Jump to ratings and reviews
Rate this book

Sagu Papua untuk Dunia

Rate this book
KEBIJAKAN PANGAN nasional hingga kini masih identik dengan beras.

Padahal, sejak 1952 Presiden Sukarno sudah mengingatkan bahwa menitik beratkan kebijakan pangan hanya pada padi sawah akan sulit memenuhi kebutuhan perut penduduk negeri ini.

Kerentanan pangan Indonesia boleh dibilang karena kurangnya pengetahuan diban dingkan kurangnya pangan. Maka, merujuk pada pandangan Sukarno, sudah saatnya kita menempuh kebijakan pangan yang berperspektif Nusantara. Ini berarti tanaman lokal yang terbukti mampu beradaptasi dengan kondisi iklim dan lingkungan setempat mendapat prioritas. Salah satunya adalah sagu. Tanaman ini tidak tergantung pada musim dan memiliki daya tahan di lingkungan marginal, seperti lahan gambut.

Sagu dianggap sebagai sumber pangan awal yang dikonsumsi manusia modern (Homo sapiens) dan Indonesia merupakan negara dengan cadangan sagu terbesar di dunia. Di masa lalu, sagu juga dikonsumsi di berbagai tempat lain di Indonesia, termasuk Jawa. Ironisnya, Malaysia lebih mendominasi pasar ekspor sagu dunia. Buku ini memberi kita pengetahuan tentang arti penting sagu bagi masyarakat Papua dan peran swasta dalam mengembangkannya .

Sagu Papua untuk Dunia adalah buku pertama dari “Seri Pangan Nusantara” yang diter bitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Segera menyusul buku-buku tentang pangan Nusantara lainnya.

208 pages, Paperback

Published November 1, 2019

13 people are currently reading
187 people want to read

About the author

Ahmad Arif

16 books18 followers
Ahmad Arif is a Kompas Daily Journalist. He won several award, including Mochtar Loebis award two years in a row in 2009 and 2010 for Best Feature

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
65 (61%)
4 stars
35 (33%)
3 stars
5 (4%)
2 stars
1 (<1%)
1 star
0 (0%)
Displaying 1 - 29 of 29 reviews
Profile Image for Qothrunnada.
99 reviews9 followers
June 1, 2022
4,7/5⭐️
Sagu seperti Ibu bagi orang Papua. Bukan hanya sebagai sumber pangan, sagu jug merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan mereka. Jika orang Papua meninggalkan sagu, mereka akan kehilangan akar hidupnya

Perbedaan yang terasa dari buku sebelumnya yg aku baca (Sorgum) adalah di buku ini sagu sudah lebih digali lebih dalam dan lebih keliatan produknya daripada sorgum. Mungkin kalo udah baca Sorgum, di beberapa bab yang menceritakan dampak rastra atau raskin dan keseragaman pangan, akan merasa sedikit bosan membacanya. But, penuturan tentang olahan makanannya bener-bener bikin ngiler!! I'll explain per bab biar ada gambaran plus jadi pengingat buat aku hehe

