguhkan oleh Armandio melalui Dekat dan Nyaring. Berusaha untuk tidak terburu-buru dan menaruh ketelitian sedekat mungkin saat membacanya.
Dekat dan Nyaring menjadi buku tertipis dari sekian karya Armandio yang lain. Bohong kalau saya tidak kecewa dengan ketipisannya. Harapannya, bisa menghabiskan beratus-ratus lembar (seperti membaca Gaspar dan Kamu) dengan durasi yang panjang.
Aku suka cara penulisan Dio, tapi tidak dengan buku ini. Hal pertama yang paling menganggu adalah "kemasan" buku ini, terutama penjilidan. Entah kenapa buku yang saya terima lemnya geser, kemudian "lipatan" bagian muka punggung tidak pas, jadinya menganggu. Dengan cover yang sangat "gibli".
Cerita, entahlah. Dio seperti kehilangan tone rasa lucu. Dan nope! Apa mungkin karena terlalu pendek? Embuhlah! Bukan karya Dio yang saya ekspektasikan. Maaf.
Menyajikan kondisi sosial sebuah daerah bernama Gang Patos yg kumuh dan terancam digusur.
Ditengah himpitan pembangunan Permata Residence, orang-orang Patos berjuang untuk hidup. Dari menjual daging dan minyak kobra palsu, ganja palsu, oli motor kualitas buruk.
Tampaknya, Dio ingin mengajak pembaca membaca ulang sebuah realitas kemiskinan yg dihadirkan melalui cerita tentang Edi, Kina, Nisbi dll. Tp untuk novela nya kali ini, saya seperti merasa ada yang kurang dari penulis. Ceritanya seperti ada yg tanggung mulai dari caranya meghadirkan kisah-kisah sedih didalamnya, sehingga tidak terasa dekat juga tidak terdengar nyaring.
cukup asyik menyimak bagaimana konsep kapitalisme dan urbanisasi bekerja dalam bentuk cerita~ walo sedikit kehilangan taste humor yg tidak semeledak di Kamu dan Gaspar~
Bintang 4 buat premisnya. Aku suka! Kayak ngajak kita buat menengok ulang apa yang terjadi di kampung-kampung miskin kota yang dekat dan nyaring, tapi juga--kupikir--mengajak buat merefleksikan ulang cara penggalian data lapangan untuk sebagian besar profesi.
Di bagian terakhir buku ini waktu 'rahasia' Kina akhirnya dibuka, aku jadi ingat sama buku Estetika Banalnya Erik Prasetya dan Tempat Terbaik di Dunia punya Roanne Van Voorst.
Namun meski demikian, aku ngerasa agak gurang ngegong gitu di akhir. Padahal premisnya sudah bagus banget. Ntah deh.
Sabda Armandio mungkin adalah satu-satunya penulis yang bukunya telah saya baca lebih dari satu karyanya tapi saya tidak pernah paham apa yang ia ingin sampaikan. Apakah tentang kritik sosial, alegori atau mengekor Eka Kurniawan? Kalau Eka adalah penulis dengan gaya ngalor ngidul penuh tancapan gigi taring, Sabda adalah penulis dengan gaya ngalor ngidul dengan gigi keropos.
Berkenalan dengan penulis baru lagi. Walaupun halamamnya tipis, ada banyak cerita dari tokoh-tokoh yang tinggal di Gang Patos. Cerita-cerita yang dibagi terkesan tidak tuntas dan meninggalkan banyak tanya bagi pembaca, kayak tiap cerita dari tiap tokoh tersebut sifatnya open-ending gitu lo, jadi ya terserah ngana, pembaca, mau ngira selanjutnya kayak gimana. Walaupun demikian, penutupnya cukup membuatku cengo, cengo yang bertanya-tanya dan kaget gitu.
Puas banget baca buku ini. Selesai dalam satu setengah hari. Page turner banget. Mengejutkan. Karakternya unik-unik. Sy suka dan nyaman baca buku ini. Selalu menunggu karya2 Dio selanjutnya!
