Na Willa is bright, adventurous girl living in the suburbs of Surabaya, Indonesia, her home in the middle of an alley surrounded by cypress trees. She spends her days running after trains with Dul, going to the market with her mother, and thinking about how people can sing through radios.
Based on author Reda Gaudiamo’s memories of growing up in the 1960s, The Adventures of Na Willa is a collection of stories about adventures and musings of a multicultural girl growing up in Indonesia.
Baca ini entah mengapa bikin saya terngiang-ngiang Totto-chan karangan Tetsuko Kuroyanagi. Semacam Totto-chan versi Indonesia era 60-an. Itu yang terlintas di benak saya selama membaca ini. Mungkin karena tokoh utamanya sama-sama anak perempuan seumuran TK, dengan pola pikir yang mirip-mirip, dengan keingintahuannya yang besar.
Awal saya baca ini tidak kepikiran Totto-chan, sebetulnya, tapi begitu sampai di adegan kaki Dul putus setelah ditabrak kereta, saya langsung--benar-benar langsung; sekonyong-konyong--teringat adegan kawan Totto-chan yang mengidap polio jatuh saat berusaha memanjat pohon, yang saat itu dia tidak mengalami cedera, namun beberapa bulan kemudian meninggal (saya lupa-lupa ingat karena saya membaca Totto-chan saat masih SMP, itu juga belum diterbitkan oleh penerbit besar di Indonesia, hanya berupa buku fotokopian dengan sampul karton merah muda menyala yang dipinjamkan teman sekelas yang katanya: "Ini terjemahan novel jepang punya kenalan orangtuaku, belum diterbitkan di Indonesia secara resmi", yang kalau dipikir-pikir sekarang membuat saya penasaran siapa 'kenalan' orangtuanya tersebut, apa penerjemahnya?). Totto-chan bisa dibilang novel "tebal" pertama yang saya baca selama hidup, karena sebelum menginjak bangku SMP saya hanya mau membaca buku anak-anak bergambar dan komik. Mungkin karena itu pulalah novel itu cukup berkesan dan membuat saya (entah mengapa) teringat akan Totto-chan saat membaca ini. Omong-omong, sepertinya saya belum membaca terjemahan bahasa indonesia terbitan penerbit besar yang resmi.
Na Willa, tokoh utama di cerita ini, merupakan anak 'Wong Cino' yang tinggal di Surabaya era 1960-an. Diskriminasi disajikan dengan tersirat dan terkadang jenaka, melalui pikiran anak-anak, di buku ini. Namun, karena Mak-nya Na Willa seorang 'pribumi', Na Willa tidak diperlakukan berbeda oleh teman-temannya, bahkan ada adegan sahabat Na Willa sekaligus tetangga rumahnya sempat berkata, "Kamu bukan Cino! Kamu ireng," (dan bikin saya ngikik).
Bab "Pak" sempat membuat saya menitikkan air mata. Bapaknya Na Willa seorang pelaut. Jika melaut, bisa sampai berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Suatu ketika, saat Na Willa masih sangat kecil, bapaknya lamaaaaaaaaaaaaaaa sekali tidak pulang. Begitu pulang, Na Willa yang membukakan pintu dan dengan polosnya bertanya, "Om cari siapa?". JLEB. Bapaknya langsung nangis di pintu depan, untung ibunya buru-buru menyusul ke pintu, kalau tidak mungkin akan ada hujan air mata. Sayangnya, saya udah keburu hujan air mata :") Sejak saat itu, bapaknya Na Willa menolak pekerjaan yang mengharuskannya berbulan-bulan tidak pulang, paling lama dua minggu. Bagus.
Dan saya juga sukaaaaaa makan mata ikan!! Tos sama Na Willa! Senangnya! Emang itu bagian paling sedap dari ikan! Matanya! Kenyal-kenyal berlendir dan asin-asin gitu~~~ Slurp ):d Lucunya, Na Willa sampai berharap ada ikan yang punya banyak mata, supaya dia bisa makan banyak mata dari satu ikan lol~ Pikiran bocah yang tidak terduga, saking sederhananya.
Saya suka Mak-nya Na Willa. Beliau orang pertama yang terlintas di benak Na Willa begitu dia tertimpa masalah. Mak bagi Na Willa seorang yang mampu membereskan masalah Na Willa sebesar apa pun--kalaupun tidak berhasil dibereskan, setidaknya ada solusi terbaik yang terpikirkan. Di bab boneka Na Willa sering kali copot tangan dan kakinya, bocah itu berpikir: Hanya Mak yang bisa memasang kembali tangan dan kaki boneka-bonekaku. Yaelah, padahal mah sebenernya mungkin masih banyak orang dewasa di dunia ini yang bisa memasang kembali tangan dan kaki boneka yang copot, cuma di otak Na Willa, hanya Mak satu-satunya. Mak hebat. Tidak ada tandingannya. Bagi Na Willa.