Bab 1 mostly explain tentang persebaran flora dan fauna endemik Papua yang beragam bangettt. Dilanjut bahasan tentang persebaran sagu di Indonesia. Yang bikin kaget, SAGU IS EVERYWHERE SODARA2. Tersebar di manapun, tapi paling banyak emang di Papua
Bab 2 tentang pemanfaatan sagu, mulai dari makanan sampe keperluan ritual. Tapi paling banyak tentang diolah menjadi makanan sih. Di buku ini juga disajikan gambar-gambarnya. I swear to myself mau nyoba papeda at least once my lifetime. Banyak bgt olahan makanan sagu, kalo yg asli Papua ada sagu apatar (sagu plus ulat sagu), papeda, sagu lempeng, dll. Bab ini favorit bgt sih soalnya bener2 dijelasin cara membuatnya jadi sampe kebayang rasanya gmn hmm
Bab 3 membahas tentang kelaparan yang melanda di Papua padahal mereka punya aneka ragam, termasuk sagu. Bagaimana orang-orang Papua bertransisi dari makan sagu ke makan beras, atau bahkan makan dari bahan gandum. Serta dijelaskan bahwa konsumsi beras per orang (?) di indonesia juga meningkat
Bab 4 menjelaskan bahwa sagu bisa menjadi alternatif pangan di masa depan. Negara-negara lain sekarang justru mengincar sagu sebagai alternatif, terutama Jepang yang bahkan disana nggak bisa menanam sagu. Bab ini juga menjelaskan beberapa kelebihan sagu, seperti ramah lingkungan, adaptif, dan bisa menghasilkan banyak bahan baku dalam satu batang saja. Dilanjutkan dengan pembahasan tentang gizi sagu itu sendiri. Sagu punya indeks glikemik yang rendah dibanding beras, jadi kenyangnya nanti lebih lama. Nah hal ini tu sebenernya bisa sedikit menanggulangi permasalahan tingginya angka diabetes dan hipertensi di Indonesia. Sagu juga gluten free jadi cocok buat orang yg punya celiac disease. Bab ini juga menyajikan beberapa olahan yang cukup modern dari sagu, kayak pastel, mi, bakso, sagu mutiara, dll
Bab 5 lebih menceritakan tentang beberapa perusahaan yang sudah berusaha buat membangun industri sagu, tapi jangan salah, menurut buku ini industri sagu lebih ramah lingkungan. Tapi beberapa perusahaan itu masih merugi karena keterbatasan sarana maupun infrastruktur. Disini juga menceritakan tentang perusahaan juga masih kesulitan karena terbentur sama tanah adat atau budaya masyarakat disana itu sendiri. Tapi lambat laun, beberapa orang sudah mau menjual sagu mereka ke perusahaan. Selain itu, adanya perusahaan ini memungkinkan masyarakat sekitar dapat pekerjaan sehingga bisa menghidupi keluarga dengan lebih layak. Jadinya win-win solution gituu.
Nah aku lupa ada di bab berapa, pokoknya itu ada cerita dimana ada chef yang mulai masukin sagu sebagai bahan produksi makanannya. Ada juga sekolah tata boga yang mulai memperkenalkan sagu sebagai bahan produksi mereka. Ini menurutku tepat banget sih, soalnya yang ku liat kebanyakan chef atau sekolah tata boga lebih berkaca ke fnb barat, dan nggak banyak yang berusaha menggali dan menggunakan ragam flora Indonesia. Good job!

Cant wait to read another Seri Pangan Nusantara.
Oiya good newsss, dua buku (Sorgum dan Sagu Papua Untuk Dunia) udah ada di ipusnas!! Sisa buku terakhir yg blm ada di ipusnas hiks
Profile Image for Bivisyani Questibrilia.
Author 1 book23 followers
July 1, 2020
Beberapa minggu yang lalu, saat ada obral besar di Gramedia.com, saya membeli buku tentang Sorgum yang membahas tentang pangan nusantara yang sudah lama diabaikan. Ternyata, itu adalah bagian dari suatu serial, dengan buku tentang Sagu ini sebagai prekuelnya. Karena topik ini sangat menarik, saya pun segera membeli buku ini juga dan membacanya.

Sebagai orang Indonesia, mungkin kita tidak asing dengan sagu. Sebagai tepung atau mutiara, pada umumnya, kita sudah cukup akrab dengan sagu. Mungkin kita juga sudah pernah dengar tentang papeda. Namun, ternyata sagu sudah tidak banyak lagi digunakan sebagai makanan pokok, tergantikan oleh nasi dan mie yang sudah masuk ke pedalaman. Padahal, terutama di daerah Asmat yang kekurangan gizi, hutan sagu melimpah. Buku ini membahas, tidak hanya mengenai asal usul sagu dan nilai budayanya bagi berbagai suku di Indonesia, namun juga rencana pembudidayaan tanaman ini berskala besar yang dicanangkan oleh beberapa perusahaan dalam negeri. Sayangnya, hal ini banyak menemui kendala. Oleh karena itu, perlu dibangun kesadaran masyarakat perihal isu keragaman pangan Indonesia—tanpa perlu bergantung pada makanan impor.

Sebagai perbandingan, buku ini lebih banyak menyajikan foto dan data-data ilmiah mengenai tanaman yang menjadi fokus utama dibandingan sekuelnya. Tentu saja, pembahasan apa pun tentang Papua akan jauh lebih rumit dibandingkan daerah-daerah lain di nusantara. Tidak heran jika membutuhkan pendekatan yang lebih berhati-hati dalam membahas kekayaan alam Papua dan menelusuri berbagai macam isu yang dihadapi orang Papua. Buku ini bisa melakukan itu dengan baik, memaparkan akar dari krisis gizi yang dialami warga Papua, sekaligus menyinggung sedikit tentang konflik antara warga sekitar dengan pendatang yang ingin membangun usaha di Papua.

