Alina Suhita, perempuan dari trah darah biru pesantren dengan moyang pelestari ajaran Jawa, sejak remaja terikat perjodohan. Ketika hari pernikahan tiba, Gus Birru suaminya, menumpahkan kekesalan dengan tidak mau menggauli Suhita. Tinggal dalam satu kamar tapi tempat tidur terpisah sejak malam pertama pernikahan. Tanpa perbincangan apalagi kehangatan, namun bisa bersandiwara sebagai pasangan pengantin mesra ketika di luar.
Alina Suhita begitu patuh. Khas tawadhu' santri. Baginya, mikul duwur mendem jeu menjadi pegangan yang mutlak diterima dan dilakukan tanpa reserve. Gejolak hasrat seorang istri yang disambut penolakan terang-terangan suami, tepat ketika perempuan masa lalu suami muncul menjalin komunikasi layaknya sepasang kekasih, adalah penderitaan yang mengiringi konflik batinnya selama beberapa purnama.
Namun yang tersemat dalam nama Suhita, adalah kekuatan tiada bandingan. Suhita menelan semua getir itu sendirian. Merebahkannya di dalam sujud, melantunkannya dalam ayat-ayat Tuhan yang ia hapal seluruhnya, juga tengadah doa di tempat orang-orang suci disemayamkan.
Mustika Ampal dan Pengabsah Wangsa, menjadi ujung dari kisah cinta rumit dan dramatis ini. Bahwa cinta adalah kesediaan total untuk menerima takdir serta melapaskan diri dari segala hal yang berpotensi memusnahkan bahagia.
Hati Suhita is a novel from Khilma Anis that released in 2019. Novel that consists of these 415 pages has a very interesting story. This novel combines two cultures, Javanese culture and Pesantren (an Islamic Boarding School in Indonesia) culture. This is a new thing for me to read a novel like this. This novel told about an arranged marriage between the main characters of this novel, Alina Suhita and Gus Biru, which was planned by their parents. Suhita was a Santri (name for a student who studies at pesantren) at a Pesantren in East Java since she was a child to adulthood. While Gus Biru is the only son of the Kyai (the owner or teacher of a Pesantren) where Suhita has studied. Gus Biru's parents were amazed by Suhita's attitude and intelligence while she was studying at the Pesantren. In addition, Suhita also came from a family with a Pesantren background and had a good Javanese culture. These reasons that made Gus Biru's parents beg Suhita's parents to have an arranged marriage their children, in the hope that Suhita could help to continue the struggle of Pesantren and give good offsprings in their families. However, Gus Biru was not interested and refused that arranged marriage. He already loved another woman when he was in college in Yogyakarta. The woman named Rengganis. However, because of following the wishes of their parents, the arranged marriages bring them up to be husband and wife. This novel explained the conflicts that occur to them and how they resolve those conflicts. In addition, the story is also presented from the perspective of the three main characters. Therefore, the readers will understand the feelings of each character in dealing with conflict. However, the story from the perspective of Suhita as a wife and a woman is the most told in this novel. This novel is able to attract readers into the story. This novel uses two languages, Indonesian and Javanese because in this novel presented the history of Javanese Puppetry. Besides that, this novel also presented a little story about the life of an organization activist in college. The author used the third perspective in this novel. The setting of this novel is presented very well. The portrayal of the characters and background of the place is very strong. Javanese culture that was told in this novel is very interesting and relatable to real life. These things can add new insights for the readers. This novel also contains many messages that useful for the readers, especially those related to women and married life. This novel taught us to be sincere, patient and not easy to be prejudiced. In addition, also the importance of building communication to avoid undesired misunderstandings occur. You can get this novel in store books or e-commerce sites for about Rp. 87,000. This book is really suitable to read for teenagers, adults and parents. The story in this novel is very unique and interesting. The messages that delivered are also related to the reality of life and also the story of Javanese Culture can expand our knowledge. ◇ ◇ That is my review of Hati Suhita Novel. I hope it can be useful. Thank you for reading. ^^
Membaca novel genre ini apalagi isinya kental budaya jawa adalah hal baru bagi saya. Di novel ini saya mendapat banyak tambahan wawasan mengenai dunia yang berbeda dengan dunia yang saya tinggali sehari-hari. Saya merasakan simpati yang mendalam terhadap konflik hati Suhita dan Rengganis, dimana nasib mereka sudah digariskan oleh takdir, tidak bisa menyalahkan siapa2. Jadi walau berat dan sakit mereka berjuang demi perannya masing-masing, Suhita sebagai istri yang tidak diinginkan, Rengganis berusaha move on dari bayangan kekasih yang masih sangat dia cintai yang kini sudah menjadi suami orang lain, dan Gus Birru yang berusaha menerima takdir dan belajar menjalani peran barunya sebagai suami meski awalnya dia mengalami banyak hambatan. Tokoh-tokohnya bisa dibilang sangat manusiawi dan mempunyai idealisme mereka sendiri-sendiri. Sebagai pembaca, saya berusaha objektif, tidak berprasangka dan mengambil kesimpulan sendiri tentang perjodohan di masyarakat yang sudah modern, saya menghargai bahwa di beberapa kalangan hal tersebut mungkin memiliki pengaturan tersendiri yang sudah mengakar berabad-abad. Intinya, membaca novel ini sebuah pengalaman yang baru dan memberikan seberkas ide dan gagasan yang baru mengenai sebuah rumah tangga. Saya juga suka detail dunia perwayangan, budaya Jawa, sejarah penyebaran Islam di Jawa, juga tentang sepotong kehidupan para aktivis dalam pergerakannya.
