Tak ada jalan dan tak ada pulang kita di atap langit nun di bawah rata belaka suatu saat biru di saat lain merah kesumba.
Jadi kau tidak ingat lagi tak percaya lagi akan jalan pulang?
Apakah pergi harus juga pulang? apakah pergi harus juga berpikir untuk pulang? Apakah pulang hanya ada kalau kita pergi? Apakah pulang dan pergi harus berpasangan?
Riwayat hidup Masa mudanya dihabiskan di Surakarta. Pada masa ini ia sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sejak tahun 1974 ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun kini telah pensiun. Ia pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar. Pada masa tersebut ia juga menjadi redaktur pada majalah "Horison", "Basis", dan "Kalam".
Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986 SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar.
Karya-karya Sajak-sajak SDD, begitu ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sampai sekarang telah ada delapan kumpulan puisinya yang diterbitkan. Ia tidak saja menulis puisi, tetapi juga menerjemahkan berbagai karya asing, menulis esei, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.
Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD.
Berikut adalah karya-karya SDD (berupa kumpulan puisi), serta beberapa esei.
Kumpulan Puisi/Prosa
* "Duka-Mu Abadi", Bandung (1969) * "Lelaki Tua dan Laut" (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway) * "Mata Pisau" (1974) * "Sepilihan Sajak George Seferis" (1975; terjemahan karya George Seferis) * "Puisi Klasik Cina" (1976; terjemahan) * "Lirik Klasik Parsi" (1977; terjemahan) * "Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak" (1982, Pustaka Jaya) * "Perahu Kertas" (1983) * "Sihir Hujan" (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia) * "Water Color Poems" (1986; translated by J.H. McGlynn) * "Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono" (1988; translated by J.H. McGlynn) * "Afrika yang Resah (1988; terjemahan) * "Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia" (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks) * "Hujan Bulan Juni" (1994) * "Black Magic Rain" (translated by Harry G Aveling) * "Arloji" (1998) * "Ayat-ayat Api" (2000) * "Pengarang Telah Mati" (2001; kumpulan cerpen) * "Mata Jendela" (2002) * "Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?" (2002) * "Membunuh Orang Gila" (2003; kumpulan cerpen) * "Nona Koelit Koetjing :Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an - 1910an)" (2005; salah seorang penyusun) * "Mantra Orang Jawa" (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
Musikalisasi Puisi
Musikalisasi puisi karya SDD sebetulnya bukan karyanya sendiri, tetapi ia terlibat di dalamnya.
* Album "Hujan Bulan Juni" (1990) dari duet Reda dan Ari Malibu. * Album "Hujan Dalam Komposisi" (1996) dari duet Reda dan Ari. * Album "Gadis Kecil" dari duet Dua Ibu * Album "Becoming Dew" (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu * satu lagu dari "Soundtrack Cinta dalam Sepotong Roti", berjudul Aku Ingin, diambil dari sajaknya dengan judul sama, digarap bersama Dwiki Dharmawan dan AGS Arya Dwipayana, dibawakan oleh Ratna Octaviani.
Ananda Sukarlan pada Tahun Baru 2008 juga mengadakan konser kantata "Ars Amatoria" yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi SDD.
Buku
* "Sastra Lisan Indonesia" (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.
Kupikir, buku ini adalah kolaborasi paling ambisius sejauh perkembangan susastra Indonesia. Bayangkan, seorang maestro--bahkan, seorang profesor di bidang sastra yang maha melegenda di Indonesia ini berkolaborasi dengan penulis kawakan yang sedang ramai diperbincangkan di internet karena (kata orang-orang) tulisannya berhasil mengaduk-aduk hati, dan terasa begitu relate dengan pembacaan remaja yang ringan, lugas, sangat to the point, straight to the heart.
