“Kita kan hanya perempuan rampasan belaka, Den Rara. Kenapa Den Rara tidak mau dipersunting Tumenggung yang kuasa dan kaya raya? Kan enak nanti.” “Tubuh dirampas memang. Tetapi hati tidak.” Genduk Duku, yang menjatuhkan dirinya dalam pangkuan puannya, dibelai rambutnya. “Nduk, Gendukku sayang. Sebentar lagi kau akan menjadi wanita cantik juga. Tidak mudah menjadi wanita cantik, Nduk. Tidak mudah. Apalagi di kalangan istana. Di sini kita menjadi barang hiburan belaka. Di luar kita lebih mudah jadi orang.”
*
Rara Mendut, wanita rampasan yang menolak diperistri oleh Tumenggung Wiraguna demi cintanya kepada Pranacitra. Dibesarkan di kampung nelayan pantai utara Jawa, ia tumbuh menjadi gadis yang trengginas dan tak pernah ragu menyuarakan isi pikirannya. Sosoknya dianggap membangkang tatanan di lingkungan istana, di mana perempuan diharuskan bersikap halus dan patuh.Tetapi ia tak gentar. Baginya, lebih baik menyambut ajal di ujung keris Sang Tumenggung daripada dipaksa melayani nafsu panglima tua.
Rara Mendut merupakan novel pertama dari Trilogi Rara Mendut, mahakarya Y.B. Mangunwijaya. Sebuah narasi yang tidak hanya mengisahkan tumpang tindih hidup manusia, juga dengan apik menyinggung sejarah Tanah Jawa, keberanian perempuan, dan protes atas ketidakadilan.
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya was an architect, writer, Catholic priest, and activist. Romo Mangun (Father Mangun) was publicly known by his novel "Burung-Burung Manyar" which was awarded Ramon Magsaysay Award for South-East Asia Writings on 1996.
Not only active in the fiction genre, Romo Mangun also wrote many non-fiction and architectural works such as "Sastra dan Religiositas" [tr.: Literature and Religiosity] which won The Best Non-Fiction prize in 1982.
Bibliography: * Balada Becak, novel, 1985 * Balada dara-dara Mendut, novel, 1993 * Burung-Burung Rantau, novel, 1992 * Burung-Burung Manyar, novel, 1981 * Di Bawah Bayang-Bayang Adikuasa, 1987 * Durga Umayi, novel, 1985 * Esei-esei orang Republik, 1987 * Fisika Bangunan, buku Arsitektur, 1980 * Gereja Diaspora, 1999 * Gerundelan Orang Republik, 1995 * Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa, novel, 1983 * Impian Dari Yogyakarta, 2003 * Kita Lebih Bodoh dari Generasi Soekarno-Hatta, 2000 * Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan: renungan filsafat hidup, manusia modern, 1999 * Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia, 1999 * Menjadi generasi pasca-Indonesia: kegelisahan Y.B. Mangunwijaya, 1999 * Menuju Indonesia Serba Baru, 1998 * Menuju Republik Indonesia Serikat, 1998 * Merintis RI Yang Manusiawi: Republik yang adil dan beradab, 1999 * Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein, 1999 * Pemasyarakatan susastra dipandang dari sudut budaya, 1986 * Pohon-Pohon Sesawi, novel, 1999 * Politik Hati Nurani * Puntung-Puntung Roro Mendut, 1978 * Putri duyung yang mendamba: renungan filsafat hidup manusia modern * Ragawidya, 1986 * Romo Rahadi, novel, 1981 (he used alias as Y. Wastu Wijaya) * Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, novel trilogi, 1983-1987 * Rumah Bambu, 2000 * Sastra dan Religiositas, 1982 * Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat, 1999 * Soeharto dalam Cerpen Indonesia, 2001 * Spiritualitas Baru * Tentara dan Kaum Bersenjata, 1999 * Tumbal: kumpulan tulisan tentang kebudayaan, perikemanusiaan dan kemasyarakatan, 1994 * Wastu Citra, buku Arsitektur, 1988
I've heard of the name Roro Mendut several times but never knew the full story behind this so-called strong and rebellious girl. Furthermore, I've always wanted to read a book by Y. B. Mangunwijaya. I couldn't find Burung-Burung Manyar, but I found the first book of Roro Mendut's trilogy instead, so it was time to read it.
This story is set in the 17th century during the reign of Sultan Agung of Mataram (ruled 1613 - 1645). The Sultanate of Mataram gradually expanded out of its base in Central Java into both eastern and western Java. Wikipedia tells me that the Sultanate of Mataram was the last major independent Javanese kingdom before Dutch colonization. While reading Roro Mendut, I noticed how the Dutch (VOC) were only mentioned a few times, they were not the focus of the story and not even perceived as a threat.
Roro Mendut is a girl from the northern coast. She lives with her uncle and aunt, and she regularly helps her uncle on his fishing expeditions. She loves the ocean and the beach. One day, the fishing village is visited by soldiers. They have orders to bring Roro Mendut to the king of Pathi, who wants her to become one of his concubines. Rumors about Roro Mendut's beauty have spread, but the reader quickly realizes that it is her character which is remarkable. She is strong-willed, outspoken and quite fearless. She is brought to the kingdom of Pathi, which is rebelling against the bigger Sultanate of Mataram. Before the king of Pathi can even look at Roro Mendut, he dies in the battlefield against Mataram. So, Roro Mendut is whisked off again to become the concubine of Sultan Agung of Mataram.
In the meantime, she has met Genduk Duku and Ni Semongko. The former is a young girl who becomes Roro Mendut's attendant, while the latter is an older lady who is responsible for teaching Roro Mendut about palace life. They form deep relationships. Genduk Duku is one hilarious girl and even though Ni Semongko tries to be tough, she often succumbs to the two girls' jokes and is quite funny herself too. I enjoyed reading their banter, which I didn't expect of people in the 17th century! I also loved Ni Semongko's story of how Dewi Umayi gave birth to Batara Kala (a wayang story).
Sultan Agung of Mataram falls deeply in love with Roro Mendut. Even though he is one of the most powerful people in the kingdom, he doesn't want to "rape" Roro Mendut. It would make him look bad and he cares so much about his reputation. Moreover, he views Roro Mendut as an exciting challenge. She is a metaphor for the coastal towns that constantly rebel against his authority. He wants Roro Mendut to succumb, but that is the last thing she has in mind of doing. She is a teenage girl and is clearly not attracted to an older man (50s-60s) who is undergoing a midlife crisis. Roro Mendut wants to fall in love with a good-looking, young man closer to her age. That's where her legend comes from. Despite the king's high position, we see Sultan Agung's vulnerable and spoiled side. How his attendants and wives talk to him is quite funny because they try so hard to please and not offend him. Sultan Agung's head wife, Nyai Ajeng is initially jealous of Roro Mendut, but quickly succumbs to her personality and develops a soft spot for her. Roro Mendut meets many of Sultan Agung's concubines, but is mostly taken by Putri Arumardi. While reading this, I really felt like I was in the inner courts of a 17th century Javanese kingdom.
Now I get the reference of Roro Mendut in Ratih Kumala's Gadis Kretek. I understand why Roro Mendut is seen as a strong rebel girl. Even though this is a work of fiction heavily influenced by a classic story, it provides an amazing look into gender relations before Dutch colonization. This book is also a reflection on power, greed and desire. The ending was really unexpected, but good. I will definitely read the second book of this trilogy.
"Ah, sebetulnya ibunya terlalu berlebih-lebihan. Itulah celakanya kalau orang jadi pedagang belaka. Kaya uang dan intan berlian, tetapi miskin terhadap harta puisi dan kekayaan-kekayaan batin yang membuat manusia mengatasi waktu, mengalahkan ruang; seolah-olah sudah diperkenankan mencicipi keabadian." (Pronocitro's reflection about his mother and traders in general, how narrow their view on life is because it is just dominated by money)
"Batara Guru tidak kurang ajar, tetapi Alam yang belum terkendali, daya penuh kekuasaan dan kedaulatan telanjang, namun penuh nafsu juga yang dapat merusak bila tidak menerima perimbangan yang lebih luhur." (reflection on nature and the need for a higher power in order to not self-destruct)
Inilah Mendut, gadis pantai yang terpaksa diboyong ke pedalaman. Kontestasi budaya pantai dan pedalaman. Kontestasi tentang halus dan kasar, tentang urakan dan miyayeni. Semuanya berlangsung di tengah bangkitnya sebuah dinasti (baru) di tanah Jawa. Naratornya Romo Mangun.
