Setelah beberapa tahun mencoba, saya menemukan sejenis medium berkelamin ganda, pada bentuk yang kemudian berkembang: blog, sebuah ungkapan ringkas dari weblog. Di satu sisi, seperti tulisan di media cetak, ia bersifat publik. Terbuka untuk dibaca siapa saja. Di sisi lain, seperti catatan harian atau surat, bisa juga bersifat pribadi dan personal. Apalagi mengingat bentuk ini nyaris tak memiliki sekat antara ketika ditulis dan diterbitkan: tak ada otoritas media, tak ada saringan editorial.
Saya bisa memilih sendiri buku yang saya baca dan menulis sesuatu dengan cara yang saya inginkan. Di sini saya bisa menebarkan remah-remah roti Hansel dan Gretel untuk melacak jejak-jejak bacaan saya, juga pikiran, agar mudah kembali ke sana, sekaligus memungkinkan untuk dibaca siapa pun. Siapa tahu dalam perjalanan ini saya tersesat dalam labirin bacaan tak berujung, dan kita dipertemukan di suatu tempat, untuk memulai perbincangan yang lain.
Dunia sastra kita akan dipenuhi penulis-penulis yang bertabiat ugal-ugalan seperti sopir angkutan umum di Jakarta. Dan mereka akan bangga dengan ini. Bangga telah menjadi penulis berpihak, tak peduli caranya menulis menyedihkan. Mungkin seperti kata Lenin (saya kutip semena-mena): "Penyakit kiri kekanak-kanakan." Bangga telah menjejali novel dengan pesan-pesan moral, tapi lupa bagaimana menulis yang benar (belum lagi sampai tahap mengasyikan). Tapi ah, kenapa saya harus jengkel? Saya bukan guru yang harus mendidik orang bagaimana bersikap, sebagaimana tak perlu mendidik para penulis dan kaum intelektual. Mereka sudah cukup pintar untuk melihat kebodohan-kebodohan di dalam diri sendiri. Barangkali problem utamanya bukan ini, tapi kebutuhan saya untuk mengunjungi psikiater. Untuk meredakan ketegangan-ketagangan estetik, kejengkelankejengkelan yang tak perlu. Beberapa miligram obat pengendali mood mungkin baik buat saya, sehingga tak terlalu terganggu oleh apa pun yang terjadi di dunia kesusastraan.
Seperti kata Roberto Bolano, kita para penulis (yang baik, dan saya harap saya bisa menjadi bagiannya, bahkan meskipun saya penulis yang buruk, saya akan mengikuti sarannya), tak memerlukan siapa pun untuk bernyanyi bertepuk tangan atas karya-karya kita. Kenapa? Karena kita sudah dan akan melakukannya sendiri. Kita akan bernyanyi dan bertepuk tangan untuk karyakarya kita sendiri. Dan saya mesti mengingatkan diri sendiri, satu-satunya ukuran yang perlu diperhatikan adalah ukuranukuran yang telah ditancapkan oleh diri sendiri. Jika ingin menulis karya bermoral, tulislah. Jika ingin menulis karya tak bemoral, tulislah. Yang akan membuat saya membaca novel itil, pertama-tama bagaimana ia dituliskan. Menarik atau tidak? Mengasyikan atau tidak? Kalau sekadar ingin bilang "para bayi butuh minum ASI hingga 6 bulan” cukup tuliskan dalam satu baris kalimat, tak perlu satu novel.
Eka Kurniawan was born in Tasikmalaya in 1975 and completed his studies in the Faculty of Philosophy at Gadjah Mada University. He has been described as the “brightest meteorite” in Indonesia’s new literary firmament, the author of two remarkable novels which have brought comparisons to Salman Rushdie, Gabriel García Márquez and Mark Twain; the English translations of these novels were both published in 2015—Man Tiger by Verso Books, and Beauty is a Wound by New Directions in North America and Text Publishing in Australia. Kurniawan has also written movie scripts, a graphic novel, essays on literature and two collections of short stories. He currently resides in Jakarta.