Sayangnya (benar-benar sangat disayangkan) hasil kolaborasi ini tidak berhasil mencakup hal-hal mendasar yang sepatutnya dipertimbangkan demi perkembangan susastra Indonesia secara menyeluruh. Pertama, buku ini tidak berhasil menggugah kemampuan kepenulisan Rintik Sedu sebagai lawan tanding atau partner penulisan Sapardi Djoko Damono. Alih-alih mempertahanankan bobot pemaknaan yang mendalam seperti puisi-puisinya yang biasa, SDD pada buku ini justru terjun bebas ke level penulisan Rintik Sedu. Meski dikatakan sebagai kolaborasi, rasanya bagiku (dan ini terasa sangat jahat) SDD justru berperan sebagai editor. Ya, kalian enggak salah baca.
Kualitas penulisan yang rendah itu kemudian ditambah dengan metafor-metafor klise yang biasa dijual SDD pada puisi-puisi populernya. Sayang sekali, padahal aku sangat berharap kalau puisi-puisi di dalamnya (jika boleh dikatakan puisi) bisa membentuk formula baru dalam ciri stilistik kepenulisan penyair Indonesia. Hibrida antara "puisi suasana" ala Sapardian dan "potongan kutipan straight to the heart" ala Rintik Sedu. Keduanya, kurasa, berusaha bermain pada tema yang tidak begitu dipahami oleh keduanya. Reduksi metafora "rumah" ke dalam konteks cinta-cintaan remaja, rasanya begitu klise--tidak berjalan dengan irama yang tepat, tidak selaras, dan tidak natural.
Kemudian, buku ini sangat melelahkan untuk dibaca. Kupikir ini menyangkut dengan panjang penulisan puisinya. Dengan memaksa Rintik Sedu menulis puisi-puisi naratif yang panjang, SDD justru memperlihatkan kelemahan utama dari bukunya: puisinya boleh jadi panjang, tapi isinya sangat kosong. Pemaknaan kedua, mana itu pemaknaan kedua? Tidak ada dalam puisi-puisi di dalam sini--rasanya, total puisi di dalamnya hanya tiga (saya perhatikan dari pembagian ilustrasi dari Rintik Sedu), mengisi 100 halaman, yang kemudian bisa dikatakan adalah sebuah percobaan gagal dalam membentuk suatu inovasi kepenyairan. Gagal total.
Berlebihan sekali kalau Rintik Sedu berkata ini adalah mahakarya. Baik mahakaryanya, atau mahakarya SDD. Sumbangsih buku ini dalam perkembangan susastra Indonesia sangat tidak terasa. Kasar untuk bilang--barangkali, Sapardi hanya "meminjam" nama Rintik Sedu untuk jualan puisi, atau mungkin, Rintik Sedu "meminjam" nama SDD untuk memvalidasi bahwa tulisannya sebenarnya nyastra banget.
Lantas bagaimana caranya menikmati karya ini sesederhana mungkin? Rendahkan ekspektasi kalian untuk melihat karya-karya fenomenal ala SDD. Anggap saja di sini, SDD menurunkan levelnya untuk dapat mengimbangi kemampuan kepenulisan Rintik Sedu yang ala kadarnya. Atau bisa juga kalian membaca ini sebagai bacaan-lewat saja; dibaca sambil lalu. Nikmati tiap ilustrasi Rintik Sedu yang tampak menggemaskan itu, dan tak perlu, lah, menyangkutpautkan antara puisi di sebelahnya. Seandainya ada bagian-bagian yang membedakan mana tulisan SDD dan Rintik Sedu, kupikir karya ini sedikit lebih bisa dinikmati. Untuk pembaca awam, karya ini sudah lumayang mengantarkan kita untuk tahu apa itu puisi (meski sebenarnya bingung juga, ini beneran puisi apa bukan sih?).
Aku baca buku ini tanpa ekspektasi apa pun, sekadar penasaran dengan fusion dari Pak Sapardi dan Tsana.
Ternyata aku suka.
Aku setuju dengan perkataan temanku yang bilang kalo dalam buku ini mellow-nya anak sekarang dapet dan touch romantis orang lamanya juga dapet. Jadi, selamat.
Dan yang bikin aku suka—mungkin bisa bikin hal ini jadi objektif—karena... damn you both, apa-apa yang ditulis di sini, bagaimana kalian bermain pingpong dengan kata-kata dalam puisi, bikin perasaanku getir dan nggak enak—dalam artian aku bisa related.