Baru memasukin bab Wiraguna gandrung. Ceritanya ada yang mirip dengan laporan Kapiten Jambi, seorang utusan Belanda yang sahabat Amangkurat I. Romo Mangun mengutip kekaguman Kapiten Jambi akan keterampilan prajurit Mataram dalam berkuda. Istilah saya sih seperti naik sepeda lepas tangan. Menunggang kuda yang tali kekangnya pendek dan diikatkan disabuk. Untuk mengendalikan kuda, gerak badan jadi kuncinya. Sehingga tangan penungganya bisa bebas memegang senjata bahkan berdiri di atas punggung kuda. Cerita yang ada di buku Bianglala Sastra, hasil peng-Indonesia-an oleh Dick Hartoko.
Belum habis memang, hanya Romo Mangun sepertinya kok bernada lebih Mataram daripada pesisir yang ingin digambarkan melalui sosok Mendut. Atau bagaimana sih yang Jawa itu? Semoga tidak terjebak dalam pertanyaan tidak perlu, karena toh kalau menurut dongengan tidur saya, Jawa Kawi itu malah lebih mirip Bahasa Jawa Banyumasan. Sehingga kuthonegoro berangkat dari sebuah sophistikasi atas apa yang ada terdahulu.
Tanpa perlu memusingkan hal yang menurut saya artifisial, ini buku sepertinya cerita tentang orang-orang jawa itu atau orang jawa-jawa itu. Tepatnya yang mana, mending lanjutkan membacanya. Update 10 Juni 08
Mendut makin gigih menolak Wiroguno. Pronocitro sudah muncul
(Penonton tepuk tangan. Serasa Bari Prima muncul pas nonton Misbar)
*upadte 17 Agustus 2008*
sebentar lagi tamat. Baca yang trilogi udah menjelang Lusi Lindri jadi prajurit pengawal Amangkurat I.
*update 18 Agustus 2008*
100 pages to go!!! Sumangad ceuk Abah mah...
Romo Mangun dibalik liuk petatah-petitih dan penggambaran romansa yang njawani telah berhasil membuka gerak jaman dari sebuah dinasti. Bergerak naik ketika dongeng Mendut mengambil tempat, berujung pada intrik dan darah di era Lusi Lindri.
Detik-detik 100 halaman terakhir terasa sulit meredakan letupan suluk realisme kultural Ki Dalang Mangunwijaya. Di tangan Ki Dalang dongeng masa lalu bukan candu tempat mengenang gilang gemilang kaum istana, tetapi juga kiprah para jelata. Bukan tempat ngelangut mencari mitos masa lalu. Dalam sebuah realisme kultural, menengok ke masa lalu membutuhkan sebuah keberanian untuk bisa lebih sehat menatap adanya kita saat ini.
Masa lalu bisa menjadi candu jika hadir sebagai mitos, tetapi ia akan menjadi cambuk kesadaran bagi setiap bangsa akan putaran roda jaman jika sanggup menelusup dalam warna-warni jaman sewajarnya.
Mau namatin, tapi kerjaan wajib menunggu. Selain masih meletup-letup semangatnya. Ujung minggu ini bisa kelar lah!
*FINISH* ketika buku ini habis saya baca, saya diam menahan napas. Sempat ada ganjalan dengan fiksionalisasi tokoh yang agak berlebih dan kemudian sepertinya dipaksa. P. Selarong yang ingin menikah dengan Nyi Genduk Duku, hehehe kalo iya, perlu ada pelurusan sejarah. Lusi Lindri dan Suaminya Kangmas Peparing beserta kaum Teposono mengintai Amangkurat yang mengungsi berkendara gajah dengan pusaka meninggakan istana dari serbuah Kaum Kajoran dan Trunojoyo. Kalo iya menyerbu dan mengambil pusaka, lanjutannya bisa fenomenal: Susuhunan Peparing dan Kanjeng Ratu Lusi Lindri harus ada dalam cerita babad.
Tapi tidak, Mangunwijaya cukup sabar untuk menjadikan tokoh-tokohnya semata teropong kritis ke masa itu. Genduk duku tetap memilih diam di Tidar, tanah perdikan dari Mataram yang sedang diambang senja. Lusi Lindri dan Peparing pun menyertainya, meninggalkan kaum Teposono terus bergerilya atas nama keturunan Ki Ageng Giring.
Dari ketiga buku ini saya tetap terpesona dengan bagian akhir dari tiap bukunya. Mendut yang berakhir di tepian samudera, Genduk Duku di Puri Wirogunan dengan murka yang empu Puri, dan Lusi Lindri di Istana Plered yang merah terbakar. Akhir tiap buku merupakan gong dari keseluruhan pesan yang terdapat dalam tiap buku.
Pemilihan tokoh Genduk Duku sebagai penerus tradisi kemerdekaan hati Mendut oleh Ki Dalang Mangunwijaya sangat tepat. Seorang putri lincah bukan pewaris darah jawa tetapi sangat mencintai putrinya yang berdarah pantai. Kemerdekaan dan kegesitan Genduk Duku diwarisinya dari Bima, Kepulauan Nusa Tenggara, meski telah lama terdampar di tanah Mataram ia bisa tetap trengginas menunggang kuda. Bersamanya hadir pilihan jiwa sederhana, Slamet. Ah saya suka, ada nama sederhana yang berarti mulia di tengah segala macam nama yang sarat embel-embel. Pun ketika anaknya dinamai Lusi (lepas dari bahaya), nama pendampingnya lebih saya suka, Peparing. Nama yang terakhir berapa kali saya sebut...memang pas ditelinga dan gambaran seorang keturunan P. Tepasana yang sederhana bekerja sebagai penjaga Segarayasa.
Sebelum saya sadar sudah dekat ke ujung, saya masih berharap Romo Mangun jangan berhenti mendalang. Berharap ia terus mendalang karena akhir cerita Lusi Lindri adalah awal dari jaman goro-goro. Lusi Lindri berakhir, tanah jawa baru saja memasuki jaman goro-goro baru yang sebaiknya dilanjutkan dengan buku War, Culture and Economy in Java, 1677-1726: Asian and European Imperialism in the Early Kartasura. Tapi tentu saja saya tetap akan kehilangan langgam dan suluk dari Ki Dalang Mangunwijaya, karena Ki Dalang M. C. Ricklefs tidak mengenal suluk dan langgam dalam mendalang. Tradisi mendalangnya beda.
Duh, demi menenangkan diri dari rasa lepas yang aneh ini, buku habis kok malah sedih walau tentunya tetap senang, saya akan berdiam diri. Menikmati sayup tembang dari Ki Dalang Mangun.
“Harus diakui, Rara Mendut menang gemilang. Kemenangan Rara Mendut pada hakekatnya kemenangan kaum wanita juga. Hal itu sangat terasa oleh Nyai Ajeng, yang selain wanita cantik, bernalar cerdas juga. Ada dalam diri seorang istri, yang mendorongnya membela suami. Akan tetapi dalam banyak segi, setelah kedudukan dan penghargaan selaku istri ataupun ibu tercapai, maka segi wanitalahh yangakan lebih berbicara. Bagaimanapun, Rara Mendut dalam mata Nyai Ajeng toh semacam pahlawan juga. Pemberang, ya, tetapi tanpa wanita semacam Mendut itu, kaum perempuan tetap tinggal lumpur sawah yang hanya bertugas menumbuhkan padi. Dihargai memang, tetapi tetap diinjak-injak kerbau dan dicangkuli seenak petani. Dipuja puji keindahan sawah-sawah dan petak-petak penuh air dan yang mencerminkan angkasa pada permukaannya. Kebanggaan Jawadwipa, “loma boma-bumi, luber boja brana, dyah endah biyung mbrumbung” tetapi tetap lumpur yang terinjak dan tercangkuli, tanpa hak apapun dan yang hanya bertugas, ‘sendika’.”