Pola pikir Na Willa (dan Totto-chan) menggambarkan kepada kita (baca: orang dewasa), bahwa pikiran anak-anak itu sebetulnya sangaaaat sederhana. Namun saking sederhananya, sering kali justru berbalik jadi terlampau rumit untuk dipahami orang dewasa yang memang sudah terbiasa memikirkan segala sesuatunya dengan rumit sehingga lupa bagaimana cara "menyederhanakan" sesuatu.
Na Willa seolah menampar para pembaca dewasa untuk kembali mengingat apa-apa yang membuat kita susah hati saat masih kecil, apa-apa yang membuat sedih dan senang, apa-apa yang berharga bagi anak-anak. Sebab, orang dewasa sering kali lupa bahwa sudut pandangnya yang terlampau tinggi itu tidak sejajar lagi dengan anak-anak dan membuat mereka "terpaksa" berjinjit untuk mengikuti sudut pandang orang dewasa. Padahal mestinya orang dewasalah yang mau berusaha menunduk sedikit mengikuti sudut pandang anak-anak, agar bisa saling memahami dengan mereka.
Senang sekali membaca buku ini~ <3 Apalagi diberi langsung sama pengarangnya, ehehe~
Cerita-cerita Na Willa dengan pov anak kecil berhasil bikin aku inget lagi kenangan-kenangan kecil. Mengangkat berbagai isu sosial dengan pov anak kecil yang selalu bingung dan Mak yang selalu bisa menjelaskan. Gimana di usia tersebut, kita sangat mengidolakan ibu kita. Dan masa-masa di mana gentle parenting belum populer, jadi ingat lagi gimana rasanya takut dicubit. Kisah Na Willa diantar naik sepeda ke sekolah oleh ibunya juga berhasil bikin aku kagum ke perjuangan para ibu dalam memberikan pendidikan ke anaknya karena aku juga pernah mengalami itu!! Nasi goreng dengan irisan telur dadar juga jadi favorit sampai sekarang!!! Ahhh pokonyaaa harus baca si, karena Na Willa adalah kita semua ketika kecil!!!
Buku yang sangat hangat, menggemaskan tapi sebenarnya melibatkan isu-isu penting di masyarakat; soal diskriminasi ras yang kerap terjadi, toleransi beragama, pilihan perempuan untuk menikah atau tidak menikah, hingga bullying di sekolah. Semuanya disajikan dari sudut pandang Na Willa, anak kecil yang baru akan bersekolah dengan kepolosan dan segala rasa ingin tahu di kepalanya.
Saya suka sekali 'Na Willa' sebagaimana buku Mbak Reda lainnya, 'Aku, Meps & Beps' yang mirip namun relatif lebih santai.
Meskipun dibawakan dengan narasi polos dari sudut pandang anak perempuan berumur 6 tahun, tak bisa dimungkiri bahwa topik-topik yang disinggung dalam novel tipis ini adalah isu yang cukup berat—mulai dari rasisme (Na Willa yang keturunan Cina), fanatisme agama (Gus Salim yang dianggap juru selamat), hingga pernikahan dini (Mbak Tin yang dijodohkan dengan bandot). Selain itu, masih ada isu fatherless (Pak jarang pulang, sampai-sampai Na Willa pernah bertanya, “Om siapa?” yang bikin Pak menangis) dan juga soal perundungan.
Senang sekali membayangkan kalau buku ini—termasuk bakal film adaptasinya—akan jadi bahan diskusi panjang antara anak-anak dan orang dewasa di sekelilingnya.