Selalu suka ada perasaan yang berbeda saat menyelesaikan buku untuk kali kedua. Semuanya lebih jelas, runtut, dan merasuk. Meskipun aku tahu, aku membaca kisah yang sama, dengan detail yang sama. Keinget kutipan dari Arudhati Roy, karena ini:
“...the secret of the Great Stories is that they have no secrets. The Great Stories are the ones you have heard and want to hear again. The ones you can enter anywhere and inhabit comfortably. They don’t deceive you with thrills and trick endings. They don’t surprise you with the unforeseen. They are as familiar as the house you live in. Or the smell of your lover’s skin. You know how they end, yet you listen as though you don’t. In the way that although you know that one day you will die, you live as though you won’t. In the Great Stories you know who lives, who dies, who finds love, who doesn’t. And yet you want to know again.
Jujur saja, novelet tipis ini membuat saya tegang. — Dekat dan Nyaring menunjukkan pada saya bahwa terror dan horror tak harus diwujudkan dalam kisah tentang hantu atau pembunuhan adiluhung. Sabda Armandio, alih-alih mengisahkan kedua hal tersebut, menyuguhkan pada kita kisah tentang gang kumuh dan orang-orang yang dengan keras bertahan hidup di dalamnya, polisi sebagai si terror (yang pada akhirnya menembak juga), dan legenda Pak Koksi yang terus disebut namun tak juga terklarifikasi hingga akhir buku. — Setelah sebelumnya membaca Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya, saya kini berencana untuk membaca 24 Jam Bersama Gaspar: Sebuah Cerita Detektif. Saya sampai pada asumsi bahwa Sabda Armandio mampu mentransformasikan kepahitan menjadi ironi yang segar dengan cara-cara non-konvensional.
Tipe buku saku yang bisa kamu tamatkan selama perjalanan kereta api. Tapi hati-hati, bisa jadi kamu tak sengaja mengumpat dan malah cari ribut sama penumpang di sebelahmu.
Ketika sebelum membeli buku ini, ada banyak pertanyaan dalam kepalaku, yang terbesar adalah; sepertinya banyak yang bilang buku ini biasa saja, terlalu sulit dipahami, terlalu internal, dan berbagai hal lainnya. Terlebih, sejujurnya, aku pernah membaca buku Sabda Armandio yang lain, tapi tidak berhasil menyelesaikannya karena menurutku membaca cerita absurd dalam jumlah halaman yang tebal bukan seleraku.
Tapi Dekat dan Nyaring patut kuberi apresiasi bintang 4, karena meskipun bisa dibilang terlalu banyak tokoh dalam buku setipis dan timeline cerita sesingkat ini, tapi aku toh tetap terpukau dengan twist dan endingnya. Meski, penceritaannya tidak bisa dibilang runut --seperti kata ulasan netizen, ini kadang ceritanya loncat sana-sini. Malah di awal, aku kesulitan menelaah ini sebenarnya mau cerita tentang apa. Setelah aku baca lebih jauh, akhirnya aku menyimpulkan bahwa mungkin saja ini cerita satir yang dikemas dalam setengah dongeng.
Dekat dan Nyaring bercerita mengenai orang-orang yang tersisa dan masih bertahan tinggal di sebuah pemukiman kumuh bernama Gang Patos. Tak jauh dari sana ada sebuah komplek perumahan bernama Permata Permai Residence. Tokoh-tokoh Patos tak perlu disebut di ulasan ini karena di blurb bukunya sendiri sudah dijabarkan dengan sangat jelas (terima kasih, lho, karena aku tipikal pembaca yang sulit mengingat nama tokoh kalau kebanyakan, jadi setiap kali kebingungan aku akan baca di blurb!).
Tokoh sentral dalam cerita ini mungkin adalah Anak Baik, seorang gadis kecil yang tinggal di Gang Patos bersama ibunya, Nisbi --seorang janda polisi. Sama seperti hidup hampir semua penghuni Patos, kehidupan keluarga Anak Baik juga penuh teka-teki. Buku ini menceritakan perjuangan Anak Baik mencari tahu bagaimana cara untuk mengembalikan ayahnya yang telah lama menghilang.
Selain itu, tokoh favoritku adalah Kina, perempuan yang baru 3 tahun tinggal di Patos karena menikah dengan Idris --lelaki penjual regulator tabung gas yang konon katanya selalu menguarkan aroma lavender. Kina ini semacam titik penting dalam buku --bagiku, lho, ya.. Karena ada penghubung dari dunia luar yang 'ditarik' Kina ke Gang Patos yaitu lelaki pengendara motor bermulut sengak bernama Dea Anugrah. Mungkin kalau tokoh Kina tak ada, aku takkan menjumpai ending yang bikin aku merasa puas pada akhirnya.
