What do you think?
Rate this book


9 pages, Audiobook
First published March 10, 2020
“When I closed my eyes, I could still hear her sharp, stubborn voice and surprisingly unbridled laugh.”
“I hadn't thought I would use my mourning suit again anytime soon. Apart from my sister, I had no living family or relatives. My friends were around my age, and we were all approaching the first peaks of our lives. Graduating, finding a job, getting married, having kids. But Miwako Sumida wouldn't be among us.”
“Her bold strokes gave off a sense of alienation and desperation, but her choice of muted colors conveyed a hidden loneliness. My sister had mastered the application of intricate details to her pieces. At the same time, she took extra care to make sure nothing was overwhelming. I recognized a delicate balance, a sense of equilibrium in all her pieces. What my sister couldn't tell anyone, she whispered into her work.”
She’d said she wanted to tell me something. Maybe I could find out what, if I traced her path somehow.Miwako Sumida was only 20 when she died. Her story is told by three people who each knew part of it. Ryusei was the man who loved Miwako. Chie, who began her life as a “transparent girl”, was Miwako’s best friend. Fumi, Ryusei’s sister, was Miwako’s employer. I want to tell you all about them but can’t, because spoilers.
“You know, she just made everything better. More intense. More colorful. When I looked at her, I used to think, ‘Hey, maybe the world isn’t such a bad place.’”Her kindred spirit potential was evident to me early on, right about the time she bailed on karaoke with her friends to go to a bookstore. However, even though I saw her through the eyes of three people who knew her best, I still didn’t truly feel like I knew Miwako and I loved that about her.
But when it came to Miwako Sumida, nothing was as I expected.Content warnings include .
"Mestinya aku tidak berpura-pura segalanya sempurna."
Setelah membaca Rainbirds, kurang afdal kalau tidak baca buku lanjutannya—yang sebenarnya bebas mau baca yang mana dulu karena cerita dan tokohnya berbeda, tetapi aku menyarankan untuk baca Rainbirds dulu. Mungkin tulisanku ini bisa dijadikan alasan. The Perfect World of Miwako Sumida mengusung genre misteri—meskipun begitu, unsur drama keluarga tetap lebih kental, baik di buku pertama maupun buku kedua. Persamaan lainnya yang paling nyata adalah penulis masih menonjolkan hubungan kedekatan antara kakak perempuan dengan adik laki-lakinya juga perjalanan sang tokoh untuk menguak misteri di balik kematian orang terdekatnya. Untuk pembeda, jika di Rainbirds penulis lebih memilih untuk menyelipkan unsur-unsur magical realism, di buku ini penulis menawarkan hal baru, yaitu supranatural. Tema yang diangkat juga lebih kaya dan dekat, seperti persahabatan, kekeluargaan, perundungan, insecurity, percintaan, dan lain-lain.
Novel dengan tebal 366 halaman ini dibagi menjadi tiga bagian—plus prolog dan epilog—yang membuat buku ini rasanya lebih rapi dan enak diikuti—sangat berbeda dari buku debut-nya yang ceritanya ngalor-ngidul sampai bikin mengumpat. Setiap adegan atau subbab dalam cerita ini menyenangkan untuk dibaca, menarik, dan yang paling penting berperan dalam keutuhan cerita. Tidak ada lagi adegan-adegan yang percuma, tidak ada lagi tokoh tempelan yang latar belakangnya digali berlebihan, semua ditakar dengan pas!
Pada bagian pertama yang diberi judul Ryusei Yanagi, penulis menggunakan sudut pandang orang pertama melalui tokoh Ryusei. Ryusei tengah terguncang setelah mendengar kabar gadis yang begitu ia cintai telah meninggal gantung diri. Baginya, semua yang terjadi sulit untuk dipercaya dan menimbulkan tanda tanya besar di kepalanya. Alasan apa yang melatarbelakangi gadis pujaannya untuk bunuh diri? Apa saja yang tidak ia ketahui tentangnya selama ini? Lalu, penulis membawaku kembali pada masa-masa awal pertemuan Ryusei dengan Miwako hingga perpisahan mereka. Mereka tak sengaja bertemu di sebuah acara ‘kencan’ dan sejak saat itu mereka jadi sering pergi bersama ke toko buku maupun ke perpustakaan. Hubungan mereka makin dekat, bahkan Miwako direkrut menjadi anak buah kakak Ryusei untuk sebuah proyek. Perasaan suka pun muncul dalam diri Ryusei, tetapi tanpa bimbang Miwako selalu menolaknya.
Pada bagian dua, cerita terfokus pada tokoh Chie. Di bagian ini hingga akhir, penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga. Chie adalah sahabat perempuan Miwako. Mereka lulusan dari SMA yang sama dan kuliah di universitas yang sama. Latar belakang Chie dijelaskan dengan baik, sejak ia masih menjadi anak ‘transparan’ hingga menjadi gadis yang cukup popular. Akan tetapi, tetap saja ia belum punya teman dekat. Miwako adalah satu-satunya yang ia anggap sebagai teman. Ada sesuatu dalam diri Miwako yang tidak diketahui orang lain tetapi Chie mengetahuinya. Singkatnya, mereka menjalin hubungan pertemanan dengan menyimpan rahasia masing-masing. Sebenarnya, di sini aku bisa menebak masalah-masalah Miwako karena cukup jelas penulis mengungkapnya. Ah, pasti Miwako mengalami ini, nih! Setelah kematian Miwako, Chie bersama Ryusei pergi ke sebuah desa terpencil di mana Miwako menjalani hari-hari terakhirnya. Latar tempatnya digambarkan dengan rinci, jauh berbeda dengan suasana Tokyo, dan menjelang akhir bab, ada satu kejadian yang cukup membuatku merinding—tidak memunculkan hantu-hantu, melainkan suasana yang dengan bagusnya dibangun penulis.