Baca buku ini saya jadi ikut nostalgia. Ada cerita yang terasa dekat, seperti saat Willa diajarin Mak membaca. Walau belum masuk sekolah, Willa udah bisa membaca dan menulis! Ingat masa kecil jadinya waktu diajarin baca judul-judul di koran sama Mama. Saya ketawa-ketawa baca ketakjuban dan keheranan Willa tiap Mak bisa nebak apa yang dia lakukan. "Bagaimana bisa?" Keluguan anak kecil, ditambah the power of mother's instinct :D Buat saya, ada beberapa topik yang terasa kental di buku ini: Belajar, keluarga, hidup bermasyarakat, cara bersosialisasi, toleransi, lingkungan sekolah, dan pendidikan. Topik-topik ini dilihat dari kacamata Willa, dan kemasan ceritanya terasa riil dan menarik. Willa yang masih kecil, berhadapan dengan, dan menemukan langsung isu-isu baru yang belum pernah ia tahu sebelumnya. Willa jadi belajar, oh kalau begini ternyata nggak baik. Willa juga tahu kapan dia harus membela diri, kapan dia memang tahu kalau dirinya nggak salah berkat apa yang Mak ajarkan di rumah. Seriously, this book warms my heart 🥰 Kebayang serunya bacain cerita ini ke keponakan-keponakan, dan nanyain pendapat mereka 😁 Buat pembaca usia dewasa, saya percaya buku ini juga bisa dinikmati dan jadi pengingat yang ramah, lucu, dan menggemaskan.
Perkenalanku dengan Na Willa patut disyukuri. Ia adalah anak yang ceria, suka penasaran, cerewet, dan asyik. Dia juga ngganyik (bahasa jawa) kalau bertanya. Mirip sepertiku waktu kecil. Aku bisa membayangkan bagaimana tangan kecilnya sering berkacak di pinggang ketika bicara (atau melawan orang yg lebih tua?) hahaha.
Cerita yg dituliskan Reda ini ditulis dengan bahasa sederhana tapi seru. Konteks cerita yg dilalui Willa juga tetap berkelindan dengan situasi sosial seperti rasial, kehidupan di kampung, persinggungan dengan kelompok beragama lain, dll. Barangkali buku ini bisa dibaca oleh anak-anak yg sudah lancar membaca. Begitu pula dengan ilustrasi yg melengkapi cerita dengan sempurna, ia hadir di sana sesuai imajinasi.
Reda menuliskan pengalaman Na Willa yg membuatku teringat akan masa kecilku, termasuk juga hal-hal yg tidak pernah kupunya. Cerita-cerita Willa melengkapi bayanganku akan masa kecil anak-anak yg kurindukan, bahkan sejak lama sekali saat aku masih berusia anak-anak. Terima kasih, Reda, ceritanya hangat.
Aku sangat senang bisa mengenal Na Willa di usia 22 tahun. Walaupun tentu aku berharap bisa mengenalnya di usia enam, tujuh, delapan atau sembilan. Na Willa adalah tokoh dengan karakter yang kuat, yang aku yakin akan menjadi kawan imajiner jika kubaca saat usiaku masih satu digit. Tetapi membaca dalam sekali duduk di usia ini memberiku semangat atas hal-hal kecil dan sederhana untuk ditertawai.
Sepanjang membaca, aku merasa Na Willa (--dan mungkin kita semua) memiliki keterikatan yang kuat atas ruang. Ia menggambarkan kejadian-kejadian yang dialaminya selalu lengkap dengan deskripsi ruang yang ada. Dapur, gang, rumah, sekolah, kamar, rel kereta api, rumah sakit. Ruang memberikan 'sarana' untuk pengalamannya hadir dan hal itu Na Willa sadari betul. Sehingga penting bagi Reda untuk menggambarkan bagaimana ruang-ruang itu menjadi dalam cerita sehari-hari Na Willa.
Na Willa bukan anak yang kebingungan, ia anak yang sangat penasaran dan serba ingin tahu. Tetapi sekalipun mengetahui fakta-fakta rumit atas rasa penasarannya, ia tidak berhenti dan merasa buruk atasnya. Na Willa tidak punya waktu untuk merasa buruk karena ia sibuk bermain juga belajar hal baru. Seperti saat Ida menyebutnya bukan Cino tetapi Warno menyebutnya asu Cino, Reda sudah menggambarkan bahwa Na Willa percaya ia anak Pak dan Maknya pada cerita pertama. Tidak terlalu berarti apakah ia Cino atau tidak. Menyenangkan sekali kalau isu-isu sosial di sekitar kita bisa dikenalkan dengan cerita yang hangat. Terima kasih, Na Willa!