Ini buku yang di beli tanpa sengaja, karena teman salah dikirimi buku oleh penjual, akhirnya di jual pada saya. Awalnya ragu, tetapi episode demi episode terbaca dengan enak. Dengan 3 sudut pandang karakter yang terlibat. Untuk bacaan ringan buku ini bagus dan menarik. Banyak filosofi filosofi jawa yang baru saya tahu setelah membaca buku ini. Hanya saja untuk pembaca bukan orang jawa seperti saya, agak kesulitan dengan percakapan bahasa jawa. Terjemahan di akhir buku dan alfabetis, sehingga agak merepotkan jika harus berhenti membaca dan mencari artinya. Akhirnya saya hanya membaca tanpa tahu arti sebenarnya dari beberapa percakapan di buku ini
Awalnya aku mengira buku ini hanya menggambarkan sudut pandang Alina Suhita, seorang istri yang menerima takdir dengan ikhlas dan begitu tabahnya. Sebab, hati siapa yang tidak sakit ketika sang suami yang ia cintai justru mencintai wanita lain? Menurutku, Alina Suhita adalah wanita langka di zaman ini. Ia harus berkali-kali berperang dengan perasaannya sendiri, memilih antara menyerah atau bertahan. Namun, semakin aku mengarungi buku ini, aku merasa ... hey! Tidak hanya ada Alina Suhita, bahkan ada suaminya, Mas Birru, ternyata ia juga berjuang mati-matian tanpa ada yang tahu. Siapa sangka? Bahkan ada wanita lain juga yang nyatanya sama-sama sakit hati atas takdir yang membawa tiga tokoh utama di buku ini. Aku jarang sekali menemukan wanita seperti ini-yang dianggap mengganggu sebuah rumah tangga- diberikan kesempatan untuk mengisahkan tentang dirinya juga.
Keunikan lain dan ini merupakan nilai plus-nya adalah ada beberapa cerita perwayangan yang aku sendiri belum mengetahuinya, kecuali bagian Mahabarata hingga para Pandawa dan Kurawa. Ada juga tempat-tempat makam para wali yang dikunjungi. Ini unik dan keren, meskipun sejujurnya aku tidak begitu suka dengan dunia perwayangan, tetapi di buku ini, kisahnya tidak begitu mengganggu.
Buku ini mengalir dengan tenang dan terasa sangat nyata. Diam-diam membuat mata berkaca-kaca tak terasa, bahkan aku sampai menangis ketika mengira Alina Suhita benar-benar akan menyerah dan memilih pergi. Great book!
Buku Hati Suhita betulan berdiam diri di rak selama lebih dari setahun setelah dibuka dari bungkusnya. Alasan menolak dan menunda baca karena saya pikir isinya yaa gitu-gitu saja. "Kenapa harus baca? Wong saya ada di lingkungan itu di dunia nyata?" Begitu pikiran congkak saya waktu itu.
Saya baru mulai baca menjelang filmnya rilis baru-baru ini. Baru setengah baca ternyata seru dan *uhukk* cukup relatable bagi saya yang hidup dekat dengan lingkungan pesantren. Di luar dugaan ternyata prasangka saya keliru. Novel ini cukup kompleks, baik dari segi cerita dan cara penulis menceritakan isi serta pesan ceritanya.