Mendut, gadis pesisir utara menarik hati Adipati Pragola dan dipoles menjadi seorang Rara di Puri Pati. Pati kalah perang, Rara Mendut diboyong ke kota raja, menjadi rampasan perang Kerajaan Mataram, lalu diambil sebagai calon istri oleh Tumenggung Wiraguna. Roman Rara Mendut dan Pranacitra—buku pertama dari trilogi—menjadi awal sebuah cerita memukau tentang keteguhan perempuan, kerumitan kerajaan dan budaya Jawa, serta tumpang tindih kehidupan manusia.
Megah sekali. Awalnya agak malas karena bahasanya yang terlalu kewayang-wayangan dan nJawa (sudah terbiasa membaca buku yang lugas). Tapi ternyata itu yang menjadi pelengkap keotentikan suasana Jawadwipa di saat raja-rajanya masih berkuasa.
Dicampur bahasa Jawa dan Indonesia, obrolan riuh, macapat, dan nada-nada gendhing bersaut-sautan setelah Rara Mendut diboyong ke Mataram. Meriah sekali. Baik di dalam kepurian dan kekratonan yang penuh unggah ungguh, atau pun rakyat diluar yang penuh sorak sorai. Semuanya terasa seperti perayaan, bahkan intrik dan drama bangsawan. Gempita sekali rasanya ibu kota raja.
Tokoh-tokohnya sangat menarik dan terasa jatmika. Tumenggung Wiraguna, panglima tua yang tetap ksatria; Nyai Ageng, istri utama yang Jawa ningrat pelindung seluruh keluarga dan puri—selir pun; Rara Mendut, yang berotank melawan ketidakdilan dan tetap bertahan demi cinta. Ah seru! Tak kalah ceritanya dengan drama kerajaan Korea sana (seandainya dibuat serial TV.)
Kisah ini membuat terbayang bagaimana kehidupan menjadi manusia Jawa dengan kejawennya dipimpin seorang raja. Kisah utama tetaplah menegaskan kembali bahwa yang berkuasa dibalik ‘dapur’ tetaplah wanita. Kepiawaian Rama Mangun merangkai cerita, perlahan mengenalkan cerita, sampai puncak saya dibuat berdebar tidak keruan. Padahal sudah terbayang akhirnya akan seperti apa.
Tumenggung Wiraguna (Panglima terkuat kerajaan Mataram) tak menyangka akan menemukan sosok yang memberikan perlawan segarang Harimau kepada para prajuritnya dalam diri seorang gadis remaja saat dia menghancurkan pemberontakan Adipati Pati. Di usianya yang mulai senja, dia menemukan tujuan dan harapan hidupnya pada gadis pemberani di hadapannya, calon ibu yang berpotensi akan menghasilkan putra penerus yang lebih kuat daripada dirinya.
Mendut hanyalah gadis remaja desa pantai yang tumbuh liar. Nama dan kecantikannya yang agak dibesar-besarkan oleh gosip membuatnya menjadi calon selir Adipati Pati yang kemudian tewas dan melemparkannya langsung ke bawah belas kasihan Susuhunan Mataram. Takdir membawanya masuk ke istana Tumenggung Wiraguna sebagai hadiah tanda jasa Susuhunan untuk Panglimanya yang sudah berjasa.
Ini adalah novel fiksi sejarah pertama yang kubaca dari YB Mangunwijaya, seorang sastrawan besar Indonesia. Apa yang kurasakan dalam buku ini tentu saja jauh dari opini ahli dan penikmat karya sastra, hanya pendapat seorang pembaca awam yang menyukai genre sejarah ini.
- Aku suka dengan banyaknya unsur sejarah Jawa dan mitologi pewayangan yang banyak di ceritakan di sini. Walaupun aku menyadari banyak percakapan, istilah dan joke bahasa Jawa tidak semuanya mendapat footnote akan menjadi tantangan bagi pembaca lain yang tidak memahami bahasa ini.
- Kalimatnya yang puitis berbunga-bunga, penuh majas dan metafora. Hal ini tak mudah di pahami dan beberapa tak efektif. Aku memahami ini mungkin adalah style khas penulis, tapi kalimat-kalimat yang lebih ringkas dan transparan akan lebih menarik minat para pembaca muda yang mudah jenuh bila dihadapkan dengan bacaan yang dianggap sulit untuk dipahami kalimat-kalimatnya.
- Karakter-karakternya membuatku salah fokus. Tidak ada yang lebih ngenes saat pembaca justru jatuh cinta pada villain daripada hero/heroine utamanya. Di novel Rara Mendut, inilah yang kurasakan. Aku justru lebih mengenal, bersimpati, mengagumi, memahami pergolakan emosi dan alasan semua perbuatannya setelah membaca narasi tentang Wiraguna. Mendut digambarkan tomboy, pemberani dan punya tekad kuat. Tapi di sini dia cuma nampak seperti remaja keras kepala, pemberontak dan home sick. Karakter istri Wiraguna, lebih menarik karena cerdas, kompleks dan khas wanita. Pranacitra? Well, dia bukan tipe pria idamanku dan hanya tampil bak figuran di sini. Dia muncul hanya sekejab, tak ada keahlian dan kualitas apapun. Hanya di gambarkan ganteng setengah mati, anak saudagar kaya yang ogah-ogahan meneruskan bisnis keluarga dan lebih menyukai hobby sabung ayamnya. Bagiku dia cuma pria manja yang pasif tapi romantis setengah mati. Karena ini fiksi sejarah aku berharap pemuda ini bisa ditampilkan lebih alpha, berpotensi, kuat dan setara dengan saingannya Wiraguna. Setidaknya dia harus tampil lebih sehingga cukup pantas sebagai pria yang di pilih Mendut, selain bak pria pelarian macam ini.
- Romance Mendut dan Pranacitra terasa instan dan penuh pesan emansipasi wanita dimana pihak si gadis yang aktif duluan. Walaupun di ceritakan pemuda ini adalah incaran Mendut jaman di desa tapi chemistry mereka tetap sukar dipercaya. Mungkin apabila digambarkan beberapa scene pendahuluan yang menggambarkan betapa kuatnya ketertarikan mereka di masa lalu dalam kilas balik, ikatan cinta sehidup semati mereka akan lebih dramatis.
Buku pertama dalam trilogi Rara Mendut ini belum berhasil menyetrum hati, jadi aku akan lanjut ke buku duanya tentang dayang kecil Mendut, Genduk Duku.
Y. B. Mangunwijaya atau romo Mangun adalah salah satu novelis terbaik di Indonesia. Membaca karya-karyanya bak membaca kamus bahasa di Indonesia. Di dalamnya terkandung banyak istilah maupun kosa kata yang baru saya dengar dan ketahui, utamanya dalam bahasa Jawa. Sungguh kosa kata kiasan yang indah setelah membaca berbagai makna yang dimilikinya
Awal baca buku ini aku kira dia akan masuk tumpukan DNF, karena bahasanya cukup sulit dipahami bahkan beberapa kalimat perlu dibaca berkali-kali. Tapi ternyata aku bisa selesai dan enjoy ajaa bacanyaa termasuk cepat untuk pace bacaku. Kerennya setiap kalimat yang digunakan ada maknanya masing-masing!!
Sepanjang cerita dibikin cukup kesel dengan nasib para perempuan yang hanya menjadi "objek" dan gimana mereka tetap menerima serta menjalani peran tersebut dengan hati yang lapang. Hadirnya Mendut merupakan kemenangan bagi perempuan, karena pada akhirnya banyak tokoh perempuan yang awalnya tidak setuju, menjadi sadar atas kemerdekaan yang seharusnya mereka dapatkan. Sangat tidak sabar sampai di akhir cerita karena aku hanya pernah mendengar nama Rara Mendut tanpa tau gimana kisahnya. Ternyata endingnya tidak seperti yang aku inginkan.....