Eka Kurniawan, seorang penulis sekaligus desainer grafis. Menyelesaikan studi dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Karyanya yang sudah terbit adalah empat novel: Cantik itu Luka (2002), Lelaki Harimau (2004), Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014), dan O (2016); empat kumpulan cerita pendek: Corat-coret di Toilet (2000), Gelak Sedih (2005), Cinta Tak Ada Mati (2005), dan Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi (2015); serta satu karya non fiksi: Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (1999).
Membicarakan Eka Kurniawan tentu tidak akan terlepas dari profesinya sebagai penulis yang melahirkan novel-novel bergengsi sekaliber Cantik Itu Luka, Lelaki Harimau, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, dll.—yang setidaknya kita akan familier dengan salah satu judul tersebut kendati belum pernah membacanya.
Jauh sebelum berkenalan dengan karya-karya fiksinya, aku lebih dulu mengenal Eka Kurniawan sebagai penulis blog yang produktif. Bahkan saat ia masih aktif hingga hengkang dari keriaan media sosial (meski sekarang masih aktif di Facebook), aku masih cukup sering mengintip jurnal pribadinya di laman ekakurniawan.com untuk sekadar membaca beberapa esai dan opininya tentang buku-buku yang baru selesai ia baca. Senyap yang Lebih Nyaring pun diterbitkan sebagai manifestasi dari tulisan-tulisannya di blog dalam rentang tahun 2012-2014. Berisi 107 esai yang sebagian besar membahas buku-buku bacaan, kritik, hingga pandangannya perihal wajah kesusastraan dunia; topik yang jarang kita temui dalam medium novel fiksi. Rasanya menyenangkan bisa berpetualang dalam labirin pikiran seorang Eka Kurniawan. Dalam setiap tulisannya, entah kenapa ia selalu berhasil menyampaikan perspektif yang berbeda. Misalnya, di saat para penulis senior seolah-olah mengabaikan kehadiran para penulis muda, ia malah berpikir sebaliknya dengan mengatakan, "Semua penulis terkenal dan tua, berawal dari penulis muda dan pemula." Ketika membicarakan tentang selera, secara terang-terangan Eka ingin menyindir perilaku kita dalam menilai sebuah karya. Menurutnya, kita tidak bisa mengatakan sebuah karya buruk hanya atas dasar selera, tanpa ada argumen. "Suka tidak suka, itu soal selera. Tapi, soal bagus dan jelek, Anda harus punya ukuran. Belajarlah bertanggung jawab pada apa yang dikerjakan oleh otak Anda." Bagian paling menarik dalam buku ini ketika pembaca ditanya, "Apakah bacaan kita tumbuh dengan semestinya?" Memang, terkadang kita dengan mudahnya mendikte sebuah teks bacaan dengan dalih bahasanya terlalu tinggi atau kurang membumi, padahal disiplin berpikir kita yang lambat bertumbuh. Aku jadi bertanya-tanya, ketika kita menyadari betapa timpangnya gaya menulis Raditya Dika dalam Kambing Jantan dan Ubur-ubur Lembur, apakah itu artinya bacaan kita bertumbuh? "Sebab pembaca yang tumbuh, pembaca yang dewasa, merupakan pembaca yang memelihara roh anak-anak di dalam kepalanya. Roh rasa ingin tahu."
Pengen kasih 4,8 bintang, tapi nggak bisa ya ini di Goodreads 😭.
Buku ini bagus banget, yang saking bagusnya bikin saya keder untuk menulis ulasannya. Terlalu banyak kutipan keren, gagasan-gagasan miring namun unik, kreativitas tanpa batas, pesimisme seorang pengarang, kejelian seorang pengamat, renungan mendalam seorang filsuf, serta rekomendasi buku-buku klasik untuk dibaca di dalam buku tebal ini. Ada rasa lelah saat selesai membacanya, lelah karena kepala dijejali dan dibebani oleh begitu banyak gagasan baru tentang kesusasteraan. Jenis lelah yang pada akhirnya menyadarkan kita untuk lekas membaca lebih banyak lagi buku klasik, lekas menulis setiap gagasan yang muncul, dan lekas bergerak untuk mewujudkan impian--apa pun itu. Dari setiap tulisan blog Eka Kurniawan di buku ini, saya belajar banyak tentang bagaimana menulis ulasan yang memberi pengetahuan sekaligus mampu menyalurkan opini kita tentang sebuah buku. Dan untuk bisa melakukannya sebagus yang dilakukan Eka, kita harus terus membaca dan terus menulis. Lebih banyak, lebih sering, dan lebih mencintainya.