Aku pribadi sangat senang mengenal lebih lanjut tentang potensi dari bahan dasar sagu yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya—misalnya menjadi mie. Aku jadi semangat ingin lebih banyak makan sagu, jika memungkinkan. Yuk, kita akrabkan diri dengan hasil tani nusantara alih-alih menggantungkan pola makan dengan bahan-bahan impor!
Profile Image for Indah Threez Lestari.
13.4k reviews270 followers
December 23, 2019
811 - 2019

Kok aku melihat foto sate ulat pohon sagu di buku ini jadi penasaran rasanya seperti apa... Mungkin karena ukurannya besar dan gemuk-gemuk... jadi kelihatannya enak...

Atau kebetulan saja karena aku lagi lapar pas baca buku ini?
Profile Image for Lesh✨.
276 reviews5 followers
April 7, 2025
Buku ini tidak hanya mengenalkan sagu sebagai tanaman dan makanan—tetapi juga menyampaikan manfaat, kandungan, serta pengelolaan bentuk pangan.

Berfokus pada sagu yang ada di tanah Papua—yakni wilayah yang memiliki cadangan sagu TERBESAR di dunia. Sayangnya, hasil sagu hanya bisa dioleh sebesar 1% saja bahkan dalam urusan ekspor psun masih kalah dengan Malaysia yang wilayahnya jauh lebih kecil. Sedih sekali mendengarnya, tapi itulah faktanya.

Sejauh ini yang kutahu sagu hanyalah papeda dan sagu lempeng, ternyata ada banyak makanan yang awal pengolahannya dari sagu namun bahannya diubah menjadi tepung, seperti: pempek, tekwan, cendol.

Sejak zaman dulu orang Papua makan dengan sagu, namun semenjak ada yang memberikan raskin, warga jadi mengandalkan beras untuk makan dibandingkan mencari ikan atau sagu.

"Ironis ya, di atas tanah yang kaya ini, anak-anak menderita gizi buruk," kata Elisa Kambu. "Mereka saat ini suka makan beras yang tidak ditanam di Asmat. Mereka lebih suka makan mi instan yang bahannya tidak ditanam di sini. Mereka lebih suka roti, teh, kopi, dan gula yang juga tidak ditanam di Asmat."

Ada banyak pengetahuan tentang gizi di antara perbandingan antara beras dan sagu.

Lalu di halaman 106, ada sebuah kutipan yang menarik: "jika dulu kita mengenal istilah 'kamu adalah apa yang kamu makan', kini kita bisa memperkayanya dengan pemahaman baru, 'kamu adalah apa yang dimakan mikrobioma kita.'

Kekhasan mikrobioma di suatu populasi tertentu kemudian diwariskan dari satu generasi ke generasi melalui kontak fisik dan kontak lingkungan berikutnya bisa memicu adaptasi yang terbukti diwariskan ke generasi selanjutnya.

Temuan ini menunjukkan bahwa kita tidak bisa serta merta meniru ragam makanan populasi lain karena bisa jadi tidak cocok dengan mikrobioma dalam tubuh kita. Dengan kata lain, ragam jenis makanan yang terbaik seharusnya bersifat lokal dan yang telah dimakan turun-temurun oleh leluhur.

Buku ini banyak sekali hal penting yang bisa digarisbawahi, selain itu ada gambar keindahan Papua serta sagu yang dapat memanjakan mata.
Profile Image for yema.
101 reviews
January 6, 2023
⭐️5/5
Di jelasin secara detail tentang Papua dan sagu yang saling berkaitan. Keberagaman pangan itu penting banget. Jadi mulai sekarang stop nganggep orang yang makan umbi-umbian atau sagu sebagai orang miskin atau terbelakang. Di masa depan sagu bisa jadi alternatif pangan. Banyak negara yang udah mulai gunain sagu. Di mention juga kelaparan yang terjadi di tegah ladang sagu. Itu salah satu bukti nyata perubahan pola konsumsi dari sagu ke beras.
Profile Image for nadinosaurus.
259 reviews4 followers
January 9, 2023
Bagus banget!