Sejujurnya aku nggak terlalu suka dengan puisi panjang yang "titik"-nya suka hilang, tapi rasanya di sini semacam pengecualian.
Buat yang lagi dilematis sama hubungan, buku ini bisa memperparah luka kalian. Jadi hati-hati, ya.
* * *
Sudah berapa kali kubilang jarak antara pergi dan pulang sejengkal saja. Hanya sejengkal dan itu pun hanya ada di otak kita hanya ada di ruh kita yang lebih suka tinggal di awang-awang.
Oke, tidak ada pergi dan tidak ada pulang, katamu. Tapi masih ingatkah kau langkah pertama ketika berjanji akan setia kepada pulang dan tak hanya mati-matian beriman pada pergi?
Aku baca buku ini karena punya ekspektasi sama eyang SDD dan melupakan kalau ini adalah kolab, sehingga ya ekspektasi yg kupunya ya ga meets sama kenyataan, which is ini gak sepenuhnya puisi2 eyang SDD.
Juga, aku yg gapernah baca buku2 Rintik Sedu sebelumnya (ini pertama kali di buku ini), jadi ya memang ngarep bukunya SDD banget heu.
Aku (sok)tau mana bagian eyang SDD, mana bagian Rintik Sedu.
This book was okay, but me craving more since ada nama SDD, and am a big fan of him jadi ngarep yg lebih tapi gak nemu jadi kecewa hinggg
Oke, aku nggak paham apa yang kubaca, memang agak kurang cocok sama puisi, tapi bener deh, ini isinya agak aneh. 😅
Ada yang puisinya lumayan bagus, tapi tiba-tiba nanti ada yang jadi aneh banget kalimatnya. Belum pernah baca tulisan dari kedua penulisnya, iseng karena lihat direkomendasikan oleh Gramedia Digital, jadi gas aja.
Untung cuma 100-an halaman, dan pendek-pendek pula, jadi yaaah, begitulah.
Sebenarnya saya belum pernah baca satu pun bukunya Rintik Sedu. Sepertinya buku-bukunya banyak yang baca. Waktu tahu eyang Sapardi akan kolaborasi dengan Rintik Sedu, saya pikir akan berwujud novel atau novela lah gitu, ternyata buku puisi.
Puisi disertai sedikit ilustrasi dicetak hardcover memang sungguh tren saat ini, yang dibaca sebentar bisa langsung selesai.
SDD dari sisi penyair senior ketemu sama Rintik Sedu yang junior, tentu saja bukunya akan terasa perpaduan antara keduanya. Ada rasa SDD tapi juga dikemas dalam kata-kata juga kalimat ala anak muda. Menarik, sambil membayangkan eyang SDD menulis kalimat-kalimat ala anak muda, saya jadi ingat eyang ikutan main Tiktok :D
Ada yang harus saya baca berulang karena gak ada koma, apalagi titik dan ditulis nyambung terus. Maka, yang baca kudu sabar, bacalah berulang agar dapat yang dimaksud.
Puisi tentang aku dan kau. aku dan kau yang katanya satu. yang meributkan pergi dan pulang. apakah pergi harus disertai pulang, atau gimana?
Kalau kau merasa dirimu sakit kaulah hakikat obat itu.
kalau kau pergi mencari obat cinta jugakah sang penawar itu?
“Kau adalah cermin retak yang tak pernah lelah menatapku, kau baik-baik saja, bukan?”. Maaf banget, sebelumnya aku memang jarang baca buku puisi jadi baca buku ini bener-bener biasa aja. Aku gak ngerasain emosi apapun dan hanya bisa menikmati beberapa saja. Mungkin karena faktor jarang baca genre puisi kali ya jadi kurang nendang atau kurang suka :(
Sejujurnya sepanjang baca aku berusaha menerka, ini tulisan siapa ya. Bagian mana yang ditulis Pak Sapardi dan bagian mana yang ditulis Rintik Sedu ya. Tapi lama-lama aku ga terlalu memikirkannya karena ya beginilah keutuhan buku ini. Nggak perlu dicari siapa menulis yang mana, karena semua puisi adalah kesatuan. Aku suka permainan kata dan pemenggalan dalam beberapa puisi di sini. Pemenggalannya bikin puisi ini terasa bermakna buatku. Ada juga sih yang bikin aku pusing, kayak aku butuh waktu buat baca pelan-pelan dan meresapi sebenarnya puisi ini tentang apa. Tapi secara keseluruhan kolaborasi ini bagus! Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang ini cocok banget dinikmati di masa jaga jarak. Beberapa puisi jadi terasa lebih sendu, mellow, dan dalam.
