Di tengah keriuhan pertengkaran rumah tangga yang tak kunjung reda, Mustafa berjuang keras menyelesaikan penulisan novelnya. Berkisah tentang hidupnya yang bagai tegak di pekarangan tepi neraka, juga sejarah negerinya dalam cengkeraman perang saudara.
Di antara semua kemelut yang dia hadapi, Mustafa dipertemukan dengan Riana, seorang gadis yang telah lama hadir dalam mimpi-mimpinya. Dia berharap Riana bisa mengubah jalannya, mengubah hidupnya, dan menjadi semacam pemicu semangat untuk menuntaskan novelnya yang sudah begitu lama terkatung-katung.
Namun, saat Mustafa berhasil merebut hati Riana, takdir pun berkata lain. Lelaki itu justru dihadapkan pada berbagai pilihan hidup yang membuat luka masa lalunya menganga. Mustafa lagi-lagi terpuruk, terempas, dan terpaksa berjalan sedirian di tempat paling sunyi.
Sebuah kisah perjuangan tanpa henti, pengorbanan, cinta, impian, dan pencarian diri. Bagai sebuah cermin yang menghadirkan bayang ganda, begitulah kisah kesetiaan yang terkhianati, ketulusan yang tersakiti, cinta yang berubah benci, dan surga yang seketika menjadi bentangan neraka.
“Sangat menarik; langsung menjerumuskan pembaca dalam derasnya arus cerita!” —Anton Kurnia, penulis cerita dan editor buku sastra
ARAFAT NUR adalah penulis penting Indonesia yang riwayat kehidupannya sendiri mirip kisah fiksi. Dia tumbuh dan besar di tengah gejolak politik, perang (konflik) panjang yang melanda Aceh yang menyebabkannya beberapa kali hampir terbunuh. Tahun 1999, saat kecamuk perang meningkat, Arafat yang masih remaja diculik sebuah kelompok yang mencurigainya sebagai mata-mata karena menulis puisi dan cerpen. Dua orang meringkus ke tengah hutan, dan di pinggir sebuah sungai dia hendak dibunuh. Jika saja tidak ada pertolongan dari organisasi kemanusiaan yang mengetahui hal itu, mungkin dia tidak sempat menulis novel dan namanya tidak pernah dikenal orang.
Tidak lama setelah terbebas dari penculikan, rumahnya dibakar habis berserta seluruh isinya, menyebabkan dia, ayah, ibu, dan empat adiknya tidak punya lagi tempat tinggal. Ayahnya yang sejak lama jatuh sakit, mengasingkan diri ke kampung asalnya di Ulee Gle. Sedangkan ibunya meninggal dunia dalam keadaan sakit dan kelelahan akibat menghindari perang yang tak ada habisnya. Dalam situasi kacau seperti itu, Arafat bertahan menamatkan SMA, lalu bekerja serabutan untuk menghidupi dirinya sendiri. Beberapa kali dia pernah terperangkap dalam perang terbuka yang hampir membunuhnya. Pada peristiwa lain, dia diancam komandan militer di tengah enam ratusan prajurit bersenjata lengkap akibat tulisannya yang muncul di surat, dan di lain waktu dia dipukuli oknum polisi yang lagi mabuk di Pajak Impres Lhokseumawe.
Seusai perang, tidak lama setelah pemberontak berjabat tangan dengan pemerintah, dalam kehidupan tidak menentu, miskin, dan kurang makan, dia bersikeras menyelesaikan novel Lampuki (Serambi, 2011) yang tiga tahun kemudian selesai. Novel itu memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010, lalu meraih Khatulistiwa Literary Award 2011. Terbitnya Lampuki menyulut kemarahan pihak tertentu yang menghujat dan mencaci-makinya, mereka melempari rumahnya dengan batu, dan beberapa kali peneror sempat mendobrak pintu rumahnya. Namun, Arafat berhasil melarikan diri sampai kemudian penjahat yang hendak memukulnya itu tidak muncul lagi.
Empat tahun berselang, novelnya Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang, 2014) terbit, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Bird Flies in the Dark of Night. Berselang setahun, dia menerbitkan novel Tempat Paling Sunyi (Gramedia, 2015) yang semakin melonjakkan namanya sebagai novelis penting di Tanah Air. Tahun 2016, Arafat kembali memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta melalui novel Tanah Surga Merah (Gramedia, 2017) yang mendapatkan tanggapan baik dari pembaca, termasuk mereka yang sebelumnya tidak menyukai karya-karyanya. Novel terbarunya, Bayang Suram Pelangi direncanakan langsung terbit dalam edisi bahasa Inggris di Amerika.