Menjelaskan kebaikan-kebaikan sagu, mulai dari kandungannya, perjuangan ekstraksinya, peluang dan tantangan industri sagu, keberadaannya bagi warga Papua, hubungannya dengan peristiwa2 adat disana, mitos asal muasal sagu dan seterusnya.

Pidato Soekarno pada Hari Tani September
1965, sudah menekankan pentingnya mengubah menu makan, agar tidak melulu beras.

"Kerentanan pangan kita, lebih besar dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan drpd kurangnya pangan"

Banyak yang bikin kaget disini. Terutama, fakta sagu yang ternyata merupakan sumber pangan tertua dan banyak didapati pada relief-relief candi serta prasasti kerajaan. Banyak juga yang bikin menangis, seperti realita bahwa sagu telah tergerus raskin atau rastra dan gandum, yang justru berimbas buruk pada kondisi kesehatan dan ekosistem Papua.

Buku yang tidak hanya membuka mata dan menambah wawasan pembaca, tetapi juga menyenangkan, karena banyak menyajikan foto-foto.
Profile Image for reyn.
58 reviews1 follower
June 25, 2022
Buku pertama dari "Seri Pangan Nusantara" terbitan KPG. Bukunya gak terlalu tebal, sekitar 200an halaman dengan 7 bab (termasuk prolog dan epilog) di dalamnya.

Buku ini kaya data dan memuat banyak foto, jadi sembari membaca bisa langsung membayangkan bentuk hutan sagu, pengolahan sagu, juga orang-orang Papua yang hidupnya dekat dengan sagu.

Informasinya padat dan betul-betul menambah wawasan, terutama terkait kebijakan pangan pemerintah yang justru membawa kita makin dekat ke krisis pangan.

Sagu tumbuh secara alami di wilayah tropis Asia Tenggara, terutama di ekosistem rawa dan gambut. Dulu sekali, masyarakat nusantara mengkonsumsi sagu sebagai sumber karbohidrat utama. Makin ke sini tren pangan kita makin beralih ke beras dan gandum yang sebenarnya bukanlah tumbuhan asli nusantara. Kebijakan pemerintah Indonesia yang saat ini condong sekali ke beras, berdampak pada ancaman krisis pangan di tahun-tahun mendatang. Sagu bisa jadi alternatif yang sangat baik sebagai sumber pangan masa depan karena potensinya masih sangat besar, sesuai untuk dibudidayakan di Indonesia, dan tentunya bergizi tinggi. Budidaya sagu juga dinilai lebih ramah lingkungan karena tidak perlu mengubah lansekap asli suatu wilayah, berbeda dengan padi yang perlu lahan khusus untuk dijadikan sawah.

Kalau kupikir-kupikir, promosi sagu sebagai sumber karbohidrat pokok mungkin bisa meniru booming-nya produk-produk olahan umbi porang (shirataki) yang dilabeli "karbo rendah kalori". Pelabelan semacam ini ternyata menarik banyak orang untuk beralih dari nasi ke porang karena dinilai lebih sehat. Sagu yang punya indeks glikemik rendah juga bisa dijadikan pangan pengganti. Ini cocoknya jadi tugas influencer penganut super healthy lifestyle aja buat mengajak khalayak untuk konsumsi sagu dan ragam jenis pangan nusantara yang lain.

Selepas baca buku ini, rasa lapar langsung muncul hahaa. Saya terbayang-bayang nikmatnya makan papeda pakai ikan kuah kuning, kemudian ditambah makanan penutup ongol-ongol dengan kelapa melimpah ruah di atasnya, ah mantaaaap...
Profile Image for Novita.
184 reviews13 followers
January 28, 2024
Sumpah bukunya beneran penuh informasi terkait pangan lokal dan ngak cuma berfokus ke sagu dan segala potensi sagu. Beberapa kesempatan juga membahas pangan lokal lain di Papua kayak Ubi jalar. Dan meskipun ini buku non fiksi, aku bisa tetep enjoy bacanya, karena emang oke banget!!!! Ayo baca ini buku, kamu ga bakalan menyesal kalau baca buku ini🫵
Profile Image for Sandys Ramadhan.
114 reviews
January 25, 2021
“Makan rasanya tidak kenyang kalau belum makan nasi”, kira-kira stigma ini yang selalu digaungkan oleh masyarakat Indonesia yang tinggal di pulau-pulau besar seperti Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Hal ini terjadi karena kebijakan pangan yang diterapkan ketika masa orde baru berkuasa, yakni keseragaman pangan (kasarnya disebut politik beras).