Walaupun ini trilogi, awalnya aku kira mungkin cukup sampai di buku ini aja bacanya. Tapi ternyata ending bukunya bikin penasaran ke gimana cerita Genduk Duku di buku selanjutnya!! Buku ini berhasil masuk ke jajaran hisfic favoritku!!!
efek baca bareng buku sejarah niii. aku paksain bgt buat baca walau progresnya lambat. ceritanya menarik, dilatarbelakangi kerajaan mataram yang jaya dan sedang melakukan ekspansi ke pantai utara.
awal cerita mengingatkan aku ke novel Gadis Pantai nya Pram. gadis yang berasal dari pantura, tumbuh besar di dekat laut.
gadis yg kemudian dibawa ke istana untuk dijadikan selir raja, kemudian dibawa ke hadapan susuhunan mataram pasca perang menundukkan pati.
aku suka bacanya, pelan-pelan sih. isinya juga ngga berat-berat amat seperti beberapa kata orang. hanya paling nama-nama orang yang banyak berseliweran, numpang lewat doang hahahha. tidak terlalu sulit dipahami, mungkin karena aku orang jawa jadi enjoy banget kalo nemu kata-kata dalam bahasa jawa.
sampai menjelang ending dan pas endingnya, entah kenapa aku merasa sesek nafas aja. mau nangis rasanya. cinta para abdi yang ditentang oleh seorang tumenggung yang menjaga gengsi. haduuhhh ya gitu deh pokoknya.
Salah satu novel yg membuat tak sabar melihat bagaimana akhir perjalanan tokoh utamanya. Mendut.
Sebagai wanita dia memang benar-benar tegak melawan Wiraguna. Sosok yg ingin mengurungnya yang ingin membuat mendut sebagai "mahkota" gengsi bagi Wiraguna.
Buku Rara Mendut ini sarat makna, menceritakan perjuangan wanita zaman dulu, melawan patriarki, ketidaksetaraan gender, peran perempuan yang hanya bekerja dibalik layar, dijadikan tropi kemewahan atau pameran kecantikan untuk melambangkan kemakmuran seseorang laki-laki. Nggak habis pikir. Semua pelambangan perempuan itu lumrah dan biasa saja. Perjuangan Rara mendut untuk memutuskan nasibnya sendiri diceritakan di buku ini. Brutal, anak hutan, urakan, tanggapan-tanggapan itu yang banyak diucapkan kepadanya karena sikapnya yang 'nggak nurut'.
Ceritanya agak mengingatkan ku pada Cantik Itu Luka. Karena kecantikannya, Mendut 'dibawa' ke dalam Puri milik Adipati Pragola untuk dijadikan selir, dikekang di dalam kandang istana, padahal dia anak pantai yang suka ombak. Lalu Ia diboyong lagi oleh Panglima Tumenggung Wiraguna dari Mataram yang menang perang, 'dikejar-kejar' untuk dijadikan selir dengan martabat katanya, tapi tetap saja memaksa. Cantik yang membuatnya menderita.
Setelah menimbang-nimbang antara 3 atau 4 dari 5 bintang, akhirnya aku memilih 3! Cukup susah untukku membaca buku bertema kebudayaan dan sejarah yang kental, kembali ke masa sebelum kemerdekaan. Aku merasakan budaya jawa yang sekarang sudah menghilang dilihat dari penggunaan peribahasa, permainan pantun dan lagu-lagu lokal, percakapan sehari-harinya penuh sanjung dan indah didengar, tapi semuanya terasa munafik dan berbeda dengan isi hati.
Butuh melewati 100 halaman pertama untuk masuk ke dalam inti cerita, ke dalam percakapan antar tokoh-tokohnya. Untuk aku yang kurang sabar, butuh seminggu untuk baca 100 halaman awal-nya. Berat, tertarik dengan buku-buku lain yang kelihatannya lebih menarik, tapi toh sama saja. Aku yang memutuskan untuk membaca buku ini, harus diselesaikan karena memang ingin belajar tata bahasanya.
Lucunya, sang penulis adalah seorang Romo, pastur, tapi doa-doa islami dituliskannya dengan lancar. Bersiap-siap untuk menjumpai puluhan catatan kaki, karena bahasa yang digunakan percampuran bahasa jawa, dan digunakan terus berulang.
Roro Mendut YB. Mangunwijaya PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2008 ISBN 978-979-22-3583-8 799 halaman
Buku karya YB Mangunwijaya atau yang lebih dikenal dengan Romo Mangun ini merupakan trilogi dari novel Roro Mendut, Genduk Duku dan Lusi Lindri. Melalui tiga tokoh berbeda generasi (Mendut, Duku dan Lusi), Romo Mangun menggugat sisi dominasi keraton terhadap daerah pinggiran khususnya daerah pantai dan dominasi pria terhadap perempuan. Keraton Mataram yang merupakan simbolisme daerah pegunungan dengan budaya yang otoriter dan feodal, telah melakukan penjajahan kepada daerah pantai yang budayanya egaliter. Tiga tokoh perempuan yang berasal dari desa pantai berusaha melakukan perlawanan kepada dominasi keraton melalui berbagai cara, walaupun nyawa terkadang menjadi taruhannya. Novel Roro Mendut sendiri menggaris bawahi tesis bahwa kebanyakan cinta yang melegenda adalah cinta yang tak sampai.. Membaca novel ini mengingatkan pada novel Gadis Pantai-nya Pramoedya Ananta Toer. Terdapat persamaan dimana Romo Mangun maupun Pram berusaha menggugat dominasi feodalisme dan dominasi laki-laki. Yang mungkin sedikit membedakan adalah gaya bahasa dimana novel Romo Mangun lebih dibumbui dengan humor-humor yang segar. Pada bagian awal novel Roro Mendut, saya merasa bahasanya agak kaku dan agak dipaksakan alurnya. Namun pada bagian Genduk Duku dan Lusi Lindri, alurnya begitu mengalir dan sangat enak untuk dinikmati apalagi dibumbui humor yang “khas” romo Mangun.
Novel pertama dari trilogi kisah cinta Rara Mendut, karangan Eyang Mangun atau YB Mangunwijaya memang super. Bahasanya rumit tapi tiap kalimat dijamin penuh makna, makjlheeeb...
Cerita Rara Mendut sendiri mengangkat kisah sejarah kerajaan Mataram dengan berbabagi lingkup kehidupan sosial disekitarnya. Paham feminisme dilambangkan oleh sosok gadis Rara Mendut berkarakter kuat, tegas, komitmen, pantang menyerah, namun dipandang pembangkang.
Bukan hanya kisah cinta bak Romeo Juliet khas Tanah Jawa yang diunggulkan. Akan tetapi gambaran kehidupan masa lampau dimana budaya partriarki masih kental. Dimana para wanita dijadikan lambang kehebatan dan kekuasaan sang lelaki. Meskipun perlakuan Tumenggung Wiraguna terhadap istri agung beserta para selirnya dipenuhi rasa hormat. Namun ia mengejar Rara Mendut semata-mata hanya untuk memenuhi hasrat perangnya dalam jiwa. Pemimpin di medan laga, terbiasa berburu dan mengalahkan lawan. Sang Tumenggung tak mau menerima kekalahan saat berhadapan dengan penolakan Rara Mendut.
Saya lumayan suka sama jalan ceritanya, tapi nggak suka endingnya. Terlalu tragis buat saya kisah cintanya Rara Mendut & Pranacitra itu. Begitu selesai baca, dan memandang lagi covernya yang cantik itu, saya jadi mudeng sama ilustrasinya. Satu lagi, sebagai orang jawa saya suka narasinya. Actual rate: 3,8/5⭐
Saya menyerah. Saya tidak bisa menyelesaikan buku ini apalagi menikmatinya. Ceritanya terlalu berbelit-belit .Terlalu banyak sudut pandang tokoh yang coba diceritakan dalam buku ini.