Konflik cerita diambil dari problem yang cukup umum, kalau kata ibu saya, "biasa sebenarnya. Perjodohan di lingkungan pesantren. Ning sama Gus dijodohkan". Tetapi bagaimana semua tokohnya punya andil yang kuat dalam cerita ini cukup menarik dan patut diacungi jempol.
Highlight dari cerita ini yang digembar-gemborkan salah satunya adalah the power of woman. Bagaimana peran, nilai dan kekuatan seorang perempuan di tengah keluarga dan masyarakat; dan di dalam diri mereka sendiri. Dua karakter utama di cerita ini punya cara mereka sendiri untuk menunjukkan nilai mereka dengan cara yang kontras. Sama-sama kuat dan sama-sama bernilai.
Ditambahi dengan kisah pewayangan yang dijadikan simbolisasi amanat cerita, membuat novel ini punya nyawa yang berbeda dibanding dengan novel pesantren-romance yang lain.
Satu hal yang cukup saya sayangkan adalah di bagian akhir cerita. Dimana penyelesaian masalah terkesan buru-buru.
Cuuuung pecinta fiksi? 🙋♀️ Tooss ! 🖐️ . Salam nih dari para pecinta fiksi, stop minder buat baca buku. . Jangan hanya karena bacaan kita berupa novel, cerpen ataupun komik, lantas kita ga percaya diri. Bukan berarti yang bacaannya non fiksi menjadi lebih keren. Bukan pula yang bacaannya fiksi belaka jadi lebih cemen. . Big no ! Karena sebuah buku menjadi 'bagus' ketika ia membawa hikmah tersendiri saat kita usai membacanya. . . Seperti novel satu ini, @khilma_anis lihai sekali merangkum kata untuk kisah yang tak biasa. Tujuannya mengenalkan pesantren lewat sastra sangat unik, dan itu tercapai dengan bombastisnya orderan #HatiSuhita dalam sekali launching kemarin 😉 . Saya sendiri memilih suka pada tulisan beliau karena pada setiap novelnya selalu terselip Babad Jawa, berasa sedang dikisahkan (lagi) dengan alur yang lebih menarik :') seperti Pandawa, Ramayana, dan lain sebagainya. . Ini buku kedua @khilma_anis yang saya baca setelah #Wigati, dan tetap, energinya terasa luar biasa. Sekali duduk selesai. . Kamu, yang sedang butuh bacaan ringan namun penuh hikmah, bisa dicoba baca novel yang digandrungi emak emak ini. Cucok buat teman perjalanan Mudik juga. . Happy reading 📖
Beli dan baca buku ini karena rekomendasi dari banyak orang. Cerita dituliskan dengan mengalir lancar. Page turning. Gaya penulisan yang menarik karena memadukan permasalahan karakter utamanya dengan dunia wewayangan. Tapi saat baca buku ini rasanya mengganjal di hati. Gus yang dibaperin itu ternyata sebegitu red flag-nya. Penggambaran fisik sosok suhita yang kadang dituliskan dengan terlalu detail sampai aku merinding sebagai wanita. Beberapa kalimatnya juga membuatku merasa wanita itu jadi seperti benda saja.
Bacaan ringan yang sangat menarik. Penokohan dan latar belakang tempatnya kuat sekali. Begitu pun dengan sisipan pengetahuan kebudayaan Jawa dan pesantren. Meskipun dari ketiga sudut pandang yang ada, sudut pandang Alina lah yang paling bisa menggerakkan perasaan.
Ada dua hal yang menarik perhatian saya setelah tuntas membaca novel Hati Suhita. Pertama, soal sikap Gus Birru yang cueknya naudzubillah itu. Kedua, tentang bagaimana penulisnya memaknai pernikahan.
Untuk yang pertama, saya tidak habis pikir. Maksudnya, bagaimana mungkin ada orang normal (sehat secara fisik dan mental) yang setega itu? Apalagi, beliau ini kan berpendidikan tinggi dan berlatar belakang pesantren?
Seumur hidup, rasanya kok saya belum pernah menemukan orang semacam ini. Bukannya di pesantren kita diajarkan untuk bersikap baik kepada orang lain?
Tapi sudahlah. Barangkali penilaian saya yang salah atau terlalu melebih-lebihkan karena lingkup pertemanan yang minim alias kurang dolan. Maka dari itu, mari kita bahas yang kedua saja.