Buku ini sangat menarik, menggugah sekaligus mencerahkan pikiran saya dan membuat wawasan saya terkait ketahanan pangan bertambah. Tebal buku ini lebih kurang 200 halaman, dan di dalamnya dimuat menjadi lima bagian, Bagian pertama, Tanah Asal Sagu. Lalu Sagu adalah Ibu, kemudian Lapar di Kampung Sagu, Sumber Pangan Masa Depan, dan Sagu Papua untuk Dunia.

Bagian pertama, Tanah Asal Sagu. Sebagai pembuka bagian ini membahas tentang sejarah sagu secara panjang dan lebar. Mulai dari tumbuhnya tanaman sagu yang tidak hanya di daerah Maluku atau Papua tetapi di beberapa daerah lain seperti Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Walau tidak begitu banyak.

Bagian kedua, Sagu adalah Ibu. Di bagian ini membahas bahwa sedari zaman nenek moyang sagu adalah sumber pangan utama bagi masyarakat Timur. Manfaat sagu ini sangat banyak, mulai dari batangnya sebagai sumber karbohidrat, lalu di dalam batangnya biasa terdapat ulat sagu yang kaya akan protein, bahkan ampasnya pun bisa menjadi medium alami untuk tumbuhnya jamur endemik. Tak hanya sebagai sumber pangan, sagu juga menjadi kompenen penting untuk tempat tinggal.

Bagian ketiga, Lapar di Kampung Sagu. Pada bagian ini penulis menguak narasi penyeragaman pangan yang dibuat pada masa orde baru, kemudian program ini pada 2002 diubah namanya menjadi raskin (beras miskin). Pada 2017 berganti lagi menjadi beras sejahtera. Walau berganti nama tetapi esensinya sama pemerintah ingin keseragaman pangan dengan cara memenuhi kecukupan beras. Padahal sejatinya tidak semua penduduk di negeri ini secara tradisional pemakan beras, seperti masyarakat Maluku dan Papua.

Salah satu akibat dari kebijakan keseragaman pangan ini adalah terjadinya penggusuran lahan sagu secara masif dengan alasan untuk pembangunan perumahan & infrastruktur atau bahkan untuk produksi sumber pangan lain, seperti sawit atau beras contohnya. Kemudian dengan terjadinya ketergantungan pangan dari luar bisa meningkatkan kerentangan pangan dan bisa memicu persoalan kesehatan seperti gizi buruk yang menimpa masyarakat Asmat.

Bagian keempat, Sumber Pangan Masa Depan. Sagu memiliki fleksibelitas penggunaan dan kaya akan nutrisi, sehingga dapat dijadikan berbagai macam produk olahan, seperti tepung sagu dan dapat dimasak menjadi beragam makanan sehat tentunya.

Bagian kelima, Sagu Papua untuk Dunia. Di bagian ini penulis mengungkap perihal peluang dan tantangan dari sagu Papua. Sehingga perlu adanya bantuan dari pemerintah dan juga masyarakat agar kebijakan pangan yang beragam ini dapat terealisasikan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.

Ilmu Baru
Membaca tuntas buku ini tentu menambah khazanah kita dalam berpikir apalagi terkait persoalan pangan di Indonesia, sehingga siapa pun yang membacanya merasa menikmati dan mudah memahami. Ditambah dengan dilengkapinya foto-foto dokumentasi tempat indutrialisasi sagu berada yakni di Distrik Metemani, Kabupaten Sorong Selatan. Kemudian dicantumkannya beragam sumber referensi dari buku, artikel, bahkan wawancara melengkapi pembahasan pangan ini, sehingga bisa dijadikan bahan rujukan para akademisi. Dan tentu desain sampul yang simple dan keren ini sangat enak dipandang serta merepresentasikan isi pembahasan dalam buku ini.
Akhir kata saya kutip dari penulis dan saya tambahkan sedikit: “Sagu sebenarnya bisa mengatasi kebutuhan pangan di Papua, bahkan di Seluruh Indonesia. Kuncinya adalah kembali pada konsep keberagaman pangan bukan keseragaman pangan.”
Profile Image for sasa .
65 reviews1 follower
December 4, 2025
Akhirnya punya kesempatan untuk baca buku iniiiiii. Dapat banyak pengetahuan baru.