The Adventures of Na Willa tells the story of the eponymous character Willa in a series of interconnected short stories. Na Willa is a precocious little girl that lives with her Mak (Mom), Pak(Dad) and Mbok (Household Assistant). She is full of curiosity and a keen observer which makes her the perfect narrator. As an adult reading The Adventures of Na Willa, the book felt like an ode to childhood. It is full of mischief, reflections, and mirth. This made for a heartwarming read that often had me smiling. • Although most of the book is mostly light-hearted, there are a few parts that tackled serious issues such as the racism Na Willa experiences at school. • "I couldn’t refuse. I really wanted to be able to read the story books that Mak bought every Sunday in the small library next to the church. If Mak had time, she read these books out to me the instant we got home. But if she’d got too many other things to do, I had to wait. While I waited for her, I’d just look very carefully at the book’s pages, trying to guess the story from the pictures. But then Mak said she was going to teach me to read. I was happy. So so happy." • "When I hadn’t yet learnt to read, every night before I went to bed Mak would read me stories. We would sit in the dining room. The tables and chairs would be pushed up against the wall and there was a mat on the floor. I loved hearing Mak reading stories. Sometimes she whispered. Sometimes she roared. She would even sing. I never ever got bored. Now I often read stories to Mak. We have a lot of fun with books." • "Once, I even asked Mak to buy me a milkfish with many eyes. Mak told me that this sort of fish doesn’t exist. Just like me and Mak, fish only have two eyes. It would be super weird to have more eyes than that. Imagine what it would be like? You’d want to go here. And there. And EVERYWHERE. It would be a real nuisance. Yes, yes, so, I don’t want to have lots of eyes. But I’d quite like a milkfish with lots of eyes. Delicious." •
I believe there're some stories, stories that so dear to your heart, that no matter the language it’s in, you will always love it—I will always love it. Like Harry Potter and the Philosopher’s Stone. Or The Little Prince (even in Sundanese—yes, later!!) And now, there’s Na Willa. I don’t know either the translation is really nice or I love Na Willa so much, reading it in English has the similar feelings as the first time reading it in Indonesian three years ago. I believe it's the later. I cannot stop smiling through out the book. Those gleeful excitement remembering being a child, unpretentious friendship, silly curiosity, excitements of simple games, a little bit of pain and hurt, evoking childhood memories and dreams. I cannot help it. And it is also a really great book on tolerance and a good community which so warm and makes me happy. I was so excited when I heard Na Willa will be translated to English and be published in the UK by @theemmapress. It means more people around the world can read it and have a little glimpse of Indonesian childhood. I wish a lot more Indonesian read it too.
Na Willa adalah novella 120 halaman kertas dengan ilustrasi2 hangat berukuran relatif kecil yang diterbitkan oleh penerbit indie yang kecil.
Na Willa adalah seorang anak kecil usia 4 tahun yang di mata orang dewasa mungkin nakal & kebanyakan tingkah tapi juga pintar, menggemaskan, & membuat kangen dengan kejenakaan tingkahnya.
Na Willa melihat dunia dari kepolosannya, ingin tahu kenapa orang2 di pengajian memakai baju putih & penutup kepala, sementara saat dia ke gereja tidak perlu seperti itu ketika berdooa, ingin tahu siapa di dalam radio menyanyikan lagu2 favorit ibunya, menebak berapa Lilis Suryani yang ada di dunia ini menyanyi di setiap radio, ingin tahu kenapa & apa.
Na Willa memiliki ibu yang hangat tapi displin. Masih menggunakan sistem reward-punishment fisik & hukuman kamar yang jamak dialami manusia2 Indonesia generasi X akhir & Y awal. Namun juga senang memberi hadiah bila Na Willa bertingkah baik, senang memberikan buku2 seru & melatih Na Willa baca-tulis, memberi ruang Na Willa bermain ke sana-sini.
Na Willa menikmati masa kecil khas rakyat jelata kelas menengah yang jauh dari kaya namun masih cukup untuk ini-itu, menikmati nasi goreng telur dadar tiap pagi, bertemu anak2 tetangga untuk main, bercakap2 dengan sang mbok yang setia dengan majikannya, jarang bertemu bapak yang kerja keras & sayang keluarga, dekat dengan sang ibu yang serba bisa mengurus segala hal & menjelaskan ini itu kepada Na Willa.
Na Willa mengetahui & memahami secara eksperimental, dengan tingkah aneh2 yang menghadirkan kekacauan di sana-sini, membuat ibunya menjelaskan pelan2 dengan bahasa tegas tapi mudah dimengerti.
Na Willa terpapar isu2 seperti pernikahan muda, rasisme (Cino!), & bullying sedari dini tanpa tahu secara mendalam seperti orang dewasa, tapi menghadapinya dengan keriangan khas anak2 yang sedang belajar banyak hal. Saya yakin ada trauma2 terselubung dalam hidupnya, tapi dia sikapi dengan riangnya.