Masih ingatkah kau sepasang pergi dan pulang? Luasan bumi yang menatap langut bermimpi untuk pulang kembali? (h. 53)
Terima kasih buat puisi kolaborasinya. Aku jadi penasaran proses kreatif di balik buku ini. Sepertinya seru dan menarik ya. 😆
Masalah gw dalam membaca buku kolaborasi adalah siapa menulis apa. Sama halnya dalam buku ini. Walaupun ada bagian yang jelas bedanya, terkadang batas itu jadi blur. Di sini gw ga bisa membayangkan Pak Sapardi (almarhum) berdialog dengan gaya anak muda kekinian. Di mata gw dia tetaplah seorang penyair yang romantis, lembut, namun tetap menohok. Karya ini menurut gw adalah bukti kerendahhatian seorang maestro merangkul generasi penerusnya.
Malam ini kita mencari-cari ingatan yang menjadikan kita ada.
Malam ini ingatan menatap kita 'Kalian ada di mana?'
Malam ini kita bertanya apakah tanpa ingatan kita bisa ada?
Malam ini ingatan dan kita saling mencari sampai pagi tiba
Mungkin saya temasuk pembaca yang kurang menyukai tantangan. Dalam arti, saya lebih menyukai membaca karya penulis yang sudah saya tahu kapasitasnya dari pada membaca karya penulis yang belum pernah saya baca karyanya.
Memang selalu ada yang pertama untuk setiap hal. Jika suatu ketika saya membaca karya seorang penulis yang baru saya kenal, pasti ada sesuatu yang membuat saya merasa karyanya perlu dibaca. Sebut saja ada peran insting ketika saya memutuskan membaca sebuah buku.
Demikian juga dengan buku ini. Siapa yang tak kenal nama SDD. Meski bukan fans berat puisi, nama beliau bisa dianggap sebagai jaminan mutu sebuah karya. Baik buku puisi, novel, bahkan jika beliau menulis buku memasak sekalipun hasilnya akan berbeda!
Namun Rintik Sedu? saya tidak punya gambaran siapakah dia. Karena banyak sahabat yang ramai membahas kolaborasi ini, maka saya putuskan untuk membaca. Apalagi menurut para sahabat, Rintik Sedu menyebut ini sebagai Mahakarya.
Selain ilustrasi yang cantik, saya merasa kehilangan "aura" karya seorang SDD. Ada yang hilang saja walau karyanya tetap bisa menarik. Membaca proses kreatif terbitnya buku ini, saya jadi paham kenapa seakan ada yang raib bak tertiup angin.
Kolaborasi terjadi dengan cara yang unik. Satu bercerita, yang lain mendengarkan dan meramu menjadi sebuah tulisan, puisi tepatnya. Bukan sebuah proses yang luar biasa. Beberapa sahabat sering mengangkat curhat yang ia dengar menjadi sebuah kisah. Inspirasi bisa muncul dari mana saja.
Dan saya jadi terus memikirkan makna kata Mahakarya yang disebutkan Rintik Sendu.
"Dengarkan segala yang dikatakan air. Dengarkan apa pun yang dibisikkan angin. Dengarkan apa pun bahkan yang tak bisa kaudengarkan. Yang memang tak ada perlunya didengarkan sebab sesungguhnya tidak pernah ada."
----------
Well, poetry bisa dibilang merupakan salah satu genre yang jarang aku baca karena (jujur) aku sering banget gagal paham setiap kali baca puisi. Bahkan ada beberapa puisi yang meskipun aku udah berusaha baca pelan-pelan dan diulang berkali-kali, tetap aja maksud dan makna nya nggak nyampai di aku.
Seperti buku ini contohnya.