Pembaca dapat berintereaksi langsung dengannya melaui twetter di @arafat_nur. Kunjunganilah lampukinovel.blogspot.com/
Awalnya nggak menyangka akan bisa menyelesaikan cerita ini karena awal cerita yang begitu membosankan. Nyaris 120-an halamannya berisi percekcokan rumah tangga antara Mustafa dan Salma. Ditambah lagi narasi yang begitu padat, yang nggak memberi ruang untuk menikmati dialog yang santai, yang bukan cuma berisi perselisihan yang menyakitkan kepala. Sebagai pembaca, aku jadi ikutan lelah, gimana Mustafa dan Salma yang mengalami itu semua? Seandainya memang ini tujuan Arafat Nur, itu berarti beliau sudah berhasil menciptakan atmosfer rumah tangga yang menguras hati dan pikiran.
Semangat membaca mulai naik ketika masuk tokoh bernama Teungku Nur, seorang ahli agama yang juga paham dengan dunia jin dan paranormal. Sedikit kisah mengenai pergolakan di Tanah Aceh pun mulai menghibur suasana. Dan ketika sang narator masuk secara utuh ke dalam cerita, aku merasa cerita mulai semakin menarik. Rasanya seperti membaca catatan kehidupan Mustafa dan juga Arafat Nur, lol. Seingatku sih memang nama narator nggak pernah disebut, jadi aku mengasumsikan narator tersebut adalah Arafat Nur. Dan cerita Tempat Paling Sunyi ini adalah benar-benar kisah hidup dan juga novel karya Mustafa. Itulah keunikan dari novel ini, yang seketika menjungkirbalikan kebosanan menjadi rasa suka. Tokoh Mustafa yang di awal cerita begitu menyebalkan karena suka mengeluh, terlepas dari kenyataan bahwa memang hidupnya pantas untuk diratapi, mulai mencuri perhatian karena tekadnya yang begitu kuat dalam menelurkan sebuah novel, meski pada akhirnya tak mendapat sambutan yang baik. Sedih.
Soal typo, terbilang cukup banyak. Malah nama ibunya Riana sempat berubah dari Salbiah jadi Rabiah. Jangan-jangan proofreader-nya pun sempat mengalami kebosanan? Lol.
Aku beli di 4th Asean Literary Festival. Dan ia menguji benar rasa seronok membaca naskhah ini. Arafat tidak mengecewakan. Kisah Mustafa dan novel ini pastinya buat kau rasa yang cinta itu sebuah medan perjuangan. Yang kadangkala elok menyerah, kadangkala elok berperang. 5 bintang.
Seburuk-buruknya nasib seorang Mustafa, jauh lebih buruk nasib seorang pria yang hidup dalam penyesalan. Dan terus-menerus mengacungkan kepalannya kepada Tuhan seraya meminta untuk kembali memutar waktu. Semurah-murahnya racun tikus, jauh lebih murahan seorang manusia yang takut untuk menghadapi hidup.
"Tempat Paling Sunyi" sangat "resonate" bagi saya. Terutama kegeraman Mustafa yang tak habis pikir terhadap masyarakatnya yang tidak menghargai sastra. Aceh dalam hal ini hanya sebagai latar, konflik utamanya tentang keluarga. Kalau NH Dini mengambil paradigma wanita, Arafat Nur ini mengambil sisi laki-laki. Ingin sekali-kali membaca buku yang sekaligus mengambil dua perspektif itu dengan gaya penulisan yang apik juga. Mengurai miskomunikasi rumah tangga secara berimbang. Buku ini juga mengajari saya untuk menimbang lagi lebih matang jika ingin menikah. Memang sastra begitu, menuliskan kenyataan, kalau tak selamanya cinta itu indah, cinta juga marah dan sunyi.
Mengenai perspektif, agaknya saya sedikit "ngganjel" juga dengan "nafsu lelaki" yang sedikit banyak dinormalisasi, karena konteksnya juga dalam kemelut emosi. Namun, secara keseluruhan saya lebih menikmati novel ini dibanding "Lampuki" yang ceritanya melompat-lompat. Kali ini narasinya sangat runtut, sederhana, tapi tidak membosankan. Secara substansi dan kritik sosial memang tidak terlalu banyak yang ditawarkan, dan justru saya tidak menyarankan novel ini dibaca saat "state of mind" kita sedang emosional, sebab buku ini sangat egois. Tentu menyuarakan suara hati, tapi juga seringkali "membenarkan" ego. Ini agak bahaya untuk orang yang membaca dan meng-highlight bagian ego-nya saja, tidak resolusinya (yang sebenarnya juga minim).
Meski saya sangat terhibur dengan keseruan ceritanya, saya hanya bisa memberi bintang 3/5.