📖 Judul Buku: _*Roro Mendut*_ ✍🏻 Penulis: Y.B. Mangunwijaya 📇 Penerbit: P.T Gramedia 📆 Tahun: 1983 📚 Tebal Buku: 400 halaman 🧕 Reviewer : Fionna Christabella _______________________ “…Sebab asmara dapat padam, tetapi kesetiaan mengatasi maut… Dan cinta berarti setia. Sebab bukankah burung – burung manyar atau merpati, bahkan mahkluk anjing pun elah mulai tahu arti kesetiaan?” (p.324) “… tidak ada kecintaan yang lebih besar selain kecintaan sahabat yang memberikan segalanya untuk teman.” (p.340) ….. Roro Mendut, wanita rampasan dari negeri jajahan Pathi, diboyong ke kerajaan Mataram Bersama harta rampasan dari negeri tersebut menjadi persembahan bagi Sinuwun Susuhunan Hanyokro-Kusumo, Senopati Ingalogo Mataram Abdurrahman Sayidin Panotogomo Mataram. Mendut tidak hanya diboyong seorang diri, ia bersama dua dayang setianya yaitu Ni Semongko dan Genduk Duku menjadi persembahan hidup bagi sang Raja. Adalah Panglima besar Mataran Tumenggung Wiroguno yang mencerabut meraka dari tanah asal, menerabas lembah dan gunung Bersama sepasukan khusus kerajaan Mataram yang menang tanding. Sebagai bukti lain, sepenggal kepala basah musuh pun menjadi bukti kekuatan Mataram terhadap negeri jajahan, Pathi. Tanpa disangka, Wiroguno yang mempersembahkan Mendut kepada raja Mataram jatuh hati pada Mendut. Dengan hati penih harap, ia meminta kepada rajanya agar Mendut dijadikan buah kenangan bagi dirinya sendiri dalam kediamannya di puri Wirogunan, hendaknya sang Raja mengizinkannya untuk menjadikan Mendut menjadi perhiasan berharga bagi kediamannya, menjadikannya wanita pingitan dan selir idaman. Dengan hati lapang sang Raja berkenan untuk melepaskan Mendut. Tapi tanpa disangka, Mendut menolak pinangan Sang Tumenggung. Dengan niat bulat, Mendut menyimpan keinginan untuk kembali kepada orang tua dan tanah kelahirannya meski hal tersebut “jauh api dari panggang” layaknya “sang pungguk merindukan memeluk bulan dan bintang.” Berbagai Langkah dilakukan Wiroguno untuk menaklukkan hati perawan, bahkan meminta Nyai Ajeng, permaisuri utamanya untuk menawan hati Mendut sehingga mau menyerahkan dirinya dalam pelukan Wiroguno. Sebagai puncak kemarahan atas penolakan Mendut, Wiroguno memerintahkan Mendut untuk menyerahkan upeti sebagai hukumannya. Dengan siasat penuh pertimbangan, Mendut menyanggupi perintah tersebut. Ia “menjual” diri melalui puntung rokok yang sudah dijilati ludahnya kemudian dijual kepada orang – orang di pasar yang tergila – gila dengan siluet kecantikannya. Dan Mendut menang atas perintah tersebut, pundi – pundi uang emas berhasil didapat Mendut dengan gemilang. Semakin naik pitamlah sang Tumenggung. Sementara itu, sang Pemuda tampan nan gagah dari Pantai Utara, Pronocitro berkelana mencari jati dirinya dengan mengenbara ke selatan. Ditemani dua punggawa, ia bertekad untuk lepas dari pengaruh ibunya dan menemukan jalan hidupnya sendiri. Singkat cerita, ia bertemu sang Jelita Roro Mendut, berdua mereka saling menambatkan hati meski tau Wiroguno akan menghalangi mereka jika tahu dan nyawa menjadi taruhan atas cinta mereka. Secara sederhana, kisah Roro Mendut adalah cinta segitiga antara Mendut, Wiroguno, dan Pronocitro Akan tetapi penulis buku ini, Romo Mangun, mengemasnya dengan latar sejarah kerajaan Mataram dan ekspansi Mataram untuk menguasai kota- kota jajahannya terutama kota – kota di sekitar pantai utara Jawa. Hal lain yang menarik adalah tembang – tembang Jawa yang tidak bisa lepas dari pribadi para karakter di dalamnya serta relasi tokoh – tokoh tersebut dengan cerita pewayangan, seperti cerita Bathara Guru yang jatuh hati pada Dewi Parwati kemudian menjadi permaisurinya. Karena nafsu sang Bathara kepada perempuan lain, timbullah pertengkaran keduanya. Bathara Guru mengutuk istrinya menjadi Bathari Durga sementara Dewi Parwati mengutuk suaminya menjadi Bathara Kala yang punya taring dan buruk rupa. Kisah tersebut melatarbelakangi kisah Roro Mendut, kemudian menjadi cermin bagi kehidupan para manusia yang hidup. Dari kisah pewayangan (juga kisah dari buku ini), yang sudah dikisahkan turun – temurun hendaknya manusia belajar untuk menguasai nafsu – nafsunya yaitu aluamah, supiyah, amarah, dan mutmainah supaya terjadi keselarasan antara tubuh dan batin.
Sebegitu dahsyatnya efek dari tulisan-tulisan Romo Mangun yang dibaca pembaca sehingga menimbulkan kesan yang begitu mendalam. Ia berhasil menghidupkan suatu tokoh yang bisa sangat dikagumi, sangat berbeda, dan sangat membekas. Romo Mangun mempunyai ciri khas bahwa ia sangat menyukai karakter perempuan yang kuat, srikandi, dan berbeda dari perempuan pada umumnya.
Karakter Atik dalam novel Burung-Burung Manyar (1981) juga mempunyai keistimewaan yang khas selayaknya Mendut. Penggambaran keduanya sangatlah mirip, misalnya sama-sama cerdas, pandai, bukan perempuan sembarangan yang gampang goyah karena lelaki, dan sangat memikat. Saya merasakan tokoh Gendhuk Duku juga mempunyai “rasa” yang sama. Nantinya, karakter Gendhuk Duku si dayang muda pun menjadi salah satu dari trilogi Rara Mendut dengan judul yang sama.
Kembali kepada penulisnya, Romo Mangun tentulah dikenal dengan gaya berceritanya yang khas. Ia mampu menulis sesuatu dengan begitu mendayu-dayu, puitis, tetapi tetap elok dibaca tanpa mengaburkan maknanya. Membaca Rara Mendut seperti disihir oleh kalimat-kalimatnya yang rasanya seperti adegan teater diputar di depan mata. Karakter-karakter dalam novel ini pun mempunyai fungsinya masing-masing sehingga tidak ada karakter yang mengecewakan. Hanya saja, penggambaran Pranacitra di dalamnya terasa sangat minor dan menurut saya kurang dieksplor sehingga alih-alih seorang tokoh penting, ia rasanya hanya seperti figuran yang perlu ditempel untuk melengkapi alur.
Novel ini mempunyai latar waktu dan tempat yang jelas, khususnya pada masa Kesultanan Mataram dan bertempat di Jawa. Ketika saya pertama kali membacanya, novel ini memuat banyak sekali unsur Jawa. Untuk pembaca yang bukan berasal dari Jawa, ada kemungkinan untuk susah memahaminya meskipun sudah dibantu dengan terjemahan pada catatan kaki di tiap halaman. Unsur Jawa dalam novel ini akan sangat amat bisa dinikmati oleh orang Jawa atau orang yang benar-benar mengerti tentang sejarah dan kebudayaan Jawa.