Dalam novel yang ditulis oleh Khilma Anis itu, diceritakan bahwa Gus Birru dan Alina Suhita adalah pasangan suami-istri yang menikah setelah melewati proses perjodohan yang direncanakan oleh orang tua masing-masing.
Gus Birru sebenarnya tidak menghendaki pernikahan tersebut sebab ia masih menaruh hati pada perempuan yang dicintainya, Rengganis. Namun, karena ia harus menuruti kehendak orangtuanya, pernikahan pun tetap dilaksanakan.
Akibatnya, hari-hari yang dilalui oleh pasangan tersebut tidak seperti pengantin baru pada umumnya karena sejak awal, Gus Birru tidak menaruh perasaan apapun terhadap istrinya itu.
Mereka hanya bersikap selayaknya pasangan suami-istri ketika sedang berhadapan dengan orang tuanya. Gus Birru dan Suhita pun tak kunjung melakukan apa yang sudah sewajarnya dilakukan oleh pasangan suami-istri meskipun kedua orang tua telah berulangkali menanyakannya.
Memang, Gus Birru bisa saja menggauli istrinya karena telah melewati proses pernikahan. Toh, Suhita tak kalah menariknya dengan Rengganis. Ia juga sudah menjadi haknya baik secara jasmani maupun rohani.
Tapi, Gus Birru memilih untuk tidak melakukannya. Mengapa? Karena menurutnya tidak mungkin melakukan hubungan suami-istri sementara perasaannya masih terpaut dengan orang lain. Ia tidak mungkin memberikan benihnya jika masih ada unsur keterpaksaan dalam dirinya.
“Secara naluriah, jujur aku tergoda. Dia memang sangat cantik. Lehernya langsat dan jenjang. Bodinya sintal. Sinar wajahnya teduh. Tapi aku berdosa menyatu dengannya kalau yang kuingat adalah Rengganis,” begitu katanya.
Selama tujuh bulan, Suhita harus menerima kenyataan bahwa sang suami belum mencintainya.
Gus Birru membiarkannya, tidak menyentuhnya sebab ia butuh waktu untuk mendidik dirinya sendiri agar mampu menerima kenyataan. Bahwa bagaimanapun juga Suhita adalah wanita yang dipilih orangtuanya.
Ia juga harus mampu memberinya kasih sayang yang utuh terlebih dahulu sebelum menunaikan kewajibannya sebagai suami. Perasaannya harus tenang, benihnya harus matang.
Dari sini, saya kemudian mulai memahami bahwasanya pernikahan ternyata bukan hanya soal halalnya melampiaskan syahwat—sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang.
Lebih jauh, pernikahan adalah juga ihwal keikhlasan dan kesadaran penuh masing-masing pihak, baik suami maupun istri, untuk bekerja sama membangun rumah tangga yang baik. Sebab, selama masih ada unsur paksaan, mustahil keluarga yang harmonis dapat terwujud.
Alasan membeli buku ini adalah karena filmnya akan segera ditayangkan. Mungkin temanya cukup familiar dan mainstream bagi orang Indonesia yaitu perjodohan. Namun setelah membaca beberapa komen dan review soal buku ini, aku justru makin tertarik untuk membacanya. Bukan serta merta hanya membahas tentang perjodohan, namun ada latar belakang pesantren dan nilai-nilai agama di dalamnya. Jadilah aku makin mantap untuk membeli dan membacaya sebelum nanti menyaksikan filmnya di bioskop.
Alina Suhita, Gus Birru, dan Rengganis adalah 3 tokoh utama dari novel ini. Ditambah tokoh lain seperti Kang Dharma, Aruna, Abah, dan Ummik membuat ceritanya makin lengkap. Novel ini ditulis dari 5 sudut pandang, yaitu 3 dari tokoh utama dan 2 dari tokoh figuran yaitu Kang Dharma dan Aruna.
Karena ditulis dengan 5 sudut pandang tokoh yang berbeda, maka cerita dari masing-masing tokoh semakin kuat dan membuat pembaca semakin memahami perasaan tokoh bahkan bisa berempati.
Di awal cerita, tokoh Alina Suhita diceritakan dengan kesempurnaannya sebagai perempuan Jawa namun menanggung kelaraan pada hatinya karena pernikahannya sendiri. Aku pun turut berempati dengan kejadian yang dialami Alina Suhita hingga beberapa kali menitikkan air mata.