Meski, buku tipis ini kemudian menyisakan banyak tanda tanya di berbagai hal tapi menurutku akhirnya cukup senang membacanya dan merasa 'ke-absurd-an' Sabda Armandio kali ini porsinya pas, tidak setebal buku pendahulunya yang gagal kuselesaikan itu.
Mungkin banyak juga pembaca lain yang masih kurang puas atau malah nggak ngerti buku ini menceritakan apa. Tapi overall, aku merasa Sabda Armandio cukup lihai mengemas kesatiran (jika itu benar) menjadi sebuah cerita fiksi yang menyenangkan. Selain itu, aku suka bagaimana ia menceritakan suasana Gang Patos, dan karakter setiap penghuninya dengan baik.
Nilai plus: covernya juga ala-ala dongeng banget, termasuk salah satu hal yang bikin penasaran di awal.
kamu cerita yang tak perlu dipercaya dan 24 jam bersama gaspar, versi tipis 2 buku itu ya Dering & Nyaring.
Pengalaman membacanya sama persis, random, terkesan ngelantur, dan penuh dengan tanda tanya. Tak bisa diskimming, takut ada detail terlewat kunci dari cerita. Juga membawa tema sosial di dalamnya, sarkas sinis khasnya penulislah, cuman di sini humornya tak sebanyak 2 buku yang sebelumnya, ya karena tipis 😅 lebih misterius juga. Memantik imajinasi pembaca dalam menduga apa sih maksud tokoh di buku ini. Asyik nih membebaskan asumsi para pembacanya.
Salah satu sinis ini nih "Ia yakin ia punya keyakinan, dan merasa pikirannya cukup positif. Ia merogoh saku dan mendapati dua lembar lima puluh ribuan; ia punya uang sisa." (25) para motivator bisnis yang selalu menggebrak positive thinking para peserta. Setelah baca buku Malcolm, aku jadi mikir 2x lagi lah dengan ketidakmungkinan. 😅 ga asal semangat 45 berpositive thinking, ada faktor2 lain yang ga terungkap lah pasti.
Nah yang kutangkap sehabis membaca, buku ini nih mengangkat tema kelas bawah, perjuangan dan penderitaan mereka dibawah tekanan para kelas atas, alias kapitalisme. Meleburkan dongeng orang Patos dan orang Koksi, jadi ingat novel Gabo yang berjudul 100 tahun kesunyian.
Ada kutipan yang aku suka, "Lagi pula kalau aku memikirkan perasaan orang lain, aku nggak akan bisa hidup." (68) penting berbuat baik semampu kitalah, jangan sampe ngemis respon kebaikan balik dari orang lain. Susah-mudah emang kalau udah hubungan sama manusia tuh, adanya bawaannya suudhon mulu, baik ehh dibilang naif, cuek dibilang jahat. Capek kan ngikutin apa yang orang lain bilang. Orang benci, mau kita baik apa pun, mau kita jelasin sampai berbuih, ga akan masoook. Ada aja emang yang ga disukain dari kita, itu niscaya. Enak jadi santuy nan kreatif macam Edi.
Buku ini berjumlah 109 hlm, dengan ukuran B5. Seharusnya sangat bisa dibaca sebentar. Haha jadi karena itu saya bisa membaca buku ini dua kali secara langsung. Dan di pembacaan yang kali kedua itu saya jadi menangkap lebih utuh apa yang mungkin sebenarnya buku ini ingin ceritakan. haha memang lambat saya ini ya.
Ada semacam dinding, tembok, batas yang menghalangi individu dan kelompok. Dinding itu bisa berupa kelas sosial, umur, jenis kelamin, profesi, atau pendidikan. Batas-batas itu yg membatasi sesuatu untuk menyeberang atau pindah ke sisi lain. Batas-batas itu membuat bias dan mengaburkan untuk bisa saling memahami. Dalam ‘Dekat & Nyaring’, ada batas yang jelas antara kelas sosial yg tersudutkan kemajuan zaman. Ada batas antara status dan peran gender, sebagai janda, sebagai lajang, sebagai pasangan suami istri yg saling berbeda. Ada batas-batas usia yang membuat si kecil belum pantas mengerti, dan si tua pantas merasa menutup-nutupi. Meskipun sesuatu itu begitu dekat dan nyaring, karena ada batas, ada dinding yang menghalangi, sesuatu itu akan sulit sekali sampai.