Eka mengikuti tradisi menulis esai tentang penulis lain, seperti yang dilakukan Roberto Bolano di Between Parenthesis, Italo Calvino di Why Read Classic, dan masih banyak lagi hingga tak ada habisnya untuk disebutkan, tapi kalau ada yang tak boleh kelewat disebut, tentu saja, termasuk Borges. Eka, seingat saya, pernah menulis entah di status facebook atau kolom komentar blognya, kalau esai-esai yang ditulisnya ini adalah percobaan gagal untuk mengikuti nama-nama di atas. Kegagalan bukan selalu hal buruk, setidaknya Harold Bloom pernah bilang, sekali lagi kalau saya tidak salah ingat, kalau kebaruan dalam tradisi kesusastraan kerap terjadi karena salah menafsir maupun gagal mengikuti tradisi yang ada sebelumnya. Saya belum membaca Goenawan Mohamad, tapi tulisan-tulisan Eka merupakan salah satu, kalau bukan yang utama atau paling populer, rujukan bagi pembaca dan penulis sastra Indonesia hari ini untuk mengenali kesustraan dunia.
Wuih, saya butuh hampir 7 bulan lamanya untuk akhirnya menyelesaikan baca buku ini. Sama sekali bukan karena bosan, tapi begitulah saya kalo baca kumpulan esai, lambat lambat asal selamat hehehe.
Dalam buku ini, saya kembali mewarnai beberapa kalimat karena memang menarik. Saya akui bacaan Eka Kurniawan banyak sekali, dari buku ini saya hampir mengetahui semua buku-buku yang dia tuliskan, yah walaupun belum semua saya baca. Saya pun mencatat beberapa judul buku yang menarik hati saya setelah membaca beberapa esai dalam buku ini. Walau ada beberapa judul yang rasanya kurang pas buat saya atas gagasan Mas Eka, saya rasa tetap lebih banyak saya menyukai banyak lainnya.
Bagi pembaca blog Mas Eka, saya rasa gak perlu lagi baca buku ini. Buat saya yang sama sekali belum pernah baca, kumpulan esai ini mendorong saya setidaknya mendorong saya agar saya bisa menulis sedikit apa yang saya baca seperti yang dilakukan oleh Mas Eka. Sayangnya, ya saya terlalu malas untuk itu, kadang menulis sedikit review di Goodreads begitu malas. Perlu dorongan kuat agar bisa kembali menulis lebih banyak di blog terutama blog buku.
menarik sekali membaca tulisan blognya eka, jadi mengerti buku apa yang ia baca, dan tahu siapa saja yang mempengaruhi dia dalam menulis, serta pemikiran-pemikiran dia. sedikit banyak memberi refrensi novel yang ingin saya baca kedepannya
"Menjelajah Pikiran Dunia melalui Senyap yang Lebih Nyaring"
Salah satu kumpulan esai terbaik dari sastrawan Indonesia. Bagi saya belum ada yang menandingi.
Membaca “Senyap yang Lebih Nyaring” seakan berkelana menikmati bacaan dari berbagai sudut negeri di dunia. Mulai dari karya tanah air, Filipina, Jepang, Spanyol, Argentina, Brazil, Inggris, Amerika, Turki, hingga Italia. Baru saja menyelesaikan sepertiga bukunya, saya bak telah mengenal penulis yang sebelumnya asing di telinga saya seperti Orhan Pamuk, Roberto Bolano, Cesar Aira, Marquiz de Sade, Faulkner, Mc Carthy, Haruki Murakami, Katabawa, Borges, Gabriel Garcia Marquez, dan sejumlah penulis lainnya. Tentu saja penulis ternama pun juga kerap muncul sebut saja William Shakespeare, Hemingway, Pramoedya Ananta Toer, Seno Gumira Ajidarma, dan Eka Kurniawan. Berbagai judul buku dan film juga disebutkan dalam kumpulan esai ini dan sungguh, saya jadi ingin menikmati semuanya. Begitulah kekuatan tulisan Bapak Eka hingga membuat mata saya berbinar-binar, senyum sendiri, tertawa kecil, mengangguk, menggeleng, dan berpikir sepanjang menghabiskan buku ini.