Terima kasih kepada GPU, yang sudah mengirimkan buku ini bahkan saat buku ini belum terpajang di toko buku. Novel ketiga dari Arafat Nur yang diam-diam menjeratku dengan gaya bahasa sederhana, namun menyimpan teka-teki seru. Sebenarnya novel ini berkisah persoalan keluarga. Meski ada sisipan tentang kondisi Aceh saat Perang dan Tsunami, namun itu hanya tipis belaka.
Dikisahkan Mustafa memiliki istri Salma, yang benar-benar istri yang aneh terhadap suami. Lebih percaya omongan Syarifah, ibunya ketimbang suaminya. Latar belakang keluarganya adalah pejabat kaya raya (pasca Aceh didera pembangungan, banyak pejabat korup) yang membuat Salma menjadi manja dan tidak mengerti bahwa Mustafa adalah laki-laki yang biasa-biasa aja, cenderung miskin dengan tidak punya keterampilan lain. Mustafa hanya juru ketik di rental komputer dan diam-diam memendam keinginan menulis novel. Di sisi lain, Salam memiliki kecemburuan mahatinggi. Setiap kali Mustafa pergi lembur, Salma menderanya dengan cemburu membabi buta. Didakwa punya perempuan lain dsb. Hingga akhirnya Mustafa pergi lama atau minggat dan ada permepuan lain bernama Riana, guru yang dahulu adalah langganan Mustafa di rental komputer. Mereka jatuh cinta dan hingga menikah di bawah tangan. Di ujung-ujung, Riana merasa sah-sah saja Mustafa untuk sesekali kembali ke Salma karena Salma tetaplah istri pertama dan sah bagi Mustafa. Padahal Riana sudah punya Andin anak dengan Mustafa.
Menulis novel bagi Mustafa dalah perjuangan. Selain kondisi keluarganya tidak memungkinkannya konsentrasi dalam menulis, Mustafa merasa menulis novel adalah ikhtoyar untuk memperoleh kebermanfaatan. Menurutnya novel mampu mengubah pandangan dan usaha paling jujur dalam perjuangan.
Hal unik dalam novel ini adalah keberadaan dua tokoh utama, yaitu "aku" dan Mustafa. Aku adalah orang yang pasca kematian Mustafa mendatangi lokasi untuk sekadar jalan-jalan dan menemukan fakta perihal novel "Tempat Paling Sunyi" karangan Mustafa yang raib entah kemana. TOkoh Aku kemudian mencari data dan menemukan catatan-catatan kecil yang dijadikan untuk menuliskan kisah Mustafa secara utuh (yang kemudian jadi novel TEMPAT PALING SUNYI ini). Jadi seperti ada tokoh lain yang hidup selain Mustafa. Bagus.
Ceritanya menarik, meski kadar perang dan kondisi Aceh tidak sekental LAMPUKI.
Hanya ada satu pertanyaan: di Halaman 150 disebutkan bahwa ibu Riana adalah Salbiah, namun tiba-tiba di halaman 181 disebutkan kalau ibu Riana adalah Rabiah. Duh sebenarnya namanya siapa? Ataukah Salbiah Rabiah? Mungkin ini keteledoran editing, dan beberapa juga ada typo kecil.MIsalkan di halaman 216 Boleh dibilang, itu adalah hari paling sepanjang hidupnya, kayae kurang satu kata sifat pasca kata paling-.
Tempat Paling Sunyi, saya sudah beberapa tahun lalu membeli buku ini (atas tawaran sahabat) tapi tak berani membacanya karena takut kesunyian yang ditawarkan tak seperti kesunyian yang sedang saya butuhkan. Tetapi, tahun ini akhirnya saya membacanya juga oleh karena perasaan ingin yang datang begitu saja ketika saya melirik-lirik lemari buku untuk memilih bahan bacaan bulanan.
Beberapa tahun belakangan saya hanya tertegun menatap sampul buku ini dan asyik sendiri menerka-nerka bagaimanakah kisah cerita di dalamnya. Mulanya, saya pikir kisah ini akan menceritakan tentang lelaki yang berjalan jauh sekali untuk menemukan kehidupan setelah mengalami banyak kehilangan pahit yang semakin ia pergi semakin ia temukan kesunyian.
Tetapi, buku ini justru mengisahkan sesuatu yang amat bising dan berlarut-larut membuat sesak. Mustafa, si lelaki penulis novel yang memiliki cita-cita tinggi terhadap karyanya--bahwa apa yang ia tulis akan mengubah dunia--justru mengalami hidup yang menyedihkan setelah menikahi gadis yang awalnya terlihat cantik dan pintar, ternyata tak lebih dari seekor keledai.