Dari buku ini aku tahu kalau salah satu penyebab berubahnya pola konsumsi masyarakat dari sagu ke beras adalah karena obsesi pemerintah terhadap beras. Padahal tidak semua penduduk di Indonesia pemakan beras. Diikuti dengan alih fungsi hutan sagu dengan alasan pembangunan atau produksi sumber pangan lain, padahal sudah ada Perda yang mengatur tentang pelestarian kawasan hutan sagu, tapi yah namanya juga pemerintah, aturan dibuat untuk dilanggar(?) wkwkwkwk. 


Indonesia merupakan negara yang memiliki cadangan sagu terbesar di dunia. Sekalipun begitu, ternyata malah Malaysia yang mendominasi pasar ekspor pati sagu di dunia, padahal luas lahan sagu kepunyaan malaysia tidak sampai 0,1% dari luas lahan sagu Indonesia. Lagi-lagi, what a waste😔
Selain Malaysia, Jepang juga menjadi negara yang paling bersemangat mengembangkan dan meneliti sagu. Indonesia? ga ada yang tau🤷🏻‍♀️


Dibandingkan dengan tanaman pangan lain, sagu tidak bergantung pada cuaca dan iklim, bahkan sebuah penelitian menyebutkan bahwa sagu memiliki daya tahan yang luar biasa terhadap kondisi ekstrim seperti banjir, kekeringan, dan angin kencang. Jika dibandingkan dengan padi, tanaman sagu juga jelas jauh lebih ramah lingkungan karena sifatnya yang melestarikan air dan memerangkap polutan.  
Dari sisi kandungan gizinya, sekalipun kaya akan karbohidrat, ternyata sagu memiliki kandungan protein yang rendah. Hal tersebut menjadikan sagu dianggap inferior dari tanaman pangan yang lain. Kembali ke rendahnya kandungan protein pada sagu, hal tersebut bisa dilengkapi dengan makanan lain sehingga gizinya bisa sempurna.


Dibuku juga disebutkan, hanya sagu saja tidak akan menyelesaikan seluruh persoalan pangan, hal tersebut juga bisa dibarengi dengan pengembangan aneka pangan lokal lain seperti umbi-umbian. Karena sayang banget kan ya negara yang sumber daya alamnya melimpah tapi justru warganya mengalami gizi buruk. 
Profile Image for Stftrns.
69 reviews
March 23, 2025
Buku ini mampu menampar pembaca melalui setiap kalimat dan fakta yang disajikan. Sebagai orang yang hidup dan tinggal di Pulau Jawa, akan sangat asing tentunya pada budaya maupun adat istiadat di Indonesia Timur khususnya Papua. Tapi, buku ini mampu menyadarkan kita bahwa diversifikasi pangan itu penting dan penyeragaman pangan akan sangat berbahaya karena dikhawatirkan dapat menyebabkan ketergantungan. Sama seperti masyarakat Papua yang terjebak dalam jebakan pangan yang pemerintah buat melalui kebijakan-kebijakan yang merugikan masyarakatnya sendiri.

Terima kasih banyak sekali lagi kepada buku ini dan Mas Ahmad Arif yang berani bersuara mengenai pergeseran pola konsumsi masyarakat Papua yang disebabkan oleh program subsidi beras sehingga munculnya ketergantungan pada 1 sumber pangan saja yaitu beras. Beras disebar luas, diversifikasi pangan diabaikan, dan lahan sagu berhektar-hektar dibabat habis untuk pembangunan. Pun sekarang, masyarakat tengah menikmati makan gratis bergizi yang entah apa tujuannya, namun tetap tidak dapat membantu mengurangi stunting maupun memperbaiki gizi buruk.