Anda sangat bisa menebak tulisan Romo Mangun meskipun tanpa melihat keseluruhan isi buku. Cerita khas Romo Mangun sudah dipaparkan di atas, yaitu mengenai perempuan yang kuat, gaya bahasa yang mendayu dan khas, serta ceritanya yang mengalir seperti dongeng. Dalam novel ini, misalnya, Anda akan sangat banyak menemukan candaan khas Romo Mangun yang ditaruh di mana-mana seperti ia sedang berceloteh. Ia sering bercanda di dalam novelnya, misalnya dengan dialog dari Mendut ketika nakalnya kumat dan membangkang pada titah Kerajaan Mataram.
Selain itu, banyak sekali petuah-petuah dalam novel ini yang mempunyai arti yang sangat dalam. Ketika saya membacanya, saya menyiapkan pena sorot berkali-kali hanya untuk menandai kalimat-kalimat yang saya suka (dan itu banyak sekali). Romo Mangun bisa menghidupkan karakter mana pun, entah lelaki entah perempuan, entah maskulin entah feminin. Ia sangat memahami karakter-karakter dalam novelnya sendiri, misalnya tokoh Wiraguna dengan Nyai Ajeng yang sangat bertolak belakang. Untuk mengawali bulan Maret ini, membaca Rara Mendut (meskipun memakan waktu yang lama agar paham) merupakan keputusan yang tidak akan pernah Anda sesali.
Sebuah novel sejarah dengan latar Kesultanan Mataram. Agama Islam diceritakan sudah masuk ke sana. Di beberapa halaman dijelaskan ajarannya mulai memengaruhi kehidupan sehari-hari, tercermin dalam beberapa aturan yang disebutkan oleh masyarakatnya.
Ketika menceritakan Kerajaan Mataram, disinggung juga nama-nama pemimpin kerajaan lain pada masa itu. Sayangnya hanya sekilas, tapi bikin aku kepingin mencari dan mendalami cerita mereka juga.
Penulis suka mengibaratkan kehidupan tokoh-tokohnya dengan cerita Mahabarata. Kalau gak tau cerita Mahabarata emang bikin gak mudeng kayak aku. Tapi tetap dinikmati aja, dengan mengabaikan perumpamaan itu dan fokus sama alurnya.
Jangan sampe ke-trigger dengan banyaknya bashing gender dalam buku ini lol. Wajar karena ceritanya masih di peradaban neneknya nenek moyang kita, zamannya kasta-kastaan, dan patriarki. Ketika sedang menceritakan sisi lelaki, penulis memakai sudut pandang lelaki. Ketika sedang menceritakan sisi perempuan, maka penulis juga memakai sudut pandang perempuan. Jadi sama-sama lah, seimbang.
Gak sedikit narasi yang berubah jadi dialog secara keseluruhan. Rasa-rasanya seperti nonton wayang golek. Sahut-sahutan tanpa jeda, kadang dibuat lucu-lucuan. Lalu pake banyak sisipan bahasa Jawa, seperti ejekan atau kata-kata kasar. Sebagai orang Jawa yang mengerti bahasa Jawa tanpa perlu melihat terjemahan dialognya terasa lebih mengalir. Ya gak selalu sih, ada beberapa yang kurang familier apalagi yang Jowo alus atau krama inggil. Aku sampe ikut ketawa terkikik-kikik karena menurutku lucu banget.
Cerita buku ini berfokus sama Roro Mendut yang merupakan orang bebas, penangkap ikan di pantai Telukcikal, Pati. Dia tiba-tiba dipaksa untuk dijadikan selir Adipati Pragolo, pemimpin Pati. Kemudian pecah perang antara Mataram dan Pati yang berakhir dengan kemenangan Mataram.
Karena Pati berhasil ditaklukkan, maka seluruh kekayaan miliknya termasuk putri-putri kerajaan menjadi hak milik Mataram. Kemudian oleh Pemimpin Mataram, Roro Mendut ini dipersembahkan kepada seorang panglima besar bernama Tumenggung Wiroguno sebagai bentuk hadiah atas kemenangannya di medan perang. Namun konflik muncul karena Roro Mendut tidak mau dijadikan selir Wiroguno. Maka Mendut mencari segala cara untuk terbebas dari pinangannya.
Tentang perjuangan seorang puan mempertahankan kebebasan dan cinta sejati. Sebuah anomali di kehidupan kebangsawanan yang manut-manut dan musti nurut.
Tumenggung Wiroguno seorang panglima besar ini keukeuh pengen Roro Mendut jadi istrinya. Egonya tersakiti karena baru pertama kali ditolak saat ingin mempersunting orang yang bisa dibilang rakyat jelata, malah statusnya saat itu pun tawanan perang, di buku ini disebut Putri Boyongan. Saat itu mungkin kesannya kayak orang rendah yang seharusnya menuruti ‘pemiliknya’ bukan malah memberontak.
Terlepas dari cerita perang dan selir, aku suka gimana penulis membuat interaksi Tumenggung Wiroguno saat sedang bersama istri perdananya yang berpangkat Nyai Ajeng begitu menarik. Diceritakan Wiroguno ini parasnya gak bisa dibilang tampan, bahkan dinarasikan bagaikan papan kayu sengon agak persegi panjang belum diketam. Menangis 😭
Dia juga udah tua, tapi kata Nyai Ajeng punya pesona pria matang. Ketawa banget tapi jujur aku pun dibuat salting ketika mereka sedang intim berdua. Penulis bisa mendeskripsikan keromantisan keduanya tanpa terkesan vulgar.
"Maafkan kaum kami, Nyai Ajeng, bila terlalu mudah gandrung." Kalimat sederhana yang menurutku mewakili seluruh kaum lelaki. Hahahaha.
Sebenarnya cerita didominasi dengan suasana serius, terus banyak kesedihan dan kesengsaraan, apalagi si Mendut ini. Tapi kemudian terselip humor dalam adegan, narasi, dan dialog lucu yang selalu bikin gagal sedih 😭
Ada satu hal yang menganggu sih. Penjualan puntung rokok ini gak bisa ku tanggapi dengan hati terbuka. Aku selalu merasa jijik ketika dibilangnya menjual air liur putri. Semakin basah semakin mahal. Eugh, gak suka sekali.
Roro Mendut jadi pembuka seri yang enak buat dibaca. Punya penulisan yang menarik tapi mungkin agak susah dicerna buatku. Banyak narasi dalam kiasan-kiasan yang harus dibaca dua kali dan mikirin apa maksudnya. Penokohannya juga menurutku pas dengan ceritanya. Sehingga gak ada tokoh yang ku benci, Wiroguno sekalipun.
Mungkin ada orang seperti aku yang menyangka Roro Mendut ini sejenis cerita Roro Jonggrang, tentang candi begitu. Karena ada kan di Magelang namanya Candi Mendut. Mungkin ada hubungannya tapi entah belum cari sampai ke sana. Atau mungkin emang gak ada keterkaitan sama sekali.
Sebelum baca buku ini, kupikir Wiraguna itu pasti antagonis banget gitu karakternya. Pas awal-awal baca, kupikir istrinya apalagi. Pasti lebih bengis. Ternyata enggak juga. Romo Mangun pandai menceritakan karakter tokoh-tokoh antagonis ini sebagaimana layaknya manusia. Tapi klo udah disangkutpautkan dengan kisah wayang, tetep aja hatiku melawan lo haha. Sempat berbincang cukup panjang dengan teman-teman di WA mengenai putri danau Toba yang disebut sebagai Arimbi. Ya Arimbi itu kan... Lalu lagi, Ni Semangka ini pake menyebut-menyebut cerita Batara Guru yang begitu itu lo. Ngono banget tho yo. Kalau Wiraguna ya untunglah direm sama Nyai Ajeng jadi ga ngono sengono Batara Guru. Tapi tetep aja Wiraguna enggan dengerin kata-kata Nyai Ajeng untuk tidak memakai bahasa senjata demi Rara Mendut. Demi Rara Mendut? Demi apa? Bukan demi Mendut sebenarnya. Demi cita-cita menyatukan lahar Merapi dengan laut utara. Eciyeeeh. Demi kejayaan di usia menjelang sapta windu. Demi menjawab pertanyaan dia sendiri, "jan-jane aku iki wis tuwo durung tho?" Jan ra ilok pol, wis tuwek isih ngoyak-oyak prawan nom wkwk. Hanya satu senggolan Romo Mangun pada kisah wayang yang bikin aku manthuk2. Gimana perempuan memilih pria berdasarkan karakter-karakter pewayangan haha. Setuju banget, klo Bima enggak, Arjuna enggak banget. Yudistira kurang asik. Gatotkaca putra Arimbi duh ksatria. Nakula Sadewa, maaf aku sendiri belum terlalu kenal hehe.
