Apakah bahasa Indonesia merupakan bahasa yang istimewa? Apakah bahasa Indonesia bisa digolongkan sebagai bahasa modern? Apakah bahasa Indonesia mampu menjawab segala tantangan yang diakibatkan perubahan zaman? Apakah bahasa Indonesia ompong atau sakti? Kacau atau keren? Eksotis atau fantastis? Yahud? Zakiah?
Terus, mengapa susah sekali memesan segelas kopi es di Indonesia? Mengapa pula jarang sekali ada yang lapor keluar dari hotel? Dan apa hubungan di antara bahasa dan gengsi?
Nama Andre Moller tidak asing bagiku. Setidaknya selama aku masih tinggal di rumah, ayah selalu menantikan kolom bahasa yang ditulis oleh Moller di Harian Kompas. Tulisan Moller di kolom bahasa kata ayah memang unik. Sebagai seseorang dengan bahasa ibu bahasa Swedia, Moller mencoba memberikan pandangannya terkait kebahasaan dalam bahasa Indonesia.
Berangkat dari nama Moller itulah, aku mencoba untuk membaca buku ini. Tipis dan ternyata ukuran huruf di dalamnya cukup besar.
Isinya terdiri dari 26 bab, sebagaimana abjad dari hurud A - Z. Moller memilih satu kata yang diawali oleh huruf tersebut, lalu melampirkan definisi yang tertulis dalam KBBI. Selanjutnya, Moller menulis opini terkait pilihan kata itu dan itulah yang menjadi titik menarik dari buku ini.
Moller memaparkan pendapatnya dengan runut dan terang. Bahkan ia berusaha seminimal mungkin untuk menggunakan istilah dalam bahasa asing. Kalau memang sudah ada bahasa Indonesia-nya, ya tentu Moller lebih memilih menggunakan padanan kata tersebut.
Yang aku segan dari Moller adalah ia juga menyarankan pembaca untuk membaca buku Ivan Lanin yang berjudul Xenoglosofilia sebagai pelengkapnya.
Malah menurutku, membaca tulisan Moller dan Ivan Lanin bak melengkapi satu sama lain. Aku memang sengaja membaca buku ini sebelum memulai membaca Recehan Baca (Lanin, 2020).
“Sebuah bahasa yang hidup memang selalu berubah-ubah dan berkembang, tapi tidak semua perubahan dan perkembangan yang harus dianggap sebagai kemajuan.”
Jadi… dari total 110.000 kata dalam KBBI, kamu termasuk golongan yang campur sari dalam berbahasa (menggunakan bahasa asing/daerah) atau sebaliknya, berusaha keras selalu menggunakan bahasa ini dalam segala kebutuhan? Mencoba setiap padanannya meski kemungkinan besar orang lain tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan. Misal, memakai tembolok alih-alih cache, layar sentuh daripada touch screen dst. Nah, persoalan itu biarlah jadi keputusan masing-masing kita.
Ajaib, Istimewa, Kacau adalah buku yang buatku pribadi menggelitik karena ditulis oleh orang Swedia. Betul, Andre Moller mengklaim sudah menggunakan bahasa ini selama 20 tahun lebih. Sempat kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta, menulis disertasi tentang Ramadhan di Jawa, menikahi orang Indonesia, dan uniknya sempat menjadi kolumnis aktif di Harian Kompas. Indonesia bukan bahasa ibunya tapi cukup banyak waktu dilalui untuk menuturkan bahasa ini. Poin yang paling menarik perhatianku tentang:
“… pencarian ini bisa dalam bahasa Indonesia, tapi bisa juga dalam bahasa-bahasa daerah. Rugilah Indonesia jika bahasa-bahasa daerah akhirnya hanya jadi bahasa lisan yag tidak mengontribusikan apa-apa kepada bahasa nasional.”
Gagasan yang bagus. Iya ya, kenapa tidak memberdayakan bahasa-bahasa yang bahkan jauh lebih tua dan mungkin lebih kaya(?) untuk dijadikan padanan dari bahasa asing yang kemudian masuk? Aku setuju sekaligus tidak. Rasanya akan rumit untuk membuat orang Indonesia sepakat untuk menggunakan padanan yang diambil dari bahasa daerah. Aku pikir, rasa kepemilikan atas padanan bahasa daerah hanya relevan bagi mereka yang menuturkannya. Aku belum mencari tahu lebih soal ini, adakah bahasa daerah yang digunakan sebagai padanan bahasa asing dan efektif dalam arti dikenal, dipakai, diakui publik?