#IndonesiaGelap
Profile Image for Sarah Reza.
235 reviews3 followers
May 25, 2024
Menurutku, buku ini adalah salah satu buku yang harus dibaca banyak orang. Buku ini memberikan berbagai pengetahuan baru terkait sagu yang bisa dijadikan pangan alternatif selain beras. Mungkin juga bisa menjadi pengingat bahwa sagu tidak hanya menjadi makanan pokok orang Papua saja, tetapi juga di pulau Sumatera dan Jawa sebelum nasi menjadi mkanan pokok di pulau tersebut.
Selama ini aku pemasaran, kenapa papeda dihidangkan bersama gulai ikan. Ternyata karena tempat tinggal orang-orang Papua yang dekat dengan sungai dan laut. Serta, karena habitat asli tanaman sagu yang ada di sekitaran rawa-rawa.
Buki ini juga membahas bahwa sagu tidak hanya menjadi sumber pangan, tetapi juga dijadikan sebagai bagian dari ritual adat. Bahkan, sagu juga menjadi kisah-kisah folklor suku-suku di sekitaran daratan rendah di Papua.
Aku suka buku ini karena juga menampilkan foto-foto serta data-data pendukung yang memaparkan informasi di buku ini. Menurutku, buku ini mematahkan asumsi kalau buku non-fiksi itu bacaan yang berat dan membosankan.
Profile Image for Fitri.
203 reviews
December 3, 2025
starting December with this gem

membaca buku ini sebenernya terbagi jadi 2 sesi: sambil bilang masya Allah ✨️💖 saking terpesona sama gimana Allah menciptakan segala sesuatu dengan detil (mulai dari tanamannya, cara tumbuhnya, mikrobioma di manusianya, sampai bentang alamnya). Dan satu lagi sambil istighfar 😭 segitu besar amanahnya sebagai pemimpin tanah yang kaya, kebijakannya cuma: Let's Eat Rice Everyoneeeee and if we need to diversify your plate we should BUY WHEATSSSS. Dari banyaknya studi yang dikutip di buku ini, jelas banget kalau keputusan pemerintah jarang yang berdasarkan riset yang sudah dibuat tersebut.

Di luar dua hal di atas, buku ini menjelaskan dengan komprehensif manfaat dan potensi sagu, dan juga hal-hal apa saja yang menghambat industrialisasi sagu di Indonesia; selain kebijakan pemerintah, ada juga soal gegar budaya masyarakat adat (dalam hal ini, bahkan memiliki uang pun menjadi sesuatu yang menimbulkan masalah sosial lainnya).
Profile Image for Yusa.
5 reviews
October 18, 2023
"Makanan yang beragam, terutama yang bersumber lokal, dalam artian yang ditumbuhkan di sekitar kita, merupakan kunci bagi masa depan manusia. " - Bagian epilog.


Melalui buku ini, saya mengenal lebih dalam lagi tentang Sagu. Bukunya ditulis dengan rinci dan ditulis berdasarkan riset. Terdiri dari 5 bab.
Buku-buku seperti ini perlu untuk dibaca secara luas, sehingga banyak orang akan lebih sadar terhadap ketahanan pangan di Indonesia.

Akses buku ini juga dipermudah dengan sudah tersedianya ketiga buku dari seri ini di aplikasi ipusnas, yaitu:
1. Sagu Papua untuk Dunia
2. Sorgum (Benih Leluhur untuk Masa Depan)
3. Masyarakat Adat dan Kedaulatan Pangan
Profile Image for Alfi Maulana.
4 reviews
December 20, 2025
Apa yang ingin disampaikan buku ini bagus. Buku ini membuat kita sadar akan bagaimana pentingnya sagu yang selama ini sering dikesampingkan, terutama ketika membahas persoalan ketahanan pangan yang tidak hanya untuk masyarakat Papua tapi juga masyarakat Indonesia dan bahkan dunia.

Hanya saja cara penyampaian dan penulisan buku ini kurang bagus, banyak informasi tidak penting dan angka maupun grafik yang tidak relevan.

Tapi terlepas, buku ini tetap wajib untuk dibaca mengingat belum adanya buku sejenis yang lebih baik dan kurangnya wawasan masyarakat terkait pentingnya hal ini.
Profile Image for Nadhira Salsabila.
3 reviews
February 16, 2024
Buku ini sangat baik untuk menambah wawasan dan membuka mata soal persoalan pangan di negeri ini. Tentang bagaimana obsesi pemerintah atas penyeragaman pangan berdampak pada perubahan konsumsi masyarakat yang berimbas pada kerentanan pangan akibat banyaknya ketidaksesuaian. Penulisannya sangat runtut dan pembaca banyak disuguhkan data kredibel.