Kata-katanya ditulis dengan indah dan cantik. Tapi aku nggak paham maksud isinya. Jadi aku nggak bisa ngerasain emosi apapun sewaktu baca ini. So sorry. But once again, ini cuma pendapat pribadiku ya. Or maybe it's just me and my lack of poetry sense 😅
Sebagai yang masih belajar mengapresiasi puisi, membaca puisi dalam buku ini masih membuatku sedikit bingung. Kedalaman emosinya pun belum aku dapatkan, mungkin harus baca lebih dari satu kali untuk menggali lebih dalam lagi.
Kayanya ekspektasiku agak tinggi. Awalnya tertarik karena penasaran banget gimana kolaborasi kedua penulis ini. Pas baca, yaaa so so lah. Lumayan nikmatin beberapa bagian.
Ini puisi pertama karya Pak Sapardji Djoko Damono yang saya selesaikan, selama ini saya hanya membaca dua-tiga puisinya yang tersebar di internet, itu saja kalau tidak salah di saat saya masih SMA. Ini juga pertama kalinya saya membaca tulisan Rintik Sedu dalam bentuk buku, selama ini saya hanya membaca tulisan2 di instagramnya dan sesekali mendengar podacstnya.
Saya suka puisi-puisi yang terangkai di dalam buku puisi Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang, saat membaca judulnya saya seperti merasakan nada sendu dalam puisinya. Lalu setelah membaca aksara-aksara yang terketik rapi di sana, saya merasa puisi-puisi berhasil menyerap pikiran saya meskipun bahasanya masih terlalu berat bagi saya. Saya sulit menangkap makna apa yang ingin disampaikan penulisnya.
Dalam satu puisi terdiri dari dua sudut pandang, seperti yang dikatakan Pak Sapardji di kata pengantarnya. Dan saya suka itu, seolah dari awal beliau bermaksud agar kita jangan hanya mendengar dari sudut pandangnya saja, tapi juga dari sudut pandang Rintik Sedu sebagai perempuan.
Saya suka ilustrasinya, ciri khas Rintik Sedu! Saya akui, puisi dan ilustrasinya ada beberapa yang saya tidak mengerti makna di balik kedua objek tersebut, tapi saya menikmati bacaan ini.
Btw, saya membacanya di Gramedia Digital:))
Ps: Kutipan favorit saya berada di halaman 30 dan 60-61 :)
Kali ini aku baru saja berkesempatan membaca kumpulan puisi hasil dari kolaborasi dari dua insan yang memang telah cukup dikenal namanya yakni Sapardi Djoko Damono dan Rintik Sendu. Jujur saja ketika mendengar nama penulis buku, dalam hati auto excited karena penasaran kira-kira bagaimana puisi-puisi yang bakal dihasilkan oleh dua orang ini. Perpaduan keduanya pasti akan menjadi sangat menarik dalam benakku.
Meski aku cukup awam dalam dunia puisi dan kurangnya wawasan dalam menginterpretasi maksud dari pengarang, aku merasakan bahwa puisi-puisi yang dihasilkan dalam buku ini cukup mudah dimengerti dan sepertinya sangat relate sekali dengan diriku yang juga anak perantauan yang kadang sering lupa jalan pulang ke kampung halaman (dalam artian konotasi yah!).
Hal yang paling aku sukai dari buku ini ialah bagaimana pengarang mampu membuat puisi-puisi yang menghadirkan dua orang tokoh yang seolah-seolah bersahut-sahutan satu sama lain. Keduanya seolah memiliki perdebatan yang seru untuk disaksikan. Hal tersebut tentunya berdasarkan interpretasiku semata. Tapi dari hati yang paling dalam, aku benar-benar menikmati buku puisi ini. Cannot wait to read more.
Kali ini aku baru saja berkesempatan membaca kumpulan puisi hasil dari kolaborasi dari dua insan yang memang telah cukup dikenal namanya yakni Sapardi Djoko Damono dan Rintik Sendu. Jujur saja ketika mendengar nama penulis buku, dalam hati auto excited karena penasaran kira-kira bagaimana puisi-puisi yang bakal dihasilkan oleh dua orang ini. Perpaduan keduanya pasti akan menjadi sangat menarik dalam benakku.