Di pertengahan cerita, sudut pandang berubah menjadi sudut pandang Gus Birru. Pada bagian ini, aku pun bisa merasakan nelangsanya Gus Birru yang berjuang untuk menerima perjodohannya dengan Alina Suhita serta hubungannya yang kurang baik dengan Abahnya karena adanya perbedaan idealisme.
Setelah itu aku dibawa ke sudut pandang Rengganis, kekasih Gus Birru yang kisah asamaranya harus kandas karena Gus Birru sudah dijodohkan dengan Alina Suhita sejak kecil. Tak kusangka, air mataku tumpah ketika membaca cerita dari sudut pandang Rengganis ini. Dia dipaksa sekuat tenaga untuk berdamai dengan dirinya sendiri agar bisa melepaskan lelaki yang ia kagumi dan cintai.
Ketiga tokoh utama ini benar-benar menggambarkan karakter yang patut diteladani. Alina Suhita dengan kesabaran dan keshalihahannya. Gus Birru dengan ketulusan dan idealismenya. Ratna Rengganis dengan ketegaran dan keikhlasannya melepaskan. Tidak ada tokoh antagonis dalam cerita novel ini. Yang ada hanyalah masing-masing tokoh memiliki kenelangsaan yang harus mereka hadapi.
Terakhir, di novel ini banyak menggunakan istilah jawa dan cerita pewayangan karena latar belakangnya memang di Jawa. Mungkin akan sulit untuk mengingat tokoh-tokoh wayang yang diceritakan, namun saat membacanya terasa menarik.
baca fiksi lagi setelah setahun belakangan lebih banyak disibukkan dgn bacaan nonfiksi tentang kehamilan / parenting. dan ternyata, di luar dugaan.
biasanya aku paling malas baca novel yg terlalu "deskriptif", sedikit dialog, banyak sejarah. namun semua itu runtuh tatkala aku baca novel ini. novel setebal 300-an halaman yg menggabungkan dunia pesantren dgn budaya jawa yg kental. saking asyiknya, aku bisa menyelesaikan novel ini kurang dari seminggu. sungguh sebuah prestasi.
oke, sekarang kita masuk ke poin yg kusuka. sejauh membaca novel ini, dahagaku yg memang sedang senang-senangnya belajar ttg dunia pondok, seperti diguyur air sungai yg segar. banyak sekali pengetahuan yg kudapat, banyak yg baru kutahu. oh, ini begini, oh begitu. selain itu, penjelasan tentang babad tanah jawa-nya juga aku suka (walau kadang terlalu banyak kisah & tokohnya, sehingga membuatku yg awam jadi bingung haha).
sekarang ganti poin yg nggak kusuka. hal pertama yg membuatku gregetan di tengah-tengah asyik membaca adalah:
"ini tu sebenarnya simple klo semua orang mau (dan berani) membuka komunikasi."
serius deh.
sbg org yg sudah menjalani kehidupan rumah tangga selama 1 tahun (lumayan lah ya, seniornya Suhita 5 bulan, jd bisa ngasih wejangan wkwk), berani komunikasi, berani mengangkat topik sensitif, berani debat akan hal itu, itu SANGAT PENTING OI WAHAI SEJOLI SUHITA X BIRRU.
apalagi melihat dari latar belakang Suhita yg seorang pengajar/concern terhadap pendidikan/org kepercayaan Abah Ummik dlm mengembangkan pondok mereka, dan Birru yg juga seorang yg cakap, mudah bergaul, seharusnya bisa dgn mudah mereka berdua memulai membahas yg bergelut dlm hati daripada hanya sibuk dgn opini sendiri serta aksi diam seribu bahasa.
tapi terlepas dari itu, novel ini cukup menghibur dgn rasa yg pas; dapet ilmunya, romantismenya lumayan oke sekaligus bikin greget, sedihnya jg cukup bikin nyes.
Meskipun tema yang dihadirkan oleh novel ini klise, namun nuansa pesantren dan kisah pewayangan jawa yang digambarkan mampu menjadi topik yang menarik. Tradisi budaya Jawa yang ditulis begitu melekat dengan kehidupan orang Jawa pada umumnya. Jika stigma pesantren itu kuno, buku-buku yang dimiliki Gus Birru menandakan bahwa santri juga melek sastra.