Di bagian terakhir, penulis mengulik tokoh Fumi Yanagi—kakak Ryusei. Sampai di sini, aku antusias sekali karena Fumi adalah karakter yang membuatku penasaran dengan latar belakangnya. Penulis membawaku kembali ke masa-masa SMA ketika Fumi mengalami perundungan yang disebabkan oleh masalah remeh. Selain itu, dikisahkan pula keseharian Fumi selepas ditinggal pergi Ryusei untuk beberapa bulan. Dari sinilah aku tahu kemampuan—atau kutukan—yang dimiliki Fumi yang diwariskan turun-temurun. Berbeda dari Rainbirds yang bertabur mimpi-mimpi, di sini penulis menghadirkan mereka yang tak kasat mata. Menarik! Semua misteri, masalah, rahasia yang disimpan penulis ditumpahkan. Cukup mudah ditebak tetapi penyampaiannya oke.
Tokoh penting di buku ini adalah Miwako Sumida. Sejak bagian awal, penulis memberi porsi yang sesuai untuknya sebagai pusat cerita—tidak seperti Keiko Ishida yang tenggelam karena penulis terlalu banyak menyoroti keseharian Ren Ishida di Rainbirds. Di sini, penulis mengajakku mengenal Miwako lebih dalam. Miwako memiliki karakter yang kuat: blak-blakan, pekerja keras, jujur, berpikiran terbuka, penuh kasih sayang, tak acuh, keras kepala, sedikit pendiam, dan cukup berbeda dari kebanyakan gadis. Celotehan-celotehannya membuatku senyum-senyum. Meskipun dari luar ia tampak kuat dan hidupnya cukup sempurna--disayangi keluarga dan ayah tirinya, dicintai dengan tulus oleh Ryusei, dikelilingi teman-teman yang suportif—ia menyimpan rahasia yang menuntunnya untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Ryusei Yanagi adalah cowok yang menyukai Miwako. Dia menyatakan perasaannya hingga tiga kali tetapi selalu nihil. Ia hidup hanya bersama Fumi, sang kakak, sebab kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan. Ia begitu bergantung dan menyayangi Fumi. Karakter yang juga kusukai, dewasa. Selain itu, Fumi Yanagi, orang yang memperkerjakan Miwako. Ia pekerja keras. Ia memiliki masa lalu yang pahit, karenanya ia sangat berusaha berdamai dengan dirinya sendiri. Ia memiliki kemampuan—kutukan—untuk melihat makhluk halus. Terakhir, Chie dan Sachiko, sahabat perempuan Miwako. Mereka pernah bekerja di kafe yang sama. Penulis tidak lagi menciptakan tokoh-tokoh pendukung yang tidak membawa kemajuan untuk ceritanya, tidak lagi menjabarkan latar belakang tokoh-tokoh tersebut dengan berlebihan. Hal ini sangat kuapresiasi.
Aku tidak pernah meragukan kemampuan Clarissa Goenawan dalam menulis. Gaya penulisannya luar biasa bagus. Kosakata yang dipilihnya bukanlah kata tingkat dewa tetapi tetap membentuk kalimat-kalimat yang indah. Aku sama sekali tidak menemui kesulitan dalam memahami kisah ini. Ia menuturkan dengan begitu jelas dan mendetail dalam segala hal. Ditambah lagi, terjemahannya pantas diacungi dua jempol. Yang lebih menyenangkan adalah minimnya salah tik di buku ini, rasa risih dan jengkel tidak akan ditemui. Satu kata: nyaman.
Formula kisah ini masih sama seperti Rainbirds—dibuka dengan kematian ganjil tokoh perempuan lalu perjalanan tokoh-tokoh lain demi memahami apa motifnya dengan cara terjun langsung dan ikut menyelami kehidupannya dan mengenang kebersamaan mereka di masa lalu. Idenya yang mungkin sudah banyak dipakai ini dikemas dengan menawan dan rapi. Bukan sekadar misteri yang dibumbui kisah cinta, lebih dari itu, kisah antara sahabat, pencarian jati diri, masalah pergaulan remaja, konflik internal keluarga, hal-hal di luar nalar, semua itu tersaji di dalam buku ini. Seperti yang kubilang sebelumnya, lebih kaya dari Rainbirds.
Meskipun beitu, aku harus mengakui, aku puas dengan buku keduanya Clarissa Goenawan. Alih-alih kecewa, aku yakin dia punya potensi yang bagus dan berharap di buku keduanya ini, dia bisa menunjukkan itu semua dan terbukti!buku ini sukses menyeretku masuk ke dalam ceritanya, diaduk-aduk hingga larut. Aku merasa penulis banyak belajar dari buku pertamanya, The Perfect World of Miwako Sumida ini jauuuh lebih baik. Tokoh-tokohnya dibentuk dengan matang. Penyelesaiannya bagus. Rasanya aku ingin memeluk Ryusei, Fumi, dan Miwako setelah menuntaskan buku ini. Kerja bagus, Clarissa Goenawan! Aku menanti-nantikan buku ketigamu!—semoga ilustrasi sampul untuk Watersong masih dipegang Sukutangan.