Bahasan lain yang seru jika adalah ketika penulis menyinggung bahwa rasa malas merupakan salah satu alasan kenapa bahasa asing ditelan begitu saja oleh kita—aku ikut-ikutan berpikir kata apa selain check-in yang ternyata belum ada padanan bahasa Indonesianya… ini trivia yang menarik untukku pribadi yang punya kegemaran membaca kamus.
Terakit persoalan ini sebenarnya aku agak menyipitkan mata karena tidak tahu harus setuju atau sebaliknya karena banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Seharusnya ada faktor x lain selain mentalitas yang membuat kita seperti ini. Selain kemalasan mencari dan memakai padanan yang sudah ditemukan, selama membaca buku ini aku jadi kepikiran tentang mengapa tidak terlalu peduli bagaimana bahasanya dipakai di luar bangku sekolahan. Misal: pemakaian kata dirgahayu. Juga fenomena di kehidupan lain misal pemakaian kata antara absen, absensi dan nitip absen yang diantara ketiganya memiliki makna yang saling berlainan. Buku ini bagus karena memancingku untuk mengkritisi fenomena ‘remeh’ seperti bahasa sehari-hari.
Tipis, padat, dan esai-esai di dalam buku ini kadang berupa opini yang kerap ditekankan oleh penulis dengan “menurut saya, bagi saya,” dsb seolah penulis sadar sepenuhnya dengan sentimen yang ditimbulkan dari tulisan-tulisannya. Dari opini yang dilontarkan seorang bule pada bahasa yang kompleks ini. Sisanya, esai berupa memoar yang mengisahkan perjalanan penulis dalam mengenal, mempelajari, dan menuturkan bahasa Indonesia.
Pada awalnya saya tertarik mengulas buku ini karena saya pernah membaca buku Ivan Lanin yang berjudul “Xenoglosofilia – Kenapa Harus Nginggris?”. Buku tersebut menekankan pada permasalahan orang Indonesia yang lebih senang menggunakan istilah bahasa Inggris padahal sudah ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Di dalam bukunya, Ivan Lanin juga mengutarakan pendapatnya untuk istilah-istilah baru terutama istilah yang berkaitan dengan Teknologi Informasi.
Seperti buku Xenoglosofilia, buku Ajaib, Istimewa, Kacau juga ditulis untuk menjawab permasalahan yang sama. Perbedaannya adalah buku ini ditulis dari perspektif orang yang bahasa ibunya bukan bahasa Indonesia. André Möller lahir di Swedia dan ia jatuh cinta pada bahasa Indonesia karena ‘ketidaksengajaan’, yaitu pada saat pesawatnya harus transit di Bali dalam perjalanannya ke Australia. Sejak saat itu, ia mempelajari bahasa Indonesia hingga kini sering menulis kolom bahasa di surat kabar dan pernah menerbitkan kamus Swedia-Indonesia.
Menurut pandangan saya, buku ini ringan dan mudah dibaca oleh segala kalangan. Seperti judulnya, buku ini ditulis berdasarkan susunan abjad, dari “A” yang diwakilkan oleh kata “Aneh dan Ajaib” hingga “Z” yang diwakilkan oleh kata “Zakiah”. Setiap kata tersebut merepresentasikan sifat bahasa Indonesia. Misalnya, pada saat pembahasan di huruf “C” mengenai "Cukup", penulis menyampaikan bahwa bahasa Indonesia sebenarnya bisa memenuhi segala kebutuhan bahasa yang muncul dalam kehidupan modern. Bayangkan kita baru tiba di hotel, pasti kata pertama yang kita akan sampaikan adalah check-in, padahal ada istilah bahasa Indonesia untuk hal ini: lapor masuk, begitu pula dengan check-out: lapor keluar. Di edisi terakhir Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ada lebih dari 110.000 kata berbahasa Indonesia, maka jangan salahkan bahasa Indonesia kalau kita tidak bisa menemukan kata yang tepat.
Hal menarik yang saya temukan dalam buku ini adalah penulis tidak segan menceritakan kesulitannya saat mempelajari bahasa Indonesia. Bagi kita yang sudah belajar bahasa Indonesia dari kecil, pasti tidak akan merasa aneh dengan pengulangan atau reduplikasi kata. Akan tetapi, hal ini menjadi tantangan bagi orang asing. Misalnya, buku-buku merupakan bentuk jamak dari buku, tapi kalau kata mata diulang menjadi mata-mata maka artinya menjadi berbeda.