Na Willa membuat saya kangen masa kecil. Na Willa mengajak orang dewasa berefleksi menjadi polos lagi. Na Willa memikat dengan teguran2 riangnya yang menegaskan, Kerajaan Allah adalah milik anak2 kecil.
Przygody Mikołajka tylko lepsze, z rozbrykaną Na Willą w roli głównej bohaterki, z Indonezją i wielokulturowym miszmaszem w tle :) Wzruszające, zabawne, wciągające dla dzieci a dorosłym dające do myślenia
This entire review has been hidden because of spoilers.
(Oh Hesti) "Belajar?" "Ya, belajar menulis yang bagus. Menggambar... menggunting, menempel.. Menyanyi..." "Aku sudah bisa menyanyi. Oh, oh, Hestiiiii!" "Bukan lagu itu! Kamu nanti belajar lagu lain, lagu anak-anak." "Tapi aku suka. Oh, oh, oh Hestiiii.. mengapa wajahmu mirip dia !" "Itu bukan lagu anak-anak, Willa. Sebaiknya jangan menyanyikan lagu itu di sekolah nanti, ya," "Ibu guru tidak suka Hesti?" "Mungkin suka, tetapi kalau di sekolah, kamu menyanyikan lagu anak-anak" *********************
Dialog di atas yang ada di buku ini antara Willa dan Maknya membuat saya tertawa keras. Pasti itu potongan lirik lagu Lilis Suryani yang sering diputar di radio Erres kepunyaan mereka. Benar saja, setelah saya cari dan putar di Youtube muncullah lagu lama yang baru pertama kali saya dengar. Banyak kisah lainnya yang dituangkan Reda yang sepertinya tentang masa kecilnya sendiri di catatan ini yang berlatar belakang di Surabaya sekitar tahun 1960an. Bagaimana seorang anak kecil melihat dunia sekitarnya dan mempertanyakan segalanya. Kisah tentang ibunya, teman sepermainannya, kenakalannya, namanya, rumahnya dan awal sekolahnya. Polos, apa adanya dan menyenangkan sekali..
Membaca buku ini setelah berturut-turut dari buku Aku, Meps dan Beps jadi satu paket tak terpisahkan. Seperti menemukan dunia yang hangat dan terlupa sejenak dari betapa kejamnya banyak peristiwa belakangan ini...
Na Willa, meski tidak disebutkan, saya anggap sebagai proyeksi penulisnya--Reda Gaudiamo--saat masih berumur sekitar lima tahun. Na Willa adalah sosok gadis kecil yang polos, jujur, dan lucu dengan keingintahuan yang tinggi. Ia memiliki seorang ibu yang dipanggil 'Mak' dan ayah yang bekerja sebagai pelaut. Willa tinggal di pinggir rel kereta, di daerah Surabaya.
"Kata orang, dunia anak kecil adalah dunia yang polos dan serba terus terang. Dunia yang penuh dengan keriangan, kekaguman, bahkan keterkejutan dalam mengenal orang maupun benda-benda di sekeliling." (Halaman 7)
Saya suka saat Mak memberitahu Willa bahwa perbuatan teman yang sering meneriaki Willa 'Cino Asu' itu tidak baik, tetapi lebih salah lagi kalau Willa memukul anak itu yang bertubuh cacat. Mak ini sosok ibu yang disiplin dan tidak segan menghukum Willa jika salah.
Reda juga mengisahkan dari sudut pandang Willa kecil bagaimana gadis itu mendapat diskriminasi di sekolah barunya. Bagaimana Willa kemudian memandang orang-orang di sekelilingnya, ada yang baik seperti Tik Mien dan ibu guru Tini yang senang tersenyum, ada yang lucu dan tegar seperti Dul, ada yang sedih seperti tetangganya, dan ada yang galak seperti guru lamanya.
Meski diceritakan dari sudut pandang anak kecil berumur lima tahun, tapi kadang-kadang saya juga menemukan bahwa Na Willa ini 'bersuara' seperti orang dewasa dalam narasinya. Misalnya pada halaman 99: Suaranya tidak keras. Tapi lurus, seperti talang air. Tidak berkelok-kelok seperti waktu membacakan cerita untukku.
Terlepas dari itu, saya merasa Na Willa adalah kisah yang patut dibaca. Mengingatkan kita akan masa kecil yang polos, suasana rumah atau kampung yang akrab, atau tentang orang-orang yang kita temui saat masih kecil. Melalui sosok Willa kita dihadapkan pada satu isu sensitif yang sampai sekarang masih sering ditemukan di sekitar kita: SARA. Bahwa hanya karena berbeda nama, warna kulit, bentuk tubuh, atau agama kita kadang lupa untuk memperlakukan orang layaknya manusia memperlakukan manusia lainnya.
