Cerita perang dalam karya Arafat Nur tidak semata-mata hadir sebagai tragedi, melainkan juga sesuatu yang menghibur lewat gaya bertutur narator (atau tokoh cerita) yang ada kalanya jenaka—juga natural. Dengan gaya seperti itu, fakta-fakta sejarah perang bersenjata yang lekat dengan peristiwa pembunuhan, penculikan, pemerkosaan, dan kekejaman lainnya, hadir di hadapan pembaca sebagai kisah tanpa beban. —Yetti A.KA
ARAFAT NUR adalah penulis penting Indonesia yang riwayat kehidupannya sendiri mirip kisah fiksi. Dia tumbuh dan besar di tengah gejolak politik, perang (konflik) panjang yang melanda Aceh yang menyebabkannya beberapa kali hampir terbunuh. Tahun 1999, saat kecamuk perang meningkat, Arafat yang masih remaja diculik sebuah kelompok yang mencurigainya sebagai mata-mata karena menulis puisi dan cerpen. Dua orang meringkus ke tengah hutan, dan di pinggir sebuah sungai dia hendak dibunuh. Jika saja tidak ada pertolongan dari organisasi kemanusiaan yang mengetahui hal itu, mungkin dia tidak sempat menulis novel dan namanya tidak pernah dikenal orang.
Tidak lama setelah terbebas dari penculikan, rumahnya dibakar habis berserta seluruh isinya, menyebabkan dia, ayah, ibu, dan empat adiknya tidak punya lagi tempat tinggal. Ayahnya yang sejak lama jatuh sakit, mengasingkan diri ke kampung asalnya di Ulee Gle. Sedangkan ibunya meninggal dunia dalam keadaan sakit dan kelelahan akibat menghindari perang yang tak ada habisnya. Dalam situasi kacau seperti itu, Arafat bertahan menamatkan SMA, lalu bekerja serabutan untuk menghidupi dirinya sendiri. Beberapa kali dia pernah terperangkap dalam perang terbuka yang hampir membunuhnya. Pada peristiwa lain, dia diancam komandan militer di tengah enam ratusan prajurit bersenjata lengkap akibat tulisannya yang muncul di surat, dan di lain waktu dia dipukuli oknum polisi yang lagi mabuk di Pajak Impres Lhokseumawe.
Seusai perang, tidak lama setelah pemberontak berjabat tangan dengan pemerintah, dalam kehidupan tidak menentu, miskin, dan kurang makan, dia bersikeras menyelesaikan novel Lampuki (Serambi, 2011) yang tiga tahun kemudian selesai. Novel itu memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010, lalu meraih Khatulistiwa Literary Award 2011. Terbitnya Lampuki menyulut kemarahan pihak tertentu yang menghujat dan mencaci-makinya, mereka melempari rumahnya dengan batu, dan beberapa kali peneror sempat mendobrak pintu rumahnya. Namun, Arafat berhasil melarikan diri sampai kemudian penjahat yang hendak memukulnya itu tidak muncul lagi.
Empat tahun berselang, novelnya Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang, 2014) terbit, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Bird Flies in the Dark of Night. Berselang setahun, dia menerbitkan novel Tempat Paling Sunyi (Gramedia, 2015) yang semakin melonjakkan namanya sebagai novelis penting di Tanah Air. Tahun 2016, Arafat kembali memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta melalui novel Tanah Surga Merah (Gramedia, 2017) yang mendapatkan tanggapan baik dari pembaca, termasuk mereka yang sebelumnya tidak menyukai karya-karyanya. Novel terbarunya, Bayang Suram Pelangi direncanakan langsung terbit dalam edisi bahasa Inggris di Amerika.
Pembaca dapat berintereaksi langsung dengannya melaui twetter di @arafat_nur. Kunjunganilah lampukinovel.blogspot.com/
Serdadu dari Neraka berisi kumpulan cerpen sejarah berlatar kericuhan politik masa DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh. Seperti yang banyak disebutkan oleh sejarah, masa DOM merupakan masa kelam rakyat Aceh karena kejahatan para serdadu. Di buku ini berisi 17 judul cerpen yang menggambarkan kondisi Aceh di tengah hiruk pikuk Gerakan Aceh Merdeka. Beberapa cerpen saling berhubungan bahkan merupakan lanjutan dari cerita sebelumnya.
Judul cerpen yang paling aku suka yaitu: 'Serdadu dari Neraka' yang menceritakan seorang serdadu keji yang hobi memerkosa perempuan, satu-satunya perempuan yang tidak bisa ia jamah adalah ibu dari tokoh utama.
Kemudian judul 'Lelaki Ladang' yang menceritakan seorang petani yang dikejar-kejar aparat demi melindungi keluarganya. Kedua cerpen ini lebih emosional dalam menggambarkan sadisnya para serdadu dalam menyiksa dan menjarah hasil pertanian warga.
( ◜‿◝ )♡
Suka sama gaya penulisannya yang ga berat dan "ngga sastra banget". Jadi masih bisa dicerna dan dipahami sambil duduk santai minum teh. Bahasanya ringan walaupun alur ceritanya ga ringan sama sekali. Jika biasanya cerpen punya plot yang singkat dan sering menimbulkan pertanyaan yang terkesan menggantung, gaya bahasa buku ni justru terasa page turner. Jadi walaupun plotnya singkat tetap membuat kesan yang sediiih, marah, kesal dan dendam terhadap para serdadu.
Tertawa, menangis, marah dan bahagia. Lebur dalam buku ini. Ada kisah yang bisa membuat pembaca merasakan sedih tak tertahankan. Kisah lain mampu membuat darah pembaca mendidih menahan amarah. Divandingkan buku yang lain, terlihat sekali perbedaan gaya penulisan seorang Arafat Nur. Mungkinkah kisah hidupnya yang dikisahkan pada halaman 173-175 yang membuat gaya penulisannya menjadi seperti ini.
Melihat kebahagian yang sering dibagikan pada laman sosial media penulis, ikut berbahagia rasanya. Ia pantas mendapatkan semuanya.
Dari satu cerita ke cerita lain ternyata berhubungan, paling suka cerpen terakhir lelaki ladang. Saya malah gak terlalu suka cerpen serdadu neraka hehe
kumpulan cerpen yang ditulis sangat apik, ceritanya bak punya benang merah antar satu judul dengan judul lainnya. this book was unexpectedly good and so underrated!