Meski aku cukup awam dalam dunia puisi dan kurangnya wawasan dalam menginterpretasi maksud dari pengarang, aku merasakan bahwa puisi-puisi yang dihasilkan dalam buku ini cukup mudah dimengerti dan sepertinya sangat relate sekali dengan diriku yang juga anak perantauan yang kadang sering lupa jalan pulang ke kampung halaman (dalam artian konotasi yah!).
Hal yang paling aku sukai dari buku ini ialah bagaimana pengarang mampu membuat puisi-puisi yang menghadirkan dua orang tokoh yang seolah-seolah bersahut-sahutan satu sama lain. Keduanya seolah memiliki perdebatan yang seru untuk disaksikan. Hal tersebut tentunya berdasarkan interpretasiku semata. Tapi dari hati yang paling dalam, aku benar-benar menikmati buku puisi ini. Cannot wait to read more.
Buku ini adalah buku kolaborasi eyang @damonosapardi dan @rintiksedu. Sebuah balas-balasan puisi tentang pergi dan pulang. Di dalamnya kita bisa melihat bagaimana karakter puisi dari eyang sapardi, begitu juga karakter dari rintik sedu dengan ciri instapoem. Sangat jelas terlihat
Beberapa kali membaca puisi di dalamnya, aku tidak paham maksud isinya. Tapi, begitu aku menyentuh baris akhir, aku paham-paham "jambu", semacam di baris akhir itulah yang ingin diungkapkan. Tapi lebih banyak aku merenung seperti, apakah memang aku sudah pulang? Kita sudah pulang? Apakah aku benar-benar butuh untuk pulang?
Aku beli ini karena kolaborasi bersama eyang Sapardi mengingat aku suka banget puisi-puisinya eyang. Tapi ketika baca kumpulan puisi di buku ini, hmm entahlah, rasanya aku nggak merasakan kehadiran eyang Sapardi di buku ini. Aku nggak tau bagaimana sistem kolaborasi mereka, tapi yang aku rasakan ini semua dominan ke rintik sedu, padahal aku menantikan puisi otentiknya eyang sapardi di buku ini.
(+) 1. Hard cover dengan desain yang simpel namun menarik. Ukurannya pun kecil sehingga nggak buang-buang space kosong karena sejatinya puisi-puisinya cenderung pendek.
(-) 1. Tidak dapat pembatas buku. Bagiku pembatas ini penting, terutama aku tipe yang kalau baca puisi itu pelan-pelan dan untuk diresapi sehingga nggak bisa sekali baca langsung selesai. Akhirnya harus nyari pembatas buku sendiri yang sekiraku warnanya senada dengan buku ini. 2. Aku nggak menemukan nilai sastra di buku puisi ini. Gaya penulisannya sederhana, terlalu sederhana untuk sebuah puisi, bahkan menurutku ada beberapa yang sekedar kalimat biasa kemudian di enter-enter sehingga mirip puisi. Singkatnya, puisi ini kurang indah.
Bisa dibilang, aku penggemar tulisan tulisannya Eyang SDD, dan sudah lumayan banyak membaca dan masih mengikuti karyanya.
Untuk Rintik Sedu, aku belum pernah membaca karya karyanya. Entah kenapa meski terdengar populer, maaf—belum ada rasa tergugah untuk sekadar mengintip kisah yang dia tulis. Mungkin tidak pernah, mungkin nanti. Aku gatau.
Well, buku ini adala buku hasil kolaborasi dua dunia—Eyang dg gayanya khas puisi lama dan Rintik Sedu dg gayanya yg modern.
Jujur, ini kayak bukan karya Eyang—ya secara teknis memang begitu karena yang menulis ada dua orang dg gaya yang jauh berbeda, dan aku kurang menikmati buku ini. Aku rasa ini gak cocok di aku😅.
Perpaduan dua gaya yang berbeda itu kayak gak nyatu, dan feel-nya pun gak sampe ke aku.
Ini mungkin cocok buat penggemar puisi ala ala modern yang bucin gitu wkwk.
