“Sajak-sajak Rieke Saraswati telah membubuhkan warna lain ke dalam dunia perpuisian kita. Dengan aneka diksi dan citraan yang liar dan brutal, sajak-sajaknya membawa kita ke dalam ruang memori yang gelap, yang diliputi oleh kondisi mental yang acak, kepingan pikiran dan hati yang rusak—seakan-akan tak ada ruang untuk kesunyian atau kerinduan yang sering kaudengar dalam sajak-sajak romantik.” -Joko Pinurbo
“Puisi-puisi dalam buku ini mendedahkan rasa sunyi, luka, dan pertanyaan-pertanyaan yang khas perempuan. Begitu menusuk dan memerlukan kontemplasi yang dalam untuk menyelam ke dalam palung-palung diksi yang dipilih penyair dalam buku ini. Penyair begitu detail melepas helai-helai beragam persoalan privat menjadi cukilan-cukilan kata-kata indah sehingga mampu membuat teror bagi pembacanya, bahwa hidup tidak selalu mudah. Hidup harus digugah dan diubah. Buku ini sangat menggetarkan untuk memahami beragam onak dan riak tentang perjuangan perempuan, tubuh, dan liku-laku hidupnya.” -Oka Rusmini
“Catatan-Catatan dari Bulan mendorong kita jatuh ke sebuah rumah hantu. Imaji-imajinya gelap, seolah dikirim dari mimpi paling buruk, dengan pondasi padat berupa amarah kesumat si penyair. Sepanjang membaca, entah mengapa saya terus membayangkan tampak dalam lemari yang terkunci dan dunia tempat kita tinggal ini hanya muncul sekelebatan saja sebagai garis tipis vertikal yang memanjang dan warna-warni tetapi tak pernah terjangkau.” -Norman Erikson Pasaribu
Pernahkah Rieke bertanya apakah di bulan betul-betul ada kelinci?, sebab saya sering begitu. Sekarang saya berpikir—jika betul si kelinci itu ada—ia kabur, turun dari bulan dan masuk ke dalam kepala Rieke untuk membisikkan hal-hal manis yang menyeramkan dan hal-hal menyeramkan yang manis (keduanya mungkin bisa tertukar).
"Catatan-Catatan dari Bulan" menampilkan puisi-puisi naratif yang jika dibaca sambil lalu mungkin hanya akan terdengar seperti racauan. Ya, racauan gila. Racauan yang datang dari sebuah mimpi panjang. Racauan yang
...tumbuh dari mimpi-mimpi burukku mereka saling menyapa pada suatu pagi lalu bersekutu membentuk buruk rupa
Tapi racauan macam apa yang di banyak selanya mampu menerkam kita bukan hanya pada kegilaan itu sendiri, tapi juga pada banyak isu tabu di hidup ini? Oka Rusmini, dalam testimoninya yang tercantum di sampul belakang buku ini, sungguh-sungguh mengingatkan kita sejak sebelum kita jatuh jauh tenggelam dalam kepala Rieke: "Puisi-puisi dalam buku ini mendedahkan rasa sunyi, luka, dan pertanyaan-pertanyaan yang khas perempuan. Begitu menusuk dan memerlukan kontemplasi yang dalam..."
Mari kita lihat apa yang bisa kita dapat dari beberapa cukilan bait ini:
ia bangun dan keluar pintu dengan satu tujuan: membunuh kakak laki-lakinya yang dulu memakunya kuat-kuat ke dinding agar dapat leluasa memperkosanya
(dalam puisi "Hukuman")
ia menggeret kursi sedikit ke tengah jalan agar cahaya dapat menyelimutinya dengan cukup, agar dapat berpikir mengapa dulu ia selalu membiarkan kekerasan yang dilakukan orang lain, mengapa dulu ia terlalu lemah untuk takjub pada hal-hal kecil..."
(dalam puisi "Ketika Bintang-Bintang Berpendar")
...seperti yang sudah-sudah, tubuhmu melayang ke sudut kamar mandi, tahi kucing diperosokkan ke mulut, tangan ayah ibu mencengkeram bayang leher. bersikaplah yang jantan, kata mereka. menjelang ulang tahunmu yang ke-10, kamu berdoa agar anak perempuan di dalam dirimu mati. tapi ia tidak pernah mati...