Selama saya membaca buku ini, saya jadi merasa malu dengan pengetahuan saya mengenai bahasa Indonesia. Setelah membaca buku ini, saya menjadi termotivasi untuk menulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar (semoga ulasan buku ini sudah memenuhi kriteria). Selain itu, saya juga kagum dengan rasa nasionalisme yang terus disampaikan oleh penulis dalam buku ini. Kalau orang asing saja begitu cinta dengan bahasa Indonesia, kenapa kita tidak bangga menggunakan bahasa sendiri?
Sebagai penutup, berikut saya kutip beberapa garis merah yang disampaikan oleh penulis:
1. Bahasa Indonesia yang kita pakai dan cintai ini adalah bahasa yang mencukupi (hampir) segala kebutuhan para penuturnya.
2. Pentingnya bahasa Indonesia untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan ini berlaku pada zaman dulu, zaman sekarang, dan zaman nanti.
3. Pentingnya menanamkan pada anak-anak bahwa bahasa Indonesia ini keren dan seru.
Saya ketika membaca buku ini serasa membaca testimoni orang asing yang sedang belajar bahasa Indonesia. Ada hal-hal jenaka yang membuat saya senyum-senyum kala membacanya. Ada juga tulisan yang membuat saya heran, ironis sekaligus mempertanyakan: apakah selama ini orang Indonesia masih kurang percaya diri menerapkan bahasa Indonesia dalam keseharian? Atau, lebih karena alasan gengsi untuk menunjukkan identitas bangsa yang sesungguhnya?
Kemudian uraian pada setiap bab buku setebal 173 halaman ini memang singkat, tapi cukup memikat dengan contoh-contoh yang relevan dengan kehidupan masa kini. Misalnya, penjelasan terkait penggunaan kata/istilah asing. Kebanyakan orang Indonesia lebih merasa keren ketika mereka menggunakan kata online, offline, gadget, download, upload, selfie, preview, dan wireless daripada daring, luring, gawai, mengunduh, mengunggah, swafoto, pratayang, dan nirkabel.
Bagaimanapun dan apapun, setelah membaca buku ini saya jadi terketuk untuk kembali mempelajari dan "mengistimewakan" bahasa resmi dan/atau bahasa nasional negara ini. Bahasa Indonesia.
Sebab "..tingkat keistimewaan sebuah bahasa antara lain dapat diukur oleh tingkat kebanggaan para penuturnya. Bahasa Indonesia jadi istimewa kalau kita semua mengistimewakannya." (hlm.77)
Konsepnya menarik, mendeskripsikan bahasa Indonesia dengan kata-kata berakhiran A sampai Z. Melihat tulisannya, saya setengah nggak percaya bahwa sang penulis adalah orang berkebangsaan Swedia. Tetapi ini adalah kenyataan. Kenyataan yang terkadang membuat saya terpukul: orang asing saja bisa berbahasa Indonesia dengan baik, mengapa kita sebagai orang Indonesianya sendiri tidak bisa? Bahkan tidak bangga menggunakan bahasa Indonesia.
Membaca kalimat sambutan saja sudah membuat saya merasa bangga karena saya memang tertarik untuk membaca buku ini setelah melihat judul bukunya. Namun, saya tidak habis pikir mengapa e-book ini masuk kategori 'Humor & Comedy' di aplikasi Gramedia Digital. Hmm...
Tak apa. Kesalahan itu yang membuat saya menemukan e-book ini. Niat awal ingin bacaan yang ringan dan jadilah melihat-lihat ebook di kategori 'Humor & Comedy'.
Membaca buku ini sama sekali tidak membosankan. Meskipun sewaktu membaca buku ini saya masih berpikir positif dan mencari di mana sisi lucunya yang mengindikasikan 'Humor & Comedy' tetapi itu memang nihil.
Penulis mengajak pembaca untuk ikut merenungkan setiap kata yang diambil dari 26 huruf abjad dari A-Z. Saat membacanya membuat saya ber-oh-ria dan mengangguk-angguk.
Ada pembahasan asal usul kata bule yang sudah membuat saya penasaran selama ini karena sudah mencari-cari di Google tetapi tidak ada. Ternyata bule berasal dari bulai yang artinya albino, yaitu penderita kekurangan pigmen. Wow!
Salah satu ciri utama sebuah bahasa hidup adalah bahwa ia mampu berkembang dan bergerak ke depan. Maksudnya "berkembang" di sini bukan kemampuan menyerap istilah-istilah bahasa asing secara tidak kritis dan mengatakan bahwa istilah-istilah tersebut sekarang telah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, melainkan mencari dan menggunakan padanan kata yang tepat.