Mm, yah begitulah. Sekali lagi ini pendapatku pribadi
This entire review has been hidden because of spoilers.
Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang karya eyang Sapardi yang berduet dengan Rintik Sedu merupakan karya yang bagus, bagus saja menurutku, ini benar-benar secara subjektif. Sebelum membaca ini, ekspektasi tinggi atas karya-karya eyang sudah sangat memasuki pikiranku, namun sangat disayangkan ekspektasiku tidak bisa terpenuhi, lalu baru ingat bahwa ini adalah karya eyang dengan rintik sedu.
Sangat disayangkan karya ini tidak sebagus dan seistimewa karya eyang lainnya. Mungkin bagi sebagian orang yang menjadi penggemar eyang dan rintik sedu akan sangat suka, namun bagiku karya ini hanya biasa dan kurang powerfull. Karena aku belum pernah membaca karya rintik sedu, maka aku tidak bisa mengatakan karya ini sangat "rintik sedu sekali", hanya saja ini sangat berbeda dan tidak seperti karya eyang lainnya.
Dua pemikiran dalam satu buku yang kurasa tetap ada bedanya. Tsana ya Tsana, dan Eyang Sapardi, ya tetap tulisannya eyang.
Awal membaca tulisan ini aku merasakan kesepian. Tulisan-tulisan yang membawa pembacanya merasa kesepian. Tetapi, semakin lama membacanya, semakin tipis lembar buku yang belum aku baca, aku tiba-tiba tidak mengerti. Apa aku cukup bodoh untuk memahami isi puisinya, ya? Aku tidak tahu. Mungkin akan kubaca ulang puisi yang tidak aku mengerti itu.
Selain itu, aku juga merasa puisi-puisi Eyang hidup di buku ini. Maksudku, eyang Sapardi seperti memasukkan kembali keyword puisi-puisi fenomenalnya di buku ini, misalnya fana dan abadi. Mungkin serupa tapi tidak sama alias ga begitu mirip sih, tapi puisinya terdahulu itu begitu lengket banget di pikiran. Ah, ada lagi "...pada suatu hari nanti" di buku ini juga aku memaknainya mirip banget dengan puisi Eyang yang lama!
A great cross-age collaboration. The book comes with simple illustrations by one of the authors, Rintik Sedu herself. Read these pieces is like learning how the writing styles of Pak Sapardi and Tsana. They are different but complement each other. In the end, it becomes a 'whole' masterpiece book.
Literature depends on the reader's interpretation. I do not avoid if, in the process of reading, I encounter difficulties in defining the author's intent or correlating the diction as an individual understanding. There are times when I'm feeling a little bit tired to go on. However, I still enjoy the process of contemplating the book and appreciate how original this work is.
Aku merasa -sulit dan asing(?) ketika membaca buku ini. Memang, ini merupakan hasil kolaborasi antara Sapardi X Tsana yang keduanya sama² terkenal karena sastra. Sayangnya, ekspektasiku terlalu tinggi untuk buku ini. Tidak jelas mana yang merupakan tulisan Tsana, begitupula tulisan Sapardi. Untuk itu, yang kulakukan hanyalah menerka dari gaya bahasa. Untuk sajak dalam bentuk satu alinea panjang yang minim tanda koma, kukira itu karya Sapardi. Adapun untuk puisi² bebas dengan bahasa² yang cenderung tidak baku dan tema 'kekinian', kukira itu tulisan Tsana. Oke, ini bisa jadi bias juga sih ahaha.
Meski demikian, aku suka bagian 'Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang'!
Suka banget dengan konsep "perjalanan" yang hadir di buku ini. Mulai dari Ketukan Pintu dan berakhir di Sampailah Sudah.
Although it's different from his other books, I still can recognize Eyang's style in this book with a little sparkle of the newest trend by Rintik Sendu. It's a fresh combination and the whole read was light and fun, with a little thrill in between.
One page make you giggle, the next one will make you form a frown.
--
"Pulang tidak pernah punya Rumah dan tidak bisa diseret-seret ke mana-mana oleh siapa pun yang merasa pernah melahirkannya."
This entire review has been hidden because of spoilers.