Buku ini berhasil menciptakan sudut pandang baru dalam dunia kepenulisan, seperti novel, esai, cerita pendek, dan khususnya sastra. Tidak membahas dari segi teori, namun lebih dalam dari itu. Dimulai dari hal yang sangat dasar seperti bagaimana cara menulis novel, bagaimana cara menerbitkan karya di sebuah media, kriteria sastra yang baik, apa saja yang dibaca oleh penulis hebat, hingga bagaimana menilai sebuah karya tanpa membacanya.Mungkin hal pertama yang terlintas akan judul tersebut adalah tulisan teoritis. Syukurlah, saya salah. Tulisan hingga 1000 kata Eka Kurniawan tak pernah berbicara seilmiah itu meski dengan segudang pengalaman dan ilmu yang ia miliki. Dengan gaya nyentriknya, tulisan singkat dalam buku ini tak pernah membosankan dan selalu berhasil menyampaikan maksudnya pada pembaca.
Meski pada salah satu tulisannya ia berkata bahwa tak semua tulisan harus memiliki nilai moral untuk disampaikan, kalau penulis hanya ingin bersenang-senang menulis ceritanya, apakah sebuah pesan masih harus tetap ada di dalamnya? Toh itu karya mereka, bukan untuk menyenangkan kalian, tapi untuk menyenangkan dirinya sendiri.
Buku ini berisi 107 esai sejak 2012-2014 yang ditulis dalam blog pribadinya. Saya menobatkan kumpulan esai tahun 2013-nya adalah yang terbaik-yang lain sama pula baiknya. Bapak Eka mampu menuangkan pikiran berkelitnya dalam kumpulan kata yang sangat efektif-nan indah-namun tetap mengena. Masih menjadi cita-cita saya untuk mampu menulis seperti beliau-setidaknya setelah membaca buku ini.
Menamatkan buku 350 halaman ini membuat saya ingin segera menikmati karya sastra lainnya. Baik dalam negeri maupun luar negeri. Bapak Eka membuka mata hati saya untuk selalu terbuka pada tulisan siapapun-yang sebelumnya skeptis pada sastra luar negeri atau karya penulis tak dikenal. Dalam salah satu esainya ia menyiratkan untuk tidak membaca karya penulis terkenal saja, banyak penulis hebat di luar sana yang karyanya tidak terlalu laris di permukaan, namun berkualitas jauh lebih baik dari itu. Salah satu alasannya ternyata memang penulis-penulis senyap tersebut sengaja tidak memilih penerbit ternama, agar bukunya susah dicari dan hanya penikmat seni tulen yang akhirnya menyentuhnya.
Mencari kutipan bagus? Jangan takut kehabisan kutipan keren dalam tulisan Bapak Eka. Salah tiga yang menjadi favorit saya adalah tentang menciptakan ruang kosong dalam tulisan. Baginya, ruang kosong bukan hanya boleh, namun perlu untuk dimasukkan dalam sebuah cerita. Seperti tanda 0 dalam not musik, jeda dalam sebuah lagu merupakan bagian dari keindahan lagu itu sendiri. Pun dalam lukisan, ruang kosong yang tercipta dalam gambar juga bagian dari gambar itu sendiri. Sama seperti keseharian, manusia juga membutuhkan ruang kosong dalam dirinya. Untuk menghargai orang lain, untuk diisi dengan ilmu-ilmu baru, agar tidak selalu penuh dan menjadi jumawa. Juga ruang kosong dalam kesibukan kita, berilah sedikit jeda dalam setiap harimu. Agar bisa merenungkan hal baik apa yang sudah kita lakukan hari ini dan seberapa besar nikmat Tuhan yang selalu kita dapatkan setiap harinya? Percayalah, kita membutuhkan ruang kosong itu.