Salma, dan ibunya, kerap menyiksa Mustafa karena pikiran kolot serta bebal dan tingkah laku menyebalkan mereka. Jangankan Mustafa si lelaki sebatang kara, saya sebagai pembaca pun dibuat tertekan dengan tingkah laku mereka. Nampaknya memang benar, anak gadis yang penurut pada ibunya belum tentu berperangai baik pada suaminya, terlebih jika ibunya selalu ikut campur urusan rumah tangga mereka.
Dan Mustafa adalah manusia kesepian yang betul-betul telah kehilangan banyak akibat peperangan. Hidupnya terombang-ambing dan keadaan ini semakin diperparah oleh istri dan mertuanya yang membuat ia hanyut dalam kegelisahannya sendiri. Bahkan saking rumit hidup yang ia jalani, ia tak mampu pisah dari istrinya yang hampir membuat seluruh hidupnya menderita.
Sebagai suami, Mustafa terbilang bertanggungjawab, rajin, dan tidak menyusahkan karena dia pun mencuci bajunya sendiri, tidak mengeluh dengan keadaan apa pun dalam rumah tangganya. Tetapi, apa yang ia dapat dalam kehidupan rumah tangganya semakin membuatnya terperangkap dalam pengeluhan-pengeluhan yang tak kunjung selesai hingga akhirnya dia bertemu Riana, seorang mahasiswi cantik yang juga berprofesi sebagai guru, baik perangainya tetapi selalu bermasalah dengan hubungan lawan jenis.
Kian hari kian rumit jalan hidup Mustafa, tetapi semakin ke belakang yang merumitkan justru jalan pikirnya sendiri. Memang, hal paling mengganggu dalam hidup ini adalah kebimbangan yang manusia ciptakan atas pemikiran-pemikiran yang sebetulnya tak terlalu penting dalam keputusan yang dibuat. Dan barangkali hal-hal seperti ini sering dialami oleh seorang penulis yang acap kali terjebak dengan perasaannya sendiri.
Tempat Paling Sunyi, menurut saya adalah bacaan yang asyik, narasinya enak sekali meski bukan pula sebagai tulisan yang membuat ketagihan atau penasaran. Buku ini telah berhasil membuat saya merasa menjadi pendengar yang baik, sebab apa-apa yang tertulis seperti berdengung di telinga dan kehadiran para tokoh terasa dekat meski ketika menatap ke penjuru ruang yang terlihat hanya kesunyian.
Kendati begitu, ada bagian-bagian yang saya tak suka dalam buku ini, seperti typo yang cukup banyak, pengulangan kata yang cukup sering, dan ada kalimat yang diulang ketika mendeskripsikan kecantikan Riana. Cukup mengganggu, apalagi si narator seakan begitu mengagumi kemolekan tubuh tokoh perempuan itu seolah yang paling menonjol dalam dirinya hanyalah keindahan fisik. Padahal Riana cukup pintar dan menyenangkan, hal utama yang sebetulnya membuat banyak orang betah berlama-lama dengannya.
Hal paling saya suka dalam buku ini adalah kejujuran yang dibingkai tentang bagaimana sebuah karya tak terlalu penting bagi kehidupan banyak orang. Hal yang paling sering disuarakan oleh yang menggebu-gebu menjadi penulis. Jangankan untuk mengubah dunia, mengubah sekumpulan kecil manusia pun belum tentu bisa.
Orang-orang terdekat yang begitu bangga melihat Mustafa berhasil menjadi penulis pun, sebetulnya tak sampai hati mengetahui apa yang ia tulis dalam bukunya. Mereka hanya berkata, Mustafa penulis hebat, demi menuliskan buku ini ia berjuang mati-matian! Tetapi mereka tak tahu cerita apa yang ditulis Mustafa dalam novelnya. Bahkan mereka tak menyimpan karya hebat itu sebagai kenang-kenangan meski telah diberikan secara cuma-cuma.
Dalam, sesak, dan menyenangkan. Terima kasih Arafat Nur telah menuliskan kisah ini. 💕
Fiksi, atau kisah hidup? Membaca buku ini membutuhkan energi besar. Selain rasa sedih dan putus asa yang berulang kali dimunculkan melalui sosok Mustafa, serta rasa kesal karena ada saja orang bebal seperti Salma. Saya seakan mendengarkan seorang Arafat sedang bercerita mengenai kepahitan perjalanan hidupnya, bukan sedang membaca sebuah buku. Memilukan. Dan perpaduan antara konflik dan Tsunami menjadi tambahan kisah yang memberikan jiwa tersendiri bagi kisah ini.
dari sekian banyak kata-kata menarik dalam buku ini, ada dua yang paling berkesan bagi saya.