Pertama buka buku Na Willa, aku lagi duduk di kursi tinggi cafe, terus sambil tunggu pesanan aku cekikikan ga habis-habis baca awal cerita Na Willa tentang boneka plastiknya, Melly (belakangan ganti nama jadi Atik) yang nggak bisa digerakin
Pernah aku putar-putar, tangannya langsung lepas. Kakinya juga lepas kalau digerak-gerakkan. Hanya Mak yang bisa memasang kembali tangan dan kaki bonekaku.
Lucuuu!
Cerita sehari-hari Na Willa menurutku nggak hanya cocok dibaca sama orang dewasa, bisa juga dibacakan orang dewasa untuk anak-anak, dan cocok dibaca sendiri sama anak-anak. Aku suka template (itu nggak ya namanya?) penulisan Na Willa yang nggak rata kanan-kiri, bentuknya seperti bait-bait disatukan, aku jadi bisa bayangin Na Willa, yang sebelum sekolah udah belajar baca tulis sama Mak, nulis cerita-ceritanya sendiri.
Oh, ya, aku juga suka secuil surat dari penerbit yang menceritakan bagaimana bertemu Na Willa, berpelukan dengan Bu Reda Gaudiamo, dan cerita Na Willa yang dipromosikan terus menerus. Na Willa buat aku suka semua cerita tentang dia. Sampai bertemu lagi Na Willa!
Buat saya buku ini memberikan efek yang hampir sama dengan membaca buku Toto Chan: Gadis Cilik di Jendela. Rating 5 berarti buku-buku yang ingin saya baca ulang kembali. Sebuah buku yang tidak hanya memberi inspirasi, tetapi juga buku yang menambah nilai-nilai dalam diri saya. Entah baru berkembang atau malah menjadi semakin kuat.
Saya suka buku ini karena buku ini ditulis dengan baik. Tidak terburu-buru ingin diterbitkan. Tidak berusaha memberi tahu sesuatu. Buku yang bijak, memberikan pesan tanpa menggurui.
Buku ini adalah buku pertama tentang Na Willa, seorang anak dan cerita tentang kehidupannya bersama teman-teman se-permainan. Jujur, mengingatkan saya sendiri pada diri saya ketika kecil bermain bersama teman-teman di satu blok rumah.
Ada beberapa pesan yang meng-inspirasi saya. Pertama tentang keberagaman. Saya sebagai seorang muslim yang menggunakan jilbab sejak bayi merasa bersyukur pernah bersekolah di SDN dan berteman dengan teman-teman yang sangat beragam. Saya pernah bertetangga dengan seseorang yang berbeda agama. Saya pernah berteman dekat dengan teman laki-laki yang berbeda agama (ketika SD). Saya ingat sekali dulu pernah bertanya kepada Ummi saya, bagaimana caranya agar tetangga saya dan teman saya tersebut bisa masuk Islam, sehingga mereka bisa masuk ke surga yang sama dengan saya (maafkan pemahaman agama saya saat kecil dulu yang tentu belum sedewasa saat ini). Saya bahkan ingat ketika SMA lagi-lagi saya berteman dengan teman laki-laki beragama berbeda dan juga masih berdoa agar ia bisa satu agama dengan saya karena saya ingin kami berada di surga yang sama (pertemanan ini bukan hubungan romansa, murni pertemanan lawan jenis). Saya menjadi lebih dewasa saat ini dan tidak berpikir lagi demikian. Akan tetapi, saya terharu juga mengenai kesungguhan dan keinginan saya di waktu kecil. Na Willa adalah seorang anak dengan keturunan etnis Cina dan beragama Kristen. Ia sering juga diejek Cino, padahal ibunya adalah orang Jawa berkulit sawo matang. Na Willa berkulit sawo matang, walaupun matanya sipit (Sama seperti saya). Saya terkagum-kagum juga dengan Ibu Na Willa yang mempersilakan Na Willa menonton Ida (tetangga) belajar mengaji. Betapa keragaman dan toleransi memang perlu diajarkan sejak kecil. Kalau tidak kapan lagi?
Kedua, saya belajar juga dari buku ini bagaimana anak-anak bersikap tabah menghadapi musibah. Lewat tokoh Dul yang kehilangan satu kakinya dan tetap bisa berlari-lari tidak mau diam dengan kaki plastiknya. Ini sangat mengharukan. Mungkin kalau kita (saya) tidak ada habis-habisnya memaki siapa saja yang bisa dimaki, seperti kehidupan yang tidak adil ini.