Dua kutipan berkelas lainnya:
“Kesadaran akan kerapuhan barangkali akan membuat kita rendah hati, bahwa segala sesuatu tak perlu diperlakukan berlebihan. Sebab segalanya akan mati, punah.”-Eka Kurniawan. “Ada satu pertanyaan Candide yang sangat menohok di bagian ini: Bagaimana penduduk Eldorado berdoa kepada Tuhan? Jawaban mereka: “Kami tidak berdoa kepada Tuhan, sebab kami tak memiliki apa pun untuk diminta. Tuhan sudah memberikan semua yang kami butuhkan.” Tonjkankeras utuk kaum beragama, bukan? Bahwa orang-orang Eldorado ini, yang tak pernah berdoa, justru mengagungkan Tuhan seagung-agungnya sebagai “memberi semua yang kau butuhkan.”-Eka Kurniawan. Sekali lagi, itu hanya opini saya. Seperti Bapak Eka bilang, bahwa selera setiap orang bisa berbeda, namun bagi penulis-tak hanya penulis-setiap orang harus belajar bertanggung jawab atas apa yang dikerjakan oleh otaknya-yang menjadi sumber berbagai perkataan, perbuatan, dan prasangka. Berpikir sebelum bertindak, bercakap, dan menilai. Semua orang dilahirkan dengan perasaan, bukan hanya anda saja. Maka sejatinya seni memahami orang lain itu prinsip utama dalam hidup-bagi saya.
Terima kasih Bapak Eka untuk kumpulan esai Senyap yang Lebih Nyaring ini. Berbagai pelajaran hidup sangat banyak saya dapatkan, lebih dari buku berlabel “pengembangan diri.” Tulisan Bapak Eka lainnya dapat dinikmati dalam jurnal pribadinya yang masih aktif hingga hari ini di ekakurniawan.com. Bagi yang sedang haus akan tulisan singkat namun menyenangkan-seperti naik roller coaster, buku ini menjadi rekomendasi saya di paruh tahun 2019 ini, selamat membaca!
Buku nonfiksi pertama Eka Kurniawan yang saya baca. Buku tersebut bersumber dari blog pribadinya dari 2012 sampai 2014. Benang merah di tulisan ini adalah tentang kesusastraan dan tokoh sastra. Dari buku ini banyak penjelasan dan pendapat Eka tentang novel-novel yang ia suka dan tokoh sastra yang berpengaruh di hidupnya.
"Esai merupakan perkawinan unik antara disiplin berpikir, keberanian berspekulasi, dan gaya menulis." - hal 309.
Jika saya lelah membaca buku-buku sejarah, novel atau cerpen, biasanya saya beralih membaca esai. Entah itu esai sepak bola, musik, dan tentu saja sastra.
Jorge Luis Borges, begawan sastra Argentina, juga dikenal sebagai penulis esai yg brilian. Ia dijuluki "profesor" karena esai2nya. Tarik maju ke belakang ada Roberto Bolaño yg kerap juga menulis esai2 sastra.
Di Indonesia banyak esais2 cemerlang, mulai dari Goenawan Mohamad yg terkenal dengan Caping-nya, Sindhunata dgn esai bolanya, Gus Dur yg menulis esai dgn cakupan bahasan yg luas, atau yg lebih muda, Zen Rs terkenal dgn esainya yg jempolan.
Esai bisa membebaskan kita dari cengkraman akademik yg cenderung kaku. Esai Eka Kurniawan yg terdapat di buku2 ini berasal dari blog, yg ditulis dalam kurun waktu 2012-2014. Esai yg cukup unik karena terdiri dari satu paragraf dan satu tarikan gagasan.
Tulisan2 di buku ini sangat ringan namun jg tetap berlandaskan disiplin berpikir. Sebagai penulis, tulisan2 di buku ini kebanyakan membahas soal sastra, yg memang jadi ketertarikan penulis.
Eka Kurniawan menulis menyoal penulis yg dianggap menarik baginya, mulai dari Marukami, Pamuk, Robert Musil, Cesar Aira, Franz Kafka, dan lainnya. Banyak referensi bacaan dalam buku ini yg membuat saya tertarik mengulik penulis2 di dalamnya (belum semua diterjemahkan).