(dalam puisi "Inferno")
Dari ketiga puisi itu, saya jadi ingat beberapa tajuk berita yang pernah saya baca: SEORANG SISWI SMP DIPERKOSA LIMA BELAS SISWA SMA SECARA BERGILIRAN. Saya pun ingat nasihat ibu untuk memilih lelaki baik yang tidak akan memukul saya ketika marah. Saya ingat seorang kawan yang pada suatu malam pelan sekali berbisik pada saya, "I'm a gay. Jangan bilang siapa-siapa ya."
Tiba-tiba hati saya dipenuhi banyak kelabang.
Membaca buku kumpulan puisi yang masuk dalam daftar pendek Kusala Sastra Khatulistiwa 2019 ini membawa kita pada banyak pengalaman manusia, bahkan pengalaman privat diri sendiri. Punggung saya seperti diusap lembut oleh Rieke dan ia bertanya, "mengapa kamu begitu kesepian? Mengapa kepalamu rumit sekali? Mengapa kamu membenci banyak orang?". Rieke mampu menyentuh sisi ketidaksadaran kita—memori masa lampau yang selama ini kita kubur dan sekuat hati berusaha tidak dimunculkan. Pemilihan diksinya yang "kotor" justru membawa kita pada pengembaraan panjang yang gamblang, yang membuat kita ingin terus membuka halaman selanjutnya. Sakit tapi candu.
Maka, dalam pembacaan saya, puisi-puisi Rieke dalam buku ini bukanlah kumpulan racauan, bukan juga sebuah saduran dari diarinya sendiri, lebih dari itu, segalanya terasa penuh.
Rieke Saraswati, penyair yang—sungguh saya ingin mengatakan ini sekarang—jatuh cinta pada bulan, menetap di sana bersama si kelinci untuk beberapa lama, dan turun dengan anggun membawa sebuah kitab berwarna sepucat bulan.
Lima puisi favorit: 1. Kronis 2. Muslihat 3. Lakon Ibu 4. Jebakan 5. Meditasi
AKU-LIRIK, AKU-PENCERITA BERWARNA HITAM oleh Titan Sadewo
untuk Catatan-Catatan dari Bulan karya Rieke Saraswati.
yang mesti kita akui terlebih dulu: bahwa perpuisian indonesia seperti lanskap menawan, yang lokal & yang universal, anak muda emosional & autobiografi seorang penyair—dalam artian tertentu. sebelum jauh masuk ke buku yang kan kita bahas, saya harus katakan bahwa puisi lirik mendominasi & terus ada dalam sastra kita, dalam puisi indonesia yang terus berkembang. namun apakah “lirik” di sini hanya emosi yang berupa kesedihan & keterpukauan penyair terhadap sesuatu?
dalam buku ini, Rieke, penyair kita, tidak seperti yang kita kira. ia masih lirik, kita sepakati bahwa lirik adalah emosi, ruang personal penyair. jadi aku-lirik adalah aku emosi. bukan aku-penyair. ia terpisah dari penulisnya, maksudnya: yang ada dalam buku ini bukan catatan harian, melainkan gagasan yang—mungkin—saja dialami atau tidak dialami oleh penyairnya. intinya: emosi di sini tidak ada kaitannya dengan penyair. emosi telah menjelma gejala sosial, penglihatan terhadap sesuatu, gagasan yang tumpah, sudut pandang lain, dll. beberapa catatan untuk buku ini adalah sebagai berikut:
1. penyair seperti mengamini penderitaan, ia tak menangis. inilah emosi yang ada itu: bahwa penderitaan tidak untuk dibelaskasih, ia untuk “dijalani” & dimaknai sebagai bagian dari hidup. jika kita lihat-baca, kesedihan terus ada dari awal-akhir dalam buku ini. namun yang mesti digarisbawahi adalah kesedihan di sini bukan seperti air mata yang ingin dihapus, malah kesedihan seperti air mata darah yang terus mengucur tak henti-hentinya & memang “tak” ingin dihentikan. penyair juga tak segan mengucap sesuatu, yang tabu harusnya dibicarakan, bukan dipendam, setidaknya kalimat itu cocok tuk mewakilkan apa yang ingin dikatakan penyair dalam bukunya ini.
2. tema atau isu yang diangkat juga sangat “masakini”, misal tentang keluarga, pelecehan seksual, perempuan, kesehatan mental, pernikahan, dll. penyair membicarakan hal-hal ini dengan pertanyaan & pernyataan: bahwa ternyata pernikahan “bukan” lagi simbol kebahagiaan atau keluarga tak selamanya memiliki visi-misi yang selaras dengan si anak atau kondisi mental yang kacau adalah buah dari hari ini atau perempuan sebagai objek jadi kian rentan untuk—maaf—dilecehkan, dll.