Saya suka cara buku ini membangun dialog antar tokohnya. Seperti dialog Wak Eli dan Si Anak Baik, dialog Idris dan istrinya, Kina. Atau dialog Edi dan Nisbi. Sampai akhir pun saya masih suka bertanya motivasi sebenarnya karakter utama ini apa, dan sebesar apa konflik yang dia miliki dalam dirinya. Haha buku ini memang sangat singkat, hanya menceritakan sebuah peristiwa yang kurang dari 24 jam di sebuah pemukiman kecil. Lebih sebentar dan lebih tipis dibandingkan buku Armandio “24 Bersama Gaspar” yang saya baca beberapa tahun lalu. Dan secara jujur saya jauh lebih suka Gaspar. Hehe Tapi buku ini juga menarik.
[Spoiler Alert!!] Dekat dan Nyaring. Agak sedikit mengecewakan karena terdapat beberapa typo nama dan penambahan kata di buku ini yang kadang membuat bingung seperti; Kina dan Edi di rumah kosong (harusnya Kina dan Aziz), sejak menghilangnya suami Kina (harusnya suami Nisbi), dll.
Dari segi cerita, rasanya luar biasa bagaimana dengan tokoh yang sangat sedikit (hanya 8!) dan halaman yang hanya berjumlah 110 lembar, emosi saya bisa di aduk-aduk. Siapa yang menyangka kehidupan sederhana di Gang Patos dapat berubah hanya dalam satu hari? Siapa yang menyangka cerita yang awalnya saya kira hanya cerita sederhana yang mengisahkan kehidupan warga miskin di gang Patos menjadi cerita yang biasa berhasil membuat saya tekaget-kaget dan penasaran setengah mati? Seluruh karakter di buku ini menyimpan banyak rahasia dan jauh lebih gelap dari pada kelihatannya. Contohnya Kina, ada apa dengan Kina? Apa sih yang dilakukannya dengan Aziz di rumah kosong? yang membuat bunyi derit konstan? yang membuat Kina berkata kepada Anak Baik bahwa dia harus bisa menjaga rahasia? Apa Kina seorang psikopat yang membunuh anak-anak kecil dengan dalih Nenek Gombel? Lalu, apa sebenarnya pekerjaan Edi yang diterimanya pagi itu? Membakar kampung? Lalu Sam, apa benar dia seceroboh itu hingga menembak Aziz? atau apakah dia sengaja?
Pertanyaan-pertanyaan ini, mungkin cuma bisa dijawab oleh Dio. Mungkin, Dio juga tidak tau jawabannya. Mungkin cerita ini memang harus ditingalkan seperti ini, karena seperti hidup, tidak semua pertanyaan punya jawaban.
Anyway,
Congratulations Sabda Armandio! You have just made it into my tiny list of favorite Indonesian writer!
This entire review has been hidden because of spoilers.
Pernah gak selesai baca buku malah mikir, “ini buku apaan, sih?” karena memang ceritanya yang tergolong singkat namun kompleks. Premisnya sederhana, kehidupan beberapa rakyat miskin kota di sebuah Gang Patos, bagaimana mereka bertahan hidup dan sebagainya. Ada dongengnya juga yang bikin ceritanya jadi meluas dari gang tersebut dan lebih misterius. Kalau tinggal di Jakarta barangkali agak familiar lah dengan setting tempat yang dimaksud. Novela ini tipis sekali—hanya 109 halaman, namun sanggup memuat hal-hal berikut (sepenangkapku ya, mungkin ada yang terlewat karena kelihatannya ada inside jokes juga): - Menyinggung police brutality - Menyinggung pengembangan bangunan - Menyinggung para penulis yang senang mendaku diri sebagai perwakilan kaum terpinggirkan Sebelumnya aku sudah pernah baca 24 Jam Bersama Gaspar: Sebuah Cerita Detektif yang juga ada nenek-neneknya dan memiliki plot yang “apasih” (kira-kira itulah genre tulisan Dio menurutku). Dekat dan Nyaring sungguh membuat penasaran. Sepanjang membacanya aku hanya berhasil menebak tokoh Kina dan Pak Sam, yang lainnya benar-benar tidak bisa ditebak. Uniknya lagi epilog cerita ini sungguh pendek, bagaimana nasib penduduk Gang Patos? Silakan tebak sendiri! “Kenapa, sih, kau merasa perlu mewakili mereka? Itu sama saja dengan kau meremehkan kemampuan mereka. Mereka bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri tanpa perlu kauwakili.” kata Dea Anugerah ke salah satu tokoh.