Namun sayangnya, dalam penceritaan ada hal yang mengganjal terkait pemahaman kisah mitologi Jawa oleh semua karakter dalam novel. Seperti Rengganis yang diceritakan sebagai perempuan modern, atau Gus Birru aktifis yang cuek terhadap pesantren, namun pemahaman tentang filosofi pewayangannya sama seperti Alina Suhita, yang tumbuh dari moyang pelestari ajaran Jawa. Mungkin penulis memiliki pemandangan berbeda terkait hal ini yang belum sampai kepada saya selaku pembaca.
Pun, peralihan dari konflik ke penyelesaian terlihat gamang. Saya tidak begitu memahami alasan Gus Birru yang tiba-tiba melunak kepada Alina Suhita, namun satu hal yang saya tahu bahwa kerasnya hati Gus Birru mencair karena disiram oleh kelembutan dan ketabahan Alina.
Selain itu, buku ini sangat menarik untuk dibaca. Sarat akan banyak makna kehidupan seperti, mikul dhuwur mendem njero, dan membuat kita menganali kehidupan pesantren Jawa!
Yang paling saya sukai, yakni gaya bahasa Ning Khilma yang juga menggunakan diksi dan rima yang cantik. Saya seakan-akan larut dengan kesedihan yang dialami Alina Suhita. Penggambaran perasaan Alina sangat menyentuh dengan dialog-dialog yang dibangun. Membuat saya ingin menepuk pundaknya menenangkan.
Kala mendengar novel ini diangkat ke layar lebar, saya begitu antusias. Melihat kisah pernikahan Alina Suhita dan Gus Birru secara visual, pasti akan memberi pengalaman baru yang menyenangkan.
Aaaa…. Setelah baca novel ini masih kebayang-bayang sosok cool nya gus Biru, sosok ketegaran Alina, dan pengorbanan Rengganis. Ini memang bentuknya novel tapi isinya pelajaran berumah tangga terutama sebagai seorang istri. Secara singkat, istri itu harus “mikul dhuwur mendem jeru”. Apapun yang terjadi dalam rumah tangga, harus dihadapi berdua dan jangan sampai orang luar tahu. Aku ingat betul bagaimana Alina tetap izin ke mertua dan ke suami untuk keluar rumah mertua dengan sopan. Andaikan itu aku, dengan badai sehebat itu yang telah dialami, mungkin permasalahan rumah tanggaku sudah bocor ke teman-teman atau bahkan aku sudah kabur dari rumah mertua hahaha…
Novel ini menggunakan POV orang ketiga. Dan yang paling saya suka adalah, dia memperlihatkan sudut pandang semua karakter termasuk Rengganis, sehingga pembaca juga bisa memahami sudut pandang Rengganis. Hal tersebut jarang ditemukan dalam novel lain karena rata-rata hanya hanya melihat dari sudut pandang karakter utama.
Untuk saya yang asli Jawa, saya cukup bisa memahami beberapa kosa kata dan budaya-budaya jawa yang dimunculkan dalam novel. Namun demikian, untuk pembaca yang di luar jawa, mungkin akan menemui kesulitan dalam memahami hal tersebut. Apalagi, terjemahan dari kata-kata berbahasa Jawa tersebut diletakkan di halaman paling belakang secara alfabetis, bukan dicantumkan dalam footnote. Meskipun demikian, pengetahuan penulis tentang wayang dan tentang dunia pesantren patut diacungi jempol.
Menurut saya, novel ini cocok dibaca oleh pasangan yang sudah menikah atau yang sedang mempersiapkan pernikahan. Hal tersebut karena ada beberapa part yang menurut saya meskipun tidak menggunakan kata-kata yang terlalu vulgar tetapi tetap kurang pantas untuk dibaca oleh anak-anak.
Memang betul sepertinya, insight buku yang kita baca akan beda sekalipun kita baca berulang kali. Ini karena kemarin filmnya segera tayang, sedang saya belum punya kesempatan untuk nonton filmnya, maka saya memutuskan untuk reread. Alhasil, insightnya beda boo. Dan entah kenapa saya kok krenyes berpindah hati jadi tim Rengganis ya. Ahaha
Saat baca pertama kali, saya sibuk mencari ending apa yang terjadi antara Mas Birru dan Ning Alina. Saya kesengsem sendiri bagaimana akhirnya mereka bisa berdamai dengan perjodohan. Saya pun ikut geram ketika Mas Birru menyia-nyiakan Alina dan seolah-olah ngga mau tahu tentang dirinya. Pokok e, wes tokoh-tokohnya merasukiku dan emosinya hidup dalam pergulatan pikiranku.
