Jump to ratings and reviews
Rate this book

Catatan di Sumatra

Rate this book

272 pages, Paperback

First published January 1, 1958

4 people are currently reading
41 people want to read

About the author

Muhamad Radjab

12 books7 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
9 (40%)
4 stars
10 (45%)
3 stars
2 (9%)
2 stars
1 (4%)
1 star
0 (0%)
Displaying 1 - 2 of 2 reviews
Profile Image for Rar.
32 reviews3 followers
July 9, 2022
Setelah membaca dan menelaah Semasa Kecil Di Kampung untuk kompetisi Debat Salihara, saya terkejut menemukan di rak gramedia ternyata ada lanjutan dari kisah Muhammad Radjab. Walau sudah berjanji sebelumnya tidak akan membeli buku dulu saat memasuki Gramed, akhirnya tanpa pikir panjang saya langsung bayar ke kasir.

Dan saya sama sekali tidak menyesal melanggar janji saya kepada dompet untuk buku ini. Sama seperti Semasa Kecil di Kampung, saya betul-betul merasa seperti sedang liburan ke dataran minangkabau. Bedanya kali ini saya berkeliling seluruh Sumatra bersama Muhammad Radjab, berkelana menaiki Oto butut, terjebak di kubangan lumpur tengah hutan, terdampar di gurun pasir, dan berdesakkan tidur di lepau nasi.

Luar biasa rasanya membaca buku ini, saya bisa merasakan semangat dan gairah akan petualangan Muhammad Radjab dengan begitu jelas. Apa yang paling saya sukai sejak membaca Semasa Kecil Di Kampung adalah kepribadian Radjab sendiri, yang mengingatkan juga akan ayah saya. Kehausannya akan pengalaman hidup, membuatnya kuat bergulat dengan segala kesusahan di jalan. Peluh dan hujan, hingga meriangnya beliau kena malaria saya rasakan disini, tapi juga gelora beliau yang tak surut itu juga yang membuat saya sangat betah dan suatu hari mau mengikuti jejak petualangannya.

M Radjab mengajarkan saya untuk menerima segala susah sebagai pengalaman berharga dalam hidup, bahwa kesusahan dan bagaimana cara kita melaluinya lah yang membuat kita kaya secara individu.
Buku ini juga khususnya membagikan pemikiran M Radjab tentang orang Indonesia, rasanya hampir sama seperti Manusia Indonesia milik Mochtar Lubis.
Malah menurut saya M Radjab lebih berhasil membahasnya secara mendalam dengan catatannya yang turun berhadapan ke masyarakat demi masyarakatnya langsung. Bagian paling mengena di akhir buku, sebuah harapan dan pertanyaan seorang pria di tahun 1947.

Kenapa kita diciptakan oleh Tuhan seperti ini? Apakah takdir kita orang melayu/Indonesia itu memang susah di dunia dan bahagia di surga? Apakah selamanya kita akan terpinggir oleh orang kulit putih dan tionghoa di negeri sendiri? Apa yang dipikirkan Tuhan saat menciptakan kita? Apakah Indonesia bisa layaknya singapura menempati posisi penting di asia tenggara ini? Apakah orang-orang kita bisa maju dan sehebat mereka?

Kurang lebih begitulah yang membuat hati M Radjab begitu nelangsa sepanjang buku. Ia memikirkan tentang saudara-sauadaranya di Sumatera, Malaka, dan seluruh Indonesia. Apakah yang salah diperbuat oleh kita yang mempunyai alam begitu kaya ini tetapi kalah oleh bangsa lain?


Awal 2022 ini saya dianugerahi bacaan bagus dan luar biasa tentang semangat dan petualangan, semoga semangat beliau terus menggelora di dalam diri saya sepanjang tahun ini!

p.s: Saya rekomendasikan kepada siapa saja untuk membaca buku ini, bila orang bertanya, saya akan bilang "Ya, ini buku wajib dibaca seumur hidup setidaknya sekali."
Profile Image for Embun.
98 reviews3 followers
August 24, 2023
Keinginan untuk membaca buku ini diperoleh dari pembacaan terhadap liputan Majalah Tempo edisi 100 tahun kebangkitan nasional berupa seratus teks paling berpengaruh di Indonesia. Penggunaan kata “teks” tersebut sengaja dilakukan sebab definisi “teks” coba ditarik begitu luas. Tidak semata-mata yang termuat dalam sebuah kertas kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku, lalu kemudian diterbitkan. Namun, segala tulisan dimanapun media berada, yang kemudian hari memiliki pengaruh dalam perkembangan pengetahuan masyarakat Indonesia.