Novel Sabda Armandio pertama yang saya baca. Tuntas dalam sehari. Agak sebel saat baca, karena bingung ini arahnya kemana. Ditambah lagi tidak adanya pergantian bab, seakan memaksa saya supaya tidak berhenti baca. Setelah kelar baca pun makin bingung, apa sih yang mau disampaikan? Gimana mau bikin ulasannya, coba?
Bercerita tentang kehidupan di sebuah gang kumuh pinggir sungai. Gang Patos namanya. Kehidupan orang biasa, apa sih menariknya? Paling ya gitu-gitu aja.
Namun tidak bagi Kina, sang penulis. Setelah menikah dengan Idris, mereka tinggal di gang Patos. Kina pun mengamati dan menghayati perilaku warga Patos.
”… Aku nggak sedang menjadikan mereka bahan eksperimen, ini method writing, aku sedang menjadi mereka….”
Bahkan Kina sempat diam-diam merekam curhatan Nisbi, tetangga Kina yang janda polisi dengan satu anak. Nama anaknya aneh : Anak Baik. Nama adalah doa. Harapan Nisbi mungkin cuma satu, si Anak Baik jadi anak yang baik.
Anak Baik yang sering menanyakan tentang ayahnya, selalu dijawab dengan dongeng ciptaannya, hanya karena Nisbi tak mampu mengatakan yang sejujurnya bahwa suaminya sudah meninggal.
Sampai di siang yang terik itu, tak lama setelah Nisbi dan Kina sepulang dari supermarket, terdengar sebuah letusan! DORR! Dekat dan nyaring. Sesuai judul bukunya.
Tanpa sengaja si Anak Baik melihat tetangga seberang sungai, yang seorang polisi bernama Sam menembak Aziz, tetangga laki-laki berusia 20 thn dengan mental usia 10 tahun.
Satu persatu terkuaklah seluruh rahasia gelap seluruh penghuni gang Patos. Dan seperti biasa, Edi-lah, pria andalan gang Patos yang biasa membereskan segala keruwetan dengan caranya yang brutal.
Seperti judulnya, pembaca bakal ikut mengamini bahwa kemiskinan memang begitu nyata di sekitar kita, serta ikut mengetahui jika penyingkiran-penyingkiran tempat tinggal yang begitu hangat-akrab-melekat selalu terjadi. Kedua hal tersebut begitu dekat dan nyaring.
Selain menggambarkan ironi masyarakat miskin kota yang berada di antara gedung-gedung tinggi, permukiman elit, dan bangunan lainnya yang serbamewah, serbawah, serbamegah serta ruang hidup yang hendak dipinggirkan pihak lain melalui bujuk rayu halus hingga kasar, Dio—dalam pandangan saya—juga mengisahkan para penghuni yang memilih untuk terus bertahan hidup dengan melakukan apa saja yang bisa mereka lakukan, memilih untuk tetap tinggal dengan beragam alasan yang hanya mereka pahami sendiri sekalipun kesempatan yang ditawarkan (dengan ganti-rugi pastinya), barangkali, bisa membuat mereka menjadi lebih baik.