Pernah ke hotel? Kalau pernah ke hotel pasti check-in lalu check out kan? Penulis mencoba berpendapat bagaimana kalau check-in diubah menjadi lapor masuk dan check-out disebut lapor keluar. Boleh juga nih pendapatnya.
Kata download, upload, online dan offline pun tak lupa dibahas. Saya juga termasuk orang yang masih berjuang lebih memilih menggunakan kata unduh daripada download dan unggah dibandingkan upload. Kalau offline dan online saya sih masih pakai kata itu. Ups... Maaf.
Kata canggih yang berarti sangat modern, rumit ruwet, atau berkembang pun memiliki tesaurus yang berarti cerewet, bawel dan ribut. Saya masih ingat bagaimana terheran-herannya saya dan seluruh teman sekelas saat ibu guru bahasa Indonesia kami memberitahu arti lain itu. "Masa iya sih itu artinya? Waaah" Dibenak kami si anak SMA. Ternyata itu terbukti di buku ini. Mantap sekali ilmu bu guru.
Pada bagian ke 07 huruf G. Penulis memilih kata Gampang (Gampang-Gampang Susah). Dan itu pula pendapat saya terhadap Bahasa Indonesia. Hmm. Saya merasa mudah dan merasa sulit secara bersamaan. Itulah sebabnya saya tidak pernah mendapat nilai sempurna untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dan semakin tidak yakin lagi saat keponakan saya menanyakan tentang tugas Bahasa Indonesianya karena saya merasa tidak tahu pasti bagaimana yang tepat. Berbeda dengan mata pelajaran lainnya.
Entah ini kebetulan atau bukan penulis bahkan membahas penulisan "Dirgahayu HUT RI ke-73" yang ternyata salah dan saya membaca buku ini pas sekali besok tanggal 17 Agustus 2020. Sip, ini bisa jadi bahan untuk update status (apa padanan kata dalam bahasa Indonesianya? 'memperbarui status' kah?)
Contoh: "Selamat HUT ke-75 Republik Indonesia"
Saya juga baru tahu penulisan Idulfitri dan Iduladha harusnya menyambung karena kata idul bukan kata bahasa Indonesia, maka keempat huruf ini selalu harus ditulis serangkai dengan kata yang diikutinya. Wah, bagus. Ini bisa jadi bahan untuk ucapan lebaran tahun depan. Semoga masih diberi kesempatan umur yang panjang. Aamiin.
Penulis juga menekankan bahwa bahasa resmi tidak berarti lebih baik dan bagus daripada bahasa nonresmi, tapi hanya tempat, waktu, dan cara penggunaannya berbeda. Harapan penulis, anak-anak muda bisa mengerti perbedaan ini supaya kekayaan bahasa Indonesia bisa dilestarikan bersama dengan etiket berbahasa dan kesopansantunan. Kan kata orang, bahasa menunjukkan bangsa.
Saya sangat menyukai buku ini. Apalagi ukuran hurufnya yang besar-besar membuat saya menjadi lebih nyaman saat membacanya di gawai.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Seperti judulnya "A sampai Z", Moler yang berasal dari Swedia mengulas bahasa kita, Bahasa Indonesia. Ia menampar kita sebagai penuturnya. Ia mempertanyakan apakah kita bangga dengan Bahasa Indonesia?
Dalam setiap sub bab yang mengambil kata-kata dalam Bahasa Indonesia dari ke-26 alfabet, ia mengungkapkan tentang banyak hal.
Salah satunya ialah keistimewaan. Baginya bahasa istimewa karena penuturnya. Namun, apakah kita sudah bangga?
Pasalnya kita sebagai penutur Bahasa Indonesia acapkali menggunakan kata yang berasal dari bahasa asing padahal kita sendiri sudah punya.
Ia juga menyinggung soal kebingungan bahasa kita yang gado-gado. Persoalan sepele pun ia bahas di dalam buku ini. Iya, persoalan "di" dan "di-", untuk menunjukkan tempat dan imbuhan kata kerja.
Rasanya baca ini disadarkan soal ketidaktepatan kita dalam berbahasa Indonesia. Namun, kita lah yang menyepelekannya dan juga menyelamatkannya.
"Bahasa menunjukkan bangsa." Barangkali kalimat ini yang paling saya ingat dari buku ini. Bagi saya, baca buku ini cukup membuat saya 'malu' dan 'khilaf' atas kehidupan berbahasa saya selama ini yang ternyata kurang menunjukkan ciri-ciri kebanggaan dalam berbahasa.