Temanya tentang perjodohan. Sekalipun perjodohan merupakan tema yang sudah biasa menghiasi novel Indonesia, tapi setting pesantren dan langsung ditulis oleh keluarga pesantren sendiri itu bikin hati adem bin mengimajinasikannya enak gitu. Apalagi pembacanya adalah santri. Maklum, seorang santri mesti bisa menyelami rasa, membayangkan bagaimana dulu dia di pondok.
Tentang Rengganis, dia ngga salah. Dia lebih dulu kenal dekat dengan Mas Birru. Dia pula yang dicintai sepenuh hati lebih dulu. Tapi ternyata kesempatan tak memihaknya. Takdir tak menaunginya. Satu-satunya kebahagiaannya tentang Mas Birru adalah kenangan. Pirtinyiinyi, apakah kenangan akan menguntungkan untuk keberlangsungan hidup Rengganis di masa depan? Ah, mellow.
Novel langka dg perpaduan nuansa *adat pesantren dan adat Jawa*, betapa seorang wanita Jawa harus tetap memegang teguh _"mikul duwur mendem jeru"_ di tengah era milenial dan serba emansipasi--kesetaraan wanita.
Banyak sekali pelajaran yg bisa diambil dari setiap kisah tokohnya. Alina Suhita, yg benar2 mengabdikan dirinya untuk memimpin pesantren calon mertuanya, merelakan masa mudanya terenggut utk terus belajar dan berjuang, ditambah lagi keteguhan hatinya untuk tetap bertahan dalam dinginnya sikap Gus Birru, suaminya. Ratna Rengganis, yg ceria, hanya mencoba merasakan cinta dan ternyata harus pupus, merelakan cinta yg sangat mencintainya. Gus Birru yg sejak kecil dipaksa utk mengikuti kemauan orang tua, tanpa diberi dukungan untuk bakat minatnya sendiri, dan harus melepaskan cintanya dr Ratna Rengganis kepada Alina Suhita. Seorang yg selalu berteriak ttg demokrasi, tp tak mampu menerapkan bahkan utk dirinya sendiri. Setiap tokoh benar2 terlukis nyata karakternya yg sangat kuat.
Bacaan wajib sih, untuk bener2 bisa merasakan bahwa masalah yg kamu hadapi saat ini, belum ada apa2nya dibandingkan kisah2 yg pernah ada. Yakin mau menyerah saja? Aku sih, tidak. Selamat menyelami rasa 🤍
Pertama kali tau novel ini dari film Hati Suhita yang trailernya baru-baru ini keluar. Dari trailernya tentang kehidupan pesantren yang melekat dengan perjodohan antar anak ketua yayasan.
Aku memang suka sekali dengan novel fiksi yang ada sentuhan islaminya apalagi yang sangat related dengan cerita-cerita yang berkembang di dunia nyata. Setelah membaca novel ini aku merasakan alur ceritanya bagus, tapi agak kesel ya dengan watak tokoh mas biru ini terlalu keras dengan istri sah nya dan masih terus merasa cinta dengan mantan kekasihnya. Tapi apakah memang orang kalo dijodohkan dan belum ada rasa cinta akan melakukan hal yang sama atau mirip seperti itu? Disakiti dulu dan akhirnya sadar lalu merasa kalo istrinya adalah cintanya.
Yang membuatku belum merasa kurang sempurna prolog dalam setiap perpindahan cerita segmennya terlalu lama. Hanya itu sih kurangnya.. Sangat recommended sih buat dibaca terutama yang pengen tau kehidupan pesantren. Happy reading ya...
Membaca novel dengan bumbu wayang dan jawa adalah hal baru buat saya. And i really like it. However, daripada bersimpati pada Alina, saya lebih bersimpati pada Rengganis. Pada akhirnya Alina mendapatkan cinta Gus Birru, meski harus mendaki gunung lewati lembah (😂), dan harus nangis - nangis. Mereka bahagia, tentu saja.
Tapi Rengganis, ia sadar bahwa mereka berada di dunia yang berbeda, dan nggak bakal bisa bersama. Ia berusaha melupakan Gus Birru, tapi kenangan mereka terus berputar di kepala dia. Mungkin dia akan ketemu orang lain dan bahagia juga, tapi waktunya bakal lama.
Saya suka novel ini, tapu buat baca berulang - ulang, saya kira nggak. Saya baperan, dan masih nggak kuat kalau baca partnya Rengganis (🤣).