"Menulis novel adalah ketersiksaan di suatu sisi dan kenikmatan pada sisi lainnya. " tercetak di halaman 13
"Dilihat dari gelagatnya, kedua orang itu memang tidak menyukai buku, dan Mustafa percaya bahwa mereka tidak pernah menamatkan satu buku pun selama bertugas di perpustakaan, bahkan sepanjang hidupnya; mereka tidak pernah tahu apa isi buku dan apa manfaat buku-buku di perpustakaan ini. Menjaga perpustakaan bagi mereka hanyalah disebabkan keterpaksaan oleh tuntutan tugas dan untuk bisa mendapat gaji setiap bulannya." tercetak di halaman 50
"Semasa sekolah dulu, selagi perang belum terlalu ngeri, Mustafa pernah beberapa kali pulang membawa buku-buku bacaan, dia akan membaca dan menulis sepanjang hari. Namun, setelah perang benar-benar meletus dan ibunya meninggal dunia, Mustafa tidak pernah lagi kembali". -Hal. 310-
Tempat Paling Sunyi, novel yang ditulis oleh Arafat Nur berisi 323 halaman dan dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian yang menceritakan kisah hidup Mustafa dan bagian kisah penulis dalam menghimpun informasi mengenai Mustafa.
Novel ini berlatar di Aceh yg saat itu sedang berkecamuk perang antara pemberontak dan pemerintah. Mustafa, tokoh utama dalam novel ini bekerja sebagai juru ketik. Menulis novel menjadi bagian dari hidupnya, bertahun-tahun ia berusaha menyelesaikan novelnya. Namun, ketika novelnya selesai, selesai pula hidupnya.
Salma, istri Mustafa, polos dan perhatian. Walaupun perhatiannya hanya ketika Mustafa sakit. Ia berperangai buruk, hampir setiap hari ia mencurigai suaminya. Hingga suaminya melakukan apa yg ia tuduhkan.
Bagian per bagian dari novel ini begitu mengejutkan, diantaranya hubungan Mustafa dan Riana, gadis cantik yg ditemuinya di perpustakaan. Mustafa tertarik padanya, namun ia selalu menahan diri lantaran ia memiliki istri. Tapi akhirnya, Riana dijadikan istri kedua juga! Meskipun tidak menikah sah secara negara. Kejadian mengejutkan lainnya adalah meninggalnya Mustafa setelah novelnya dilenyapkan oleh Salma. Kemudian, Salma dianggap orang setengah gila oleh warga sekitar.
Membaca novel seperti diceritakan kisah hidup orang lain. Dari hubungan rumah tangga Mustafa dan Salma, Salma adalah seorang istri yg selalu mencurigai suaminya, meminta nafkah melebihi kemampuan suaminya dan tidak pernah menghargai hasil kerja keras suaminya. Hingga suaminya benar-benar pergi dan kembali hanya karena merasa kasihan. Sedangkan Mustafa adalah seorang suami yg seharusnya melepaskan jika tidak lagi mencintai. Mustafa malah terkesan seperti memanfaatkan Salma, lantaran Salma adalah anak tunggal.
Semoga rumah tangga kita dijauhkan dari hal-hal yg tidak diinginkan. Aamiin 🤲
Spoiler alert... Novel ini adalah novel kedua Arafat Nur yang aku baca, kalo aku perhatikan memang latar belakang kedua novelnya selalu tentang kehidupan masyarakat Aceh pada masa pemberontakan dan setelahnya. Dengan tokoh Mustafa, lelaki Aceh yang berprofesi sebagai juru ketik di rental komputer yang memiliki cita-cita sebagai penulis novel terkenal. Dalam proses menulis novelnya itu, Mustafa mengalami liku-liku yang sangat berat, seperti tidak ada dukungan dari Salma sang istri. Menurut Salma, Mustafa hanya membuang-buang waktu dengan melakukan hal yang tidak perlu dan tak menghasilkan uang. belum lagi tekanan dari ibu mertuanya yang berpendapat sama seperti Salma.
Di antara pasang surut gejolak rumah tangga dan menulis novel, Mustafa dipertemukan dengan seorang gadis yang telah lama hadir menghiasi mimpi-mimpinya. Riana, satu-satunya perempuan yang bisa memahami kehendak Mustafa untuk terus melanjutkan novelnya hingga tuntas. Yang pada kemudian hari menjadi istri kedua Mustafa.