5/5 untuk buku ini.

Kalau nanti ada duit, mau beli buku fisiknya untuk kuulang2 supaya ilmu di dalamnya makin meresap hihi
Profile Image for Dini Yulia Putri.
4 reviews
July 7, 2024
4,5/5

Tertarik baca buku ini ketika bukunya lewat tl medsos X yg saat itu ramai membahas debat cawapres.
Bener bener buku yang sangat informatif, dengan bahasa yg sederhana, rapi dan runut, sehingga mudah dipahami orang orang awam seperti saya.
Sagu yang selama ini dianggap salah satu pangan lokal yang inferior, justru bisa menjadi salah satu solusi dari kebutuhan pangan dimasa depan.

Ga sabar buat baca 2 buku lainnya dari seri pangan nusantara ini.
Profile Image for Martinus Danang.
9 reviews3 followers
December 3, 2020
Suatu pengetahuan yang baru bahwa sagu tidak hanya identik dengan Papua saja, tetapi dalam sejarahnya sejak dahulu sudah dimanfaatkan hampir di seluruh Nusantara. Sayangnya candu akan beras dan gandum membuat sagu terpinggirkan. Padahal sagu menjadi salah satu solusi ketahanan pangan Indonesia di masa depan.
11 reviews
June 19, 2023
buku ini oke karena bahas ketahanan pangan, pemanfaatan sagu atau bahkan dari basic nya deh sagu itu apa dan hubungannya sama papua tuh apa, overall oke sih bahasanya ringan dan banyak tabel ilmiah untuk data yang worth it untuk dipahami.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Dii.
64 reviews4 followers
August 27, 2023
Aku ga bosen bacanya dan ngalir gitu aja buka lembar tiap lembar, banyak informasi baru yang aku dapet. Jujur, aku kagum sama penulisannya, ilustrasinya, dan fotonya! INTINYA SECARA KESELURUHAN AKU SUKA!
Profile Image for Safrizal.
9 reviews1 follower
May 10, 2024
Buku ini memberikan gambaran yg objektif tentang sagu, sebagai makanan pertama bangsa Indonesia. Tentu saja juga menjadi gerbang awal untuk membaca literatur & buku lainnya untuk menjawab apa yang sekarang terjadi di Papua.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Finesta Biyantika.
353 reviews
June 18, 2024
"Pengabaian ragam pangan lokal telah mengarahkan Indonesia ke dalam ancaman krisis."

Topiknya relate bgt sama sikon skrg ini yg mana harga beras lg naik bgt hhh tapi industrialisasi sagu ini tantangannya berat cuy, jgn smpe ntar masy adat yg terdesak macem kasus IKN.
Profile Image for Fitriana Salehah.
18 reviews
March 14, 2024
Bagussss banget ini bukunyaa!! Lengkap banget soal sagu di Indonesia, kalian semua wajib baca!!
Profile Image for Asa.
26 reviews
February 16, 2025
I don't think this was very well-written, terutama di bagian awal yang sangat panjang membicarakan sesuatu yang kupikir cukup jauh dari topik utamanya (walaupun sepertinya aku bisa memahami maksud penulis membawa kisah sejarah jauh ke belakang). Tetapi aku sangat mengapresiasi ide, gagasan, dan bahan-bahan diskusi yang dibawa oleh penulis. Buku ini adalah buku yang berhasil membuat aku percaya bahwa perubahan iklim itu nyata, dan membawaku lebih peduli mengenai persoalan pangan.
Profile Image for Rian.
145 reviews1 follower
December 24, 2024
9/10
Sagu tak hanya pangan penting asli Indonesia, tapi juga berpotensi menjawab tantangan pangan modern seperti lingkungan dan kedaulatan pangan.
Buku yang openminding. Semakin sadar bahwa kehadiran beras di masyarakat kita sangat anorganik dan tidak ada alasan untuk tidak mevariasikan sumber bahan pokok (otw membuat papeda).
Buku ini juga membongkar kendala industrialisasi sagu. Aneh rasanya Malaysia yang menjadi eksportir sagu terbesar di dunia, bukan Indonesia.
Minusnya story telling terlalu kaku
Displaying 1 - 29 of 29 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.