Selain karya2 penulis, Eka Kurniawan jg membahas proses menulis kreati, bagaimana bersikap sebagai penulis muda, apa itu sastra, dan masih banyak lainnya. Jika anda ingin mengeksplore bacaan anda, buku ini bisa jadi rujukan, walau belum tentu cocok.
Buku ini bagi saya, buku wajib punya dan baca. Melihat permasalahan sastra lebih luas dan tentu saja menambab daftar belanja beli buku lagi.
Senyap yang Lebih Nyaring merupakan kumpulan esai Eka Kurniawan yang pernah diposting di blog pribadinya: ekakurniawan.com. Hampir semua esai dalam buku ini terdiri dari satu paragraf. Bagi Eka, cara ini merupakan eksprerimennya untuk memadatkan ide dalam satu tarikan napas. Esai-esai yan dimuat dalam buku ini adalah pengalaman Eka membaca karya sastra dari berbagai belahan dunia. Mulai dari prediksi tentang beberapa judul novel legendaris dari The Unbearable Lightness of Being karya Milan Kundera sampai Ulysses karya James Joyce.
Saat membaca buku kumpulan esai ini, kita akan diajak ke berbagai dunia tempat karya sastra tersebut dilahirkan dari berbagai tempat. Mulai dari Kisah Seribu Satu Malam hingga Seribu Tahun Kesunyian yang kelak menjadi inspirasi bagi Eka Kurniawan menulis novel pertamanya, Cantik Itu Luka. Buku nonfiksi kedua Eka ini lahir setelah buku nonfiksi pertama terbit pada 1999 lalu. Jarak yang terlampau jauh: 20 tahun. Bagi saya, buku ini adalah jawaban atas proses kreatif Eka Kurniawan untuk menjadi seorang sastrawan dunia: membaca karya berbagai karya sastra dari berbagai belahan dunia. Utara-Selatan atau Barat-Timur. Buku ini merupakan salah satu tradisi menulis penulis dari belahan dunia lain.
Ternyata benar ya, jika ingin menjadi penulis, kamu perlu untuk membaca buku lebih banyak dulu. Dari sini, dari kumpulan blog Lord Eka dari tahun 2012-2014 ini, saya bisa sedikit tahu isi kepala Lord Eka, novel bacaannya dan penulis-penulis yang sedikit banyak juga memberi inspirasi pada gaya penulisannya. Sebut saja Gabriel Garcia Marquez, Cervantes, Hemingway, Tolstoy, Murakami, Kafka, Faulkner, Pamuk, Roberto Bolano, dll. Sebelumnya saya tak pernah dengar nama-nama raksasa kesustraan tersebut (kecuali beberapa seperti Marquez, Hemingway, dan Murakami), itu membuat saya penasaran dengan karya-karya mereka.
"Tapi dengan kesadaran akan segala yang rapuh inilah, dunia menjadi layak dinikmati dalam kefanaannya, sebagaimana menikmati bunga mekar yang hanya sekelebat."
Buku ini berisi trik-trik menjadi penulis ala Eka Kurniawan. Mulai dari menulis untuk memberikan gagasan, ide terbentuk dengan banyak membaca literatur yang beragam, dan masih banyak lagi. Dari buku ini juga kita seperti diajak mengetahui bagaimana Eka menulis novel-novelnya, asal mula ide tercipta karena pada akhirnya sebuah karya tidak benar-benar original selain berasal dari pendahulu dan kepintaran penulis memodifikasi.
Menyenangkan memang membaca tulisan-tulisan Eka di buku ini (dan tentu lagi di blognya). Semacam tempat untuk mengais referensi bacaan baru. Apa yang saya cari dari Ekakurniawan.com adalah jejak-jejak bacaan Eka. Ya, syukur-syukur kalau bisa mengikutinya. Seperti kata Eka, siapa tahu dengan begitu saya tersesat juga dalam labirin bacaan tak berujung, dan bisa dipertemukan dengan Eka di suatu tempat, untuk memulai perbincangan yang lain.