Menurutku tokoh Mustafa ini menjadi sosok lelaki yang kurang tegas, karena hanya berniat menceraikan Salma, istri pertama yang menurutnya bodoh seperti kedelai dan rumnah tangganya selalu berisikan pertikaian, namun tak kunjung menceraikannya. Pada saat yang sama Mustafa juga menginginkan Riana sebagai istri keduanya. Sebagai sesama perempuan, menurutku Mustafa bukan tokoh yang adil, hihihi...hati perempuanku bergejolak sih waktu membaca novel ini, ikut merasakan emosi terhadap tokoh Mustafa.
Kemudian muncul tokoh Aku, yang berusaha mencari novel Tempat paling Sunyi yang akhirnya telah selesai ditulis Mustafa beberapa tahun yang lalu sebelum Mustafa sendiri meninggal setelah diracun oleh Salma. Tokoh Aku yang menurutku kisah hidupnya dan wajahnya digambarkan sebelas dua belas dengan Mustafa.
Dibandingkan buku Tanah Surga Merah, novel ini tidak begitu aku sukai, karena berisikan banyak pertikaian rumah tangga, sumpah serapah, dan ketidakadilan untuk sosok wanita.
Buku karya Arafat Nur ini baru pertama kali aku baca, buku ini aku suka banget sama cover dan judulnya. Ya itulah alasan ku awalnya tertarik untuk membaca, namun memang ada beberapa typo.
Pada bagian-bagian awal bacanya cukup membosankan, kemudian memang dipenuhi oleh gaya narasi dan hanya sedikit percakapan. Setelah sekitar halaman 120 seterusnya mulai enjoy. Sosok Mustafa yang mencintai sastra, yang pada saat itu orang-orang tak mengetahuinya bahkan mungkin menganggap hal tidak penting. Mustafa pertama kali jatuh cinta dengan Salma, saat sosok Salma yang masih sekolah menengah atas memberikan jawaban yang cukup cerdas bagi Mustafa, “Novel tidak pernah mati!”. Hingga akhirnya Mustafa menikah dengan Salma dan tinggal di rumah mertuanya. Mustafa selalu menyakini bahwa ini adalah kutukan Tuhan terhadap dirinya karena ia harus tinggal dengan ketiga perempuan yang dungu dan kolot. Kerjaannya hanya menonton sinetron yang seolah ituada kehidupan nyata yang terjadi dibelahan dunia lain dan pembicaraannya tak pernah penting, hanya perhiasanan mewah, baju mahal, makanan. Kedelai! Sebenarnya yang ia maksud Keledai! Makian yang sering terlontar dari Mustafa karena mengutuki istrinya yang baginya tak punya otak.
Sosok Salma yang bagi Mustafa menjengkelkan, memang membuat aku jengkel juga. Sampai-sampai sumpah serapah keluar dari mulutku karena sifat Salma. Penulis sangat berhasil menciptakan sosok Salma sampai-sampai aku yang baca juga ikut kesal. Latar waktunya memang zaman dahulu, yang mungkin memang sekolah hanya membuang-buang waktu, tenaga dan tentunya uang.
Mustafa menikah dengan Salma, dan ia bekerja di Lamlhok disalah satu jasa pengetikan. Omongan Salma yang baginya biasa saja namun selalu menyelidik dan menyudutkan Mustafa, hingga sebuah pertengkaran itu sampai ke jalanan. Bagian ini benar-benar membuat aku jengkel, dan begitu sabarnya sosok Mustafa. Namun ternyata ia memang memiliki luka. Pertemuannya dengan Riana membuat ia bahagia, tapi memang tak pernah menghilangkan luka yang ia miliki. Sampai ending dari buku ini sebenarnya tidak seperti yang aku pikirkan.
Ketika mau beli buku ini dan membaca ulasannya di Goodreads, sempat ragu karena disebutkan kebanyakan isinya hanya cek-cok rumah tangga.
Namun, karena penasaran, tetap saja kubeli. Ketika membacanya, ulasan itu memang tidak salah karena hampir seluruh isi buku ini bercerita tentang keributan dalam rumah tangga yang digambarkan penulis seperti ada di jurang neraka. Namun, omelan demi omelan itu bukan sekadar narasi untuk memenuhi isi buku, tapi mengandung pergulatan batin yang sungguh berasa. Tentang betapa sengsaranya hidup Mustafa dan rewelnya Salma serta Syarifah. Bagi orang-orang yang pernah mencicip bagaimana hidup dalam keluarga yang bak kapal pecah, buku sungguh relate, seolah menyibak kembali tabir-tabir trauma tentang prahara dalam rumah tangga.
Latar tentang konflik Aceh tergambar jelas kengeriannya, tetapi tidak cukup detail karena posisi konflik yang lebih banyak disorot adalah konflik internal antara Mustafa dengan dirinya, serta dengan keluarganya, terkhusus si Salma yang dia sebut "kedelai".