Seingat saya dalam liputan tersebut, hanya ada beberapa teks yang diulas oleh beberapa ahli di bidangnya terkait urgensi teks tersebut. Misalnya, Catatan Harian Ahmad Wahib, diulas oleh Ulil Abshar Abdalla. Adapun teks-teks lainnya, hanya diulas secara singkat oleh awak media Majalah Tempo, termasuk tulisan dari Muhammad Radjab ini. Sungguh sangat disayangkan. Padahal dengan adanya ulasan mendalam tersebut, tidak hanya sekadar mampu meningkatkan keinginan para pembaca wigata untuk sekadar membacanya, tetapi menjadi semacam kompas untuk lebih memahaminya saat kemudian akhirnya nanti membacanya.

Tidak dimuatnya ulasan mendalam buku ini, juga diperparah oleh Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) yang menerbitkan ulang buku ini pada tahun 2020 (Kebetulan saya membaca edisi teranayar). Ada setidaknya tiga kritik yang ingin saya layangkan kepada penerbit KPG tersebut. Pertama, KPG tampak seolah hanya memindahkan tulisan lawasnya yang terbit pertama kali pada tahun 1949, kemudian ditulis ulang dalam bentuk ejaan yang saat ini berlaku. Kedua, membaca buku ini begitu melelahkan, akibat beberapa tanda baca yang seharusnya ada di dalam sebuah kalimat yang ditulis Muhammad Radjab tidak ada, dan itu tidak dibenahi oleh dalam penerbitan teranyar.
Terakhir, tidak adanya catatan kaki, untuk beberapa lema yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut dari maksud kata tersebut. Kata “prahoto”, misalnya. Ada begitu banyak ditemui kata tersebut dalam buku ini. Kita baru mengetahui arti kata tersebut bahwa setelah kita membaca Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa arti dari lema “prahoto” adalah truk. Belum lagi ketika berbicara terkait benda-benda yang disebutkan dalam perjalanan Muhammad Radjab yang jelas-jelas membutuhkan penjelasan.

Adapun secara materi, tentu pengamatan yang dilakukan oleh Muhammad Radjab terkait beberapa daerah di Sumatra pada saat Revolusi Fisik sedang berkecamuk memang menarik untuk dibaca. Tentu pengamatan tersebut tidak sebagaimana seorang peneliti yang melakukan penelitian masyarakat yang membutuhkan waktu yang lalu untuk memahami kondisi masyarakat setempat. Ia memang lama berada di Sumatera, tetapi itu kemudian melakukan perjalan berpindah-pindah.
Apa yang kemudian muncul dari pengamatannya tersebut adalah penilaian-penilaian dangkal terhadap masyarakat setempat. Penilaian yang lebih banyak ditopang oleh semangat ideologis dan kacamata modernis. Ia dalam permulaan buku memang mengakui bahwa ia telah begitu banyak melempar kritik. Hal tersebut ia lakukan, sebab sebagaimana yang ia tulis “karena didorong oleh hasrat besar hendak segera melihat perubahan baru meliputi masyarakat kita”.

Sayangnya kata “segera melihat perubahan baru” menjadi problematis. Revolusi memang berkecamuk pada tahun tersebut. Namun, tidak semua daerah mengalami pertempuran. Apa yang diamati oleh Muhammad Radjab pun setidak menyiratkan hal tersebut. Perubahan yang dilakukan secara cepat dalam bentuk revolusi hanya berorientasi pada waktu dekat, dan tidak membulkan jejak yang mendalam untuk di kemudian hari. Apalagi perubahan baru yang diinginkan oleh Muhammad Radjab adalah perubahan yang mengekor terhadap kebudayaan barat.
Displaying 1 - 2 of 2 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.