3. penyair kita juga sangat lihai untuk membuat fragmen (cuplikan sebuah cerita) yang, membuat kita—pembaca—merasa bahwa itu memang sengaja untuk tidak diselesaikan, bahwa kekuatan fragmen memang di situ. meringkas & meminjam Goenawan Mohamad: ia berhenti di situ, walau ia tahu bahwa ada yang belum selesai. kondisi-suasana-tokoh-konflik berkelindan menciptakan sesuatu yang seperti film, ada imaji visual, audio & rasa yang diberi pada kita. kita barangkali seperti menonton sebuah film dokumenter yang direkam oleh sang penyair.
4. metafor & simile yang dipakai juga kadang tidak lazim, namun di situlah kekuatan puitika yang diperlihatkan rieke, buku ini seperti film hantu yang tak terduga—apakah ada sesuatu di sana atau hanya bayang-bayang atau apa—kita kadang dikejutkan dengan diksi yang, meminjam joko pinurbo: dengan aneka diksi dan citraan yang liar dan brutal. jika buku ini berwarna maka warna yang cocok adalah hitam atau abu-abu, karena kelam & menakutkan. buku ini paduan alam bawah sadar & kesadaran yang kejam.
5. penyair kita berhasil menambah definisi baru untuk puisi, bahwa puisi tidak hanya kata-frasa-kalimat manis yang menggoda atau nasihat hidup tuk mereka yang pesimis atau surat cinta dari seorang lelaki yang hatinya remuk-redam. puisi adalah potret hitam yang lewat di hadapan kita, yang kadang kita tahu—tapi tak ingin mengucapnya—karena kita tahu itu dilarang oleh “konstruksi” sosial yang brengsek nan menyebalkan. namun rieke tak ingin manut pada sikap-sikap seperti itu, ia mencari ruang lain untuk mengucapkan gejala-gejala yang terjadi.
sedikitnya itu yang mungkin bisa kita catat-renungkan, yang juga menarik adalah bahwa penyair indonesia yang punya warna agak mirip adalah N.A. Hadian, Ahda Imran & Oka Rusmini. ada gelap yang mengerikan & mengejutkan. agaknya mereka-mereka ini memang penyair yang berwarna hitam, ada penderitaan yang mereka amini & tak ingin dibelaskasih.
*catatan ini semacam teks untuk acara bedah buku dengan judul yang sama di Perpustakaan UMSU.
Seluruh puisi yang dibangun (sengaja saya gunakan kata dibangun ketimbang ditulis, akan saya jelaskan nanti di bawah) oleh Rieke Saraswati di sini sudah digambarkan oleh seisi sampulnya: sampul berwarna abu-abu, dengan bayang-bayang samar sebuah bulan.
Kita justru ditipu oleh Rieke, alih-alih menggambarkan terang benderangnya bulan, Rieke justru memperlihatkan gemerlap dunia di bawah sinar bulan--dan tentu saja, menggambarkan codet-codet halus yang dapat kita lihat dengan mudah di permukaan bulan. Singkatnya, Rieke sengaja membawa kita pada suatu konklusi bahwa keindahan juga tak luput dari sebuah cacat. Katakan saja, kita ingin melihat bagaimana subjektifitas perempuan dalam menulis puisi dan bagaimana ia melihat dengan jelas dunianya (yang ternyata kejam, pilu, dan kotor).
Kebrutalan diksi yang dipakai oleh Rieke memancarkan nilai-nilai vulgaritas yang di satu sisi juga menohok dan dengan sangat tabah kita akui apa yang telah dikatakan Rieke, dan tentu saja memakluminya. Kita bisa lihat bagaimana nelangsa-nya menjadi perempuan di dunia ini. Luka-luka lama dan terpendam yang tak pernah bisa dirasakan oleh perempuan (atau mungkin saja lelaki juga) hadir dibawakan oleh Rieke sebagai pokok tema utama tulisannya.
Ia tak cuma menulis. Ia membangun. Membangun sebuah konstruksi baru setelah merubuhkan bangunan-bangunan lama mengenai stigmatisasi keperempuanan, dan terus membangunnya hingga tak terasa sudah terlalu dekat dengan bulan, lalu mati kesepian.