Di tengah situasi perang saudara, Mustafa menjalani hidupnya dalam penderitaan bersama Salma. Ia bekerja keras menyelesaikan sebuah novel yang memakan waktu bertahun-tahun lamanya. Hidupnya yang nyaris hancur, tertata kembali setelah perjumpaannya dengan Riana, wanita yang diyakini sebagai cinta sejatinya.
***
Diceritakan dengan terlampau tenang, tanpa ada gejolak yang berarti. Awalnya menarik menyimak kisah penuh derita Mustafa diselingi kondisi dan situasi politik Aceh pada masa itu. Akan tetapi, karena jalan cerita berpusar di itu-itu saja, 300 halaman lebih terasa membosankan. Beberapa pembahasan diulang dan menambah rasa bosan. Typo-nya lumayan. Tiga bintang.
Kenapa lima bintang? Karena buku ini yang membuat saya harus baca kalimat demi kalimat dengan pelan-pelan agar memahami maksudnya dan buku ini pula yang membuat saya harus membaca dari paragraf awal (lagi) demi menangkap maksud kalimatnya. Saran saya, jangan membaca buku ini setengah-setengah karena kamu akan kehilangan sensasinya. (seperti saya yang akhirnya menyesal dan memutuskan membacanya dari awal (lagi) haha) Ini buku keren, serius haha.
sebab kesunyian adalah buah pikir kita sendiri bukan karena orang lain. ia bisa saja hidup di sudut hati setiap manusia dan bergantung manusia itu pulalah apakah kesunyian itu akan bertahan atau menghilang.
DNF. Not my style. Dari awal baca super stressing karena disajikan cerita yang super suram tapi tetep paksain baca. Di pertengahan cukup enjoy bacanya dan masih ada rasa penasaran buat lanjutin. Pas masuk beberapa bab terakhir, rasanya udah bener2 hilang mood buat bacanya.
Cerita mengalir dengan narasi yang begitu deras dan tentu saja mampu menghanyutkan pembaca pada kesunyian yang dirasakan tokoh utama: Mustafa. Kau diajak masuk ke dalam lubang-lubang kesalahan yang telah dibuat oleh Mustafa karena kebimbangan perasaannya. Sesuatu yang ia kira adalah obat ternyata menimbulkan luka di kemudian hari, tidak hanya pada dirinya, tapi juga pada diri orang-orang dekatnya.
Kau mampu masuk pada kebodohan Mustafa yang lalai memahami luka masa lalunya sendiri. Kau pun mampu dibuat geram sekaligus takjub akan tekad Mustafa untuk menjadi seorang Novelis di tengah pikiran, perasaan, dan kehidupan yang saat itu sedang kacau dan sengsara --perang, penindasan kekuasaan, dan kemiskinan, juga percintaan.
Dan, seperti kehidupan kacau yang sungguh sulit dilewati itu, menyelesaikan novel --dengan daya magis yang belum disadari banyak orang-- bagi Mustafa, juga bagi tokoh Aku yang akhirnya mampu menyeselesaikan Tempat Paling Sunyi adalah sama sulitnya.
Tak banyak novel yang membahas tentang konflik internal dalam diri seseorang begitu mendalam. Namun, Tempat Paling Sunyi memberikan gambaran peliknya internal seorang individu yang tak kunjung merasakan kebahagian, justru merasa hidupnya terjebak dalam sebuah lubang yang dalam tanpa tahu kapan bisa keluar. Mustofa yang malang, setidaknya sebelum dia mati akhirnya sedikit merasakan apa itu bahagia walaupun tidak benar-benar bahagia.