Dan begitulah, dua orang itu telah kembali ke laut. Walaupun laut yang berbeda. Mereka disapu ombak segara kidul yang lebih ganas daripada ombak di tanah laut mereka. Mereka telah merasa menang dan merdeka. Kemerdekaan yang tidak pernah ada sebagai hadiah.
Dan seperti jawaban Keanu atas pertanyaan, "menurutmu apa yang terjadi ketika kita mati?" Tinggallah Genduk Duku yang menangis ditinggal puan sekaligus mbak ayu batiniahnya yang tersayang. Jadi beginilah mood-ku untuk memulai baca buku keduanya, sedih untuk si Genduk Duku. Bukan untuk Mendut dan pacarnya.
Buku ini untuk menyelesaikan Tsundoku Books Challenge 2023
3,2 dari 5 bintang!
Ketika melihat buku trilogi Rara Mendut dari Y.B Mangunwijaya ini akan dicetak ulang dengan cover yang cantik sekali aku jadi teringat kalau buku ini masuk ke dalam timbunan buku yang aku beli di tahun 2019 namun belum sempat aku membaca buku ini.. Inget banget malah belinya di TB Toga mas Pucang Anom, Surabaya yang sekarang tampaknya sudah tutup yah? :')
Buku ini mengisahkan tentang Rara Mendut si gadis pantai yang harus menyerahkan dirinya dan takluk atas kekuasaan dari Tumenggung Wiraguna. Akan tetapi apa yang terjadi kalau hatinya sudah dimiliki oleh seorang pemuda bernama Pranacitra? Buku pertama ini lebih mengisahkan perjalanan Rara Mendut dengan pertentangan batinnya dan bagaimana ia menolak untuk menjadi perempuan yang bisa dimiliki dengan mudah oleh Tumenggung Wiraguna. Aku salut ketika ia menantang untuk menari dan juga menjual rokok dihadapan Wiragunanya..
Namun yang aku sesali buku ini terdapat memuat tentang merendahkan perempuan. Entah kenapa buku-buku yang isinya ada jokes jorok atau isinya merendahkan perempuan meskipun itu guyonan aku gak bisa terlalu menyukainya.. :'(
Aku belum tahu mau baca buku keduanya Genduk Duku kapan mungkin paling cepat di bulan Februari 2023 nanti
If you have read Pramoedya's Gadis Pantai, you would love this.
This book is way ahead of its time, more modern thought way of thinking, spiritual meaning of some name/action, until how being dead or alive doesn't really matter about true love. Since true love lasts above that.
Rara Mendut is strong, brave and assertive on how she lead her life. She didn't care about the oppressive of powerful man, she still chose what she wanted, sacrificed and fought for it.
This book is more than Mendut's story of thriving under Wiraguna's oppression. There also some aspects like naming and spiritual definition.
The naming in this book is genius. Some characters integrated their inner name as part of daily life (Ni Semangka's Sri Wahyuni in her being folklore daughter to navigate hardship and decision) or use it as weapon of emotional attachment (Sri Ajeng's Laksmi Pujiwati in her using "past innocent girl" to charm Wiraguna or control his way of feeling).
Love and self-acceptance are part of spiritual definition. It doesn't really matter if death comes, love still prevails and they were free of shackles. Some may decide to be unwise during the past, but if you truly do what you want to do, believing in full heart that this is good, even you sacrifice yourself, it could give a chance to compromise. Those are things I have immersed and found in this book
Worth the hype! I reaaallyy love this book. Its story, writing style and pace, all is perfect. I always have a spot for this kind of writing style. It's so beautiful. The story itself is engaging. It gives me insights into how the old kingdoms--especially in Java--ruled, how people behaved towards their lords, and how traditional community interacted.
Rara Mendut implies the disadvantages faced by women during that time. Women used to be raped, forced to marry someone they didn't even like and be subjects of sexual objectification. But she was a representative of freedom through her rebellious choices. I like her character. She was strong, clever and loving. So was her maid, Genduk Duku. I was sad when they were parted at the end :') I felt grateful that Rara Mendut had Arumardi as her best-friend. She served as her older sister, loved her as a big sis would do.
A character I didn't expect to like was Nyai Ajeng--Wiraguna's wife. She wasn't fond of Rara Mendut because she was afraid her position would be threatened. Buuutt, she had bigger heart than I thought. She served her husband well, but she also used her power to help both Rara Mendut and her husband. She sacrificed a lot for her ungrateful husband (and I thought she also represents of how women was expected to act in that time).
Overall, I like this book and would very much recommend it!
Bintang 5 dari saya pribadi. Saya suka sekali bagaimana Romo Mangun menulis sosok wanita dalam diri Rara Mendut yang rebel beserta seluruh tokoh wanita lainnya yang bahkan masih konservatif seperti Nyai Ajeng. Kalau ada (banyak) penulis pria (terutama Indonesia) yang menulis tentang wanita itu dengan cara yang jorok, vulgar, kasar, hanya dalam fantasi pria tentang wanita yang kebanyakan mereka pikir adalah obyek semata, Romo Mangun berbeda. Beliau bisa menuliskan bahwa wanita itu sangat mulia, terlalu mulia dibanding laki-laki. Apalagi dalam cerita ini bukan hanya sosok wanita biasa melainkan wanita yang melawan. Melawan adat kebiasaan, melawan pembesar, memperjuangkan haknya, memperjuangkan cintanya.
Kalau bicara soal ceritanya, klasik saja sebetulnya. Perjuangan seorang gadis dari kalangan hina untuk menolak pernikahan/perjodohan dengan pembesar di wilayahnya dan berakhir melarikan diri dengan cinta sejatinya. Klasik. Namun cerita yang klasik ini bisa dikemas dengan gaya bahasa pembawaan tokoh yang menjunjung tinggi mulia hidup wanita yang sedang melawan meskipun dapat dikatakan tidak berhasil hidup pada akhirnya, namun menang dalam perlombaan menuju kemerdekaan dirinya.
This is the best Indonesian book of women written by men. Bagus banget! Terima kasih, Romo Mangun.
Rara mendut, sebenernya buku ini udah jadi wishlist aku sejak lama. Tp baru kebeli bulan lalu dan langsung aku baca. Jujurly aku beli buku ini preloved bareng series lanjutannya. Makanya aku dpt cover yg ini, ada cover yg lebih bagus lagi deh coba cek Gramed hehe Novel ini bagus bagus banget! Dia historical fiction gitu di jaman kerajaan Mataram ya. Tapi bukan cerita langsung tentang rajanya tapi tumenggungnya gitu. Si Rara mendut ini digambarin jd cewe yg mandiri tegas, dia beda dr perempuan lainnya. Dan itu konsisten bahkan sampe ending lho. Runtut ceritanya juga bagus, dan part paling seru menurutku pas dia mau dijadiin istri sm tumenggung dan dia nolak mentah2. Udah berbagai cara dilakukan si tumenggung biar Mendut mau nikah tapi ttp mendut ga mau nikah sm tumenggung. Singkat cerita dia jualan rokok yg ini tuh udh terkenal bgt ga sih cerita Mendut jualan rokok yg diemut dulu baru dijual? Nah di buku ini ada nih. Kurangnya buku ini cuma satu sih menurutku, gaya bahasa. Aku baca buku ini udah hampir setengah bulan karena agak alot ya bahasanya jd harus dibaca dua kali klo mau lebih paham. So far ceritanya bagus, worth to buy untuk pecinta hisfic.