Membaca tulisan Rieke Saraswati adalah mengupas koreng pada luka akibat jatuh dari sepeda: memperlihatkan kita bagaimana diskriminasi gender, kekerasan seksual, dan luka-luka khas perempuan lainnya. Ia hidup sendiri dalam lamunan--dan mengabdi pada kesepian yang panjang hanya untuk memperhatikan luka-luka itu. Alhasil, puisi-puisi Rieke Saraswati tentu saja masuk dalam bentuk kontemplasi yang khas perempuan, dan tentu menyentak pikiran pembaca bahwa selalu ada perempuan yang tertindas di sekitar kita--dalam keindahannya, tak luput dari cacat kawah di pucatnya kulit bulan.
⭐4,8 Buku puisi yang terdiri dari 38 judul karya Rieke Saraswati ini cukup mengoyak :D. Sekalipun beberapa bagian cukup sukar dipahami jika hanya membaca sekali, namun perasaan enjoy(?) dan suasana 'gila' yang dihadirkan saat membacanya membuat buku puisi ini dapat sekali duduk diselesaikan.
Bukan sajak romansa dan kisah cinta yang diangkatnya, melainkan bait² vulgar, liar, brutal, suram, kelam dan kosong yang tersusun dalam setiap kalimatnya. Selain itu juga, bait² yang ditulis oleh Rieke Saraswati tak hanya berupa pernyataan melainkan pertanyaan yang seolah memang sengaja menjadi penutup puisinya, tanpa akhir yang jelas (atau memang karena tidak ada akhirnya).
Isu² mengenai kehilangan, kekecewaan, kekerasan seksual, pemerkosaan, hal² yg menjadikan perempuan sebagai target pelecehan, grooming, pedofilia, dan cara pandang suatu hal yang dianggap menjadi suatu keberkahan namun nyatanya malah memicu terjadinya kehancuran ditulis begitu cantiknya :).
Baca ini, seakan ikut ditarik dalam beberapa peristiwa yang digambarkan. Marah, kesal dan jijik menemaniku selama membacanya. Buku puisi ini, jadi buku puisi pertama yang "berbeda" dari beberapa buku puisi lain yang sudah ku baca.
Dari 38 puisi yang ada, Hamil dan Perutku Jadi Transparan, Prosa Pengantin, dan Meditasi yang menjadi judul paling berkesan buat ku. Meditasi begitu relate dan begitu hangat dibacanya♡!!!
Saya mendapat rekomendasi untuk membaca buku kumpulan puisi ini dari seorang kawan baru bernama Michael di Sabtu Buku #5 Klub Buku Narasi. Betul kata Michael, buku kumpulan puisi ini menawarkan sesuatu yang sederhana, tapi berbeda. Secara khusus, saya menyenangi bagaimana Rieke Saraswati menjalin pengalaman-pengalaman perempuan di sepanjang puisi-puisinya dalam buku ini. Beberapa di antaranya yang mengesankan saya, sebagai berikut.
‘Prosa Pengantin’ yang seperti bertutur tentang kepedihan anak perempuan yang terjerebab dalam pernikahan anak. ‘Hamil dan Perut Jadi Transparan’ yang seperti mencoba mengurai pengalaman mengandung dari rahim perempuan dari sudut pandang yang berbeda. ‘Inferno’ yang seperti mencoba merangkul jiwa seorang anak perempuan yang berada dalam tubuh seorang anak lelaki, supaya tak mati. ‘Kara’ yang diilhami dari lukisan ‘Kara’ oleh Mark Ryden, mencoba melukiskan kembali tentang kesedihan dan perkabungan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Lalu, ‘Catatan-Catatan dari Bulan’ yang acak dan panjang, tapi jika disimak pelan-pelan, ternyata berbagi banyak refleksi pengalaman seorang perempuan yang berani-serta-begitu-jujur untuk dituliskan.
Salah satu buku kumpulan puisi yang sangat saya senangi dan juga rekomendasikan untuk dibaca.
Kali pertama baca buku Rieke Saraswati dan memang ini buku puisi pertamanya dan masuk dalam nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa 2019 kategori puisi.