This entire review has been hidden because of spoilers.
Tipe Novel yg bisa dibaca dalam sekali duduk, kurang dari 24 jam bisa selesai. Baca novek ini karena nonton filmnya, yang diadaptasi dari novel best seller dari aplikasi membaca online, tapi merasa ga puas dengan filmnya dan pasti banyak beda nih sama Novelnya.
Pas sampe rumah langsung order beli dan habis dibaca dalam 1 hari. Biasanya baca bukunya dulu baru nonton filmya. Ini jadi kebalik dan lumayan lah kehibur. Ya namanya fiksi buat menghibur.
Tapi fiksi emamg aga beda, Terlepas dari konflik hati tokoh yg dibesarkan di pesantren (anak Kiyai) tapi ada yg menarik, novel fiksi ini juga menceritakan kisah2 kerajaan & kisah pewayangan Nusantara yg buat nambah ilmu ttg sejarah. Secara pribadi kurang suka dg karakter Gus Birru dg latar belakang yg mumpuni tapi jadi laki2 yang red flag.
Awal saya baca sinopsisnya saya sangsi sama buku ini. Kenapa perempuan Jawa digambarkan semerana ini? Teraniaya yang terlalu kebangetan, tapi tetap bertahan karena tak punya pilihan. Di akhir cerita saya paham, bahwa di masa lalu, mungkin juga masa kini, masih ada beberapa perempuan yang bukan tidak punya pilihan keluar dari kondisi menyakitkan tersebut tetapi mereka memilih begitu demi mengharap ridho Allah, itu caranya ia bertahan, caranya merayu Tuhannya. Secara umum cerita oke dan menarik, sayang kesalahan editing yang bisa di minimalisir menjadikan pembaca yg detil seperti saya sedikit terganggu.
Novel yang sangat menarik. Saya sering salah fokus saat membacanya, bukan ke jalan cerita melainkan tebaran value dari cerita wayang dan ziarah ke makam-makam ulama. Suhita mempelajari dengan apik nilai-nilai yang diajarkan oleh Mbah Kung-nya melalui setiap cerita wayang yang disampaikan sejak Ia kecil. Sebagai orang yang belum pernah mengenal dunia perwayangan, saya menjadi sangat tertarik. Dalam novel juga beberapa kali diceritakan bagaimana Suhita menghadapi persoalan rumah tangganya dengan ziarah ke makam-makan ulama. Saya pernah sekali-dua kali mendengar orang berziarah ke makam ulama, tapi baru di novel ini saya tersentuh untuk ikut berziarah dan merasakan ketenangannya.
Menceritakan kisah cinta anatara gus dan ning (panggilan untuk keluarga pesantren gus = mas, ning = mbak) yang penuh dengan gejolak batin. Ning Suhita yang menjadi sosok istri penuh cinta dan pengharapan dan gus biru sosok suami yang sulit lepas dari kisah cinta masa lalunya. Novel ini juga memberikan pengetahuan mengenai ungkapan-ungkapan Jawa yang memiliki makna mendalam. Ungkapan tersebut juga diperoleh dari kisah para pangeran kerajaan Jawa. Salah satu pesan yang diberikan dari novel Hati Suhita yaitu sekuat-kuatnya hati perempuan, suatu hari nanti hati itu juga akan memilih mundur.
Banyak banget yang bisa diambil dari novel ini. Banyak ilmu baru yang bisa didapat terutama tentang perwayangan. Kombinasi yang sangat menarik antara pelajaran Islam dan cerita Jawa. Banyak nasihat yang bisa kita ambil dari novel ini. Keren banget penulisnya bisa mengkombinasikan dua pelajaran tersebut. Setiap baca selalu penasaran sama apa yang bakalan terjadi atau apa yang ingin disampaikan oleh penulisnya di halaman selanjutnya.
Lumayan mengaduk-aduk perasaan. Novel romantika berbalut spiritualitas yang bisa membawa pembacanya untuk ikut larut dalam cerita. Dengan gaya cerita POV, pembaca jadi segan untuk menilai subjektif pada satu tokoh saja. Rekomended untuk dibaca, terutama bagi kalangan santri 😁.
Sebenarnya cerita yang diusung pada novel ini bukan sesuatu yang spesial karena banyak novel yang bertemakan perjodohan berujung cinta beneran. Novel ini menjadi 'beda' dan istimewa dibandingkan novel serupa karena dalam novel ini banyak filosofi Jawa yang luar biasa.