Ketiga, saya kaget juga dengan segmen cerita tentang pernikahan dini yang tidak diinginkan. Betapa menyedihkannya seseorang perempuan yang menikah muda (dengan alasan keluarga mendorong demikian, budaya di lingkungan, dll). Padahal anak tersebut mungkin masih ingin sekolah, belajar, bekerja, dan bermain lagi. Saya sadar tidak semua orang seperti saya yang memutuskan ingin menikah namun masih tetap bisa sekolah, belajar, bekerja, dan bermain.
Keempat, adalah tentang sekolah. Na Willa yang ingin masuk ke TK. Akan tetapi tempat sekolah pertamanya tidak menerimanya dengan baik karena fisiknya, karena kemampuannya dalam menulis dan membaca yang lebih baik daripada anak seusianya. Hal menohok adalah tentang sikap guru yang tidak terbuka dan percaya dengan perbedaan.
Sebuah buku yang sangat baik! Wajib dibaca bagi seorang dewasa yang mau belajar dari hal-hal sederhana. Buku ini cocok bagi seseorang yang bersikap terbuka bahwa pelajaran yang paling murni tanpa tendensi bisa kita dapatkan dari makhluk-makhluk kecil dengan hati yang suci itu.
aku lupa aku baca ini senin kemarin (atau hari selasa) di tengah-tengah kecapekan habis kerja. keseharian na willa, keingintahuannya, kepolosannya, bener-bener tipikal anak kecil banget dan bikin aku ketawa-ketawa karena dulu aku pun serandom itu juga hahaha... mikir kalo ada orang di dalam radio, pengen ikutan mainan yang sebetulnya bahaya, dan lain-lain.
aku setuju sama penutup dari POST Press di akhir buku, kalo meskipun terasa seperti cerita ringan, buku ini diselipi kenyataan-kenyataan pahit orang dewasa juga, tragedi kehidupan sehari-hari, tapi dari sudut pandang anak kecil. yang paling terasa buatku adalah ketika ada satu tragedi yang nimpa temannya na willa (pasti tau yang mana) lalu pas jenguk temannya, ibu na willa nangis dan na willa pengen tanya kenapa tapi lupa. aku ikutan nangis pas bagian itu karena tau rasanya kenapa ibu na willa bisa sampe nangis (dan karena aku cengeng haha) dan ngerti juga kenapa na willa nggak terlalu pikir panjang soal kenapa ibunya nangis, karena kalau aku jadi na willa aku juga nggak akan terlalu pikir banyak-banyak, maunya main aja. ketemu temenku lagi tentu maunya main kan hehe. ini salah satu bagian yang aku suka karena di bagian ini aku bisa 'ngerasain' di dua sudut pandang. ibu na willa dan na willa, padahal narasinya dari sudut pandang na willa aja.
bagus, hehe. bener-bener bacaan ringan yang bikin nostalgia masa kecil. aku akan lanjut baca buku-buku selanjutnya setelah ini. (katanya buku selanjutnya ada bu juwitanya ya, aku pengen ketemu bu juwita lebih banyak juga! she seems to be a very nice teacher.)
Membaca buku ini mengingatkan saya tentang memori masa kecil, di mana sempat saya habiskan di Kota Surabaya lokasi dari kisah cerita Na Wila - Catatan Hari Kemarin. Meski Reda Gaudiamo tidak menjelaskan lekuk Surabaya secara detail dalam buku kecil ini, setidaknya ada beberapa ingatan manis yang bermunculan ketika Na Willa (tokoh utama) bercerita tentang hidupnya.
Banyak judul yang membuat saya tertawa terkekeh-kekeh. Khususnya ketika tokoh Wanto memanggil Na Willa, "Asu Cino" dan upaya Na Willa untuk membela identitasnya. Sebagai anak blasteran Jawa Cina yang dideskripsikan tidak terlalu terlihat Cina tapi ketika kecinaannya tercederai, Na Willa tentu merasa terluka dan setengah mati membelanya. Judul cerita tentang Radio juga amat menyenangkan untuk dibaca. Na Willa membayangkan ada banyak orang kecil hidup, bernyanyi dan bersenda gurau di dalam radio. Imajinasi yang dulu juga pernah tumbuh dalam pikiran saya ketika untuk pertama kali saya gandrung mendengarkan Radio Kayu Manis FM hingga tidur memeluk radio milik ibu di rumah.