Saya merasa buku ini kayak makanan yang dimakan sekali, belum kerasa enaknya, trus makin dimakan makin enak gitu. Itu yang kira-kira saya rasakan, makin dalam saya baca makin saya merasa ada banyak pertanyaan, ada kesedihan, ada juga luka dari seorang perempuan.
dekap, dekaplah semuanya seperti seorang ibu yang memeluk bayinya yang menangis
ibu adalah kesadaranmu, dan bayi menangis itu adalah penderitaanmu kasih ibu akan mengubur setan-setan di kepalamu
segala yang kamu inginkan memang tidak ada di sini tetapi ketika kamu keluar dari pintu itu
kamu akan berharap untuk menyayangi dirimu sendiri tidur dan tergelincir dalam ketenangan
merasa sungguh-sungguh lebih dari cukup merasa sungguh-sungguh lebih dari cukup
Ketimbang menyiratkan Bulan sebagai bentuk keindahan, Rieke justru mengingatkan kita bahwa Bulan hadir di tengah kuasa malam yang penuh tanda tanya. Buku ini benar-benar kelam, lugas, dan mencekam. Sepanjang pembacaan, berulang kali saya merasa tidak nyaman dan 'ditelanjangi' oleh pemilihan tema maupun diksi. Tidak banyak menggunakan kata-kata canggih maupun formasi kalimat yang bersayap, kebanyakan puisi di dalam buku ini terasa sangat dekat dengan bahasa sehari-hari (dan sedihnya, demikian pula tema yang dibawakannya). Buku dengan bahasa yang ringan, tetapi tidak dengan muatannya. Cocok untuk dibaca di tengah krisis eksistensial pada tengah malam.
Bagai menaiki roller coaster paling panjang dan paling esktrem, perasaanku naik dan turun dengan begitu cepat saat membaca tiap paragrafnya.
Lagi, aku sebagai orang yang hanya mencintai untaian kata tanpa memahami aturannya sangat terkagum dengan setiap kata yang tertuang oleh tinta pena di dalam buku dengan jumlah 109 halaman ini.
Begitu menankjubkan, sedikit creepy, tapi hebatnya aku malah merasa kagum dan berkali-kali berucap, "Hebat! Kenapa bisa ada yang menarasikan pemikirannya seperti ini?".
Puisi-puisi di buku ini berbicara soal kesendirian, soal penerimaan dan penolakan yang kerap muncul dengan identitas, serta perihnya jadi perempuan. Dengan lugas Rieke membicarakan hal-hal yang sulit namun sering terjadi, kekerasan seksual dan diskriminasi terhadap perempuan; atau kadang ia meracau dan membiarkan gelap-terang pikirannya mengalir di atas kertas.
Berformat liris-naratif, Rieke meracaukan soal luka, mimpi buruk, keputus-asan, dan perasaan-perasaan suram lainnya dengan diksi yang acap liar. Dan aku suka itu. Sajak-sajaknya tampil apa adanya, tanpa bertendensi pengin bermewah-mewah diksi. Ia diracaukan dengan jujur saja, sehingga citraannya bisa kurasakan dekat sekali.
Sajak-sajak trauma perempuan, cocok diseduh di malam musim hujan bulan Juni 2025. Musim dan tahun yang anomali, dengan puisi yang juga berisi puzzle, kebingungan, dan kengerian menyandang tubuh perempuan.
Tidak ada satu puisi yang terlampau spesial bagi saya, namun keseluruhan buku menciptakan pengalaman terhimpit yang terasa nyata.
Buku ini berisi kumpulan sajak yang tidak bisa dicerna dengan hanya sekali baca. Meskipun hanya terdiri dari 132 halaman (termasuk daftar isi, dll), diperlukan beberapa kali dibaca agar dapat sekadar menangkap apa yang Rieke Saraswati tuangkan ke dalam sajak-sajak tersebut.
Saat membaca sajak berjudul Inferno, saya tertegun. Hal yang langsung terbesit dalam pikiran saya adalah, bagaimana bisa ada orangtua yang begitu kejam yang tega "membunuh" anaknya secara perlahan? Hal ini mengingatkan saya pada perjuangan teman-teman LGBTQ+ yang terpaksa menjadi orang lain di hadapan orang terkasih.
bersikaplah jantan, kata mereka. menjelang ulang tahunmu yang ke-10, kamu berdoa agar anak perempuan di dalam dirimu mati. tapi ia tidak pernah mati. hanya tubuhmu, mengerucut penuh lebam. kamu tak sanggip berkata-kata apa lagi pada adikmu, saksi matamu. tapi kamu sempat mengatakan kamu mencintainya, beberapa bulan lalu, sebelum semua tanda tanya di dalam kepalamu berhamburan. sebelum akhirnya sunyi