Jujur, lebih tertarik dengan karakter Nyai Ajeng (istri Tumenggung Wiraguna) disini. Ia cerdas dan pembawaannya elegan. Ya memang, karakter Rara Mendut ini strong dan rebel sekali. Ada saja usahanya ‘melawan’ meskipun dia sepertinya sudah terpojok. Namun, secara karakterisasi disini, justru Rara Mendut ini terlihat seperti remaja pemberontak saja.
Aku juga merasa kurang cocok dengan gaya penulisannya. Lebih seperti mendengarkan lakon wayang dan kurang bisa ‘mengalir’. Terlalu banyak fokus pada detail, budaya, setting, sehingga cerita utamanya kurang bisa dinikmati. Meskipun aku juga orang Jawa, tapi aku juga beberapa kali mengalami kesulitan mengerti istilah-istilah Jawa yang digunakan. Penggunaan istilah-istilah tersebut terlalu banyak dan tidak semuanya disediakan footnote untuk artinya. Beberapa istilah berulang juga tidak diulang footnote-nya. Untuk hal-hal sulit seperti ini mungkin lebih baik diberikan glosarium sehingga pembaca yang tidak mengerti bisa dengan mudah mencari lagi arti kata tersebut.
Namun pada akhirnya, kisah Rara Mendut ini juga merupakan kisah yang bisa mewakili banyak perempuan baik di masa itu maupun masa kini.
Demi Tuhan sulitnya membaca penulisan tata bahasa buku yang ternyata terbitan tahun 1987, walaupun saya membeli dan membaca cetakan tahun 2022, letak S P O K-nya kebolak balik bikin saya harus membaca 3x di kalimat yang sama, akhirnya setelah halaman ke 200 sekian saya baru mulai terbiasa dan akhirnya cukup bisa menikmati kisah dari buku ini. Buku ini berkisah tentang ego lelaki dan perlawanan perempuan , Prinsip Rara Mendut sangat kuat sampai di akhir buku tapi bagi saya MVP buku ini adalah Nyai Ajeng.
*SPOILER SPOILER*
Rela mati demi cinta dan prinsip, itulah Rara Mendut.
Seandainya saya membaca buku ini di tahun '87 mungkin saya bakal kasi rating 5, sayang saya membaca-nya di tahun 2024 jadi saya puyeng dan butuh usaha keras untuk bisa menyelami kisah Rara Mendut ini karena gaya penulisan dan tata bahasa-nya.
Kisah Rara Mendut yang ditulis oleh Y.B. Mangunwijaya ini merupakan trilogi, jadi apakah saya akan membaca kisah selanjutnya? sepertinya tidak.
Overall setelah diselami, kisah ini cukup inspiratif.
"Sering seorang saudara sekandung terasa asing, bukan sedunia bahkan, sedangkan seseorang yang disebut "orang lain" kok malah terasa bukan "orang lain", apalagi orang asing. Seolah justru si "orang lain" itulah terasa selaku saudara sekandung." -Hlm. 41-
"Kalau di barat ada kisah cinta Romeo & Juliet, di timur tengah ada Layla & Majnun, di Indonesia ada Rara Mendut dan Pranacita. Semua cerita cinta mereka memiliki ending yang sama yakni berakhir tragis, dramatis dan epic. Novel dengan genre historical fiction ini mengajak kita menyelami tradisi, budaya dan segala problematika zaman kerajaan jawa awal abad 17. Tokoh utama adalah seorang feminisme yang melakukan pemberontakan jiwa, memiliki keberanian tinggi dalam rangka menentang hal-hal tabu, membela hak-hak wanita serta mempertahankan kebebasannya untuk memilih kekasih hatinya sendiri. Alur ceritanya runut dan istilah dalam bahasa jawa dijelaskan dengan detail. Sangat rekomendasi."
Plotnya sederhana, tapi pesan dari tiap narasinya itu yg bikin "ho-oh, iya ini, hmmmm" (mohon maaf, gw ga bisa mengutarakannya dlm tulisan-pokoknya bisa buat gw sebagai pembaca penasaran)
Mmg ada yg buat bosan, tapi narasi fiksi jadul itu bahasanya walaupun sulit untuk diikuti, mengalir aja gitu-kalo bingung, yaudah skip aja ke paragraf selanjutnya. Hehe
Walopun endingnya mudah ketebak, I have mix feeling about how it ends. Satu sisi pranacitra bukan sosok male protagonis yg WAOW (kayak lakik gw nanami-san), jadi kurang menggugah aja gitu.
Sebaliknya entah kenapa gw malah empati ke wiraguna (memang kek ped0 bener dah ah, tapi he is not the true villain), mungkin kalo pembacanya kaum genzi, they definitely taking pranacitra side. But idk i am confused too-i can't decide which side, because every angle you see it, ga ada yg bener dan ga ada yg mesti disalahin.
Salahin penulisnya sih. Buat otak gw berpikir itu melelahkan 😮💨
sejujurnya, ceritanya menarik karena aku udah pernah dengar “dongeng” waktu kecil tentang ini 🥺 seru ceritanya, cuma karena bahasa khasnya yang penuh kata-kata puitis, ada beberapa hal yang ga begitu ku pahami. tapi yang aku suka, di sini tuh ada percakapan yang pake bahasa jawa dan ada footnote nya gitu untuk terjemahannya 👌🏼
selain itu, dari segi tokoh, aku suka banget chemistry antara Rara Mendut, Genduk Duku dan Ni Semangka 😭🫶🏼 sayang mereka bertiga 🫂 namun, kalo untuk kisah cinta atau romansanya, aku kurang dapat feelnya gitu 😔
untuk kisahnya yang menggambarkan tentang wanita di zaman itu, aku ikutan sedih dan ikut terharu atas keberanian Rara Mendut untuk “melawan” arus dan mengajarkan hal tersebut juga kepada Genduk Duku 🙏🏼 Ga sabar untuk baca buku selanjutnya tentang dayang cilik, Genduk Duku 💓
"Terpilih oleh istana, bukankah itu anugerah impian setiap gadis rakyat?"
"Terpilih...? Mas Prana, saya selalu iri hati pada lelaki. Mereka dapat memilih."
"Memilih atau memaksakan kehendak?"
Kisah Rara Mendut, si pembangkang cantik yang berhasil merebut hati seorang panglima perang Mataram, bukan sekedar kisah cinta biasa.
Kalau diperhatikan, banyak lapisan (layer) di dalam buku ini. Soal kemerdekaan jiwa, identitas diri, arti cinta sejati, lelaki dengan segala kerapuhan maskulinitasnya, dan masih banyak lagi.
Dari kisah Rara Mendut ini, kita bisa belajar ttg arti dari kemerdekaan yang sesungguhnya. Walaupun aku tidak pernah berharap satu perempuan pun menjalani kehidupan seperti Rara Mendut, tapi semoga biji dari buah pikirannya bisa bertunas di dalam jiwa setiap orang yg membaca kisahnya.
Saat membaca buku ini, saya terkesan dengan cerita bertukar pesan melalui cara yang unik yaitu menggunakan bumbu dapur, diantaranya, kluwih dan asem yang berarti keluwih (berlebih-lebih) dan asem (kesengsem). Kayu manis yang artinya ‘kamu ayu dan manis’.
Selain cara bertukar pesan, aku juga takjub dengan cara bagaimana orang di istana membersihkan keris-keris pusaka keluarga kerajaan. Tak hanya dengan air, tetapi juga menggunakan air ramuan dari bermacam-macam biji tumbuhan. Dan aku juga terkesan dengan penamaan selir-selir Wiraguna, diantaranya Mawarwungu, Sengsemwulan, Arimbi, dan Arumardi.
Banyak unsur sejarah Jawa dan Mitologi pewayangan yang diceritakan di buku ini, selain itu banyak juga kalimat puitis berbunga-bunga penuh makna. Kisah Rara Mendut ini membuat kita membayangkan bagaimana kehidupan menjadi manusia Jawa jaman dahulu yang dipimpin oleh seorang raja.