Buku ini memang bukan diperuntukkan untuk anak-anak sebagai pembaca utamanya. Tapi sebagai orang dewasa yang sempat melalui masa kanak-kanak, saya sangat menikmati membaca cerita Na Willa.
Oh, satu lagi. Reda Gaudiamo nampaknya memiliki karakter bercerita seperti Harper Lee. Jika saya tidak salah tebak. Jika benar, maka beruntunglah kita memiliki Reda Gaudiamo dalam jajaran kepenulisan populer di Indonesia.
If nostalgia was a book, then here it is. Reading this book brings me back to those memories when I was (maybe) 5 or 6 years old and I wondered how it was possible that a small box (we can call it a radio, lol) could produce the sounds of people singing or talking. So many memories appear in my head when I read Na Willa.
This book can describe some sensitive topics, but it is told in simple language (through the point of view of a little girl, Na Willa). Let me give you an example of those senstive topics: we will see Na Willa's friend named Bud, who lost his feet because of an accident, and then we will see Na Willa's new friends from school who laugh at her just because she tells them her name (this one is kind of racist).
One thing that disturbed me was a typo. Some sentences covered by picture.
Well, I guess I am falling in love with Na Willa. I hope you do as well.
Suka sekaliii! Baca buku ini berasa kayak lagi denger ceritanya anak kecil. Bikin senyum-senyum karena inget masa kecil. Pertama kali baca tulisan Mbak Reda, dan bikin ketagihan! Rasanya 32 cerita sepanjang 110 halaman itu kuraaang :))
Aku suka banget suasana yang digambarkan dalam cerita-cerita ini. Dimana anak-anak kecil sukanya main keluar rumah, ikut ke pasar, main layangan. Ah, menyenangkan sekali! Oh ya dalam cerita yang judulnya Radio, Willa mengira kalau di dalam radio itu ada orang-orang kecilnya, makanya bisa ada suara dan lagu. Ngingetin banget sama waktu aku kecil, aku juga mengira kalau di dalam tivi itu ada orang-orang kecilnya :))
Saya percaya, buku anak-anak yang bagus ialah buku yang juga layak dibaca orang dewasa. Na Willa merupakan salah satunya. Tidak hanya bercerita tentang kehidupan sehari-hari Na Willa, si tokoh utama, tetapi juga menyajikan sudut pandang seorang anak dalam melihat suatu hal dalam hidupnya. Hal-hal sederhana yang kadang luput dari perhatian. Oleh sebab itu, beberapa kisah akan membuat kita merenung. Sebagian lainnya membuat kita tertawa.
Kalimat dalam buku ini pendek-pendek dan sederhana. Dilengkapi juga dengan ilustrasi yang menyenangkan dari Cecilia Hidayat. Aku mau membaca lagi bila Mbak Reda menerbitkan kisah Na Willa lainnya.
Tapi secara keseluruhan bagus. Karena saya cukup tomboy dan pernah besar di kampung, semua cerita di buku ini bisa saya bayangkan dengan baik. Bacanya juga sampai nangis karena kayak lagi masuk ke laci mejanya doraemon: mesin waktu.
Paling sula yang bagian deskripsiin Pak. Yang bagian main layangan dan gundu juga.
Suka.
Huhu, nulis ginian aja malah jadi nangis dan pengen baca lagi :'(
Bukunya bagus banget! Cerita sehari-hari dari sudut pandang anak kecil, Na Willa. Membawa orang dewasa kembali merasakan kebahagiaan masa kecil, ketakutan saat ibu akan marah, dan nostalgia masa-masa kecil lainnya.
Kisah yang ringan dan ceria, menyenangkan, menghangatkan serta ada beberapa cerita juga yang membuat berkaca-kaca.
Sungguh! Recommended sekali untuk dibaca! Nggak nyesel baca buku ini :)
Begitu sederhana hingga tidak cukup menarik pada awalnya. Hanya kemudian, beberapa bagian membuat saya sentimentil. Sekalipun sudah dapat bocoran dari pengantarnya, tetap saja berkaca-kaca dalam pembacaannya. Na Willa membuat saya bernostalgia pada perasaan masa kecil saya, sementara ibunya membuat saya membayangkan bila kelak punya anak.
4,75 buat Na Willa!!! Seneng baca sudut pandangnya Na Willa. Na willa emang kelakuannya sesuai sama anak-anak pada umumnya, gemesin wkwk ternyata ada penggunaan bahasa jawa sebagai bahasa daerah di buku ini, kalau ada terjemahannya di foot notes kayaknya lebih baik lagi ><