Membaca bab-bab pertama novel terbarunya Arafat Nur, penulis hebat dari Aceh ini, aku dapat memahami benar betapa hebatnya pergumulan batin Mustafa (tokoh dalamnovelTempat Paling Sunyi) dalam upayanya melahirkan sebuah novel. Untuknya menulis novel adalah hal yang penting—dia sengaja mengikat diri pada pekerjaan ini, sebuah upaya melampiaskan hasrat kemarahan yang sejenak dapat membawanya dalam ruangkebahagiaan semu dan selanjutnya berakhir dengan ketersiksaan yang lebit hebat (hal. 13). Pergumulan batin Mustafa kian bertambah-tambah dengan peliknya hidup dalam suasana perang dan tekanan istrinya Salma dan Mertuanya Syarifah. Menurut mereka pekerjaan menulis novel yang belum tentu mendapatkan uang adalah pekerjaan yang sama sekali tak berfaedah. Meskipun Mustafa melakoni peran sebagai suami yang mencari nafkah dengan bekerja sebagai juru ketik di Lamlhok Computer, tentu saja pekerjaan sesederhana itu tak pernah benar-benar membuat asap dapur rumahnya terus mengepul, atas dasar itu pula sering terjadi percekcokan dengan istrinya dirumah sampai tumpah ke jalan-jalan. Untuk istrinya dan mertuanya itu, uang adalah hal sangat penting karena sebelumnya dua anak beranak itu hidup mewah, serba bercukupan dan suka berfoya-foya. Mereka terlalu bodoh untuk mengerti betapa sulitnya hidup ditengah suasana perang yang kian menjadi-jadi. Salma yang kekanak-kanakan dan tak mau mengerti perjuangan suaminya yang menulis novel, kerap kali cemburu dan menuduh Mustafa yang bukan-bukan, menuduh Mustafa mulai bosan lalu main perempuan. Nantinya memang segala tuduhan atas diri Mustafa itu seolah menjadi doa untuknya, karena kelak ia bertemu Riana dan jatuh cinta. Tentunya segala pergumulan batin nan hebat itu membawa Mustafa sendiri ke tempat paling sunyi di dunia ini.
Ambisi tak selamanya menanti untuk digapai. Melalui tulisannya, Arafat Nur "menjelenterehkan" bagaimana idealisme kita terhadap impian atau ambisi harus berkompromi dengan berbagai hal.
Dan tugas kita adalah berusaha sebisa mungkin menggapainya.
Saya percaya, tiap orang perlu tempat paling sunyi dalam hidup. Perbedaannya, ada yang menghabiskan sebagian besar waktunya dengan kesunyian, ada pula yang hanya menyempatkan di sela-sela saja. Terkadang kita perlu hidup dalam keheningan yang mendamaikan, sejenak lupa dengan dunia sekitar, dan membahagiakan diri.
Buku ini, sebenarnya, saya tidak begitu suka dengan penggambaran beberapa karakter. Tak ada yang bisa dipercaya dari tokoh-tokohnya, saya tidak suka dengan pemeran utama. Banyak hal paradoks yang sulit diterima. Lalu, tema perang hanya sekadar tempelan rasanya. Tak banyak mengambil peran dalam alur cerita. Bagaimanapun, beberapa halaman di lembar-lembar terakhir cukup meyakinkan saya untuk mengkhatamkan. Menikmati tragedi, harus dituntaskan.
tempat paling sunyi,,apakah maksut dr novel satu ini,,ketika pertama kali melihatnya mungkin kita bertanya2 ,dmanakah tempat paling sunyi itu berada,,bercerita ttg persoalan keluarga,,dimana pelaku utamanya bernama mustafa yg menikahi seorang perempuan yg bernama salma,yg ternyata dlm perjalanan berumahtangga dgn salma sring terjadi percekcokan ,,dan bnyknya krn hal2 sepele,,saya sndiri agak emosi dgn tokoh salma ini,krn dia senang sekali memancing2 mustafa untuk berdebat hal2 kecil dgnnya ,,dtambah dgn tokoh baru bernama riana,yg menyejukan dtengah konflik antara mustafa dan riana,,ada sdikit cerita jg ttg perang dan aceh,,tp itu sedikit skali,,yah pada akhirnya setiap manusia memiliki tmpt paljng sunyi dlm hidupnya,,3bintang untuk novel satu ini :)
tahu buku ini karena Ci Hetih bilang ini naskah terbaik yang ia baca tahun lalu. jadilah, berbekal rekomendasi itu, saya membelinya.
memang ceritanya menarik, narasinya pun mudah dinikmati. membaca buku ini, saya dibuat emosi oleh perangai buruk Salma, sebel sama sikap Mustafa yang tidak bisa memilih satu dari dua pilihan yang ada, dan terpesona dengan anggunnya sosok Riana. tokoh 'aku' yang muncul di akhir cerita pun membuat cerita semakin tak terduga.
rasanya setiap dari kita perlu Tempat Paling Sunyi.
Dari novel ini jadi kebayang gimana gambaran apa akibatnya kalo misalnya kita (wanita) jadi seorang istri yg tdk pengertian. haha *salah fokus* *bukan itu intinya,tapi bisa jadi pembelajaran*
penulis menceritakan ttg penulis lain dan penulis menuliskan novel yang dituliskan oleh novel penulis lain itu. *kalo pusing baca ajah yah novelnya langsung*
Terlepas dari endingnya yg greget, pemilihan kata di novel ini bagus, alur ceritanya bisa dihayati dan bisa bikin kita ngerasain apa yg dialamin sama tokoh di cerita ini.