Ibarat pisau bermata dua: ia bisa menjadi organ tubuh paling taat, atau menjadi yang paling bermaksiat; mendorong pemiliknya untuk mengorbankan jiwa dan raga, atau membujuknya menjadi pecundang; memotivasi kekerasan tanpa belas atau pengabdian tanpa batas.
Imam Ibn Rajab al Hanbali (736 - 795 AH) He was the noble Imaam, the Haafidh, the Critic, Zayn-ud-Deen ‘Abdur-Rahmaan bin Ahmad bin ‘Abdir-Rahmaan bin al-Hasan bin Muhammad bin Abil-Barakaat Mas’ood As-Salaamee Al-Baghdaadee (due to his place of birth), Al-Hanbalee (due to his madh-hab), Ad-Dimashqee (due to his place of residence and death). His kunyah was Abul-Faraj, and his nickname was Ibn Rajab, which was the nickname of his grandfather who was born in that month (of Rajab).
He was born in Baghdad in 736H and was raised by a knowledgeable family, firmly rooted in knowledge, nobility and righteousness. His father played the greatest role in directing him towards the beneficial knowledge.
Al-Haafidh Ibn Rajab, may Allaah have mercy on him, was deeply attached to the works of Shaikh-ul-Islaam Ibn Taimiyyah, for he would issue legal rulings according to them and would constantly reference his books. This is since he served as a student under Ibn Qayyim al-Jawziyyah, the most outstanding student of Shaikh-ul-Islaam Ibn Taimiyyah, may Allah have mercy on all of them. But in spite of this, he (rahimahullaah) wasn’t a blind follower or a fanatical adherent (to his teacher). Rather, he would review, authenticate, verify and follow the evidences.
Al-Haafidh Ibn Rajab, may Allaah have mercy on him passed to the realm of the Akhira in Ramadaan, 795H. He died while in Damascus.
i love the book so! berisi 16 bab super dasar tapi terasa dikupas lebih berkesan—bagi awam macam saya— dengan penjelasan yang mudah; diawali niat diakhiri taubat. kualitas tiap kutipan hadits ditulis di catatan kaki.
Ada satu proses yang tak bisa berhenti dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya, proses itu adalah tazkiyah an-nafs (membersihkan jiwa). Sebab di dalam diri manusia ada yang namanya hati, hati inilah barometer apakah akan baik perilakunya atau tidak.
Kalau hati rasanya sudah tak tenang, lelah mengejar dunia, berlaku baik bila dilihat manusia, atau bahkan merasa sedih atas kesenangan orang lain, yuk cek kembali hatinya. Buku ini bisa menjadi jalan untuk kita memahami apa yang perlu dibenahi. Buku 184 halaman ini, merangkum karya Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibu Qayyim Al-Jauziyah, dan Imam Al-Ghazali yang memuat sumber yang shahih.
"Hati yang sehat selalu mengutamakan "makanan" yang bermanfaat daripada racun yang mematikan. Makanan terbaik adalah keimanan. Obat terbaik adalah Al-Qur'an."
Selama membaca buku ini, setiap kalimatnya rasanya sangat berharga dan bisa menjadi bahan introspeksi diri. Dengan harga terjangkau, tapi kualitas sangat baik buku ini layak dimiliki.
"Sesungguhnya telah mendapat kemenanganlah orang yang membersihkan (jiwa)nya. Dan merugilah orang yang mengotorinya." (Asy-Syams: 10)
Buku yang sangat bagus, saat keadaan hati sedang tidak baik-baik saja. Ada perasaan membandingkan hidup, FOMO, gampang marah ternyata itu semua berkaitan dengan keadaan hati kita. Sebagaimana kita harusnya sering-sering untuk menyucikan jiwa layaknya memberi makan pada jasmani.
Kalau ada lambang infinity disini mungkin saya kasih infinity saja. Karena ilmu agama itu sesuatu yang harus kita pelajari berulang-ulang sampai akhir hayat. There’s no limitation on it! Semoga yang baca buku ini bisa mengamalkan apa-apa saja yang sudah dipelajari disini dengan baik. Aamiin 🤲
I wish that I read this book earlier in my life. This book is important to set the foundation as a good muslim. I think, we need to put this into reading regiment in high school.