Nyaring dan Dekat atau Percobaan Prosa Estetika dari Ketidak-Estikanya Penindasan Kaum Kecil
« Kerasnya persoalan penindasan —bukan hidup karena hal itu mematikan— yang tak estetik, paling pas dikemas dalam dongeng anak agar terasa estetik dalam gerak dan dalam rupa simbol » - #sekatakusaja
Sebagai percobaan, tak salah novel ini pendek saja. Sependek ingatan dari sudut pandang tokoh utama, Anak Baik yang masih bocil. Dan dongeng menjadi isu pengalihan paling mujarab dari brutalnya hidup ibunya dan lingkungannya. Pertanyaan-pertanyaan realisme ditutupi untuk disalurkan pada narasi alur dongeng fantastis. Alih-alih ngeri pada penembakan, ingatan Anak Baik fokus pada perangkap penangkap Koksi —karakter penting dipikirannya agar bapaknya balik.
Sebagai percobaan, tak salah novel ini berisikan method writing dua tokoh; Kina dan Anak Baik. Metode penulisan dengan pendalaman karakter ala Kina dengan langsung terjun menjadi tokoh yang terlibat dan dekat dengan persoalan. Dari dekat maka nyaring terdengar dalam telinga penulis. Dari karakter Kina nyambung ke Anak Baik. Kina sang pengamat dan pencatat dan Anak Baik sang pelaku di kejadian 20 tahun lalu. Tentu saja, Anak Baik yang dekat tak « nyaring » ingatannya karena dijejali oleh dongeng. Gagal dalam menulis kata Dea koleganya.
Sebagai percobaan, tak salah novel ini kaya akan imajinasi; sekuat-kuatnya prosa fiksi. Memanjakan narasi dalam linear misterius sampai bab-bab terakhir yang langsung digas untuk ditutup dalam buru-buru.
Sebagai percobaan, tak salah novel ini harus dibaca sampai tuntas dan dibaca ulang lagi. Karena akan ada penemuan-penemuan yang bersumber dari tempat lain.
Lagi-lagi, sebuah novela. Dan perlu dipahami bahwa cerita di dalamnya tidak sependek cerpen tapi tidak sepanjang novel sehingga bisa dibilang semuanya terasa tanggung. Begitupun dengan yang ini.
Ini adalah karya Dio pertama yang kubaca jadi tidak bisa membandingkan dengan karyanya yang lain. Cerita tentang Gang Patos dan orang-orang yang menghuni rumah di jalur itu begitu ringkas. Ada lebih dari lima karakter dan dua plot yang masing-masing punya porsi yang pas tapi saking penuhnya malah membuat kisahnya sedangkal banjir semata kaki setelah hujan semalaman. Banyak hal terbiarkan dengan tanya. Terlepas dari itu, aku makin terpicu untuk membaca karya Dio yang lain.
Isu modernisasi kental di sini—seperti, yang paling kentara, warung Edi dan swalayan 24 jam.
novela pertama sabda armandio, kurang lebih tercetak 100 halaman yang cukup dibaca sesingkat percik bara. bagiku, novela ini hambar, para tokohnya terasa tak masif, banyak fragmen yang bisa diurai lebih mutlak tapi malah seakan menuntun pembaca menuju tembok di jalan buntu, lalu menggantung tanya, "ini kemana?", "sudah sampai sini saja?". mata saya paling berbinar ketika dimulainya pertemanan antara aziz dan anak baik yang penasaran dengan dongeng gang patos dan orang koksi. dan mereka percaya. setelah membaca ulasan-ulasan buku ini di goodreads, ternyata banyak yang kurang suka dengan novela ini, saya pun begitu. sekian.
Novella yang mengasyikkan karena selipan humor yang bikinku ketawa saat baca. Garis besar ceritanya cukup menarik: perkampungan (dan penghuninya) yang hendak dipinggirkan pihak lain. Dari pembacaanku, karya ini pengin bawa persoalan urbanisasi yang dikemas lewat cerita ala detektif tipis-tipis dan penuh humor; tapi kadang ada bagian di cerita yang terlalu meracau, insignifikan buat alur cerita.
#OOT: kebetulan pas baca ini aku lihat twit tentang PIK & problem sosial yang diakibatkannya (eksklusivitas, kesenjangan sosial-ekonomi, etc) dan langsung keingat novella ini.
melalui keunikannya, armandio selalu menghadirkan cerita yang menarik. seolah keasyikan bercerita dan mengajak pembaca untuk menebak dan berimajinasi sendiri--atau malahan armandio tidak menuntut pembaca untuk mengerti. hal lain adalah selalu ada pesan tersembunyi yang menanti diraba-raba dengan akal sehat maupun tidak sehat.